AMFITEATER CILETUH: “A GRAVITY COLLAPSE”
Para mahasiswa geologi-geofisika dan para geologist-geophysicist yang pernah ke kampus Karangsambung di utara Kebumen, Jawa Tengah, yang dibangun di kompleks singkapan geologi istimewa di Pulau Jawa, tempat tersingkapnya mélange Luk Ulo, yaitu campuran bancuh (chaotic) batuan dasar Jawa berupa batuan kerak samudera, mantel atas Bumi, sedimen lautdalam, sedimen lereng benua, dan batuan metamorf yang dibentuk di palung subduksi, tentu tahu apa itu “amfiteater” sebab maket amfiteater dibangun di sebelah ruangan serbaguna bernama Mensa Sukendar Asikin di kampus ini. Prof. Dr. Sukendar Asikin (alm.), semasa hidupnya adalah seorang guru dan ahli tektonik yang disegani, adalah pelopor penelitian mélange di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Mengapa ada maket amfitater di kampus Karangsambung, sebab penyingkapan mélange di Karangsambung mengikuti model amfiteater.
Apa amfiteater itu? Amfiteater adalah arena/teater yang dibangun pada masa Romawi Kuno awal abad Masehi, berupa arena di depan yang rendah, dikelilingi secara melingkar penuh atau setengah lingkaran oleh kursi-kursi penonton yang berjenjang makin tinggi ke belakang. Pertandingan para gladiator atau konon para tawanan yang tubuhnya disobek singa-singa lapar, ditonton di amfiteater.
Namun, amfiteater terbaik yang pernah saya saksikan dalam hubungan dengan penyingkapan batuan dasar adalah Amfiteater Ciletuh. Di sini begitu spektakular pemandangannya. Sejak melaut dari Pelabuhanratu menuju Ciletuh menggunakan kapal boat, menuju ke selatan baratdaya, di sebelah kiri (timur-tenggara) akan selalu terlihat kompleks perbukitan-pegunungan volkanik bawahlaut yang kini terangkat sampai ketinggian 1000 mdpl: itulah Plato Jampang yang terkenal itu.
Setelah hampir dua jam melintasi Teluk Pelabuhanratu, dan disambut beberapa pulau dengan singkapan batuan Eosen, maka tibalah kita di Ciletuh. Dan segeralah akan terlihat Amfiteater Ciletuh itu, kita seperti para gladiator di arena, dan saat kita mengarahkan pandangan ke timur, tenggara, selatan, nampaklah perbukitan setinggi 350-450 mdpl melingkari arena Ciletuh setengah lingkaran, seperti kursi-kursi penonton berjenjang makin tinggi ke belakang, mirip balkon, dan di arena Ciletuh ini tersingkaplah batuan yang mirip dengan di Karangsambung: batuan kerak samudera, sedimen laut dalam, mantel atas Bumi, batuan metamorf yang dibentuk di palung subduksi lempeng, dan batuan lereng benua; semuanya dalam bentuk blok-blok yang bancuh, chaotic, mélange. Di atasnya lalu diendapkan batuan breksi polimik yang luar biasa chaotic dengan fragmen beberapa cm sampai sepuluh meter (!). Itulah bagian bawah Formasi Ciletuh, olistostrom.
Kalau kita terbang dan punya pandangan seperti mata elang dan memandang Amfiteater Ciletuh dari arah baratdaya ke sekelilingnya, maka akan segera nampaklah pandangan seperti gambar terlampir. Akan segera nampak kepada kita bahwa Amfiteater Ciletuh terjadi oleh proses tektonik berupa runtuhan. Ia runtuh dari Plato Jampang ke arah Teluk Pelabuhanratu, meninggalkan sesar-sesar terban di sekeliling tepi Plato Jampang, 200-300 meter anjlok. Para penggemar paralayang, biasa melompat dari tepi runtuhan Plato Jampang ini terjun ke arena Ciletuh di depannya. Dan banyaklah sungai-sungai di Plato Jampang juga ikut terjun dari tepi runtuhan Plato Jampang ke dasar arena Ciletuh sebagai air terjun.
Saya menyebut Amfiteater Ciletuh terjadi oleh GRAVITY COLLAPSE, yang bekerja sama dengan regangan ekstensional komponen sesar mendatar sinistral Sesar Pelabuhanratu, yang melintasi Teluk Pelabuhanratu, meneruskan estafetnya dari Sesar Cimandiri, sampai menuju palung subduksi masa kini. Bagaimana detailnya, kapan-kapan saya ceritakan.
Saya mengagumi Ciletuh sejak 27 tahun yang lalu sebagai seorang mahasiswa geologi berumur 23 tahun yang sedang memetakan Ciletuh untuk skripsi S1-nya tentang petrotektonik ofiolit. Dan kini, 27 tahun kemudian, saat umur saya 50 tahun, dan setelah bolak-balik ke Ciletuh dalam sepuluh tahun terakhir ini membawa banyak geologist untuk fieldtrip, rasanya ikatan batin saya – cinta – dengan Ciletuh makin kuat.
Setiap geologist harus mencintai area, arena, di mana mereka berkiprah. Tanpa cinta, jangan mengharapkan pemahaman yang baik
Mungkin saya ama alam Kecamatan Ciemas itu kaya “Love at First Sight” padahal cuman iseng nyari 1 destinasi wisata yg lain di Sukabumi, selain Curug Cikaso & Ujunggenteng (waktu itu cman tau itu), dan ingetlah materi kuliah Studio saya yang sering banget masukin Ciemas jadi wilayah rencana alternatif & potensial. Iseng nyari ada apa disana, yg pertama muncul adalah Curug Cimarinjung. Sukses bikin “Jatuh Cinta”. Makin kesini, makin nyari tahu tentang Ciemas & beuuh, emang hati mah ga salah pilih ya….. *ini nyeritain objek wisata apa dapet jodoh??
Klo ada yg tanya “Ke Ciemas lagi?” atau “ada apa sih di Ciemas selaen air terjunnya smpe bolak-balik?” Heemm mungkin tulisannya mewakili. Saya memang bukan dri bidang studi Geologi, dan pertama kali saya ‘menemukan’ Ciemas yaitu foto Curug Cimarinjung, bahkan tanpa membaca referensi/ulasan tentang Curug Cimarinjung saja saya sudah sangat tertarik dengan landscapenya di tahun 2011. Di tahun 2012 akhirnya saya dan beberapa teman nekat pergi ke Curug Cimarinjung dan modal tanya sana-sini & baca peta seadanya. Dengan perjalanan pergi 12 jam dan gagal untuk sampai tepat di bawah Curug Cimarinjung, saya khususnya ckup puas atas usaha kami dan malah semakin penasaran karena masih banyak spot lagi yang menarik untuk dikunjungi. Apalagi setelah lokasi ini diusulkan menjadi Geopark dan seabrek penjelasan yg bikin saya tambah tertarik dengan Ciemas. Jadi, klo saya bolak-balik Ciemas, selain tulisan Pak Awang di atas, yaaa tulisan-tulisan ini salah satu alesan lainnya.
http://wanadri.or.id/forum/printthread.php?tid=195
http://www.slideshare.net/auroradanista/suaka-marga-satwa-cikepuh