Part 2: Ciemas, Never Ending Adventure
11-12 MEI 2013
Rencana touring harus tertunda, tapi pada akhirnya saya tetap kembali ke Ciemas sesuai rencana semula tapi hanya berempat dan kembali menggunakan mobil jenis mini bus. Teman saya yang 2 minggu sebelumnya pergi bareng untuk survey jalur ikut lagi. Setidaknya sedikit tenang karena kalau lupa jalur, ada teman saya. Perjalanan sedikit terlambat, kami baru tiba di Desa Cimas sekitar puku 15.30, lebih lama 1 jam dari sebelumnya. Kami berhenti di tempat yang sama dengan 2 minggu yang lalu. Sayangnya, kali ini cuaca kurang bersahabat. Tidak ada sinar matahari sore, yang ada hanyalah gumpalan awan hujan yang sudah menghitam dan angin yang cukup kencang. Benar saja, tidak lama, gerimis pun turun tapi kami masih betah berlindung di saung kecil. Ketika kami akan meneruskan perjalanan, anak-anak kecil yang sedari tadi di saung kecil ini berteriak di bawah ada kecelakaan dan mereka bergegas ke bawah. Tepat setelah mereka pergi, hujan deras turun. Kami yang meneruskan perjalanan pun memang harus melewati lokasi kecelakaan di tikungan dengan jalan yang sempit, jarak pandang terbatas. Kedua pengendara motor sudah masuk ke dalam mobil, sementara sebagian penumpang mobil masih membereskan bagian motor yang lepas dari tempat seharusnya yang kondisinya juga tidak jauh lebih baik, tepat di bagian depan mobil, tersangkut sebagian. Inilah salah satu rawannya jalur ini, tidak ada penerangan, jalan yang sempit, tikungan yang tajam, dan jika malam akan diperparah dengan tidak adanya penerangan serta truk pengangkut kayu yang kebanyakan ngebut.
Tujuan kami kali ini selain ke beberapa spot yang sudah pernah didatangi seperti Bukit Panenjoan, Pantai Palangpang, dan Curug Cimarinjung, kami pun ingin mencoba ke Curug Cikanteh, Pulau Mandra, Pantai Cikepuh, dan Puncak Darma. Kami tiba dan menepi sebentar di Bukit Panenjoan yang kali ini tidak se-‘ramah’ 2 minggu yang lalu. Tidak ada sinar matahari dan gumpalan awan, hanya langit yang berwarna abu-abu dan angin yang cukup kencang serta biasan sinar matahari yang tertutup awan kelabu. Kami pun turun menuju Desa Ciwaru. Diperlukan waktu 2 jam bagi kami untuk sampai tiba di Desa Ciwaru. Siapa sangka, jalur sepanjang Desa Tamanjaya menuju Desa Ciwaru jauh lebih sulit dan lebih rusak dibandingkan satu tahun yang lalu. Tidak jarang mobil kami harus masuk lubang yang cukup dalam, menghindari genangan air yang cukup tinggi, menemui tanjakan dan turunan yang terjal dan panjang dengan kondisi jalan yang berlubang dalam di sana-sini, bahkan ada juga jalan yang bolong, longsor, dan amblas. Tidak lupa gerimis yang turun semenjak kami di perkebunan kelapa tidak kunjung berhenti. Setelah lolos turun dari bukit, kami kini berada di dataran yang lebih rendah dari Bukit Panenjoan. Rintangan kami berikutnya adalah banjir di beberapa titik dengan jalan yang masih sama rusaknya dari sebelumnya. Memang, di beberapa titik di tempat yang ada permukiman warganya, ada tumpukan material untuk perbaikan jalan, sayang, kami datang sebelum jalannya diperbaiki.Gerimis mulai berhenti seiring dengan matahri yang sudah mulai menghilang di horiozon dan menyisakan biasan cahayanya di langit. Rintangan kami masih belum habis. Jembatan satu-satunya penghubung ke pesisir Desa Ciwaru yang satu tahun yang lalu kondisinya masih lumayan baik, kali ini nyaris membuat mobil kami terperosok ke dalam sungai.
