Tulisan serupa pernah dipublikasikan di https://travelnatic.com/mencari-jalan-ke-curug-epot-jawa-barat/
Alarm di hp berbunyi tepat pukul 03.30 WIB. Sayapun segera bangun dan bergegas mandi. Masih ada sisa waktu sebelum Adzan Subuh, saya pun menyempatkan mengisi perut karena seharian kemarin saya hanya makan siang hari, itupun tidak banyak. Perut terasa sedikit perih. Setidaknya perut pagi buta ini tersisi dulu biar tidak masuk angin. Hari ini, saya dan dua teman lainnya, Dian dan Mbok Hasby, akan menuju ke Selatan Tasikmalaya. Selesai makan, segera Solat Subuh. Sebelumnya, tidak lupa saya menelepon dua teman saya terlebih dahulu, takut-takut masih tidur.
Jam di hp menunjukkan pukul 04.50 WIB, sudah mepet dengan waktu janjian pukul 05.00 WIB di sebuat mini market di Gedebage. Setiba di tempat janjian, ternyata teman saya belum datang. Saya pun membeli logistik disini biar nanti tidak banyak berhenti di jalan. Saya dan Dian sudah sering jalan untuk eksplore air terjun. Biasanya ditambah Sum dan Mitra. Sayangnya hari ini dua teman saya absen karena masih masuk kerja. Karena sudah biasa pergi bareng, jadi sudah tidak heran kalau jam janjiannya selalu sebelum langit terang. Banyak yang protes, kenapa sih harus nyubuh, toh hari libur ini. Jawabannya, ah, nanti saja saya ceritakan.
Dian baru datang sekitar pukul 05.15 WIB dan langsung membeli logistik. Baru pukul 05.30 WIB kami berdua meluncur ke Bundaran Cibiru, karena Mbok menunggu disana. Sebelumnya, kami mampir di SPBU karena si MX sudah dehidrasi. Kami bertemu Mbok di Bundaran Cibiru. Kami langsung tancap gas sekitar pukul 06.00 WIB. Kali ini, gantian motor Mbok yang perlu minum. Setelah dari SPBU, ternyata motor Mbok masih minta ‘jajan’. Ban motornya kurang angin. Kami baru menemukan tambal ban di Simpang Cileunyi.
Karena kami berangkat terlalu siang, akhirnya kami terjebak macet di depan tiga pabrik besar di Jalan Raya Rancaekek ini. Setelah lewat pabrik terakhir, langsung tancap gas menuju arah Kota Garut. Setiba di Kadungora, arus lalu lintas sudah mulai padat dan didominasi oleh anak sekolah. Untungnya, kami melintas menjelang pukul 07.00 WIB, sebagian sekolah sudah hampir memulai jam pelajaran. Arus lalu lintas baru mulai lancar setelah persimpangan menuju objek wisata Cipanas. Di Bundaran Tarogong, kami ambil arah menuju Terminal Guntur. Sampai di persimpangan dengan Terminal Guntur, kami ambil arah menuju Tasikmalaya. Arus lalu lintas sudah mulai sepi.
Memasuki Kecamatan Cilawu, langit mendung. Bahkan, jejeran gunung-gunung di sisi kiri jalan, termasuk Gunung Talagabodas dan Gunung Galunggung di kejauhan tertutup awan hujan. Sempat khawatir hujan turun. Rasanya malas saja, baru mulai jalan sudah diguyur hujan deras. Untungnya memasuki Kecamatan Salawu, sinar matahari sedikit muncul, meskipun banyak menghilangnya. Kami berhenti di SPBU Salawu. SPBU Salawu ini menjadi semacam check point pertama sekaligus tempat sarapan jika bepergian melintas ke arah Timur. Kami tiba di SPBU Salawu pukul 08.00 WIB, seperti biasanya.
Selesai sarapan, kami tidak buru-buru beranjak lagi. Jarak menuju tujuan pertama kami sudah tidak terlalu jauh, dan lagi, sudah ada yang memberi nama lokasi di Google Maps, jadi kami hanya tinggal mengikuti jalur saja. Pukul 09.00 WIB kami melanjutkan perjalanan. Patokan pertama kami yaitu persimpangan Salawu – Singaparna – Taraju di daerah Warungpeuteuy. Kami belok kanan di persimpangan ini menuju arah Taraju. Ini bukan pertama kalinya untuk saya dan Dian melintas di jalur Salawu – Taraju. Tidak lama setelah masuk ke jalur menuju Taraju, kondisi jalan menjadi lebih jelek.
