Tulisan ini sebelumnya telah dipublikasin di https://travelnatic.com/menjelajahi-curug-dan-situ-di-subang-dengan-maps/
Trip kali ini sebagai ‘bayar hutang’ janji saya ke beberapa teman untuk jalan bareng, baik ke air terjun atau danau. Rencana awal, saya mengajak tiga teman lainnya untuk mencari tiga buah danau sekaligus di Selatan Jawa Barat. Kondisi jalan dan kira-kira estimasi waktu pun tidak jadi masalah, namun entah kenapa, tiba-tiba saja saya berubah pikiran.
Tidak sengaja saya melihat postingan mengenai Curug Cina di Subang. Seketika saja saya memberi dua pilihan tempat, ke danau sepeti rencana semula atau mencari Curug Cina. Disepakati tempat yang akan kami datangi Minggu mendatang adalah Curug Cina di Subang. Berdasarkan rute yang harus dilalui, patokan jalan, dan jalur treking, Curug Cina ini jauh lebih mudah dibandingkan danau yang awalnya ingin saya cari.
MINGGU, 21 AGUSTUS 2016
Tepat pukul 06.00 WIB kami berempat sudah siap meluncur menuju Subang. Jalanan Bandung menuju Subang ketika akhir pekan tidak akan pernah lepas dari yang namanya macet. Hanya dalam waktu satu jam kami sudah tiba di Ciater. Jalanan pagi ini masih sepi, tapi jika kami terlambat sedikit, jalanan akan mulai ramai
Kami terus melaju menuju pertigaan Subang – Sagalaherang tanpa berhenti. Selepas Ciater, kami ambil arah menuju Purwakarta tepat sebelum Pasar Jalancagak. Setelah belok ke arah Purwakarta, kami mencari patokan menuju Desa Bunihayu. Patokan menuju Curug Cina ini saya dapatkan dengan bertanya pada teman yang sudah pernah berkunjung ke Curug Cina.
Tidak ada penunjuk jalan khusus menuju Curug Cina, jadi saya harus jeli mencocokan petunjuk dari teman saya dengan kondisi di jalan. Patokan berupa pangkalan ojek di kanan jalan pun kami temukan. Ketika kami bertanya jalur menuju Curugagung, beberapa tukang ojek menyarankan untuk mengambil jalur Batukapur. Jalur Batukapur jauh lebih mudah dan aman dibandingkan dengan jalur Bunihayu.
Menurut mereka, jalur Bunihayu lebih curam dan banyak turunan panjang. Jalanan pagi itu memang sedikit basah karena hujan semalam, jadi kami disarankan lewat Batukapur. Kami pun putar arah, tidak lupa berterimakasih atas informasinya. Kami kembali menyusuri jalan utama Jalancagak – Sagalaherang yang pagi itu sangat lengang. Jalan dengan kondisi aspal mulus dan berkelok-kelok, serta pemandangan hamparan sawah hijau menemami kami hingga tiba di persimpangan Batukapur.
Jarak dari jalur Bunihayu ke persimpangan Batukapur memang sedikit jauh. Persimpangan menuju Batukapur ditandai oleh papan penunjuk menuju objek wisata Batu Kapur dan pangkalan ojek, tepat di sebuah tikungan. Posisi jalan menuju Batukapur berada di sebelah kanan jika datang dari arah Jalancagak. Kami putar arah karena persimpangannya terlewat.
Kami pun kembali bertanya di pangkalan ojek Batukapur. Satu orang bapak bilang kalau jalan kami sudah benar dan tinggal ikuti jalan besar. Satu bapak lagi bilang jalannya sudah benar, hanya saja di dalam jalan sedang di cor, jadi kami tidak bisa lewat dan disuruh kembali ke Bunihayu. Tetapi bapak pertama meyakinkan kami kalau motor sudah bisa lewat. Daripada kami harus putar arah lagi ke Bunihayu, lebih baik dicoba saja lewat Batukapur.