Begitu kami naik ke jembatan, spontan teman yang nyetir rem mendadak. Setelah dilihat, kondisi jembatan sama sekali tidak layak untuk dilewati, apalagi mobil. Kayu yang biasa digunakan sebagai jalur pun sebagian berganti jadi pelepah kayu yang lebih labil. Bergeser sedikit saja, ban mobil akan menggantung di jembatan. Kami putuskan untuk balik arah menuju Indomart tepat ketika sekeliling mulai gelap gulita dan tidak ada yang lewat lagi. Plan B pun muncul, yaitu bermalam di area menuju Curug Cikanteh. Ketika kami mengarahkan kendaraan kami ke jalur menuju Curug Cikanteh, lagi-lagi kami terhenti. Malam datang, dan jalan di depan kami tiba-tiba terputus. Untungnya ada beberapa warga yang sedang berkumpul di pos siskamling. Singkat cerita ada warga yang berbaik hati menawarkan kami untuk bermalam di rumahnya. Siapa sangka warga yang menawarkan kami tempat ini adalah seorang yang bekerja sebagai supir pegawai pemerintah di Kota Sukabumi dan tau banyak tentang Ciemas. Informasi pun melimpah, akhirnya saya bisa sedikit ‘kenal’ tentang seluk beluk Kecamatan Ciemas. Posisi tempat-tempat yang selama ini saya cari hingga medan dan lama perjalannya.
Beruntung kami bermalam di rumah warga, keesokannya kami diantar dua orang warga lokal menuju Curug Cikanteh yang ternyata tidak seperti yang saya bayangkan. Dalam pikiran saya, untuk menuju Curug Cikanteh sama seperti menuju Curug Cimarinjung. Ternyata sebelum tiba di Curug Cikanteh, kami harus berjalan sekitar 15 menit hingga tiba di hadapan tiga buah air terjun cantik dari tebing yang sangat tinggi, bagian dari dinding amphiteater. Curug Ngelai, Curug Ciateul, dan Curug Sodong namanya. Menuju Curug Cikanteh masih harus menyusuri jalan setapak melipir jurang dan melawan arus sungai, serta sedikit memanjat bongkahan batu yang cukup licin karena lumut. Suasana sekitar Curug Sodong waktu itu tidak segersang seperti sekarang. Tepat di hadapan Curug Sodong masih penuh semak belukar, bahkan ada satu pohon yang cukup rimbun yang sekarang sudah menghilang. Semak belukar pun sudah berganti paving block. 1 jam lamanya kami berjalan dengan susah payah menuju Curug Cikanteh dan akhirnya tidak percaya akhirnya bisa sampai di Curug Cikanteh yang kala itu hanya bisa saya lihat melalui foto dari Pak Petrus dan Kang Dedi dengan jumlah yang hanya 1-2. Dalam perjalanan kali ini pula akhirnya tau lokasi masuk Curug Cimarinjung yang gagal saya dan teman-teman temukan setahun yang lalu. Sayang, kami kali ini belum diperkenankan mendekati Curug Cimarinjung. Volume airnya yang sangat besar dan lumpur yang cukup tebal tidak memungkinkan bagi kami untuk mendekat.
Perjalanan lagi-lagi terhambat di jembatan yang kemarin hampir membuat ban mobil kami terperosok. Siapa sangka, kali ini kayu yang sudah kami susun tepat sebelum menuju Curug Cimarinjung sudah berubah lagi menjadi pelepah kayu dan tidak beraturan. Yang kami takutkan pun terjadi. Pelepah kayu sedikit bergeser dan membuat sedikit lubang dan ban mobil masuk ke lubang kecil tadi. Untungnya teman saya ini cukup handal, dan mobil pun lolos. Perjalanan kami di Ciemas kali ini, meskipun lagi-lagi gagal ke beberapa tempat yang jadi list, tapi setidaknya kami memiliki cukup banyak informasi yang berasal langsung dari warga yang cukup mengenal Ciemas keseluruhan. Pak Roy, beliaulah yang berbaik hati menyarankan kami menginap di rumahnya dan rumah anaknya sekaligus sosok pertama yang kami temui yang kenal betul seluk beluk Ciemas dan cerita-ceritanya tentang Ciemas di masa lalu. Pertemuan kali ini merupakan pertemuan pertama dan terakhir dengan beliau. Karena pada kunjungan saya pada pertengahan November 2013, beliau sudah beristirahat dengan tenang.