2014 adalah kali terakhir saya melintasi jalur ini, dan kala itu, kondisi jalannya masih sangat bagus. Aspal mulus dan jalanan sepi menjadi gambaran saya akan jalur ini. Namun sekarang sudah berbeda jauh. Aspal mengelupas, lubang besar dan dalam serta tanah merah bercampur air harus kami hindari. Jalur ini memang banyak dilewati oleh truk pengangkut kayu, bambu, dan pasir pada malam hari. Wajar saja jika umur aspalnya tidak lama. Kami masuk ke Kecamatan Puspahiang. Satu kecamatan di Kabupaten Tasikmalaya yang terkenal sebagai sentra manggis. Sayangnya, sekarang belum musim panen.
Patokan kedua kami adalah pasar Kecamatan Puspahiang. Selepas pasar, kami berbelok ke jalan kecil di sisi kanan jalan. Jalur ini masih asing untuk kami bertiga dibandingkan jalur utama menuju Taraju ke arah berlawanan. Kami masuk jalan kecil yang lebih mirip jalan di permukiman pinggiran Kota Bandung menurut saya. Sekitar 1 Km kami menyusuri jalur ini, aspal masih bisa kami nikmati. Lama kelamaan, permukiman penduduk berganti dengan jurang dan kebun. Biasanya, kalau sudah begini, kami harus berpisah dengan jalan aspal. Kali ini tidak. Medan jalan yang terus menurun masih dilapisi aspal. Sepi, sudah pasti. Udara pagi di Puspahiang yang minim matahari kali ini sukses memunculkan kantuk saya.
Lama kelamaan, jalan yang kami lewati terus menurun. Agaknya kami menuruni sebuah bukit. Benar saja, tidak lama, kami tiba di dataran dan kemudian jalan kembali menanjak. Pindah bukit. Sejauh ini, jalan yang kami lalui masih beraspal. Dalam perjalanan ke daerah Selatan Jawa Barat ini, saya pribadi tidak terlalu berharap muluk-muluk, hanya dikasih jalan aspal sepanjang jalur tak terduga saja senangnya bukan main. Seperti saat sekarang ini. Di tengah perjalanan, baru ingat belum cek bensin. Ternyata sudah hampir habis. Kami pun melipir di Pertamini.
Sambil isi bensin, sambil kepo tentunya sama akang yang jaga Pertamini. Menurut akang ini, jalur yang kami lewati menuju air terjun yang kami cari ini sudah benar. “Di depan nanti belok kiri. Ikutin aja jalannya.” Begitu katanya. Tidak ketinggalan, saya pun kepo bagaimana kondisi jalannya. “Jalannya bagus ko, ya, sama kaya ginilah (sambil nunjuk jalan yang kami lewatin)”. Setelah bayar, kami pun melanjutkan perjalanan. Wah, kalau begini terus jalannya sih, bisa hemat waktu lumayan banyak nih. Kami sampai di persimpanan yang dimaksud. Ternyata, ini adalah persimpangan menuju Cikuya dengan yang menuju Parakantilu.
Kali ini aspal sudah mulai menghilang digantikan semacam beton atau semen. Yah, setidaknya bukan batu campur lumpur. Medan jalan terus menurun. Sampai akhirnya kami tiba di persimpangan lagi. Karena ragu yang mana dan pointer my location di Gmaps juga masih di jalur yang benar, kami pun memutuskan ambil jalur tengah, yang menurun terus. Setelah kurang lebih 1 Km, tiba-tiba, pointer my location di Gmaps melenceng jauh dari jalur yang udah di trek. Yah, puter balik. Setelah sampai lagi di persimpangan awal, kami ambil jalur ke kiri, yang menanjak terus. Kali ini benar. Disini kami akhirnya bertemu makadam. Yah, setidaknya makadamnya masih dalam batas wajar, ga kaya makadam di area kebun teh, yang saya beri level ‘makadam ripuh’.