Aspal mulus kembali bertemu aspal desa yang sudah terkelupas. Pemandangan di sisi kanan dan kiri jalan mulai berubah. Jejeran rumah-rumah dan beberapa kantor pemerintahan mulai berganti dengan sawah dan gawir-gawir. Semakin jauh, jalan semakin kecil dan kondisinya semakin rusak. Tidak lupa ketika berpapasan dengan warga, kami bertanya arah menuju Desa Curugagung. Syukurlah jalur kami sudah benar.
Jalur di tengah areal persawahan mulai masuk ke areal hutan. Di lokasi ini, jalan jauh lebih buruk. Turunan panjang serta jalan yang hampir berubah menjadi tanah merah licin harus kami lalui. Tidak ada lagi warga yang kami temui. Setibanya kami di ujung tanjakan, perjalanan kami terhenti. Tepat di seberang jembatan, jalan satu-satunya yang harus kami lalui ditutup karena masih dalam proses pengecoran jalan.
Hanya ada dua orang pekerja saat itu. Saya pun bertanya apakah benar-benar tidak bisa lewat atau hanya mobil saja yang tidak bisa lewat. Ternyata benar-benar tidak bisa. Saya pun bertanya apakah ada jalur alternatif terdekat yang bisa kami lalui menuju Desa Curugagung. Sayangnya, jawaban bapak ini pun sama dengan jawaban bapak kedua di pangkalan ojek Batukapur. Mau tidak mau kami harus balik lagi ke jalur Desa Bunihayu.
Saya sedikit kehilangan mood dan akhirnya kami berempat sepakat untuk putar arah saja. Sembari bersitirahat sejenak, tiba-tiba datang satu bapak lagi dan bertanya kami darimana dan mau kemana. Setelah saya jelaskan singkat, akhirnya bapak ini membolehkan kami untuk lewat. Selain dua motor kami, ada satu motor warga yang baru tiba. Akhirnya kedua bapak ini sepakat membukakan portal kayu agar kami bisa lewat.
Bapak pertama yang saya ajak ngobrol berkata “Mangga Neng, mumpung pekerja nu sanesnya can dongkap, upami tos dongkap, bener-bener di tutup total, moal tiasa nglangkung pisan” (Silahkan Neng, selagi pekerja lainnya belum datang, kalau sudah datang, benar-benar ditutup total, ga bisa lewat sama sekali). Sambil lewat tidak lupa kami ucapkan terimakasih.
Jalur langsung menanjak panjang. Kondisi jalan yang sudah dibeton memudahkan kami mencapai ujung tanjakan. Memang tepat jika jalan ini dibeton, karena jalan aslinya hanya berupa makadam dengan batuan yang sudah banyak hancur. Di ujung tanjakan, terdapat persimpangan jalur menuju Desa Curugagung dan menuju objek wisata Batu Kapur. Ketika kami melintas, jalan menuju objek wisata portalnya masih ditutup.
Kami sudah memasuki wilayah Desa Curugagung. Kondisi jalannya cukup baik. Aspal desa masih mulus dan medannya datar. Pemandangan di sisi kanan dan kiri kami kembali dihiasi dengan hamparan hijau areal persawahan. SD yang menjadi patokan terakhir kami belum ditemukan. Sampai akhirnya di satu persimpangan, kami kembali bertanya pada warga.
Menurut warga ini, kami masih harus terus mengikuti jalan, sementara jalan di sisi kiri kami adalah jalur menuju Dawuan. Kami pun melanjutkan perjalanan. Patokan dari teman saya tidak juga kami temui sampai akhirnya kami sedikit keluar dari desa. Kami berpapasan dengan anak-anak kecil yang hendak ke sawah. Menurut mereka, jalur menuju Curug Cina sudah terlewat. Kami harus memutar arah sampai menemukan SD Impres di kiri jalan.
