CURUG SITUHIANG 28 JANUARI 2016


Setelah lama penasaran sama air terjun satu ini, akhirnya pada Kamis, 28 Januari 2015 saya dan Aria mendatangi Curug Situhiang. Awalnya, sempat simpang siur tentang penamaan air terjun satu ini. Pada awalnya, air terjun yang ingin saya datangi ini adalah Curug Siriwati. Setelah konfirmasi dengan Kang Eda dan beberapa teman di Majalengka, barulah saya tahu kalau air terjun yang selama ini saya ingin datangi bernama Curug Situhiang.

Curug Situhiang ini berada di tingkatan paling bawah dari tiga air terjun di Sungai Cijurey. Tingkatan paling atas bernama Curug Mahpar, Tingkatan kedua bernama Curug Siriwati atau Curug Bagong dan yang ketiga yaitu Curug Situhiang. Saya juga janjian dengan Kang Ipunk dan beberapa teman dari Majalengka. Berhubung ini hari kerja, jadi dari Bandung hanya berdua.

Kamis, 28 Januari 2016

Kami berangkat dari Bandung pukul 07.30 WIB. Jalanan cukup lancar karena selain kami melawan arus macet, banyak sekolah dan kantor juga sudah memulai aktivitasnya. Lalu lintas sedikit tersendat ketika memasuki Pasar Tanjungsari. Selepas Pasar Tanjungsari lalu lintas kembali lancar. Kami Sempat mampir untuk membeli makanan ringan dan minum. Kami jalan non stop hingga Majalengka berhubung kami sudah sangat terlambat.

Sekitar pukul 10.00 WIB kami sudah tiba di Majalengka. Setelah sedikit berputar-putar di Majalengka mencari lokasi janjian, akhirnya kami bertemu dengan Kang Ipunk. Kami tidak langsung berangkat karena masih menunggu beberapa teman lainnya. Menurut informasi dari Kang Ipunk, cuaca di Majalengka siang menjelang sore sering turun hujan deras dan cukup lama. Jalur treking menuju Curug Situhiang pun lumayan lama tetapi masih sempat untuk satu hari perjalanan.

Sekitar pukul 11.00 WIB, formasi sudah lengkap tujuh orang, kami segera menuju Curug Situhiang. Lokasi desa Curug Situhiang tidak terlalu jauh dari alun-alun Majalengka. Kondisi jalannya pun sangat baik, hanya saja memang kurang papan penunjuk arah, jadi dapat dipastikan kalau tidak diantar, kali ini saya harus sedikit nyasar-nyasar.

Kami tiba di Blok Cijurey tepat pukul 11.30 WIB. Kami memarkirkan sepeda motor di pinggir jalan karena memang tidak ada lahan parkir dan jalannya pun jalan buntu. Setelah packing ulang, kami pun mulai treking. Kondisi cuaca berubah sedikit mendung. Awalnya jalur treking melewati halaman belakang rumah warga kemudian tembus di kebun. Jalan di kebun merupakan jalan setapak tanah merah dan langsung menanjak.

Jalan setapak semakin menanjak dan berhubung saya sudah lama sekali tidak treking lama, jadi belum apa-apa sudah cape. Saya pun bertanya, apa ada jalur lain selain jalan setapak yang terus menanjak. Ternyata ada jalur satunya yaitu yang melewti aliran Sungai Cijurey. Menurut Kang Ipunk, kalau lewat sungai tidak terlalu menanjak, hanya harus melewati batu-batu. Tanpa piker panjang, saya pun memilih jalur sungai, karena malas bertemu tanjakan. Apalagi dengan kecepatan jalan saya yang seperti ini, bisa-bisa satu jam kami baru tiba di Curug Situhiang.

Awalnya jalan di sungai cukup mudah. Aliran sungainya sangat dangkal dan airnya sedang surut, tapi kemudahan ini tidak berlangsung lama.  Kami dihadapkan dengan tebing batu. Tidak ada jalan setapak lagi, seolah sungainya berhenti disini. Ternyata jalan yang harus kami ambil adalah yang sedikit memanjat batuan di sisi kiri tebing ini, melawan aliran sungai.