16-17 NOVEMBER 2013
Perajalanan ke Ciemas kali ini mungkin jadi yang terbanyak pesertanya. Setelah tertunda-tunda, akhirnya jadi juga ke Ciemas dengan touring. Rombongan kebagi jadi 2, rombongan Jakarta dan Bandung. Niat sih berangkat subuh jam 3 dari Bandung berhubung rombongan Jakarta jam 3 udah sampe Cibadak, tapi apa daya, tetep aja baru bisa keluar dari Bandung jam 06.00 yah sedikit telat deh. Dengan kondisi jalan Sukalarang-Sukaraja yang lagi di berton, jadi perjalanan sedikit terhambat. Untung kami sampai pas jalanan belum ramai. Hambatan sepanjang perjalanan hanya satu, rombongan kepisah-pisah dan ada beberapa persimpangan jalan sepanjang jalur keluar dari Kota Sukabumi, salah persepsi lokasi meeting point dan akhirnya setelah semua masuk ke jalur yang hanya tinggal satu, rombongan pun istirahat. Kali ini berhubung rombongan cukup banyak, kami istirahat di Jalan Raya Cihaur sebelum masuk Kecamatan Kiaradua. Sembari sarapan, istirahat, ada yang tidur dulu, ada juga yang harus tambal ban karena bannya bocor. Saking sejuknya dan capeknya, kami pun kebablasan istirahat di sini. Rencana hanya berhenti 1 jam, malah jadi 3 jam. Akhirnya jam 13.00 kami jalan lagi.
Cuaca kali ini cukup mendung, berhubung sedang parah-parahnya musim hujan. Lokasi kami berhenti kali ini bukan perbukitan di Desa Ciemas, tapi di sekitaran kincir angin untuk cari spot dengan view Teluk Ciletuh. Perjalanan sedikit lebih lama karena jumlah rombongan yang cukup banyak dan jalan yang semakin rusak selama musim hujan. Ternyata di sekitaran kincir angin ini kami belum beruntung nemuin lokasi yang pas untuk bisa liat Teluk Ciletuh, kami pun menuju tempat berhenti berikutnya, Bukit Panenjoan yang hanya memiliki waktu tempuh sekitar 10 menit. Kami tiba tepat pukul 15.30 di Bukit Panenjoan, ga terlalu jauh dari waktu-waktu sebelumnya. Sayangnya, kami disini ga bisa lama-lama, sambaran kilat dan suara gemuruhnya yang sangat menyeramkan dan tiba-tiba membuyarkan keseruan kami berfoto. Ga lama setelah petir tadi, hujan mulai turun dan kami pun mulai bersiap meneruskan perjalanan ke Desa Ciwaru. Perjalanan selama 2 jam menuju Desa Ciwaru di tengah hujan seperti ini memang sedikit merepotkan, tapi setidaknya lebih mending dibandingkan kalau pakai mobil. Di beberapa titik yang ada tumpukan material yang kami lihat pada Mei lalu sudah menghilang, digantikan dengan kondisi jalan yang sedikit lebih baik. Di beberapa lokasi yang sebelumnya tergenang air dan cukup dalam karena permukaan jalannya yang sedikit lebih rendah, kini permukaan jalannya sudah rata. Motor teman kami jadi korban genangan air, beberapa kali ada yang konslet. Begitu kami tiba di Desa Ciwaru, hujan pun ikut berhenti, tepat pukul 17.30.
Setelah mampir di Indomart, kami menuju rumah warga yang saya kunjungi Mei lalu. Dan kami kurang beruntung, karena ternyata rumah tersebut sedang dipakai oleh saudaranya Alm. Pak Roy soalnya rumah mereka lagi di renovasi. Berhubung jumlah yang cukup banyak dan ga ada prepare untuk sewa penginapan, kami pun akhirnya menempati rumah yang lagi di renovasi, kondisinya kosong, jadi kami semua menggelar matras dan lainnya sebagai alas tidur. Yang lebih parah lagi, setelah belasan jam di motor, cape, ngantuk, basah kuyup, dan lapar, listrik di seluruh Desa Ciwaru mati sedari siang. Artinya kami harus rela mencari tumpangan kamar mandi di rumah yang punya cadangan air. Berhubung jumlah kami lumayan banyak, sekitar 13 orang dan kena pemadaman listrik juga jadi ya kondisinya sama ajah kalau sewa penginapan pun. Akhirnya beberapa ada yg numpang mandi di salah satu rumah warga, ada yang hanya ganti baju aja, ada juga yang bersih-bersih pake 2 botol air mineral ukuran 1,5 ml. Tidur pun sedikit ga nyenyak meskipun udah cape maksimal karena cukup dingin tidur di atas lantai beralas kain, matras, dan seadanya ditambah nyamuknya yang super ganas. Ini adalah perjalanan dengan kondisi Desa Ciwaru yang terburuk. Meskipun ada beberapa hambatan di hari pertama kami, tapi di hari ke-2 kami, perjalanan cukup lancar meskipun kami kembali diguyur hujan cukup deras. Siapa sangka di puncak musim hujan dan di bawah guyuran hujan cukup deras, kami malah bisa bermain lebih dekat dengan Curug Cimarinjung dan airnya sedikit lebih jernih dibandingkan kunjungan terakhir saya Mei lalu. Perjalanan pulang selama 12 jam yang cukup melelahkan rasanya cukup sepadan dengan pengalaman kami dua hari ini.