SD Impres yang dimaksud akhirnya kami temukan, tapi masih tetap tidak ada lapangan sepakbola seperti yang diberikan oleh teman saya. Kami pun bertanya lagi. Ternyata, tepat di samping SD Impres, ada jalan kecil dengan gapura. Jalan itulah yang menuju Curug Cina. Benar saja, tidak lama kemudian, kami sampai di lapangan sepakbola persis seperti patokan yang dikirimkan oleh teman saya.
Kami bertanya pada warga jalan menuju Curug Cina. Untuk menuju Curug Cina, dari sini kami harus berjalan kaki. Motor kami dipersilahkan disimpan di halaman masjid di depan lapangan sepakbola. Kami tiba sekitar pukul 10.00 WIB dan cuaca cukup cerah. Kami bergegas menuju jalur treking. Pertama, kami harus melewati tanjakan cukup panjang sampai akhirnya tiba di kebun warga. Sudah ada patokan menuju Curug Cina. Memasuki jalur trekking di kebun pun diawali dengan tanjakan.
Kami berjalan kurang lebih 20 menit dengan kondisi jalan setapak tanah merah yang sudah mulai mengering. Jalan yang kami lewati bercabang. Satu yang tetap mengikuti aliran irigasi, satu lagi yang menurun. Kami putuskan mencoba mengikuti salran irigasi. Tidak lama, jalur semakin tertutup, kami pun balik arah. Satu-satunya jalan adalah yang menurun. Kali ini, jalur yang kami pilih benar.
Tepat 30 menit kami berjalan, sampailah kami di area Curug Cina. Satu-satunya area datar dan luas adalah lapak berdagang warga setempat. Saya dan satu teman saya memutuskan untuk beristirahat dulu sambil mengobrol dengan pemilik warung. Selang 10 menit, saya pun menyusul dua teman saya. Untuk sampai tepat di hadapan Curug Cina, pengunjung masih harus melewati aliran sungai dengan batu-batu sungai sebagai pijakan.
Selain kami berempat, ternyata sudah ada dua orang pengunjung. Curug Cina terdiri dari tiga tingkatan. Untuk bisa sampai di tingkatan kedua dan langsung menghadap jatuhan air Curug Cina, pengunjung masih harus memanjat batuan. Pijakan di batuan sangat sempit dan kalau hujan, akan menjadi sangat licin. Kondisi sekitar Curug Cina yang masih sepi tidak saya sia-siakan. Dua teman saya memutuskan untuk naik ke tingkatan kedua, sementara saya memutuskan untuk kembali ke warung. Ketika hampir sampai di dekat warung, pengunjung lain mulai berdatangan.
Matahari yang semakin terik dan tidur yang kurang, membuat saya memilih untuk leyeh-leyeh saja di warung dengan teman saya yang satu lagi. Tidak lama saya duduk di warung, pengunjung semakin banyak berdatangan. Menurut ibu penjaga warung, kalau hari Minggu, semakin siang semakin ramai. Kalau Sabtu malah tidak seramai Minggu.
Satu pesan masuk dari teman saya yang memberi patokan ke Curug Cina. Dia menanyakan posisi saya. Ternyata teman saya saat ini ada di Sagalaerang. Tujuannya adalah air terjun di dekat Curug Cijalu. Saya bertanya mengenai opsi objek berikutnya yang bisa kami datangi. Situ Love, sampai beberapa danau tanpa nama saya tanyakan. Akhirnya, teman saya menawarkan untuk mengantar ke Situ Love. Kami janjian di lapangan sepakbola Desa Curugagung.
Tepat pukul 12.00 WIB kami berempat bertemu teman saya ini. Pukul 13.00 WIB kami melanjutkan perjalanan. Jalur yang akan kami lewati ternyata yang menuju Dawuan, persimpangan tempat kami bertanya pada warga tadi pagi. Ini pertama kalinya saya ke daerah Dawuan.