Tidak lama, pointer my location kembali melenceng. Kali ini saya yakin tidak ada persimpangan yang kami lewati. Akhirnya kami bertanya pada warga di sebuah warung. Untungnya bapak yang di warung hafal jalur menuju air terjun yang kami cari. “Lurus aja terus, nanti di depan ada jembatan, trus ada rumah. Nah, nanti disana tanyain lagi jalan ke curug.” Informasi yang padat, singkat, dan jelas. Awalnya, saya ditanya mau ketemu siapa. Sudah khas di daerah, kalau menanyakan satu tempat, pasti ditanya mau ke siapa. Beda dengan di kota besar, jangankan cari rumah orang, cari jalur aja susahnya minta ampun.
Untungnya ada warga yang bisa kami tanya. Kami disuruh parkir motor di halaman belakang rumah, lalu nanti berjalan kaki menyusuri sungai tepat di samping rumah. Kami pun parkir motor. Tidak lama, ibu pemilik rumah keluar. Sambil mengobrol basa-basi, sambil bertanya jalur. Menurut ibu ini, kami sudah orang kesekian yang menanyakan Curug Epot. Sambil menjelaskan arahan jalur dari ibu pemilik rumah, saya sambil mengeluarkan barang yang tidak perlu dibawa ke curug, kemudian dititipkan di rumah ibu. Perjalanan pun dimulai.
Sayangnya, batre hp saya sudah 3%. Power Bank yang senantiasa menemani perjalanan blusukan saya, kali ini sedang melanglangbuana ke Kota Medan. Dua teman saya pun tidak bawa. Ya sudah terima nasib tidak bisa trek jalur dan tidak bisa ambil foto pake hp. Ibu pemilik rumah mewanti-wanti kami untuk tidak berenang di curug karena airnya sedang besar dan kolamnya cukup dalam. Aliran sungai di pinggir kami merupakan aliran yang sama dengan yang membentuk Curug Epot. Sayangnya, airnya masih berwarna cokelat. Pertanda hujan masih cukup sering turun di daerah ini. Beberapa celah dihubungkan oleh bambu yang dijejerkan dan sangat licin. Setidaknya ada lima jembatan bambu kecil yang kami lewati sebelum akhirnya bertemu jembatan gantung yang dimaksud ibu tadi.
Jalur treking kami sudah berada di tengah area sawah. Kami tiba di percabangan jalur. Mbok berinsiatif bertanya pada warga yang kebetulan lewat, sementara Dian sudah duluan mengambil jalur ke arah sungai. Ternyata, jalur yang harus kami ambil adalah yang menanjak, bukan jalur menuju sungai yang diambil Dian. Kami pun kembali menanjak. Kali ini jalur masuk di area kebun. Posisi kami jadi jauh lebih tinggi dibandingkan posisi sungai. Jalan setapak dari tanah yang sebagiannya masih berlumpur dan licin kami lalui sampai tiba di sebuah balong. Disini, kami bertemu warga lagi. Kami kembali bertanya jalur menuju Curug Epot.
Menurut bapak ini, ikuti jalan ke arah atas di belakang bapak, lalu di persimpangan ambil jalan menuju jembatan bambu. Kami pun bergegeas. Benar saja ada persimpangan setelah kami menanjak melewati bapak tadi. Kami pun menyeberangi jembatan bambu yang lumayan licin dan sedikit tidak kokoh hingga tiba di pematang sawah. Dari sini, jalur mulai tidak jelas. Terdapat jalur bawah yang mengelilingi pematang sawah, ada juga jalur menanjak yang kembali melipir di area kebun, lalu jalur menuju area perkampungan lainnya. Akhirnya kami memilih jalur atas menuju area kebun.
Makin lama, jalur semakin menjauhi air terjun yang sebelumnya masih terlihat di sisi kiri jalur. Tidak lama, ada jalur menuju bawah tapi cukup terjal, tertutup, dan licin. Mbok turun duluan untuk cek jalur. Saya dan Dian menunggu di atas. Ga lama, Mbok balik lagi ke atas. Katanya ada jalur ke bawah, tapi lumayan terjal dan licin. Lalu, dari arah kami datang, ada bapak-bapak. Seperti biasa, bapak tadi bertanya kami darimana dan akan kemana. Setelah kami bilang mau ke curug, bapa tadi heran. “Mau ngapain ke curug? Mau cari apa?” timpalnya heran. Mungkin untuk warga disini, air terjun bukan hal yang aneh, malah kalau ada yang mau ke air terjun, baru aneh.
