Nyurug kali ini bener-bener beda dari biasanya. Mulai dari temen nyurug yang semuanya belum pernah tatap muka langsung sampai hari nyurug yang sedikit nyeleneh. Kali ini temen-temen nyurug saya semuanya hanya berawal dari DM di IG. Ini kali pertama kami bener-bener tatap muka dan langsung pergi eksplore air terjun bareng.
Awalnya kami hanya janjian dengan teman-teman yang di Bandung, tapi entah bagaimana ceritanya, akhirnya kami ikut gabung dengan teman-teman di Garut dan GTK.
RABU, 1 NOVEMBER 2017
Kami janjian jam 04.30 WIB di sebuah mini market di Jalan Sukarno Hatta. Total rombongan Bandung setidaknya ada enam motor, di luar motor saya dan motor Mbok. Kami berhenti lagi di Cibiru menunggu Mbok. Setelah acara tunggu-menunggu selesai, kami langsung tancap gas menuju Garut. Awalnya, karena semua hanya dari Bandung, rute yang akan kami ambil lewat Sapan – Kamojang – Samarang – Cikajang. Berhubung kami gabung dengan teman-teman dari Garut, jadi, rute kami rubah menuju Garut kota lewat Nagreg.
Jalanan cukup lengang, bahkan saya bisa memacu kecepatan motor hampir 80 Km/Jam. Waktu janjian di Garut adalah pukul 07.00 WIB dan kami sudah sampai di tikum sekitar pukul 06.00 WIB. Kami istirahat sambil sarapan di Simpang Lima –setidaknya itulah sebutan tempat tikum kami-. Disini saya berkenalan dengan banyak teman baru yang ternyata sama-sama punya hobi nyurug ala begajulan kaya saya. Singkatnya, kami semua pergi menuju lokasi sekitar pukul 08.00 WIB. Kali ini saya dibonceng Hartas sampai masuk Cikandang.
Kami re-group lagi di Cikandang berhubung katanya ada yang masih harus ditunggu. Saya ikut rombongan Bandung jalan terlebih dahulu menuju gerbang perkebunan karena ada beberapa teman yang sudah pernah ke air terjun yang akan kami tuju. Sebetulnya saya aga khawatir dengan jalan yang akan kami lalui nanti. Jalur perkebunan yang dimaksud adalah jalur Perkebunan Papandayan yang bisa tembus ke Desa Cibatarua, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung.
Teman-teman yang sudah pernah lewat jalur lintas Cibatarua – Cikajang hampir semuanya bilang treknya cukup bikin olahraga. Nah, apa kabar saya yang kondisi ban motor sama rem kurang fit dan udah lama ga motoran di jalan batu? Pokonya saya udah wanti-wanti Mbok dan Kang Gamma kalau nanti di sepanjang jalur perkebunan jalannya dekat-dekat saya. Kalau-kalau ada jalan yang saya ga bisa lewatin, bisa dijokiin dulu.
Ternyata ada satu motor lagi yang masih harus ditunggu. Kami pun melipir sejenak ke warung kopi. Untungnya, di perjalan kami ini saya ada teman beser, Mbak Dina, teman asal Surabaya. Jadi, setidaknya kalau boalk-balik ke kamar kecil ada temannya. Udara pagi Cikajang yang sejuk, langit biru dan matahari yang cukup terik ditambah angin sepoi-sepoi sukses bikin saya ngantuk. Ditambah badan pegel-pegel sehabis pulang dari Cianjur pakai motor sehari sebelumnya, rasanya sukses bikin saya malas melahap jalur batu di kebun Papandayan.
Sekitar satu jam, akhirnya rombongan kumplit dan tiba saatnya saya bertemu dengan jalur Kebun Papandayan yang cukup terkenal itu. Awalnya, jalan hanya aspal rusak, setelah berbelok ke kanan, jalanan menanjak dan langsung berubah menjadi makadam. Perlahan tapi pasti saya melewati tanjakan dan tiba di jalan yang lebih datar.
1 km, 2 Km, 3 Km, saya rasa jalur makadam di perkebunan Papandayan ini tipikal gravelnya sama. Batu-batu cukup besar yang tertanam kokoh tanpa ada ruas jalan yang berubah jadi tanah merah akan menjadi suguhan jalan selama dua jam ke depan. Berhubung kondisi jalan cukup kering (nampaknya hujan belum terlalu parah disini), jadi hanya ada beberapa genangan air yang harus dilewati, batuannya pun kering jadi tidak terlalu licin.