Setelah kami melewati jembatan, di kanan kami terlihat sungai yang menjadi pembatas antara Kecamatan Dawuan dan Kecamatan Sagalaherang. Kali ini kami sudah berada di sisi Kecamatan Dawuan. Jalan yang kami lalui monoton. Jalan rusak dengan kondisi beraneka ragam serta truk yang kami temui tanpa henti harus kami lalui. Jalur yang sekarang kami lewati ini merupakan jalur truk pengangkut batu dan pasir. Disini tidak ada jadwal lalu lintas truk seperti di Pesisir Selatan Tasikmalaya. Baik pagi, siang, bahkan tengah malam pun, pasti ramai oleh truk yang melintas.
Kondisi jalan yang monoton lurus, terik matahari, debu, dan kecepatan kendaraan yang sangat terbatas sukses membuat saya ngantuk. Kami keluar dari permukiman dan jalur mulai memasuki area perkebunan. Area perkebunan ini berada di puncak-puncak bukit dan perkebunan yang dimaksud adalah kebun pisang. Kondisi jalan yang lebih terbuka dari sebelumnya sukses menambah rasa kantuk saya. Kondisi jalan yang sedikit buruk pun menghambat laju kendaraan kami. Rasanya jalur ini seperti tidak ada ujungnya.
Setelah turun bukit dan kembali naik ke bukit lainnya, teman saya berbelok ke sebuah gerbang objek wisata. Akhirnya kami sampai di Situ Love. Situ Love ini sudah banyak dikunjungi oleh teman-teman saya di Purwakarta. Saya teringat cerita satu teman saya yang motornya terjebak di lumpur ketika akan menuju Situ Love beberapa bulan yang lalu. Kondisi jalan menuju Situ Love masih berupa batu dan tanah, sehingga jika hujan akan cukup sulit. Lokasi Situ Love yang cukup jauh dari permukiman semakin menyulitkan ketika sudah mulai gelap.
Kali ini, kami beruntung, karena hujan belum turun di daerah ini. Kami dengan mudah melewati jalan batu dan tanah hingga tiba tepat di depan Situ Love. Situ Love ini sebenarnya hanya penamaan populer saja, sedangkan nama resminya adalah Situ Cisampih. Situ Cisampih berada di Desa Cisampih, Kecamatan Dawuan, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Situ Love diambil karena jika dilihat dari ketinggian (bahkan di Gmaps) bentuknya akan menyerupai bentuk hati yang sempurna.
Karena tenaga sudah terkuras, maka kami memutuskan untuk langsung melipir di warung terdekat. Lotek, karedok, minuman berasa, dan air putih langsung kami pesan. Cuaca yang terik, ditambah jalur yang terbuka membuat saya cepat dehidrasi. Tidak banyak yang bisa kami lakukan siang ini di Situ Love. Setidaknya, akhirnya saya sampai di Situ Love dan tidak penasaran lagi kemana jalurnya.
Satu teman saya memutuskan untuk ke gua di tebing yang disebut Cadas Gantung, sementara kami berempat lebih memilih memulihkan tenaga di warung sambil makan siang. Area di sekitar Situ Love masih cukup luas dan belum dimanfaatkan. Hanya di dekat pintu gerbang saja terdapat tiga bangunan sebagai tempat penyimpanan ban untuk disewakan, kantor administrasi, dan gedung tempat pekerja.
Menurut bapak pemilik warung, lokasi ini baru saja diresmikan dan dibuka menjadi objek wisata komersial. Pengelolanya adalah warga setempat, namun pemilik seluruh lahan di Situ Love ini adalah pribadi. Pembenahan pun dilakukan, seperti pemasangan spanduk objek wisata, loket untuk tiket, penyewaan ban, lokasi pemancingan, serta warung-warung warga.
Berhubung masih pukul 14.30 WIB, sayang jika kami langsung pulang ke Bandung. Akhirnya kami mencari lokasi lain yang dapat kami lalui dengan syarat aksesnya mudah dan satu arah menuju Kota Subang. Dua danau menjadi pilihan kami. Satu danau merupakan danau yang tepat berada di tengah permukiman warga, dan satu danau lagi tidak memiliki keterangan di Gmaps. Bapak pemilik warung pun tidak mengetahui danau tak bernama di Gmpas tersebut. Fix, danau inilah tujuan kami berikutnya.