Bapak yang kami temui ini seneng bercanda tenyata. Dibilangnya, di sungai ini ada buayanya, ditambah lagi, katanya jalur ke arah bawah yang akan kami lalui ini cukup susah, dan lain-lain. Dari bapak ini juga, kami dapat satu lagi nama air terjun yang akan kami tuju. Dengan begitu, sudah ada tiga nama untuk satu air terjun. Curug Luhur, Curug Epot, dan yang terakhir, Curug Cikuya. Entah kenapa, begitu fix jalur ini yang harus kami turuni, perasaan sedikit ga enak. Saya malah ngarepnya, jalan setapak yang sedikit memutar di depan kami ini bisa ke air terjun juga. Sayangnya, kata bapa yang kami temui, jalur ini bukan ke air terjun, tapi ke kampung sebelah.
“Hati-hati, jangan buru-buru kalau melangkah” pesan bapak yang barusan kami temui sebelum kami memulai turun. Ternyata jalurnya lumayan tertutup semak belukar, malah ada juga yang menghilang total. Jarak untuk sampai ke sungai dari tempat kami masih cukup jauh, meskipun dari tempat kami ini, permukaan sungai sudah terlihat. Makin lama, jalur makin curam dan licin. Akhirnya jalur masuk lagi ke area kebun yang lebih tertutup rapat. Kali ini, jalur harus melipir tebing dengan pijakan berupa batuan lancip lengkap dengan lumut dan aliran air dari tebing. Perasaan saya makin ga enak.
Tiba-tiba kaki kanan saya seperti tersengat sesuatu. Perih. Jangan-jangan kena duri, tapi begitu liat, ga ada tanaman berduri. Jangan-jangan ular. Sambil celingukan ke kana dan kiri jalan setapak, siapa tau beneran ular, tapi nihil. Memang, lokasi kami ini cocok untuk tempat tinggal ular. Ternyata, setelah diliat lagi, ah, untungnya Cuma kena jelatang. Dan baru sadar kalau ada beberapa daun jelatang yang sedikit nongol ke jalan setapak. Setelah dibersiin pake air, kami jalan lagi. Akhirnya kami sampai di batas kebun dengan pematang sawah. Jalur yang harus kami ambil adalah menuju pematang sawah. Pematang sawah di depan mata, tapi jalur menuju kesana tidak semudah itu.
Lokasi kami dengan pematang sawah ternyata dipisahkan jurang cukup dalam. Mungkin lebih tepatnya saluran air/solokan lebar dan tertutup rapat semak belukar. Di sisi kiri kami memang ada jalan menurun, tapi sangat licin dan curam. Bahkan, tidak terlihat bekas jejak penduduk lewat di jalur tersebut. Seperti biasa, Mbok mengecek jalur yang bisa dilewati terlebih dahulu. Akhirnya, diputuskan untuk mengambil jalur di sisi kanan kami. Sama licinnya, tapi setidaknya lebih mudah dibandingkan jalur di sisi kiri kami. Baru juga melangkah, saya sudah kepeleset. Untung masih bisa tertahan oleh batang kayu yang sedari tadi saya jadikan tongkat.
Mbok jalan duluan ke arah pematang sawah untuk mencari jalur menuju tepi sungai. Saya dan Dian kembali istirahat. Untungnya di sawah, kami bertemu warga lagi. Mbok akhirnya menanyakan jalur menuju Curug Epot. Warga yang ditanya nampak bingung dan malah menunjukkan arah di seberang sungai. Wah, makin ga enak feeling saya. Akhirnya Mbok balik lagi ke tempat kami dan bilang, setelah pematang sawah, kami akan berjalan melawan arus sungai. Ternyata, pematang sawah tempat kami sekarang ini masih lebih tinggi dari permukaan sungai. Sementara, tidak ada jalur/jalan setapak untuk turun dari pematang sawah. Masa iya, harus lompatin solokan?
Ternyata kami harus turun ke cerukan cukup lebar di sisi kiri pematang sawah. Cerukan yang merupakan jalur keluar irigasi yang sepenuhnya tertutup semak belukar. Batang pisang jadi pilihan saya untuk pegangan, sementara tangn satunya masih pegang tongkat dari batang kayu. Tas saya dipegang oleh Dian agar seimbang kalau saya tiba-tiba oleng atau salah melangkah. Baru satu kaki yang turun dan masih mencari pijakan yang kokoh, tiba-tiba sekilas terlihat di tumpukan rumput di sisi kanan saya ada sesuati berwarna cokelat – hitam meliuk. Ular. Kali ini yakin pasti itu ular. Spontan saya pun langsung naik lagi karena ular tadi menuju arah saya berdiri.