Di beberapa titik, memang ada turunan dan tanjakan yang batuannya lepas, tapi tidak terlalu panjang. Ada juga jalan menurun yang sekaligus menjadi jalur air. Sedikit licin, tapi untung ban belakang gundul motor saya masih bisa diajak kompromi. Pegal. Itu saja yang saya rasakan selama melahap jalur ini. Maklum, ini kali pertama lagi semenjak April lalu melahap jalur makadam. Rasa khawatir saya tidak bisa melewati jalan batu perlahan hilang.
Janjian untuk jalan bareng Mbok dan Kang Gamma pun tinggal janji. Kenyataannya, motor Kang Gamma jauh di depan sementara motor Mbok jauh di belakang. Saya jalan bareng motor Badut & Rian. Di depan dan di belakang kami jarak dengan motor lain cukup jauh. Setidaknya ga sendiri banget. Setelah kurang lebih satu setengah jam melahap makadam, kami bertemu desa pertama di jalur ini. Hampir semua isi bahan bakar.
Desa tujuan kami dari tempat kami mengisi bahan bakar tepat di seberang, tapi ternyata jalan menuju desa tersebut masih harus memutari lereng bukit cukup lama. PHP! Kali ini kami re-group, namun lagi-lagi, saya hanya barengan dengan motor Rian & Badut sampai di Desa Panawa, desa tujuan kami. Tujuan kami kali ini adalah Curug Arjuna yang terletak di Kampung Cikopo, Desa Panawa, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Air terjun ini sudah menjadi incaran saya selama kurang lebih satu tahun terakhir.
Kami tiba di Desa Panawa sekitar pukul 10.42 WIB. Berhubung rombongan kami terpencar menjadi beberapa kloter dengan jarak yang cukup jauh, maka saya putuskan untuk mengikuti tiga motor di depan saya. Kami langsung menuju pos penjagaan PLTm. Jalanan batu ala perkebunan yang sebelumnya kami lewati, berakhir di Desa Panawa. Meskipun bukan jalan aspal mulus, setidaknya kondisi jalan dari Desa Panawa menuju gerbang penjagaan PLTm tidak seburuk kondisi sepanjang Perkebunan Papandayan.
Sudah ada beberapa teman lainnya di pos penjagaan PTLm Cikopo, selebihnya masih tertinggal jauh di belakang saya. Sambil menunggu teman lainnya, saya memanfaatkan waktu untuk mengistirahatkan tangan serta menitipkan barang-barang yang tidak terlalu perlu dibawa treking menuju Curug Arjuna.
Curug Arjuna berada di areal PTLm Cikopo. PLTm Cikopo merupakan pembangkit listrik yang menggunakan aliran Sungai Cibatarua sebagai sumber alirannya. Aliran Curug Arjuna bersumber dari aliran Ci Arjuna yang kemudian bertemu dengan aliran Ci Batarua, tepat di samping bangunan PLTm Cikopo.
Lokasi Curug Arjuna yang berada tepat di seberang bangunan PLTm Cikopo berdampak pada terbukanya akses jalan dari pos penjagaan hingga tepat di depan area Curug Arjuna, serta adanya aktivitas PLTm selama 24 jam di area Curug Arjuna. Hal ini merupakan keuntungan tersendiri mengingat lokasi Curug Arjuna cukup jauh dari permukiman penduduk dan berada di dasar jurang yang cukup dalam.
Kami hanya dapat mengendarai motor sampai di pos penjagaan. Selebihnya, perjalanan harus kami tempuh dengan berjalan kaki. Kami memulai perjalan sekitar pukul 11.30 WIB. Terik matahari dan jalanan aspal yang menurun curam terus-menerus menambah rasa lelah dan ngantuk yang sedari tadi ketika menunggu di pos penjagaan sudah saya tahan.
Kondisi jalan yang kami lalui selama trekking sebenarnya sudah beraspal, meskipun di beberapa titik masih berupa batuan lepas. Jalanan menurun dan sangat curam. Beberapa alasan kenapa pengunjung tidak diperbolehkan membawa kendaraan pribadi ke Curug Arjuna mungkin disebabkan kondisi jalan yang curam dapat menjadi pemicu kecelakaan dan juga jalan yang kami lalui merupakan satu-satunya akses kendaraan PLTm. Jika banyak kendaraan pengunjung ke Curug Arjuna di jalur ini, mungkin akan menghambat mobilitas pegawai PLTm.