Kami mampir dulu di tukang tambal ban karena ban belakang motor teman saya sobek. Cukup lama kami di tambal ban, tenaga kembali terkuras karena kelamaan menunggu. Rasa kantuk pun mulai datang. Selagi kami menambal ban, truk tidak pernah berhenti melintas di hadapan kami. Jalanan berdebu dan matahari yang masih terik membuat saya makin tidak sabar keluar dari jalur ini.
Setelah hampir 30 menit di tukang tambal ban, kami langsung meluncur ke tujuan kami berikutnya. Jalan yang kami lewati ini akan berujung di jalur utama Jalan Raya Kalijati – Subang. Begitu kami tiba di jalan utama, arus lalu lintas cukup padat. Jalan lurus dengan aspal mulus kembali kami lalui. Patokan kami adalah persimpangan Jalan Raya Dangder dengan jalan menuju Komplek Yonif Kala Hitam. Kami harus melewati Komplek Yonif Kala Hitam sebelum mencapai lokasi.
Jalanan masih mulus, dan patokan berikutnya hanya mengikuti jalur yang ditunjukkan Gmaps. Danau yang akan kami datangi ini posisinya berada tepat di pinggir jalan, jadi kami tidak harus repot-repot treking. Kami sempat salah belok, karena jalan yang kami lewati ini masuk ke lingkungan perumahan. Sampailah kami di tujuan berikutnya. Danaunya cukup luas. Di seberang danau hanya berupa area perkebunan. Tidak ada tiket masuk, tidak ada lahan parkir. Kami pun mengelilingi ke sisi kanan danau. Jalan buntu. Kali ini kami ke sisi kiri danau. Kami memarkirkan kendaraan di lahan kosong dekat kolam pemancingan.
Satu warga menghampiri kami dan seperti biasa bertanya kami dari mana mau kemana. Menurut bapak ini, danau ini hanya danau buatan bekas penggalian pasir dan di dasar danau terdapat beberapa titik pasir hisap. Jika dilihar dari luasnya, rasanya saya pribadi tidak bisa membayangkan kalau danau ini bekas galian pasir. Karena bekas galian pasir, jadi tidak ada nama resmi untuk danau buatan yang luas ini.
Tercetuslah sebuah nama, Situ Ayong. Ayong merupakan nama pemilik galian pasir tersebut, namun rasanya tidak sreg. Mengingat lokasinya yang berada di Desa Cibogo, maka saya pribadi menamainya Situ Cibogo., meskipun sudah ada nama Situ Cibogo yang merupakan penamaan resmi sebuah danau yang juga ada di Subang. Menurut bapak ini, kami bisa mengelilingi danau ini, hanya saja, jalurnya harus melewati kebun. Motor bisa saja dibawa, hanya jika tiba-tiba hujan turun, dikhawatirkan terjebak di lumpur.
Berhubung cuaca berubah menjadi mendung, kami memutuskan untuk jalan kaki saja. Motor kami titipkan di halaman bapak ini. Jalan yang kami lalui melalui area perkebunan dan berupa jalan tanah yang sebenarnya cukup untuk truk sekalipun. Di depan kami terlihat tanjakan yang cukup panjang. Kami yang sudah malas menanjak, akhirnya memutuskan untuk potong kompas. Lahan kebun yang belum ditanam kembali menjadi pilihan jalur kami hingga ke tebing.
Dari sini, kami harus memanjat tebing dengan pijakan berupa batuan yang labil. Karena potong kompas, kemiringan dan ketinggian tebing ini lumayan sulit untuk dilewati. Setelah tiba di atas tebing, jalan setapak mulai menurun dan kami sampai di seberang danau. Ternyata di sini merupakan spot memancing dan sudah ada beberapa warga yang sedang memancing. Karena tidak ingin mengganggu, saya dan empat teman lainnya tidak meneruskan ke ujung jalan setapak, sementara satu teman saya memutuskan untuk mengobrol dengan warga di lapak memancing sebelah.
