Kali ini saya dan Mitra akan mencari dan mengunjungi dua danau di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi. Kedua danau ini berada di wilayah perbatasan antar kabupaten tersebut. Talaga Ciukur merupakan danau pertama yang berada di Kabupaten Cianjur yang akan kami kunjungi. Rute yang kami tempuh untuk jalur pergi merupakan jalan utama Bandung- Cianjur lalu ke arah Terminal Pasir Hayam kemudian ke arah Selatan hingga ke Sukanagara.
Kami berangkat dari Bandung sekitar pukul 06.30 WIB dan arus lalu lintas masih cukup lancar. Kami istirahat sekaligus sarapan di Karangtengah, Cianjur sampai pukul 08.00 WIB. Cuaca sepanjang perjalanan cukup cerah. Setelah tiba di Terminal Pasir Hayam, kami langsung mengarahkan motor ke arah Selatan. Arus lalu lintas cukup ramai, baik oleh mobil, motor, bahkan rombongan sepeda yang sedan bersiap-siap, bahkan kami terkena macet di Pasar Cibeber. Selepas Cibeber, arus lalu lintas sedikit sepi.
Jalur akan terus menanjak dari Cibeber hingga Kecamatan Campaka. Kondisi jalan yang masih cukup rusak sepanjang Cibeber hingga perbatasan Kecamatan Campaka memperlambat perjalanan kami. Arus lalu lintas menuju arah Sukanagara cukup ramai, kami bahkan cukup kesulitan untuk menyusul rombongan mobil pribadi. Arus lalu lintas kembali tersendat di Pasar Kecamatan Campaka. Volume kendaraan mulai terurai disini. Sebagian ada yang menuju jalur objek wisata Curug Cikondang dan Situs Gunungpadang, sebagian lagi berhenti di Campaka, sebagian kecil melanjutkan ke arah Selatan, termasuk kami.
Perjalanan menuju Sukanagara terasa sangat lama. Hal ini disebabkan ramainya jalan dan kondisi jalan yang banyak berlubang. Kami tidak bisa memacu motor dengan cepat. Rasa ngantuk pun mulai datang ketika memasuki area perkebunan Sukanagara. Kami berhenti di SPBU Sukanagara tepat pukul 09.30 WIB untuk istirahat dan isi bensin. Badan rasanya pegal semua, padahal, setengah jalan saja belum.
Kami melanjutkan perjalanan sekitar pukul 10.00 WIB. Patokan kami adalah Terminal Sukangara. Kami ambil arah menuju Kadupandak di Terminal Sukanagara. Kondisi jalan masih sama rusaknya seperti terkahir saya lalui pada Juni 2016 lalu. Perjalanan terasa sangat panjang karena ramainya kendaraan dan kondisi jalan yang jelek. Kondisi jalan baru membaik ketika memasuki Perkebunan Cimapag. Patokan kami berikutnya yaitu pertigaan ke arah Kadupandak dengan ke arah Perkebunan Ciwangi sekaligus jalur menuju Takokak.
Kondisi jalan menuju arah Takokak cukup baik. Aspal mulus, kondisi jalan yang cukup sempit dengan pemandangan berupa hutan dan area kebun teh menjadi obat ngantuk karena perjalanan Cibeber – Sukanagara yang sangat monoton. Kami tiba di sebuah persimpangan menuju pabrik PT. Lamteh dengan jalur utama menuju Takokak. Kami mengambil jalur ke arah kiri, menuju area perkebunan teh. Setelah jalur kami bertemu jembatan kayu dan kondisi jalan menjadi lebih sempit dan berbatu, kami pun sadar kalau kami salah jalan. Kami pun segera kembali ke persimpangan.
Jalur kembali masuk area permukiman dengan kondisi jalan masih aspal mulus. Setelah permukiman habis, kondisi jalan pun kembali menjadi jalan berlubang dengan lapisan aspal yang sudah mengelupas. Arus lalu lintas sangat sepi meskipun kami beberapa kali melewati permukiman. Bahkan kami cukup jarang berpapasan dengan kendaraan lain. Pemandangan di jalur ini cukup bagus. Hamparan kebun teh, bukit-bukit yang masih tertutup hutan lebat dan jejeran perbukitan yang masih panjang mengarah ke Selatan sangat menghibur kami di jalur yang cukup sepi ini.