Selama perjalanan yang semuanya berupa turunan curam ini, yang terfikir hanyalah seberapa cepat nanti saya bisa kembali ke pos penjagaan dari area Curug Arjuna. Perjalanan pulang sudah pasti akan semuanya berupa tanjakan curam. Sedikit minder, karena hampir semua teman yang ikut sepertinya sudah terbiasa dengan treking dan fisik yang kuat. Sementara saya, olahraga pun jarang, apalagi treking. Tidak dapat dibayangkan betapa lamanya nanti perjalanan pulang saya.
Di tengah perjalanan, seorang teman saya memberi tahu kami bahwa ada satu air terjun lagi selain Curug Arjuna. Curug Cibatarua, yang lokasinya dapat kami lihat di perjalanan treking menuju Curug Arjuna. Meskipun hanya dari kejauhan, tetapi area Curug Cibatarua dan alirannya sudah cukup terlihat jelas. Tidak membuang banyak waktu, kami pun melanjutkan kembali treking menuju Curug Arjuna.
Jalur treking menuju Curug Arjuna ternyata tidak separah yang saya bayangkan. Jalur treking memang curam dan lumayan jauh, tapi setidaknya sudah berupa jalan aspal dan jelas. Setidaknya juga kami tidak harus buka jalur dan tersasar di hutan/kebun/pematang sawah seperti biasanya. Tepat sebelum turunan terakhir, terdapat satu tempat cukup terbuka untuk melihat Curug Arjuna dengan jelas dari atas.
Setelah mengambil beberapa foto, kami melanjutkan perjalanan menuju area utama Curug Arjuna. Ujung turunan bercabang ke kanan dan ke kiri. Di kanan turunan merupakan area parkir dan gedung utama PLTMh Cikopo 2, sedangkan di sisi kiri merupakan area Curug Arjuna. Jalan aspal berakhir disini. Begitu pun jalan yang sudah dibangun. Selebihnya akses jalan mentok di tebing-tebing. Tepat di belakang area milik PLTm Cikopo 2 terdapat pertemuan aliran Ci Batarua dengan Ci Arjuna serta beberapa air terjun kecil.
Memasuki area Curug Arjuna, pengunjung harus melewati dua kolam kecil dan aliran Ci Arjuna. Hanya ada pijakan berupa batuan lepas sembarang untuk menyeberangi aliran Ci Arjuna. Tepat di belakang kolam pertama, terdapat air terjun kecil yang alirannya berasal dari rembesan batu dan sungai kecil yang terpisah dari aliran Ci Arjuna. Aliran air terjun ini cukup stabil, meskipun musim kemarau. Setiba di kolam pertama, sudah terlihat dua aliran utama Curug Arjuna dengan tebing batu cukup tinggi di sekeliling area.
Setelah tiba di kolam kedua, barulah keseluruhan Curug Arjuna terlihat dengan jelas. Curug Arjuna yang sumbernya langsung berasal dari aliran Sungai Ciarjuna merupakan air terjun paling kanan (bila menghadap ke air terjun). Aliran jatuhannya paling deras dan stabil. Dua aliran lainnya cukup besar, namun tidak sebesar aliran jatuhan paling kanan. Tepat dihadapan ketiga aliran air terjun tersebut terdapat tanah datar yang cukup luas.
Ketika musim hujan, ketiga aliran jatuhan akan sangat deras. Hal ini ditandai oleh adanya area tanah yang lebih lembek dan berlumpur di hamparan tanah datar di depan aliran jatuhan tersebut. Pengunjung dapat berjalan ke balik air terjun pailing tengah, karena alirannya langsung jatuh ke tanah yang cukup datar. Sedangkan aliran paling kiri, aliran jatuhannya langsung masuk ke aliran Sungai Ciarjuna. Aliran Sungai Ciarjuna stabil, dan pada musim hujan pun tidak berubah warna menjadi kecokelatan.
Setelah puas berfoto-foto, saya, Mba Dina, Rinaldi, memutuskan untuk jalan duluan menuju tempat kami memarkir motor. Teman lainnya masih ada yang mengambil foto, bahkan katanya ada rencana untuk mampir ke Curug Cibatarua. Pertimbangan kami bertiga jalan dulan hanya satu, yaitu jalan pulang yang semuanya tanjakan. Agar tidak terlalu sore keluar dari Desa Panawa hanya gara-gara menunggu saya yang trekingnya lama, lebih baik saya jalan duluan.
