Selang Satu bulan lebih sedikit, saya akhirnya berkesempatan untuk kembali mengunjungi Malang. Kunjungan kedua saya kali ini lebih difokuskan untuk mengeksplore pantai-pantai di Malang. Tepatnya di Kabupaten Malang, bagian dari pesisir Selatan Pulau Jawa. Seperti biasa, saya menggunakan kereta untuk menuju dan kembali dari Malang.
Kali ini, saya akan kembali ditemani oleh Mas Aris, salah satu driver sekaligus guide dari Ojek Wisata Malang (OWM). Saya pun janjian dengan Mas Aris di Stasiun Kepanjen. Kepanjen lagi-lagi dipilih sebagai starting point karena memang posisinya yang lebih dekat dengan jalur menuju Selatan dibandingkan dengan Malang Kota.
Berbekal dari pengalaman sebelumnya untuk mengeksplore air terjun di Malang, kali ini sebelum berangkat saya sudah menyiapkan list pantai-pantai yang akan dikunjungi. List pantai dari ujung Barat Kabupaten Malang sampai ujung Timur Kabupaten Malang sudah saya persiapkan. Lengkap dengan lokasi, rute yang harus diambil, kondisi jalan, waktu tempuh, hingga dibuat itinerary sederhana. Tujuannya tentu supaya ga ngacak dan ga kehabisan tujuan kalau ada tujuan yang gagal didatangi.
Rabu, 7 November 2018
Pukul 08.00 WIB saya pun tiba di Stasiun Kepanjen. Terlambat satu jam kurang karena masalah teknis. Mas Aris sudah menunggu saya di luar stasiun. Setelah ketemu dengan Mas Aris, kami langsung tancap gas ke arah Selatan. Kali ini, tujuan kami yaitu pantai-pantai yang ada di sebelah Timur Kabupaten Malang.
Pantai-pantai yang nge-hits hampir semua berada di sini. Mulai dari Batu Bengkung, Goa Cina, Sendang Biru, Pantai Tiga Warna, Watu Leter, Teluk Asmoro, Bajul Mati, Banyu Anjlok dan lainnya. Tujuan kami pertama yaitu Pantai Sendiki. Sebenarnya, pengennya sih mulai dari Banyu Anjlok, tapi berhubung jauh dan takut ga keuber dalam satu hari ini, maka Sendiki titik awalnya.
Posisi Pantai Sendiki sendiri sudah lumayan paling ujung dan mencil sendiri, makanya saya pilih susur pantainya mulai dari Pantai Sendiki. Pantai Sendiki sendiri saya pilih karena pantainya cukup unik. Perjalanan dari Stasiun Kepanjen sampai di parkiran Pantai Sendiki kurang lebih dua jam perjalanan.
Awal perjalanan, kami sempat disambut mendung. Memang sih, awal November ini sebagian wilayah di Pulau Jawa sudah memasuki musim hujan, termasuk Malang dan sekitarnya. Sempat khawatir juga kalau hari ini bakalan mendung seharian.
Ternyata memasuki jalur lintas Selatan Jawa Timur, matahari mulai muncul. Ga tanggung-tanggung, langsung terik. Saya sempat mengantuk di jalur ini. Jalur Lintas Selatan Jawa Timur yang dominan lurus, terik tanpa pepohonan, sepi, mulus, ditambah terpaan angin sukses bikin mata saya berat.
Tepat pukul 10.00 WIB, kami sudah masuk ke area Pantai Sendiki. Posisi jalan raya utama berada di atas bukit, itu artinya kami harus menuruni bukit dulu untuk sampai di ara Pantai Sendiki. Jalanan menuruni bukit cukup mulus. Sesampainya di dasar bukit, kondisi jalan mulai berubah.
Kami harus melewati area persawahan dengan kondisi jalan makadam, bahkan sebagian berupa tanah. Untungnya ketika kami melintas, kondisi jalannya 90% kering. Jalur pematang sawah ini kurang lebih 3 Km. Setelah itu, barulah kami tiba di area parkir Pantai Sendiki. Ditandai dengan adanya pos penjagaan sekaligus loket tiket.
Untuk memasuki Pantai Sendiki, kami membayar retribusi sebesar Rp 10.000,00 untuk kendaraan roda dua. Setelah memarkirkan motor, kami pun menju Pantai Sendiki Ternyata, kami harus menaiki bukit dulu, baru turun menuju area bibir pantai.