Kondisi jalan menjadi semakin rusak ketika memasuki Desa Sindangsari. Jalur yang kami lalui kembali masuk ke permukiman. Ketika berada di salah satu tikungan, secara tidak sengaja saya melihat ada air terjun cukup besar di sisi kanan jalan. Jarak air terjun dengan jalan posisi kami berada tidak terlalu jauh. Jalan dan air terjun terpisah oleh sawah dengan medan yang cukup datar. Saya dan Mitra memutuskan untuk mampir ketika pulang karena tujuan kami yaitu Talaga Ciukur masih cukup jauh.
Jalur kembali masuk ke dalam area kebun dan kondisi jalan berubah menjadi makadam dan jauh lebih sempit lagi. Tidak lama, jalur kembali masuk ke area permukinan dengan pemandangan yang lebih terbuka. Kali ini pemandangan didominasi oleh bukit-bukit area kebun teh di sisi kanan dan kiri kami. Kondisi jalan kembali menjadi aspal mulus. Sepanjang pertigaan dengan Kadupandak, jalur memang melewati permukiman warga, tetapi cukup sepi dan jarak antar perkebunan dipisahkan oleh area kebun teh atau hutan. Sebaiknya kondisi motor diperiksa terlebih dahulu agar tidak kerepotan melintas di jalur ini.
Jalur yang mulus dengan pemandangan yang cukup menyegarkan mata membuat kami hampir menabrak gulungan kabel telepon yang menjulur sampai ke jalan. Bahkan banyak kami lewati tiang-tiang telepon yang sudah hampir tumbang dan sudah tumbang. Tiang-tiang telepon yang tumbang, kabelnya masih tersambung dengan tiang lainnya sehingga melintang di jalan. Setelah melewati kabel-kabel telepon yang melintang di jalan, pemandangan menjadi sangat terbuka.
Jejeran perbukitan ke arah Selatan yang didominasi oleh area kebun teh tampak sangat jelas lengkap dengan permukiman penduduk yang tersebar di lereng dan lembahnya. Di sisi Utara , terlihat tiga puncakan bukit yang masih tertutup hutan rimbun. Saking khusyuknya melihat pemandangan di jalur ini, saya sampai lupa cek posisi kami. Kami pun segera berhenti setelah melihat kami melewatkan belokan yang seharusnya kami lalui. Tapi sedari tadi, tidak ada persimpangan sama sekali. Ada satu percabangan, tetapi jalur tersebut ditutup karena bukan jalan umum dan masuk ke area perkebunan.
Kami pun kesulitan mencari warga yang bisa ditanya, karena posisi kami benar-benar berada diantara area kebun teh. Kami pun balik arah menuju permukiman yang baru saja kami lewati. Untungnya, kami bertemu dua warga tidak jauh dari lokasi kami berhenti. Menurut warga, jalur yang kami lalui sudah benar. Tinggal ikuti jalan hingga bertemu persimpangan besar. Di persimpangan ambil arah kiri. Lalu nanti akan ditemui dua persimpangan lagi, di dua persimpangan ini juga masih ambil arah kiri. Pokonya mengikuti jalan utama. Setelah informasinya lengkap, kami pun jalan lagi.
Sepertinya jalur yang ditunjukan Google Maps merupakan jalan pintas dan masuk ke area perkebunan teh dengan kondisi jalan yang sangat sempit sampai-sampai tidak terlihat oleh kami. Akhirnya kami menemukan persimpangan yang dimaksud. Pemadangan di posisi kami kali ini sudah tertutup oleh ilalang dan semak belukar yang sangat tinggi.
Setelah persimpangan pertama, jalur masuk ke dalam hutan. Di hutan ini kami menemukan dua persimpangan lagi. Persimpangan pertama kondisi jalannya sudah dibeton namun diportal. Persimpangan kedua, kondisinya jauh lebih buruk dari jalur kami. Bahkan terlihat beberapa gelondongan kayu di pinggir jalannya. Jalur menuju Takokak ini memang peruntukan lahannya didominasi untuk area perkebunan dan area hutan produksi. Jadi, tidak heran kalau jalannya juga sangat sepi.