Satu tikungan, dua tikungan, tiga tikungan, nafas saya masih teratur. Begitu sampai di lokasi dimana kami bisa melihat Curug Cibatarua, ritme nafas mulai acak-acakan. Sambil istirahat sebentar, dua teman saya melihat ke Curug Cibatarua. Mbok dan dua teman lainnya berhasil menyusul kami disini. Ternyata air Curug Cibatarua berubah menjadi cokelat pekat. Artinya di hulu hujan deras. Semakin kami harus bergegas keluar dari Desa Panwa.
Tidak lama, kami melanjutkan perjalanan, tapi kemudian kami mendengar suara mesin motor. Ternyata ada pegawai PLTm Cikopo yang akan ke atas. Segera motor tersebut kami cegat. Akhirnya Mba Dina menumpang motor tersebut sambil membawakan tas kami. Tinggal saya, Mbok, Rinaldi, dan satu orang teman yang saya lupa namanya. Rinaldi memutuskan untuk lari sampai atas, sementara saya memutuskan untuk tetap jalan santai sambil sesekali mengatur nafas ditemani oleh Mbok.
Sempat terfikir untuk meminta tolong Rinaldi membawa kunci motor saya kemudian mengambilkan motor saya, tapi kalau boncengan pun tidak memungkinkan. Saya dan Mbok tetap jalan kaki. Begitu hampir memasuki area hutan pinus, kami berdua bertemu Hartas dan beberapa teman lainnya yang mengambil jalur tangga di samping pipa air. Kami beristirahat kembali disini.
Beberapa teman memutuskan untuk melanjutkan perjalanan melalui tangga di samping pipa. Sementara saya dan Mbok melanjutkan berjalan kaki melewati jalan aspal. Hartas dan beberapa teman lainnya masih beristirahat. Nafas sudah mulai bisa diatur, tanjakan pun sudah tidak securam sebelumnya. Seingat saya, jika sudah bertemu hutan pinus, kami sudah hampir sampai di pos penjagaan PLTm.
Tidak lama setelah kami melanjutkan perjalanan, terdengar suara mobil dari arah bawah. Ternyata mobil PLTm yang akan kembali ke atas. Mobil double cabin yang di belakangnya sudah penuh dengan teman-teman kami pun segera kami cegat. Tanpa dikomando, saya, Mbok, Hartas, dan teman lainnya langsung naik ke bak bagian belakang mobil. Lumayan menghemat waktu dan tenaga banget kalau begini. Di tengah jalan, kami bertemu beberapa teman yang mengambil jalur tangga di sebelah pipa.
Kami pun turun dari mobil setibanya di pos satpam. Sudah ada beberapa teman yang menunggu di pos satpam. Sambil menunggu teman yang masih jalan menuju pos satpam, saya mengambil dan packing ulang barang-barang bawaan saya. Setelah beristirahat dan membayar iuran seikhlasnya untuk bapak satpam, kami pun menuju Kampung Cikopo.
Kami sudah disediakan makanan oleh warga. Dana makan siang kami ini dari patungan kami per orang Rp 10.000,00 yang kemudian dibuatkan menjadi makan siang oleh warga Kampung Cikopo. Setiba di Kampung Cikopo, kami sudah ditunggu oleh warga dan kemudian dipersilahkan menumpang di salah satu rumah warga. Sajian makan siang kami kali ini rasanya luar biasa. Tenga yang hilang setelah dua jam melewati jalan makadam serta treking naik dan turun menuju Curug Arjuna tergantikan.
Setelah makan selesai, kami mengobrol sebentar dengan bapak pemilik rumah, barulah kami membagikan buku tulis dan sumbangan lainnya kepada anak-anak di Kampung Cikopo. Sementara buku-buku bacaan, kami sumbangkan ke perpustakaan SD dan diserahkan langsung pada guru di SD tersebut. Tepat pukul 16.00 WIB kami pun bersiap pulang.
Kami akan pulang melalui jalur Pakenjeng. Jalur Pakenjeng memang lebih pendek, tetapi hampir 80% jalurnya berupa jalan tanah dan turunan curam. Rasanya ga karuan kalau mendengar turunan curam. Warga pun menyarankan kami untuk mengambil jalur Pakenjeng karena lebih pendek dan cuaca pun mendukung. Jika hujan, warga lebih menyarankan kami untuk kembali ke jalur Kebun Papandayan.