Setelah parkir motor, kami berjalan kaki menaiki bukit. Sudah dibuatkan tangga yang kanan-kirinya penuh dengan warung dan toilet umum sampai di puncak bukit. Di puncak bukit ada semacam gapura. Setelah itu, barulan menuruni bukit yang juga sudah dibuatkan tangga.
Tepat setelah tangga habis, kami memasuki area outbond Pantai Sendiki. Lengkap dengan gapura, saung-saung, tempat duduk dari batang kayu, saung, dan semi rumah pohon.
Tujuan kami pertama adalah area pantai yang berbatu. Area pantai berbatu berada di ujung Timur Pantai Sendiki. Artinya, kami harus jalan menyusuri area Pantai Sendiki hingga ke ujung Timur.
Kami memilih berjalan tepat di pinggir pantai. Panas campur terik matahari ditambah pasir Pantai Sendiki yang berwarna putih sukses bikin silau dan dehidrasi. Pasir pantainya gembur dan topografinya miring, sehingga langkah saya pun tambah berat.
Sesampainya di area pantai berbatu, saya istirahat dan langsung minum. Dehidrasi. Sayangnya, lagi-lagi kurang persiapan air minum, jadi harus dihemat. Seenganya sampai kami tiba lagi di area warung-warung di atas bukit sana.
Untungnya di sekitar area pantai berbatu ini pepohonannya masih cukup teduh. Ternyata area pantai berbatu ini bukan area wisata. Terdapat papan himbauan yang berisikan batas area wisata dan pengunjung tidak diperkenankan untuk berjalan lebih jauh lagi di area bebatuan.
Untuk saya pribadi, batuan di sekitar bibir Pantai Sendiki ini kurang stabil. Bentuknya yang bulat dengan ukuran yang lebih kecil dibandingkan batu karang membuatnya semakin tidak stabil jika diinjak. Selain itu, area pantainya langsung melandai dan dalam ditambah ombak yang cukup besar.
Jika diteruskan, ujung dari pantai berbatu ini merupakan area Tanjung Kleten dan di tepat di sisi satunya merupakan area Pantai Watu Klotok. Tepat di hadapan Pantai Sendiki di sisi Timur, terdapat Pulau Rantai dan Cagar Alam Pulau Sempu di sisi Barat Pulau Rantai.
Setelah puas mengambi beberapa foto di pinggir area pantai berbatu, kami pun memutuskan untuk kembali. Kali ini kami memilih jalur di darat. Jalur darat melewati jalan setapak di pinggir hutan. Di tengah jalan setapak, tepat sebelum area kemping, terdapat aliran sungai yang saat itu mengering. Mungkin jika hujan cukup deras, akan terisi air dan bermuara di dekat area pantai berbatu. Kami melewati area untuk kemping yang cukup luas dengan tanah yang datar dan padat.
Di sepanjang bibir Pantai Sendiki terdapat ayunan yang diikatkan pada batang pohon, oleh karena itu, ketinggian tiap ayunan berbeda-beda. Sesekali saya berhenti mengambil foto, lalu kembali berjalan ke area outbond Pantai Sendiki. Tidak ada pengunjung lain di sekitar area pantai berbatu sampai area camp. Mungkin karena bukan hari libur dan mataharinya cukup terik, jadi orang malas untuk berjalan-jalan ke sisi lain Pantai Sendiki.
Kami tiba di area outbond. Barulah kami bertemu dengan pengunjung lain. Kami memutuskan untuk mengambil beberapa foto di area outbond lalu kembali ke atas. Rasa haus sudah tidak dapat ditahan, kepala saya pun sudah mulai pusing, Percampuran antara kepanasan, kurang air putih, dan menahan ngantuk. Sayangnya, untuk tiba di area warung-warung saya masih harus menaiki anak tangga ke puncak bukit.
Sudah dapat ditebak, butuh waktu lumayan lama untuk menaiki anak tangga yang sebenarnya tidak seberapa banyak itu. Bahkan, saya sempat menyerah dengan duduk sejenak di tengah-tengah tanjakan. Lumayan juga areanya teduh dan ada angin sepoi-sepoinya. Sementara Mas Aris, sudah sampai di gapura puncak bukit. Dengan sisa tenaga dan nafas yang udah ampir abis juga, saya sampai juga di gapura. Ga pake basa-basi langsung cari warung untuk istirahat dan pesan minuman dingin yang manis-manis.