Setelah melewati persimpangan ketiga, medan jalan berubah menjadi turunan panjang dengan jalur yang berkelok-kelok. Banyak terdapat lubang cukup dalam di jalur ini. Kondisi jalan juga sangat sempit, terlebih jika papasan dengan mobil, jadi sebaiknya berhati-hati. Jalanan turun terus hingga ke dasar lembah. Pemandangan di sisi kanan kami cukup terbuka. Jejeran perbukitan dengan area perkebunan teh sampai di puncaknya cukup menarik untuk diabadikan. Sayang, kami tidak sempat lagi mampir-mampir karena mengejar sampai di Talaga Ciukur secepatnya.
Setelah tiba di dasar lembah, jalur kembali masuk ke area permukiman dan pabrik teh. Kondisi jalan kembali menjadi sedikit rusak. Medan jalan kali ini cukup datar. Setelah melewati permukiman, jalur kembali masuk ke dalam area hutan dan kebun. Kondisi jalan berubah kembali menjadi beton setelah masuk ke permukiman. Terdapat papan informasi mengenai jalur yang kami lalui. Jalur yang kami lalui merupakan jalur Takokak – Nyalindung, artinya kami sudah di jalur yang benar.
Kondisi jalan beton tidak terlalu panjang. Begitu jalur kembali meninggalkan permukiman, kondisi jalan pun kembali menjadi aspal rusak. Kami menemukan persimpangan besar lagi. Gmaps error karena sinyal kurang bagus, akibatnya kami tidak bisa mengetahui posisi kami saat ini. Saya pun bertanya ke warga. Yang saya tanyakan adalah Desa Bungbangsari. Menurut warga, dua jalur ini sama-sama menuju Desa Bungbangsari, hanya saja yang ke arah kiri merupakan jalur tercepat. Setelah belok kiri di warung, kami harus mengambil jalur ke arah kanan yang menanjak.
Setelah masuk ke jalur yang disarankan warga, saya ragu dengan jalan yang kami lalui ini. Seingat saya di peta, jalur yang harusnya kami lalui terus mengikuti jalan utama Cianjur – Sukabumi. Meskipun kondisi jalur utama Cianjur – Sukabumi cukup buruk dan tidak seperti jalan arteri sekunder seharusnya, tapi jalan yang kami lalui saat ini bukanlah jalur utama, meksipun kondisinya sama buruknya. Akhirnya setelah dipertimbangkan lagi, kami pun balik arah ke warung dan mengambil jalur yang satunya (meneruskan jalur dari arah kami datang).
Mungkin jalur yang barusan kami lewati ini memang mengarah ke Desa Bungbangsari, hanya saja bukan yang dekat dengan Talaga Ciukur. Kondisi jalan jauh lebih buruk. Lapisan aspal yang sudah menghilang ditambah lubang yang besar dan dalam harus kami lewati setidaknya sampai 2,4 Km. Sisi kiri dan kanan kami kembali menjadi lahan hutan produksi dan kebun-kebun. Kondisi jalan mulai membaik ketika memasuki pusat Kecamatan Takokak, 2,4 Km dari persimpangan besar yang terakhir kami lewati.
Kami tidak berhenti dan terus melaju ke arah Barat. Setelah keluar dari Jalan Pasawahan, yang merupakan area pusat kota Kecamatan Takokak, kondisi jalan langsung berubah total. Jalan beton dan aspal mulus dengan medan yang datar langsung berubah menjadi jalan makadam dan sedikit berlumpur dengan medan yang kembali menanjak. Kondisi badan yang sudah cukup lelah, menjadikan badan semakin pegal ketika harus melewati jalur makadam. Ditambah matahari semakin terik karena sudah hampir mendekati pukul 12.00 WIB.
Setelah mendapat sinyal, kami pun mengecek posisi kami saat ini. Ternyata, jarak dari posisi kami saat ini sampai ke persimpangan menuju Talaga Ciukur hanya tinggal 3,3 Km. Meskipun jaraknya lumayan pendek, tapi jika kondisinya makadam dan lubang-lubang dalam seperti ini rasanya jadi seperti lebih dari tiga kilometer. Kami kembali masuk ke area permukiman yang merupakan perbatasan antara Desa Hegarmanah dengan Desa Bungbangsari. Akhirnya kami sampai juga di Desa Bungbangsari. Sekarang hanya tinggal mencari persimpangan menuju Talaga Ciukur.