29-31 MARET 2014
Dua tahun berselang semenjak kedatangan pertama saya ke sini. Kali ini sudah mulai banyak yang mengetahui Ciemas, meskipun lebih dikenal dengan nama Ciletuh. Ciletuh merupakan nama teluk yang berada tepat di depan Pantai Palangpang, nama formasi batuan tertua di Jawa Barat, dan kabarnya merupakan penamaan wilayah di luar penamaan resmi pemerintah (seperti penamaan wilayah Pajampangan yang sebenarnya meliputi Kecamatan Ciracap, Surade, Jampang Kulon, Waluran Kiaradua, Lengkong). Bahkan beberapa referensi berupa tulisan pribadi, jarang sekali yang menyebut Ciemas. Saya, yang sejak awal lebih kenal dengan Ciemas masih sedikit janggal kalau harus menyebut Ciletuh. Perjalanan kali ini, kami lakukan bertepatan dengan long weekend. Dengan curah hujan yang masih tinggi dan berbekal informasi dari beberapa kunjungan terakhir, tujuan perjalanan kami kali ini kami rubah sedikit. Bila sebelum-sebelumnya yang pasti kami kunjungi adalah Bukit Panenjoan, Curug Sodong, Curug Ciateul, Curug Ngelai, Curug Cikanteh, Pantai Palangpang, dan Curug Cimarinjung, kali ini, kami sedikit nekat menambahkan Desa Girimukti dan Puncak Darma.
Seperti biasa kami baru benar-benar bisa keluar Bandung sekitar jam 06.00. Kali ini cuaca cukup mendukung sampai di tempat biasa kami istirahat makan di Cihaur. Sekitar pukul 13.00 kami tiba di Desa Ciemas, tepatnya pertigaan menuju Desa Girimukti. Sesuai dugaan sebelumnya, memang ada papan penunjuk arah menuju kantor Desa Girimukti sekitar 7 Km. Untuk yang kurang ngeh, mungkin papan ini akan sedikit sulit ditemukan, itu pun bila belum diganti dengan papan penunjuk arah yang standar dan layak. Jalan mulus langsung berganti dengan batu. Awalnya kami sedikit melipir bukit, lalu ga lama, pemandangan di sisi kanan berubah jadi hamparan rumput dengan latar belakang perbukitan dan laut di kejauhan. Matahari masih menampakkan sinarnya. Tepat di satu titik, kami menyempatkan untuk berhenti dan mengabadikan moment. Lokasi kami berhenti berada di tengah hamparan lapangan dengan ilalang tinggi yang cukup luas sejauh mata memandang. Ketika awan mulai menghitam, kami segera jalan menuju Desa Girimukti. Lagi-lagi kami harus berjalan di tengah hujan. Semakin jauh kami menuju Desa Girimukti, jalan yang kami lalui semakin rusak, tanah berganti batu, berganti tanah, berganti batu lagi dengan medan kadang menanjak kadang menurun. Ada satu jalur yang harus kami lalui merupakan tanjakan panjang dan limpasan air sudah mulai mengalir turun. Dengan kata lain motor kami harus menanjak di melewati jalan berbatu yang cukup parah ditambah dengan melawan arus air. Hujan tidak menunjukkan tanda-tanda mereda bahkan berhenti.