Saya segera memasan es teh manis dan mie goreng pakai telur. Dipikir-pikir, terakhir saya makan ya tadi malam di kereta. Sewaktu kami tiba di warung sudah pukul 11.00 WIB lebih. Sudah hampir waktu makan siang dan sarapan yang terlewat. Pantas badan super lemes.
Setelah tenaga mulai pulih dan ngantuk kembali hilang, kami memutuskan untuk ke lokasi berikutnya. Awalnya, tujuan kami berikutnya yaitu Batu Bengkung dan Teluk Asmoro, namun, berhubung ke Teluk Asmoro kami mau naik ke bukitnya, sepertinya di skip dulu.
Pilihan pun jatuh ke Pantai Watu Leter. Meskipun, jadinya bolak-balik karena nantinya tetap akan ke Teluk Asmoro, tapi seengganya saya ga perlu langsung trekking naik-naik bukit lagi siang bolong. Kami pun langsung tancap gas menuju Pantai Watu Leter. Jalan utama masih tetap sepi dan terik karena tidak ada pepohonan.
Kami tiba di persimpangan menuju Pantai Watu Leter. Persimpangan ini juga merupakan jalur menuju Pantai Goa Cina. Jalan masuk menuju area Pantai Watu Leter masih dominan tanah dengan batuan seadanya. Kondisi medannya menurun hingga di dekat area parkir. Kami kembali membayar retribusi sebesar Rp 10.000,00 untuk sepeda motor.
Tepat setelah area parkir merupakan area warung, toilet, musola, dan berikutnya adalah area yang ditumbuhi tanaman sejenis pinus/cemara udang. Area ini juga dapat dipergunakan untuk kemping. Setiba di bibir pantai, terik matahari langsung menyengat dan kepala saya langsung sakit lagi. Saya pun meminta Mas Aris untuk ke spot yang bisa hammockan dan sepi.
Akhirnya kami menuju sisi Barat pantai. Area ini jauh lebih sepi dibandingkan area di sisi Timur. Area Barat lebih gersang, meskipun terdapat saung-saung kecil, tapi sangat-sangat gersang. Pasir pantainya jauh lebih gembur. Kami pun memasang hammock dan saya memutuskan untuk tidur sebentar. Saya pun meminta Mas Aris untuk membangunkan saya jika sudah pukul 13.00 WIB.
Satu jam tidur di pinggir pantai yang cukup sepi dengan angin yang cukup besar rasanya sangat sangat kurang. Tapi, kami masih harus berjalan ke beberapa lokasi lagi, sayang kalau hanya dilewatkan dengan tidur saja. Setelah membereskan hammock, kami pun berjalan ke sisi Timur Pantai Watu leter.
Sisi Timur Pantai Watu Leter memiliki pantai berbatu karang. Banyak terdapat batuan karang berbentuk bongkahan maupun berukuran pecahan. Sisi Timur Pantai Watu Leter ‘dipagari’ oleh Bukit Saroja. Sebuah bukit yang membatasi Pantai Watu Leter dengan Pantai Goa Cina. Sementara, sisi Barat Pantai Watu Leter ‘dipagari’ oleh muara sungai yang cukup besar, dimana terdapat Jembatan Bajul Mati. Di sisi Timur juga terdapat pulau karang yang bernama Pulau Kletek.
Area Timur Pantai Watu leter siang itu cukup ramai. Saung-saung kecil di pinggir pantai ramai oleh pengunjung yang sedang menikmati makan siang dan mengeringkan pakaian. Kami menuj pantai kecil berair tenang tepat di bawah Bukit Saroja. Disinilah Watu Leter yang berjumlah empat itu berada.
Kondisi pantai sedang surut, bahkan setelah Watu leter pun masih belum sampai di batas pasang-surut. Seperti biasa, saya meminta bantuan Mas Aris untuk jadi model foto saya. Setelah mengambil cukup foto, kami pun memutuskan untuk ke lokasi berikutnya. Sambil berjalan ke arah parkiran, sambil sesekali mengambil foto dari sudut pandang berbeda.