Tepat ketika memasuki Desa Bungbangsari terdapat area pabirk teh milik PTPN VIII Kebun Goalpara yang kondisinya jauh berbeda dengan pabrik teh milik PT. Lamteh dan PT. Pasir Luhur yang tadi kami lewati. Kami belok kiri ke arah sebuah SD dan bertanya lagi pada warga. Ternyata, jalan menuju Talaga Ciukur masih di depan, kami pun putar arah. Kami pun tiba di persimpangan yang dimaksud. Terdapat papan nama jalan dengan tulisan Jalan Danau Ciukur tepat di samping sebuah warung kecil di sisi kiri kami. Tidak pakai lama, kami pun segera membelokan motor ke jalan kecil tersebut.
Jalan Danau Ciukur merupakan jalan setapak sangat kecil dengan kondisi sebagian makadam sebagian tanah merah. Kondisi tanah merah ketika kami lalui masih ada sebagian yang basah, jadi lumayan licin. Medan jalan terus menurun hingga akhirnya pemandangan kembali terbuka. Di sisi kanan kami mulai terlihat Talaga Ciukur yang kami cari. Tidak ada lahan untuk menyimpan motor, jadi kami benar-benar berhenti di pinggi jalan setapak yang lebarnya tidak seberapa ini.
Meskipun terletak tepat di pinggir jalan, tetapi kami tidak menemukan jalan setapak untuk mendekat ke arah danau. Saya pun turun untuk mengecek jalur masuk, sementara Mitra melanjutkan jalan yang mengarah ke atas bukit siapa tahu ada spot untuk melihat Talaga Ciukur dari tempat yang lebih tinggi. Saya pun segera menepi ke sebuah celah sempit yang ternyata merupakan jalan kecil menuju pinggir danau. Tetapi jalannya terputus dan tidak tersambung dengan jalan setapak di sisi seberang Talaga Ciukur.
Kami tiba di Talaga Ciukur tepat pukul 12.30 WIB dan matahari cukup terik. Saya pun mengambil beberapa foto dari spot yang sangat terbatas ini. Talaga Ciukur merupakan danau yang berukuran cukup kecil dan mungkin pemanfaatannya hanya sebatas untuk pengairan lahan kebun teh dan area memancing warga setempat. Terlihat beberapa warga sedang memancing di seberang kami.
Kami pun kembali ke jalan setapak dan mengambil foto Talaga Ciukur dari sisi jalan. Ternyata, jalan setapak menuju lokasi memancing warga berada di sisi seberang kami. Karena sudah terlalu siang dan tidak banyak spot yang bisa dieksplore, kami pun melanjutkan perjalanan ke Talaga Warna. Lokasi Talaga Warna tidak terlalu jauh dan hanya tinggal meneruskan jalur yang kami lalui ke arah Sukabumi. Kami memutuskan untuk beristiahat sambal ganjal perut dulu di warung di persimpangan Jalan Danau Ciukur. Ternyata warungnya penuh dan hanya warung tersebut yang buka. Akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Talaga Warna.
Kondisi jalan masih tetap aspal rusak dan berlubang dan di kiri serta kanan kami kali ini makin didominasi oleh lahan perkebunan dan area hutan produksi. Jalan cukup berdebu dan arus lalu lintas sedikit lebih ramai. Jalan pun menjadi cukup lebar. Jarak yang tertulis di Gmaps adalah 4,5 Km dari persimpangan Talaga Ciukur menuju persimpangan jalan masuk ke Talaga Warna. Hanya saja dengan kondisi jalan yang buruk, 4,5 Km harus ditempuh dengan waktu yang cukup lama.
Setelah melewati pinggiran bukit, kami melihat jalan kecil di sisi kiri kami. Kami pun belok ke jalan kecil tadi karena kami yakin ini adalah jalan menuju Talaga Warna. Kondisi jalan berubah menjadi makadam dan menjadi sangat sempit. Di kanan dan kiri kami kini merupakan hutan yang cukup rapat. Kondisi jalan sangat sepi. Sempat ragu kami mengambil jalur yang benar. Setelah terus mengikuti jalan yang makin lama batuannya semakin menghilang dan tertutup rumput, kami melihat Talaga Warna yang kami cari di sisi kiri kami.