Ternyata begitu sampai di pematang sawah lagi, ternyata di sawah tepat di sebelah kami (saya dan Dian) ular berwarna cokelat – hitam, persisi seperti yang saya liat di tumpukan semak belukar sedang berenang cantik ke arah kami. Saya memperingatkan Dian kalau ada ular di sebelahnya, tapi nampaknya Dian salah menagkap arah yang saya maksud. Saya hanya mematung dan tidak melihat ke arah ular, sementara Dian masih sibuk mencari dimana posisi si ular yang saya maksud. Ga berapa lama, akhirnya kami memaksakan turun,meskipun saya sempat sedikit terperosok ke saluran air.
Setelah tiba di bawah, jalan yang harus kami lewati ke pinggir sungai melewati tumpukan semak belukar, ranting, dan daun-daun. Di sisi kiri kami tebing dan sisi kanan kami masih pematang sawah. Saya dan Dian sesekali melihat ke kiri dan kanan jalur yang kami pijak, takut-takut teman-temannya ular yang di pematang sawah tadi tiba-tiba muncul. Saya bahkan sempat terpeleset dan hampir masuk ke sawah. Untung masih tertahan. Akhirnya kami sampai di pinggir sungai. Sudah ada beberapa anak-anak di sungai. Mereka datang dari arah seberang sungai. Sepertinya feeling salah jalan saya benar.
Salah satu anak di rombongan tadi menunjukkan jalan menuju bagian atas air terjun dengan memanjat dinding air terjun. Persis seperti waktu di Curug Situhiang, Majalengka, hanya saja kali ini sepertinya lebih mudah dan tidak lama. Saya dan Dian memutuskan untuk menyeberangi sungai, kemudian naik ke kebun dan mencari jalan setapak yang diinformasikan anak-anak ini. Menurut mereka, jalan masuk menuju Curug Epot ya dari jalur yang mereka lalui, bukan dari jalur yang barusan kami lalui. Sedikit kesal, cape, mood untuk mengambil foto pun sedikit hilang gara-gara drama salah jalur ini.
Mbok jalan duluan, sementara saya dan Dian masih pamitan dengan anak-anak ini. Ternyata, jalur yang kami lalui ini sama sulitnya dengan jalur sebelumnya. Jalan setapak kecil berbatu dan licin tertutup rapat semak belukar. Di ujung tanjakan. Kami kembali bertemu pematang sawah. Kali ini, seluruh pematang sawah yang merupakan penghubung jalan dari sungai ke jalan setapak baru selesai dicangkul. Mbok sudah duluan menyusuri pematang sawah ke arah air terjun, sementara saya dan Dian mencoba mencari jalur lain.
Saya dan Dian akhirnya memutuskan untuk mengambil jalan setapak di sisi kanan pematang. Mau tidak mau, kami harus menginjak pematang sawah yang masih sangat gembur ini. Cepat dan tepat, begitulah kami harus melangkah. Salah-salah bisa jadi kami terperosok ke sawah atau jatuh ke jurang di sisi kanan kami. Jurang di sisi kanan kami merupakan jalur air yang cukup dalam dan tertutup seluruhnya oleh semak belukar. Lagi-lagi bayangan adanya ular di bawah semak-semak bikin saya sedikit parno dan kaki kiri saya akhirnya sukses terperosok ke sawah. Sementara Dian takut petani yang mencangkul sawah melihat kami jalan di pematang yang baru dicangkul, saya sudah bodo amat kalaupun ketahuan juga, yang penting bisa secepatnya sampai ke jalur treking yang benar.
Pematang sawah gembur sudah kami lalui. Posisi kami saat ini berada jauh lebih tinggi dari permukaan sungai. Jalan setapak di depan kami hilang. Kami sudah kembali masuk ke area kebun. Dian mengecek jalur terlebih dahulu, sementara saya berhenti dulu di perbatasan antara kebun dan pematang sawah. Tidak lama, Dian balik lagi dan membantu saya untuk naik ke jalan setapak yang harusnya kami lewati. Jalur yang sedang kami lewati ini, termyata tidak mudah juga. Tanah yang dipijak tidak semuanya kokoh. Kaki pun harus diangkat lebih tinggi untuk melewati satu tanjakan di tanah yang bercampur lumpur.