Cukup mudah untuk memanjat batuan di sisi ini meskipun tidak ada yang bisa dijadikan pegangan. Setelah tiba di atas batu, ternyata aliran Sungai Cijurey ini ke arah hulu (ke arah Curug Situhiang) tidaklah datar, tetapi mengalir menuruni batuan sungai yang ukurannya sangat besar dan tinggi. Jadi, mau tidak mau, untuk mengikuti aliran sungai ini ke arah hulu, kami semua harus memanjat batuan di Sungai Cijurey ini. Di beberapa titik batuan cukup mudah kami lewati, tetapi tidak sedikit juga batuan yang haru kami lewati tingginya melebihi tinggi badan kami semua dan sangat licin.

Kami harus berpegangan pada akar-akar pohon dan ranting yang merambat dan berhati-hati agar tidak jatuh ke aliran sungai yang dipenuhi batu. Untuk saya, trek seperti ini baru pertama saya temui dan sudah dapat ditebak, saya kesulitan. Karena saya pribadi memang sudah siap basah, jadi, kalau memang pijakan kaki saya ke batuan yang akan dilewati tidak sampai, masuk dulu ke aliran sungai. Kedalaman aliran sungai bervariasi. Ada yang selutut, sebetis, seperut, bahkan ada yang harus sedikit berenang dulu karena cukup dalam.

Selain kerepotan dengan pijakan yang berupa batuan sungai yang sangat sempit dan licin oleh lumpur, pegangan pun tidak ada. Akhirnya tas yang saya bawa, saya titipkan ke Aria, maklum faktor umur memang tidak bohong kalau ketemu trek seperti ini, ditambah sudah lama tidak olahraga berat. Selesai memanjat satu dinding batuan berhenti, jalan lagi, manjat lagi, berhenti lagi, begitu saja seterusnya. Karena cukup banyak berhenti, tenaga pun lama-lama terkuras. Mau isi perut pun rasanya malas kalau belum sampai mengingat kondisi trek yang harus setengah memanjat ini.

Akhirnya setelah hampir satu jam, kami tiba di Curug Situhiang. Rasanya semua cadangan tenaga sudah terkuras habis. Saya sedikit gemeteran dan pusing karena memang pagi tadi hanya makan sepotong roti. Sayangnya, dalam perjalanan kali ini, saya lupa bungkus untuk makan siang. Jadi, untuk mengembalikan tenaga, hanya makan roti dan beberapa makanan ringan yang saya beli di mini market di perjalanan tadi. Minum pun hanya tinggal satu botol minuman berasa dan setengah botol air mineral.

Untuk menuju Curug Siriwati dari Curug Situhiang masih harus treking ke hulu sekitar lima belas menit dengan trek berupa jalan setapak menanjak. Dari Curug Siriwati ke Curug Mahpar, jalur treking kembali sedikit memanjat batuan dinidng air terjun Siriwati. Dengan kondisi fisik yang sudah cukup payah, akhirnya saya memutuskan untuk di Curug Situhiang saja. Aria pun memutuskan tinggal di Curug Situhiang. Teman lainnya, termasuk Kang Ipunk melanjutkan perjalanan ke Curug Siriwati.

Ketika kami tiba di Curug Situhiang skeitar pukul 13.00 WIB, cuaca kembali cerah. Kalau begini bisa sedikit santai, tidak terburu-buru karena takut hujan deras. Tidak banyak yang bisa dilakukan di Curug Situhiang selain mengambil foto dan tidur-tiduran di batuannya yang berbentuk balok. Area di sekitar Curug Situhiang sedikit sempit, tetapi bila turun sedikit ke aliran Sungai Cijurey, cukup banyak batuan kali yang bisa digunakan sebagai tempat istirahat.

Aliran Sungai Cijurey sedang berada pada debit rendah, sehingga tidak sulit untuk berjalan-jalan di aliran sungainya. Meskipun debit air Curug Situhiang dan Sungai Cijurey kecil, ada papan peringatan mengenai air bah. Curug Situhiang memiliki dinding air terjun yang unik. Dinding air terjunnya berupa balok-balok memanjang vertical. Hal ini biasa disebut sebagai Columnar Joiunt. Aliran air Curug Situhiang sendiri mengalir di celah-celah dinding-dindning Columnar Joint tersebut. Voluem jatuhannya tidak besar dan mengikuti celah sempit diantara dinding air terjun Columnar Joint.