Kami pun kembali menuju arah Curug Arjuna, hanya saja, kali ini setelah gerbang utama PLTm Cikopo 2, kami tidak belok kiri menuju pos penjagaan. Kami mengambil jalur ke kanan, yaitu jalan desa yang sudah disemen. Baru juga melewati persimpangan gerbang PLTm Cikopo 2, jalur sudah langsung menurun curam. Turunan pertama, kedua, ketiga saya masih bisa bawa motor sendiri.
Turunan keempat, rasanya sudah tidak sanggup. Turunan panjang dan curam ditambah ban belakang gundul dan rem belakang yang entah kenapa tiba-tiba ga pakem menjadikan saya akhirnya pindah motor. Motor saya dibawa oleh Hartas. Setelah turunan panjang dan curam, jalan langsung menanjak panjang dan kondisi jalannya pun berubah menjadi aspal rusak. Sampai disini, saya masih dibonceng oleh motor teman saya.
Hanya tersisa tiga motor, sementara motor lainnya sudah ngebut menghilang jauh di depan. Tidak jauh dari tanjakan pertama, kami bertemu tanjakan kedua. Tanjakan ini lebih panjang dan jalannya lebih jelek. Akhirnya saya pun terpaksa turun dan treking karena motor teman saya tidak kuat nanjak. Setelah beres tanjakan, saya pun kembali membawa motor lagi karena jalan di depan masih didominasi tanjakan.
Jalan yang kami lewati pun mulai memasuki hutan yang cukup lebat dan sudah tidak ada lagi rumah warga dan aktivitas warga. Setelah keluar dari hutan, jalan kembali terbuka dan ada beberapa rumah warga. Disni kami akhirnya bertemu dua teman saya yang kebetulan boncengan. Tidak pakai basa-basi lagi, saya langsung meminta tolong teman saya untuk membawakan motor saya, setidaknya sampai masuk di Pakenjeng. Feeling saya, sepertinya jalur di depan jauh lebih sulit.
Benar saja, tidak jauh dari tempat saya tukar motor, jalan langsung menurun curam. Kondisi kali ini sudah bukan aspal rusak lagi, tapi jalan tanah sempit dan hampir sebagiannya tertutup ilalang. Makin lama, turunan semakin curam dan panjang. Kondisi jalan pun semakin parah. Ditambah, jalur kami kembali memasuki hutan yang jauh lebih lebat dibanding sebelumnya.
Semakin masuk ke dalam hutan, jalan semakin kecil dan turunannya semakin sadis. Jalan hanya berupa jalur setapak tanah hasil dari pemadatan longsoran dari tebing di sisi kiri, sementara di sisi kanan kami jurang sangat dalam siap menyambut. Batuan-batuan lepas pun cukup banyak berserakan di jalur ini. Bahkan akar pohon pun ikut memeriahkan jalur di tengah hutan ini. Benar saja, kalau hujan, kemungkinan longsor dan lumpur tebal adalah medan yang harus kami lewati.
Kami bertemu dengan rombongan lainnya. Ada satu motor teman kami yang tidak mau nyala. Kali ini, kami semua berhenti, tidak ada yang jalan duluan. Motor teman kami kembali nyala dan perjalanan pun dilanjutkan. Tidak jauh dari tempat kami berhenti, ada sebuah turuan yang benar-benar curam.
Sisi kiri hampir semuanya tertutup timbunan material longsor, sementara jalur yang dilewati berupa tanah yang sedikit licin dan ada batu yang menancap di jalur. Turunan pun sedikit menikung ke kanan, jadi, salah perhitungan bisa-bisa menabrak batu di kiri atau jatuh ke jurang di sisi kanan.
Saya dan Hartas yang kebetulan menjadi boncengers memutuskan untuk jalan kaki saja di turunan ini. Tidak disangka, ternyata jalan kaki pun sangat sulit. Salah langkah dan tidak bisa mengerem, bisa-bisa kami jatuh. Setelah semua berhasil melewati turunan, saya dan Hartas kembali naik ke motor. Tidak jauh dari turunan curam pertama, kami kembali berhenti karena ada beberapa motor yang remnya tidak berfungsi baik. Kami pun berhenti sejenak. Setelah semua beres, kami pun kembali melanjutkan perjalanan.