Kami mencari jalan setapak untuk mendekat ke arah danau, tapi tidak ketemu. Selain itu, posisi jalan yang sedang kami lalui saat ini lebih tinggi dari permukaan danau. Kami pun terpaksa menyusuri jalan mencari celah untuk turun ke danau. Semakin ke dalam hutan, kondisi jalan semakin buruk. Jalur makadam kini berubah menjadi genangan lumpur. Kami sempat memutuskan untuk balik arah karena jalan di depan kami berubah menjadi genangan lumpur. Tetapi, di tepi danau di seberang kami terlihat seperti sebuah shelter atau gapura. Kami yakin itu adalah jalan masuk menuju danau. Jadi, kam tidak jadi balik arah.
Saya pun sempat turun dan jalan kaki dulu untuk mengecek kondisi jalan di depan. Ternyata genangan lumpurnya tidak terlalu panjang dan di depan kami jalan kembali menjadi makadam. Setelah cukup susah payah, akhirnya kami pun menyusuri jalan makadam yang licin karena lumpur dan rumput liar. Jalan yang kami lalui berujung di persimpangan. Jalan di depan kami jauh lebih lebar meskipun masih jalan makadam. Saya pun menyuruh Mitra mengambil jalur ke kiri. Benar saja, kami tiba di sebuah shelter.
Beberapa minggu lalu, saya memang sempat menanyakan jalur ke Talaga Warna pada satu teman saya yang pernah mengunjungi Talaga Warna. Saya diberi foto shelter yang merupakan Patokan jalan masuk menuju danau. Shelter tempat kami berhenti saat ini merupakan shelter yang sama dengan yang di foto milik teman saya. Setelah memarkirkan motor dan menyimpan barang-barang yang tidak akan dibawa di bagasi motor, kami pun menuruni jalan setapak tepat di samping shelter.
Jalan setapak tidak terlalu panjang, mungkin hanya 100 m kami sudah sampai di pinggir danau. Akhirnya kami berhasil sampai di tujuan kedua sekaligus tujuan terakhir kami di perjalanan hari ini. Kami tidak dapat mengelilingi Talaga Warna karena belum ada jalan setapak yang mengelilingi danau. Mungkkin sebenarnya ada, hanya saja harus masuk ke dalam hutan. Sekeliling Talaga Warna merupakan hutan lebat yang sangat tertutup. Banyak pepohonan besar dan tua, serta tidak jarang ditemukan lumut di batang-batang pohonnya. Selain kami berdua, hanya ada setidaknya lima warga yang smemancing di sisi lain danau.
Kami menghabiskan waktu cukup lama di sisi danau ini. Talaga Warna merupakan danau yang cukup luas, bahkan jauh lebih luas dari Talaga Ciukur. Asal usul penamaan danau ini sebagai Talaga Warna belum berhasil saya temukan referensinya. Air danaunya pun tidak seperti Talaga Warna Dieng ataupun Cianjur. Airnya jauh lebih jernih dibandingkan Talaga Ciukur yang berair cokelat. Perukaan danau yang cukup tenang dan langit biru tepat diatas kami cukup sempurna untuk mengambil foto refleksi.
Terdapat bangunan dari beton tepat di depan tempat kami berdiri. Bangunan beton tersebut cukup luas. Mungkin dimaksudkan sebagai teras bagi pengunjung. Namun, sayangnya, karena terbengkalai dan sepinya tepat ini, bangunan beton tersebut malah terendam air danau. Setelah agak lama kami mengambil foto di spot ini, kami memutuskan untuk mendatangi lokasi warga yang sedang memancing, di sisi lain danau. Kami harus kembali ke shelter dan melanjutkan perjalanan menuju sisi lain danau dengan menggunakan motor.
Tidak terlalu jauh dari shelter, kami menemukan jalan setapak yang mengarah ke hutan, tepat di batas antara hutan dengan area kebun teh. Kami pun memarkirkan motor tepat setelah jalan setapak. Sebenarnya motor bisa saja dibawa ke atas, namun kondisi jalannya cukup licin dan tanjakannya curam. Sekilas saya melihat papan himbauan tertancap di pohon. Isi papan tersebut menyebutkan dilarang berburu hewan apapun dan memancing di kawasan hutan lindung Talagawarna. Tapi, kalau dilarang memancing, nyatanya masih ada juga warga yang memancing.