Ketika tiba di pertigaan, karena jalan manapun, kondisinya sama-sama tidak ada yang lebih baik. Kami pun memilih berteduh di warung tepat di pengkolan. Di sinilah kami berbincang singkat dengan beberapa warga yang sudah cukup berumur dan cukup mengenal wilayah Ciemas. Mulai dari Puncak Darma yang ternyata merupakan nama pemberian, bukan nama dari warga setempat,bagaimana rusaknya hutan di Suaka Margasatwa Cikepuh, keindahan Pulau Kunti, Pulau Mandra, sampai sulitnya jalur darat di daerah Batununggul. Bahkan, salah satu dari bapak ini dengan senang hati mengantar kami ke sebuah air terjun yang kalau tidak salah denger bernama “Curug Larangan” di Kampung Cisaar, Desa Girimukti dengan lama perjalanan setengah hari. Ketika hujan sedikit mereda pukul 15.00 informasi dari bapak ini pun sudah cukup banyak kami kantongi. Menurut bapak ini, perjalanan kami ke Puncak Darma masih jauh dan jalan yang lebih sulit di depan sudah menanti. Benar saja, kami sempat ragu pada beberapa persimpangan sehingga harus bertanya dan memutar arah di tengah jalan makadam berlumpur yang sangat licin sehabis hujan deras siang tadi. Bahkan, motor saya pun sempat jatuh karena licin dan menabrak tebing. Kaca spion pun menjadi korban. Perjalanan kami tidak pernah menjadi lebih mudah, bahkan tepat ketika hampir tiba di lokasi Puncak Darma, kami dihadapkan dengan beberapa percabangan jalan di tengah kebun, tidak ada yang bisa ditanya. Kami langsung bertanya arah yang benar ketika bertemu warga. Yang kami tanyakan kali ini adalah Kp. Neglasari berhubung nama Puncak Darma memang kurang familiar di sini.Kami berhasil sampai di Neglasari tepat pukul 17.30. Medan yang sangat sulit yang kami lalui sekitar 3 jam lebih ini memberikan kami bonus pemandangannya berupa tebing-tebing pegunungan dan sesekali terlihat air terjun di bawah sinar matahari sore yang muncul kembai setelah hujan deras, dan tidak lupa, karena posisi kami yang berada di dataran yang cukup tinggi, pemandangan yang bisa kami dapat adalah Teluk Ciletuh di bawah sana.
Rencana awal adalah mencoba turun dari Puncak Darma ke Curug Cimarinjung, tetapi karena keadaan sangat tidak memungkinkan, kami akhirnya kembali lagi ke jalan awal dan masuk ke rute biasa ke Ciemas, yaitu melalui Pasirangin – Desa Mekarjaya – Desa Tamanjaya – Desa Ciwaru. Kondisi jalan sepanjang kantor Desa Girimukti sampai ke Kp. Neglasari benar-benar sangat parah. Saya, yang memutuskan untuk sedikit trekking pun sedikit kesulitan untuk berjalan bahkan berdiri saking licinnya permukaan jalan. Perjalanan pulang kami pun tidak jauh berbeda dengan perjalanan kami ke sini. Ada tanjakan yang cukup parah dan motor harus sangat hati-hati, bahkan ada satu motor yang jatuh dan sedikit susah nyala. Kami pun sedikit kesulitan ketika di tanjakan panjang dekat pertigaan masuk dari Desa Ciemas ke Desa Girimukti. Lumpur dan air yang tadi siang tidak ada, kini sedikit tebal dan kami harus sedikit menanjak. Kondisi sepanjang jalan sangat gelap gulita. Yang kami khawatirkan kalau motor ada sedikit masalah, karena permukiman lumayan jauh dan aga susah juga cari bengkel yang masih buka di daerah sini. Satu motor lainnya mati dekat jalur menuju pertigaan. Jalur ini jalur paling sepi dan paling gelap. Kami kembali ke jalur Pasirangin – Desa Mekarjaya sekitar pukul 22.00. Masuk permukiman di Sanggarawa, motor saya yang giliran kena masalah. Ban belakang bocor dan langsung kempes. Untungnya masih ada bengkel yang buka. Lumayan lama kami diam di sini, mungkin ada sekitar 1 jam. Kondisi fisik udah cape, ngantuk, lapar, badan mulai dingin setelah dihantam hujan sepanjang siang sampai malam, nagntuk juga. Bapak yang punya bengkel cerita, sebenernya daerah sekitar sini cukup rawan kalau malam hari, untngnya kami banyakan. Pukul 23.00 kami jalan lagi langsung menuju Desa Ciwaru. Kami akhirnya sampai di rumah Ibu Rika, rumah yang sama seperti yang didatangi November lalu sekitar jam 01.30.