Akhirnya kami sampai di jalan setapak yang seharusnya menjadi jalur treking kami. Sedikit lega. Kami pun bertemu Mbok. Akhirnya kami tiba di Curug Epot setelah satu jam perjalanan yang cukup bikin sedikit emosi ini. Jalan yang kami lalui ternyata berujung di tingkatan pertama Curug Epot. Untuk bisa mencapai spot seperti yang saya lihat di sosial media, ternyata masih harus turun ke tingkatan bawahnya, Curug Epot memiliki sedikitnya lima undakan utama yang cukup tinggi. Dinding air terjun merupakan batuan kokoh dan tidak rata. Pengunjung dapat naik atau turun menuju tingkatan-tingkatan Curug Epot melalui batuan ini. Ada juga jalan setapak, tetapi cukup licin dan berlumpur.
Dasar sungai di tingkatan pertama Curug Epot tidak dalam. Batuan dasarnya pun tidak licin, sehingga bisa cukup mudah untuk berjalan ke tengah. Kolam air terjun berada tepat di bawah aliran jatuhan Curug Epot. Kolamnya cukup dalam, namun tidak terlalu besar. Dinding air terjun tingkatan pertama Curug Epot pun dapat dipanjat. Banyak anak-anak dari SD Nagrog yang dengan mudahnya memanjat dinding air terjun kemudian terjun bebeas ke kolam air terjun yang saat itu berwarna cokelat. Curah hujan di wilayah ini masih cukup tinggi, sehingga airnya berwarna cokelat.
Mood untuk foto-foto sudah hilang. Kesal karena diberi informasi jalur yang salah oleh warga sehingga jadinya harus memutar jauh dan membuang banyak waktu. Cape juga karena tenaga banyak terkuras. Ya, sudahlah jadikan pengalaman saja. Saya hanya mengambil foto-foto di tingkatan pertama. Disini masih banyak adik-adik dari SD Nagrog yang menemani kami. Mbok memutuskan untuk turun dan mengambil angle foto air terjun secara keseluruhan. Saya dan Dian di tingkatan pertama saja, berfoto bersama adik-adik dari SD Nagrog ini. Salah satu anak memberikan informasi bahwa di kampung bawah, masih satu aliran dengan Curug Epot ada satu air terjun lagi yang jauh lebih besar dan lebih lebar.
Curug Cilongan namanya. Posisinya katanya tidak jauh dari pinggir jalan raya, dekat jembatan gantung. Lumayan sih bisa sekalian, mumpung lagi di daerah sini. Sekitar satu jam, akhirnya kami bersama adik-adik SD Nagrog memutuskan untuk kembali. Kami kembali menyusuri jalan setapak menuju pematang sawah. Kali ini jalurnya lebih jelas dan lebih mudah dibanding jalur abal-abal yang tadi kami lewati. Setelah pematang sawah, saya, Dian, Mbok dan tiga anak berpisah dengan rombongan lainnya. Kami bertiga baru tau kalau nama kampung tempat kami menitipkan motor bernama Kampung Cipicung.
Jalan kembali menanjak di tengah kebun. Nafas sudah Senin – Kamis tapi harus tetap jalan karena awan hitam sudah berada tepat diatas kami. Akhirnya kami sampai diujung tanjakan. Kali ini kami harus melewati jalan setapak yang cukup datar. Sesekali menanjak, tapi tidak curam. Kami tiba di persimpangan yang tidak asing. Ini adalah persimpangan tempat tadi kami menyeberangi sungai di atas jembatan bambu. Benar-benar salah jalur jauh kalau begini ceritanya. Kalau dari sini, jalannya sudah jelas. Mbok jalan duluan, sementara saya meminta Dian menemani saya yang jalannya sudah pakai sisa-sisa tenaga.
Gerimis mulai turun ketika kami sudah hampir sampai di rumah tempat kami menitipkan motor. Mbok sudah menghilang. Masih ada lima jembatan bambu yang harus saya lewati, sementara hujan makin deras. Saya sih sudah bodo amat deh mau kehujanan juga, toh semua pakaian ganti dari mulai kaos sampai kaos kaki dan buff sudah bawa semua. Cape dan mulai pusing itulah yang saya rasakan sekarang. Hujan makin besar pun tetap bodo amat. Akhirnya kami sampai juga di rumah. Ga berapa lama kami sampai, hujan berhenti.
Bersambung ke Curug Gedus 6 Mei 2017