Saya pun ragu, apakah Talaga Warna ini termasuk ke dalam kawsan cagar alam atau tidak. Karena di peraturan tertulis Kabupaten Sukabumi yang saya baca, Talaga Warna termasuk ke dalam kawasan wisata danau dan tidak disebutkan adanya Cagar Alam Talagawarna. Tapi saya memang belum mengecek peraturan milik perhutani. Karena kemungkinan besar, area hutan di sekitar Talaga Warna merupakan lahan Perhutani.
Setelah tanjakan habis, kami mengambil jalan di kiri kami yang menurun ke danau, sementara jika diteruskan, jalan setapak akan masuk ke dalam kawasan hutan lindung. Area di sisi danau ini pun sempit. Kami tidak terlalu lama disini. Kami tidak lupa menanyakan jalur pulang selain jalur yang datang yang kami lalui. Rasanya malas juga harus melewati jalur lumpur lagi. Ternyata, jalur utamanya yaitu terus mengikuti jalan makadam, dan tidak belok ke jalan kecil tempat kami datang di shelter.
Pukul 13.23 WIB kami pun pulang melewati jalan yang dimaksud warga. Ternyata jalur kami keluar dekat dengan pusat Kecamatan Nyalindung. Dari jalan raya ini, kami bertemu dengan persimpangan yang ke arah Sukanagara dengan yang ke arah Sukabumi kota. Jarak dari persimpangan ini ke Sukanagara sekitar 70 Km. Kami pun mengambil jalan menuju Sukanagara. Medan jalan langsung didominasi tanjakan panjang sampai tiba di gapura perbatasan Kabupaten Sukabumi dengan Kabupaten Cianjur. Sepanjang jalan, pemandangan merupakan lahan sawah dan hutan.
Setelah melewati gapura, medan kembali datar. Kondisi jalan merupakan aspal rusak dan banyak terdapat lubang besar dan dalam. Kami memutuskan untuk jalan nonstop sampai ke pusat Kecamatan Takokak. Perjalanan kami cukup panjang, ditambah dengan kondisi jalan yang buruk. Kami memacu motor sedikit lebih cepat, sampai-sampai di jalan makadam beberapa kali motor mengantam batu. Kami tiba di Pasawahan, Takokak setelah 46 menit perjalanan, yaitu tepat pukul 14.10 WIB.
Kami berhenti untuk makan siang di warung ramen. Berhubung sedang malas makan nasi, kami pun memesan Mie Ayam. Cuaca cukup cerah, matahari pun cukup terik sampai membuat kami sedikit kehabisan tenaga dan mengantuk. Pukul 15.00 WIB kami pun melanjutkan perjalanan pulang. Perjalanan pulang terasa sedikit lebih cepat. Kami sudah hampir sampai di persimpangan warung terakhir. Kami berhenti sebentar di tugu makam pahlawan Takokak.
Kami baru berhenti ketika sampai di area kebun teh tempat kami sempat panik karena melewati belokan yang ditandai Gmaps. Kami tiba sekitar pukul 16.00 WIB. Ternyata, jika sore, sebagian areanya, terutama yang berada di Barat menjadi backlight jika difoto. Jadi, waktu yang pas untuk mengambil foto landscape di jalur ini adalah pagi hingga siang. Meskipun demikian, view ke arah Timur lebih bagus karena sinar matahari datang dari arah Barat.
Kami tidak teralu lama berhenti dan segera melanjutkan perjalanan. Kali ini jalur kami melewati area kabel-kabel telepon yang melintang dan tiang telepon yang tumbang. Setiba di permukiman, tidak sengaja saya melihat papan penunjuk arah menuju Curug Faskut. Kami pun spontan berhenti. Ternyata, Curug Faskut ini adalah air terjun yang kami lihat pagi tadi dari pinggir jalan ketika kami datang. Setelah memarkirkan motor, kami pun menuruni jalan setapak yang sudah dibuatkan tangga menuju aliran irigasi.
Setelah melewati aliran irigasi, jalan setapak terus menurun hingga aliran sungai. Tangganya cukup banyak dan jarak antar anak tangganya cukup berjauhan. Medannya cukup curam dan akan licin ketika hujan. Untungnya warga sudah membuat tangga-tangga agar lebih mudah. Curug Faskut baru dibuka untuk wisata oleh warga setempat akhir tahun lalu, atau sekitar satu bulan kebelakang. Tidak heran jika area di sekitar air terjun masih belum tertata sempurna dan masih terkesan banyak sampah berserakan.