Ternyata masih ada satu turunan lagi yang cukup ekstrim. Turunan panjang dan hampir membentuk “U” dengan jurang di kanan serta batu-batu yang timbul di jalur harus kami lewati. Setelah turunan, jalan akan langsung menanjak panjang dan curam dengan kondisi jalan tanah dan batu. Di tanjakan ini pun saya kembali turun. Seteah trek barusan, medan jalan mulai bersahabat. Jalur pun sudah mulai menunjukan akan keluar dari hutan. Kabut yang mulai turun selama trek di dalam hutan pun perlahan menghilang.
Kami pun akhirnya bertemu rumah pertama. Jalur yang kami lewati akhirnya benar-benar keluar dari hutan. Kondisi jalan kembali sedikit mulus. Jalur tanah berbatuan lepas berganti jalur semen. Turunan masih sama curamnya, tapi setidaknya sudah bukan jalan tanah lagi. Jalur yang kami lewati berakhir di persimpangan dengan jalur menuju Curug Sanghyang Taraje. Kami sudah tiba di Kecamatan Pakenjeng. Lega rasanya bisa sampai di Pakenjeng sebelum Magrib.
Setelah persimpangan dengan jalan menuju Curug Sanghyang Taraje, jalanan menjadi aspal mulus. Jalur berkelok, tanjakan dan turunan memang masih mendominasi, tetapi setidaknya sudah jauh lebih enak dibandingkan jalur hutan. Motor mulai terpisah-pisah lagi. Kali ini hanya motor teman saya, di belakang jarak motor cukup jauh. Kami sampai bertanya pada warga jalan mana yang diambil oleh rombongan motor didepan, karena setidaknya ada dua persimpangan di jalur aspal ini.
Cuaca cukup bersahabat. Langit memang mendung, tetapi kabut sudah sepenuhnya hilang, tepatnya sudah naik lagi ke puncak bukit yang sebelumnya kami lalui. Hamparan terasering sawah di kanan dan kiri kami serta jejeran perbukitan dan Sungai Cikandang di dasar bukit menjadi pemandangan sehabis melahap trek hutan abal-abal. Sayangnya, ketika sedang asik riding, tiba-tiba di satu tikungan sekaligus tanjakan ada mobil Kijang berwarna merah yang cukup kencang dari arah berlawanan.
Hampir saja motor kami tertabrak kijang merah sruntulan tersebut. Untungnya teman saya yang bawa motor cukup cekatan. Jalu ini memang aspal mulus dengan pemandangan yang bisa memanjakan mata, tetapi kita harus berhati-hati karena jalurnya sangat sempit. Meskipun kami tidak salah, tetap saja pengendara kijang merah sruntulan tersebut memaki-maki teman saya yang bawa motor. Setelah dipikir-pikir, rasanya, kami sudah jalan mepet di kiri, masa iya sih hampir tertabeak juga?
Kami tidak ladeni dan kembali melanjutkan jalan sambil menertawakan kebodohan supir kijang sruntulan tadi. Ya, sudah tau jalananya curam dan sempit dan di tikungan, masih juga ngebut. Tidak lama, kami bertemu teman lainnya. Ternyata salah satu teman kami di rombongan depan pun hampir tertabrak oleh kijang merah tadi. Padahal, teman kami itu sudah jalan mepet di pinggir dan pelan-pelan serta papasannya bukan pas di tikungan seperti kejadian saya tadi.
Kami menunggu motor Hartas, Mbok, dan satu teman lagi. Untunglah tidak terlalu lama, karena waktu sudah menunjukan pukul lima lebih. Kami pun langsung tancap gas menuju jalan utama. Jalur melewati kebun Papandayan kurang lebih 29, 2 Km berdasarkan rekaman jalur di ponsel, dimulai dari wilayah Kopassus sampai Gapura Desa Panawa. Sementara jalur Pakenjeng kurang lebih 16,8 Km dimulai dari Gapura Desa Panawa hingga tidak jauh setelah melewati gerbang kebun Papandayan.
Tepat Magrib kami tiba di persimpangan Papanggungan, kami berhenti lagi. Kali ini, kami akan pisah rombongan. Saya dan Mbok memutuskan untuk langsung pulang ke Bandung melewati jalur Kamojang, sementara rombongan lainnya akan mampir dulu ke tempat Hartas. Ternyata ada dua orang teman dari Ciparay yang juga memutuskan pulang duluan. Akhirnya kami berempat berpisah duluan dengan rombongan.