Tujuan kami berikutnya yaitu Teluk Asmoro. Berhubung sudah tidak terlalu terik, jadi sepertinya mencoba naik ke atas bukitnya tidak masalah. Kami kembali ke sisi Timur, karena posisi Pantai Teluk Asmoro berada di Timur Pantai Watu Leter. Pantai Goa Cina sementara saya lewat dulu. Selain, sudah terkenal, saya pun penasaran sama landscape Teluk Asmoro yang mirp-mirip Raja Ampat mini ala Malang.
Jalan masuk menuju Pantai Teluk Asmoro jauh lebih bagus dibandingkan jaan masuk menuju Pantai Watu Leter. Setiba di parkiran Pantai Teluk Asmoro, kami kembali membayar retribusi sebesar Rp 10.000, 00 per orang (karena kami berdua, jadi Rp 20.000,00) dan parkir sepeda motor sebesar Rp 5.000,00.
Kami tiba di Teluk Asmoro sekitar pukul 15.00 WIB. Meskipun hari biasa, ternyata pengunjungnya cukup banyak. Area parkir sepeda motor sudah cukup penuh, area parkir mobil pun mulai penuh. Di sekitar area parkir terdapat warung dan toilet.
Berhubung kami akan menuju bukit, jadi kami memilih jalan setapak ke sisi Timur dari jalan masuk menuju area pantai. Jalan ini merupakan jalan warga. Jalannya berupa tanah. Ternyata, jalur menuju bukit sudah dibenahi. Menurut info dari Mas Aris, dulu, kalau mau ke puncak bukit melewati jalan setapak, tapi sekarang sudah ada jalur yang menggunakan tangga.
Tangganya pun bukan hanya tangga beton, tetapi dihiasi berbagai cetakan daun yang ditempel ketika semen masih basah, ukuran tangganya pun konsisten. Ternyata, di puncak bukit terseut, akan dibangun villa pribadi. Memang sih, sebelumnya pun sudah ada satu bangunan berupa pendopo kecil di puncak bukit, tapi belum dibangun.
Pendopo tersebut milik pribadi, jadi, kalau banyak foto-foto di sosial media ada yang berfoto di pendopo tersebut, harus memanjat tiang dan batu di pinggiran pendopo. Nah, ketika kami datang, puncak bukit dan area pendopo sedang dibenahi.
Terdapat batas pengunjung dan area villa. Untuk area pengunjung dibuatkan semacam landmark berbentuk hati sebagai titik pandang ke arah Teluk Asmoro dan pulau-pulau kecil di Timur, kursi dari beton, tempat sampah, dan taman kecil. Sedangkan untuk area villa pribadi sedang dilakukan pembangunan oleh pemilik. Kami pun tidak diijinkan mendekati ke area milik pribadi.
Untuk pengangkutan material villa, bahkan pohon-pohon yang menjadi hiasan diangkut melalui jalan setapak yang dulu merupakan merupakan satu-satunya akses menuju puncak Bukit Teluk Asmoro. Bahkan, pengangkutan pun dilakukan dengan menggunakan mobil offroad dan alat berat lainnya.
Ketika kami tiba di puncak bukit, sudah ada empat pengunjung lainnya yang sedang berfoto. Saya yang hampir kehabisan tanaga dan nafas (lagi) setelah menaiki tangga ke puncak bukit memilih untuk duduk sambil mengatur nafas. Sambil istirahat, sambil menunggu area kosong dari pengunjung lain untuk mengambil foto. Hal ini karena spot untuk pengambilan panorama ke arah pulau-pulau kecil sangat terbatas.
Setelah empat pengunjung lain tadi turun, saya pun mulai mengambil foto. Tidak banyak spot yang bisa dieksplore dari atas sini, tapi viewnya emang keren. Dari atas bukit terlihat Pantai Clungup yang airnya sedang surut total. Pantai Gatra di mulut muara Pantai Clungup, dan yang pasti Pantai Teluk Asmara. Selain itu terlihat beberapa pulau karang, diantaranya Pulau Bagong dan Pulau Cilik. Sebagian Cagar Alam Pulau Sempu pun terlihat dari atas Bukit Teluk Asmoro.
Berhubung sudah semakin sore, nampaknya Pantai Goa Cina saya skip. Pantai Tiga Warna pun saya skip, karena katanya harus menggunakan jasa guide dengan bayaran yang diluar budget saya. Selain itu, waktu tempuh untuk ke Pantai Tiga Warna tidak cocok dengan itinerary yang saya buat.