Warga yang kami tanyai disini pun tidak tahu nama sebenarnya danau ini. Mereka hanya menyebutkan kalau danau ini bekas galian pasir dan pasir hisap. Di belakang kami, ada kebun durian, namun karena belum musimnya, jadi sepi. Biasanya, selain memancing, jika tiba waktu panen durian, lokasi ini cukup ramai oleh warga setempat. Puas mengambil foto, kami pun kembali ke parkiran. Masih ada satu tempat lagi yang akan kami datangi.
Tanpa banyak basa-basi lama, kami bergegeas kemabli ke Jalan Raya Dangder setelah pamitan dengan warga yang pertama kami temui disini. Maksudnya ingin cari jalan pintas, kami malah kesasar menuju jalan setapak berbatu di tengah kebun. Untungnya sinyal masih cukup baik, dan akhirnya kami kembali ke jalan permukiman dan bertemu jalan raya.
Tujuan kami berikutnya berada di dalam Kota Subang. Tepatnya Situ Cinangsi di Desa Cinangsi, Kecamatan Cibogo, Kabupaten Subang. Jalur yang kami lalui merupakan jalan raya utama, jadi kami tidak terlalu khawatir akan tersesat. Lokasi yang akan kami datangi berikutnya berada di kawasan permukiman Griya Cinangsi Asri.
Tidak sulit menemukan Situ Cinangsi. Lokasinya berada tidak jauh dari gerbang masuk perumahan. Kami memutuskan untuk mengelilingi danau melalui jalan di sisi kiri. Jalan yang kami lewati masih merupakan jalan perumahan, jadi kondisinya cukup baik. Ternyata jalan yang kami lewati tidak tersambung dengan jalan di seberang kami, jadi kami tidak bisa mengelilingi Situ Cinangsi. Kami berhenti sejenak untuk mengambil foto dan beristirahat.
Berhubung langit sudah mulai mendung dan sudah hampir pukul lima sore, kami memutuskan untuk bersiap pulang. Tepat pukul 17.00 WIB, kami meninggalkan Situ Cinangsi. Kami berhenti sejenak di SPBU tidak jauh dari gerbang masuk perumahan. Langit di daerah Lembang menunjukan hujan tengah mengguyur daerah tersebut. Sebelum kami melanjutkan perjalanan, kami memakai jas hujan terlebih dahulu. Jalur yang akan kami lewati melewati Kota Subang – Jalancagak – Ciater- Lembang – kemudian masuk ke jalan tembus ke Dago Bengkok. Jalur ini kami pilih untuk menghindari macet di jalur Lembang – Setiabudi.
Perjalanan pulang sedikit terhambat ketika memasuki Jalancagak. Kondisi jalan yang sempit dan didominasi tanjakan membatasi kecepatan kendaraan. Lalu lintas yang sudah sangat ramai hingga Jalancagak pun menghambat laju kami. Kami sempat berhenti sejenak di Tugu Nanas Jalancagak karena satu motor tertinggal. Perjalanan kembali lancar hingga ke pertigaan menuju jalan pintas ke Dago Bengkok.
Mendekati Dago Bengkok, kami malah kena macet. Jalan yang merupakan turunan panjang dan curam, serta beberapa titik yang berlubang cukup menyulitkan kami. Setelah berhasil keluar dari kemacetan cukup parah di Dago Bengkok, kami mengambil jalur ke Cigadung dan tembus di Cikutra. Setiba di Cikutra, barulah jalan kembali lancar. Kami berpisah disini. Dua teman saya akan mencari tempat makan dulu, satu teman saya terpisah jalur, sementara saya dan teman lainnya memutuskan untuk langsung pulang.