Kami mampir dulu di SPBU Cisurupan. Ternyata rombongan lain pun mengisi bensin dulu, jadi kami bertemu lagi. Salah satu teman dari Ciparay menawarkan untuk membawakan motor saya agar lebih cepat sampai. Maklum, kalau sudah malam ditambah jalannya ramai, apalagi sudah cape seharian di motor, kadang kecepatan saya bawa motor menurun drastis. Bahkan cenderung malas menyalip kendaraan lain dalam kondisi macet.
Ternyata benar saja, waktu tempuh menjadi lebih cepat. Sekitar pukul 18.30 WIB, kami bertiga sudah sampai di persimpangan jalur Samarang – Kamojang. Disinilah kerempongan terjadi. Mbok tidak ada. Saya pikir Mbok jalan duluan karena kami tadi sempat mampir di SPBU dan Mbok tidak ada. Tapi feeling saya, Mbok masih di belakang. Akhirnya kami memutuskan menunggu Mbok sampai pukul 19.00 WIB biar tidak kemalaman masuk Majalaya.
Ponsel Mbok tidak aktif karena habis baterai. Saya pun berhasil menghubungi Hartas, dan katanya Mbok tidak bareng mereka. Nah loh, kalau sudah begini jadi bingung sendiri. Berhubung nantinya saya akan mengambil jalur Sapan, jadi kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Motor seperti dipacu lebih cepat, bahkan kami sudah sampai di Majalaya tiga puluh menit kemudian.
Kondisi rem belakang making ga karuan, ditambah badan yang juga mulai terasa pegal, mata panas, dan kepala rasanya berat. Setiba di Majalaya, masih belum ada kabar Mbok. Dua teman saya memberi pilihan untuk tetap ambil jalur Sapan karena masih pukul 19.30 WIB, jalurnya masih ramai. Entah kenapa, saya malah ragu dan feeling tidak enak. Akhirnya saya putuskan untuk lewat Baleendah.
Jalur Baleendah memang jauh memutar, tapi setidaknya saya di jalan utama. Tadinya saya meminta antar sampai di Simpang, tapi sepertinya dua teman saya keberatan karena jadi bolak-balik. Akhirnya saya jalan sendiri dari Ciparay. Kondisi jalan cukup ramai tapi tidak sampai macet, hanya saja memang harus banyak-banyak mengerem.
Dan inilah yang paling menghambat perjalanan pulang saya, rem belakang bermasalah. Entah habis, entah kepanasan, entah kenapa juga, yang pasti sudah diinjak habis pun motor tidak bisa berhenti. Persis seperti kejadian kanvas rem belakang habis ketika ke Curug Dadali April 2017 lalu. Kalau sudah begini ya hanya bisa sabar sampai rumah. Mau mampir ke bengkel pun rasanya sudah malas. Perjalanan pulang hanya mengandalkan rem depan dengan kecepatan tidak lebih dari 20 Km/Jam di jalan yang tidak terlalu familiar untuk saya.
Kesal campur sedih itulah yang saya rasakan selama perjalanan Ciparay – Baleendah. Entah kenapa, rasanya capek sekali dan kenapa juga bisa sampai kepisah sama Mbok. Kenapa juga saya ga sering-sering ngecek motor Mbok, padahal saya dibonceng. Ah, sudahlah, efek saya terlalu cape, konsentrasi menurun drastis. Rasa kesal semakin menjadi ketika sampai di jembatan Citarum kedua, mobil berhenti alias macet panjang.
Dengan kecepatan jalan 10 Km/Jam dan rem belakang yang benar-benar ga berfungsi, Bojongsoang – rumah lamanya sama seperti perjalanan dari Cikandang menuju Desa Panawa, ditambah lagi lalu lintas Kota Bandung di hari kerja yang menuntut kesabaran lebih. Sekitar pukul 20.30 WIB akhirnya saya sampai di rumah, dan setelah dicek, ternyata rem belakang hanya longgar bautnya saja. Setelah dikencangkan, berfungsi seperti biasa. Sekitar pukul 22.00 WIB, Mbok mengirim pesan dan ternyata memang tertinggal jauh sedari Cisurupan sebelum berhenti di SPBU.