Akhirnya saya memutuskan untuk langsung saja menuju pantai yang punya spot sunset keren dan masih sepi. Pantai Ngudel menjadi pilihan saya. Beberapa minggu lalu, saya sempat melihat foto sunset di Pantai Ngudel milik Mas Aris. Lokasinya sempurna menurut saya.
Dalam perjalanan ke Pantai Ngudel, sayangnya cuaca kembali tidak bersahabat. Langit yang semula biru, bersih dari awan, lama kelamaan menjadi putih. Memang, selama kami di Bukit Teluk Asmoro, langit di Timur kami gelap, pertanda hujan sudah turun.
Sepanjang jalur masuk menuju Pantai Ngudel, kami tidak berpapasan dengan kendaraan lain. Lokasi Pantai Ngudel cukup jauh dari Pantai Teluk Asmoro. Setelah keluar dari jalan raya utama dan masuk ke jalur Pantai Ngudel, akan dilewati beberapa pantai kecil berbatu karang.
Pantai pertama yang akan dilewati yaitu Pantai Buncaran. Karakteristik pantai ini cukup unik. Pantai dengan muara sungai dengan pulau batu karang di tengahnya seolah menjadi membagi pantai menjadi dua sisi. Sisi muara dan sisi yang tidak memiliki muara.
Pantai kedua yaitu Pantai Kletekan. Pantai ini juga cukup unik, karena memiliki semacam pemecah ombak alami dari susunan batu karang. Dengan adanya batuan karang yang berjajar di depan bibir pantai yang berbentuk teluk kecil, bentukannya jadi mirip pelabuhan mini. Namun, ombak di pantai ini tetap besar.
Setelah Pantai Kletekan, barulah jalan memasuki area Pantai Ngudel. Kali ini kami membayar retribusi sebesar Rp 15.000,00 per orang yang sudah termasuk retribusi parkir. Saat kami tiba, hanya ada satu rombongan dengan mobil dan beberapa pengunjung dengan sepeda motor. Menurut Mas Aris, terdapat bukit di sisi kanan area pantai. Nama bukit ini belakangan baru saya tahu bernama Bukit Asmara. Dari atas bukit ini bisa terlihat pantai-pantai lain di sebelah Pantai Ngudel.
Jika dari Pantai Ngudel, pantai-pantai ini tidak akan terlihat karena tertutup bukit. Pantai-pantai tersebut antara lain Pantai Kuncaran, Pantai Ngandol, dan Pantai Ngandol Atas. Ketiga pantai ini masih jauh lebih sepi dari pengunjung dan minim fasilitas umum lainnya.
Area di sekitar bibir Pantai Ngudel ditumbuhi cemara udang. Sama seperti di Pantai Watu leter, hanya saja areanya lebih luas dan sudah lebih tinggi. Terdapat jajaran warung dan toilet umum di sekitaran area Pantai Ngudel. Tepat di hadapan Pantai Ngudel terdapat bongkahan batu karang yang cukup besar.
Kami mengambil spot tidak jauh dari sekitaran batu karang. Untungnya lagi, di lokasi yang kami pilih, kami bisa membuka hammock. Berhubung sudah pukul 16.30 WIB, jadi saya putuskan ini pantai terakhir yang kami datangi hari ini. Sebenarnya, bisa saja sih sambil menunggu sunset, saya mengunjungi tiga pantai lainnya di samping Pantai Ngudel. Berhubung sudah malas trekking dan pengen santai-santai di pantai, akhirnya saya mutuskan buat hammockan saja sampai sunset.
Sayangnya, sampai hampir pukul 18.00 WIB lebih, langit tetap berawan. Gambaran matahari bulat sempurna yang tenggelam di Barat seperti di foto milik Mas Aris pun tidak saya temui. Yah, setidaknya hari ini kami tidak kena hujan, dan matahari cukup terik di pantai-pantai yang kami datangi.
Setelah mulai gelap, kami pun bergegas untuk kembali ke Malang. Berhubung ini pertama kali saya ke pesisir Selatan Malang, jadi saya belum terlalu hafal jalur-jalurnya. Setelah melewati jalan desa yang cukup sepi dan gelap, akhirnya kami sampai di Gondanglegi. Kalau jalur Gondanglegi – Malang sih sudah sedikit hafal. Akhirnya saya sampai di Malang tepat pukul 21.00 WIB.