Sebelum masuk kembali ke sistem Sungai Cijurey, aliran jatuhan dari Curug Situhiang masuk ke dalam kolam. Kolam Curug Situhiang tidak terlalu besar tetapi cukup dalam. Dinding Curug Situhiang dapat dipanjat dengan cukup mudah, tetapi tetap harus berhati-hati agar tidak terpeleset. Sebagian area Curug Situhiang dan Sungai Cijurey kali ini tidak banyak yang dialiri air, sehingga kami cukup leluasa untuk bergerak di aliran Sungai Cijurey.

Sekitar jam 14.30 WIB, teman-teman yang ke Curug Siriwati kembali ke Curug Situhiang. Sambil mereka istirahat, saya sambil merapihkan barang-barang. Sekitar pukul 15.00 WIB kami jalan turun. Kali ini jalur yang kami ambil yaitu melewati jalan setapak. Jalur jalan setapak ternyata cukup sempit dan masih cukup licin karena masih setengah basah. Jalur jalan setapak ternyata jauh lebih mudah, hanya saja jika dari arah parkiran motor memang full tanjakan, setidaknya tidak harus memanjat-manjat batu dan basah-basahan di sungai.

Sebenarnya kami ditawari ke Curug Patapaan yang juga berada di dekat lokasi kami saat ini. Berhubung kondisi fisik saya sudah kewalahan dan sudah menggigil karena baju basah, jadi terpaksa Curug Patapaan di skip. Beberapa waktu lalu, teman-teman dari Komunitas Ngetrip Majalengka mengadakan open trip ke Curug Situhiang, Curug Siriwati, dan Curug Mahpar dengan peserta kurang lebih lima puluh orang. Jalur yang digunakan adalah jalur jalan setapak. Curug Situhiang ini juga menjadi salah satu tujuan dari salah satu acara tv bertemakan traveling beberapa waktu lalu. (2016) Jalur yang digunakan adalah jalur sungai seperti yang kami lewati barusan.

Setiba di parkiran, cuaca menjadi sangt mendung. Belum juga kami cukup istirahat, gerimis mulai turun. Kami membayar parkir sebesar lima ribu rupiah satu motor pada warga setempat. Kami pisah disini. Saya, Aria, Kang Ipunk dan satu teman lagi memutuskan untuk mampir makan dulu di Majalengka, sedangkan yang lainnya langsung pulang. Setibanya kami di tempat makan, hujan deras pun turun. Kami makan sate yang menurut saya dan Aria rasanya sangat enak.

Setelah makan, kami pamit pisah dengan Kang Ipunk. Saya dan Aria akan melanjutkan perjalanan ke rumah teman kami, Asep di Kadipaten. Berhubung Aria tidak bawa kaos ganti, jadi daripada masuk angin, kami memutuskan untuk mampir ke rumah Asep. Kebeneran, kami berdua belum pernah ke rumah Asep, jadi sekalian main, sekalian pinjam baju ganti. Perjalanan ke rumah Asep cukup lancar. Ini pertama kalinya saya lewat jalur Kadipaten ke arah Utara.

Jalur yang kami lalui menuju ke arah Gerbang Tol Cipali di Kadipaten serta melewati Jembatan Monjot yang baru-baru ini masuk berita karena kembali rusak. Ketika kami lewat, kondisi Jembatan Monjot masih dalam perbaikan. Hanya kendaraan kecil saja yang bisa lewat. Kami tiba di rumah Asep sekitar pukul 16.30 WIB. Sehabis Magrib, kami pamitan untuk lanjut jalan ke Bandung. Jalanan sepanjang Kadipaten – Bandung hari kerja begini sangat kosong.

Di Nyalindung, kami sedikit terhambat karena ada kecelakaan. Truk yang remnya sepertinya blong, menyeruduk satu rumah hingga rusak parah. Kejadiannya baru saja terjadi ketika kami lewat, sehingga masih sedikit warga yang berkerumun. Setelah lokasi kecelakaan tersebut, kondisi jalan kembali kosong. Kadipaten – Bandung dapat kami tempuh dalam waktu dua jam saja (18.30 WIB – 20.30 WIB). Di Tanjungsari, kami belok ke arah Parakanmuncang. Kalau weekend, atau truk tambang dan bus malam sudah jalan, bisa-bisa perjalanan kami sedikit terhambat.


About Dya Iganov

Penyuka traveling, tidak hanya mendaki gunung, tapi juga touring, rafting, explore, city tour, kemping ceria, susur pantai, dll