Kami juga tidak berlama-lama di Curug Faskut. Selain karena perjalanan pulang kami masih panjang, langit pun mulai gelap. Ketika sedang treking naik, bahkan sudah gerimis. Kami memerlukan waktu sekitar sepuluh menit untuk sampai lagi di parkiran. Medan dari Curug Faskut hingga parkiran terus menanjak, tidak ada yang datarnya. Kami membayar 8.000 Rupiah. Per orang dikenakan tarif 3.000 Rupiah, sisanya untuk parkir motor. Kami melanjutkan pulang pukul 16.45 WIB. Target kami adalah tiba secepatnya di SPBU Sukanagara.
Kami tiba di SPBU Sukanagara pukul 17.30. Langit di atas kami sudah sangat mendung. Bahkan, arah pulang kami mungkin sudah turun hujan. Untuk perjalanan pulang, kami memilih rute Sukanagara – Gununghalu – Cililin. Baru juga kami masuk ke jalur Sukanagara – Campakawarna, hujan deras turun. Kami menepi sebentar untuk memakai jas hujan. Mau tidak mau kami harus tetap jalan agar tidak melintas di jalur ini malam hari.
Hujan deras sama sekali tidak berhenti. Kami harus pelan-pelan ketika jalannya menurun dan ketika menemui genangan air. Dikhawatirkan genangannya cukup dalam dan berbatu. Medan jalan terus menurun sampai tiba di jembatan perbatasan antara Kabupaten Cianjur dengan Kabupaten Bandung Barat. Kondisi jalan dari Campakawarna hingga jembatan perbatasan sudah cukup baik. Berbeda ketika Juni 2016 lalu saya lewat sini.
Setelah jembatan perbatasan, medan jalan akan terus menanjak. Ternyata kondisi jalan yang Juni lalu saya lewati masih dalam keadaan baik, kali ini sudah mulai terkelupas aspalnya. Bahkan sebagian jalan sudah berlubang cukup dalam. Kondisi jalan yang terus menanjak dan air yang menggenangi jalan bahkan mengalir turun karena tidak terserap hutan cukup menyulitkan kami. Hujan baru reda setelah kami tiba di hutan pinus perbatasan Desa Cilangari dengan Desa Bunijaya, Kecamatan Gununghalu. Di tengah hutan pinus, kami papasan dengan mobil pick up yang tidak kuat menanjak dan akhirnya selip.
Kami memutuhkan waktu satu jam untuk sampai di Desa Bunijaya dari Sukanagara. Langit ke arah Cililin jauh lebih gelap dibandingkan di Gununghalu, artinya, kami masih harus jalan sambil hujan-hujanan lagi. Kami terus jalan nonstop di tengah guyuran hujan yang jauh lebih deras dari sebelumnya. Untungnya, kondisi jalan sepanjang Gununghalu hingga Cililin masih sangat baik dan jalannya kosong. Kami bisa lebih cepat memacu motor. Kami sempat terkena patahan jalan dan hampir terjatuh dari motor.
Kami tiba di Cililin sekitar pukul 19.00 WIB (satu jam dari Desa Bunijaya) dan hujan sudah reda. Kami kembali berhenti di SPBU untuk beristirahat. Badan rasanya sudah remuk karena seharian melintas di jalan rusak dan makadam. Ditambah lagi baju yang basah karena hujan yang sangat deras. Jas hujan dan jaket sudah tidak bisa lagi menahan air hujan. Sekitar pukul 19.30 WIB kami melanjutkan perjalanan.
Jalur yang kami ambil dari Cililin adalah melalui Curug Jompong, Nanjung, Margaasih dan Cijerah. Ternyata, di Cililin belum turun hujan. Jalan sepanjang Cililin hingga Bandung kering. Sayangnya, ketika di Cijerah kami salah belok dan akhirnya malah menuju arah Cigondewah. Putar balik. Kondisi jalan sepanjang Curug Jompong sampai Cijerah cukup ramai, sehingga perjalanan pulang terasa semakin lama. Saya tiba kembali di rumah tepat pukul 21.00 WIB. Total perjalanan pulang dari Sukanagara nonstop sampai Bandung adalah empat jam tanpa macet.