Berhubung long weekend dan kami punya waktu yang lebih banyak dari sebelumnya, besoknya kami baru siap jalan sekitar jam 11.00. Tempat yang pertama kami datangi yaitu Curug Sodong. Kali ini kami turun sampai ke bawah, bahkan sampai masuk ke cekungan kecil dan menikmati Curug Sodong dari sisi dalam air terjun. Setelah puas di Curug Sodong, ada yang meneruskan ke Curug Cikanteh, ada jg yang menunggu dan main air di sungai. Tujuan berikutnya yaitu Curug Cimarinjung. Kami baru tiba di sini sekitar pukul 16.00 dan kali ini sedikit sulit untuk bisa mendekati Curug Cimarinjung, tidak seperti pada November lalu. Kami kembali ke rumah Ibu Rika sebelum Magrib. Kunjugan kami ke Ciemas kali ini bisa dibilang cukup santai, meskipun di hari pertama kami kewalahan di jalur Desa Girimukti. Rencana mengunjungi beberapa tempat di jalur Desa Girimukit – Desa Ciwaru via Jalan Cimuncang 2 pun kembali ditunda. Kunjungan ke arah Cikepuh dan Sodongparat pun ikut tertunda. Mungkin di 2015 ini, ketika kembali ke sana kondisinya sudah sedikit lebih baik.
Dari sekian kali ke Ciemas, semakin hari semakin pesat informasi dan promosi yang berkembang, terutama setelah beberapa rangkaian dari kegiatan pembentukan Geopark Ciletuh yang mulai dirintis dari 2013 hingga sekarang. Salah satunya adalah pemilihan beberapa spot yang diajdikan icon serta penyuluhan ke berbagai pihak terkait. Jika sekarang berkunjung ke Ciemas, akan terlihat cukup banyak perubahan. Seperti lahan di depan Curug Sodong yang sudah di paving block dan mungkin jalan menuju Curug Sodong yang dulu masih batu koral sekarang sudah bisa dilalui, pemberian papan bertuliskan ‘Geopark Ciletuh’ di Pantai Palangpang. Curug Cimarinjung yang kini sudah lebih dikenal orang banyak, Puncak Darma yang perlahan mulai terbuka akses jalannya, Bukit Panenjoan yang semakin dibenahi, pemberian papan penunjuk arah menuju Curug Awang, Curug Tengah, dan Curug Puncak Manik yang pada kunjungan kami Mei 2013 masih belum ada. Namun, ada juga hal-hal yang cukup disayangkan, seperti menghilangnya bongkahan-bongkahan batu di sepanjang perkebunan kelapa setelah Bukit Panenjoan, lahan-lahan kosong yang issunya mulai jadi rebutan oleh warga sekitar bahkan juragan tanah dari luar, mulai muncul ‘tokoh-tokoh’ yang terlibat dll. Yah, konsekuensi dari gencarnya promosi suatu daerah yang paling terlihat adalah kondisi sosial masyarakatnya. Yang pada awalnya tidak terlalu dipedulikan, setelah ada intevensi dari luar, barulah muncul gerakan-gerakan. Sayangnya, pengendalian dan pengawasan dari pihak luar yang pertama kali memberi pemicu masih sedikit kurang maksimal.
Semoga semakin ke depan, Geopark Ciletuh tidak hanya menjadi proyek unggulan pemerintah saja, tapi juga menjadi suatu wadah dan alat agar masyarakat di sekitarnya semakin makmur dari segi materi (ekonomi), sosial, dan budayanya. Sama seperti harapan Alm. Pak Roy yang ingin agar Ciemas dapat dikenal oleh orang banyak dan bisa menjadi wilayah yang maju namun tetap tidak kehilangan jati diri penduduk dan wilayah itu sendiri.
Catatan tambahan: Baru November 2014 kemarin tau asal nama dari “Puncak Darma”. Nama “Darma” diambil dari perusahaan kontraktor yang pada tahun 2004/2008 (lupa) menjalankan proyek pembukaan jalan di sekitar Girimukti hingga Desa Ciwaru.