EKSPLORE MALANG 9 NOVEMBER 2018


Kali ini tujuan kami di sekitaran Pantai Balekambang. Setidaknya tidak terlalu jauh dibandingkan perjalanan kemarin. Seperti biasa, jam 08.00 WIB Mas Aris sudah datang. Kami pun mengambil jalur menuju Pantai Balekambang. Cuaca pagi ini cukup cerah, semoga saja tetap cerah sampai nanti malam.

Tujuan pertama kami adalah Pantai Selok. Untungnya kali ini Mas Aris sudah pernah ke area Pantai Selok. Sebelumnya, hanya Pantai Ngliyep saja yang sudah pernah dikunjungi diantara pantai-pantai di hari kedua, itupun sudah lama. Dari artikel yang saya baca, untuk menuju Pantai Selok, kami harus mengikuti jalur menuju Pantai Kondang Merak. Pantai Kondang Merak merupakan pantai yang menjadi pintu masuk ke beberapa pantai lainnya.

Yang saya tidak tahu adalah kondisi jalan menuju Pantai Kondang Merak. Setiba di persimpangan Pantai Balekambang, Mas Aris meminta untuk istirahat sebentar, karena katanya habis ini jalannya bakalan jelek banget. Ternyata, arah ke Pantai Kondang Merak yaitu jalan di sisi kanan kami.

Jalan menanjak dengan perkerasan makadam parah dan di kanan-kirinya adalah hutan. Itu adalah gambaran jalur yang harus kami lewati menuju Pantai Kondang Merak. Bagus!. Jalan makadam sepanjang 5,1 Km harus kami tempuh untuk tiba di Pantai Kondang Merak.

Langit biru cerah, setidaknya kami aman dari jalan licin. Kondisi jalan sepanjang 5,1 Km (yang lebih panjang 1 Km dibandingkan ke Pantai Bantol kemarin) sangat lebar. Berbeda dengan jalur makadam menuju Pantai Bantol yang hanya pas untuk dua truk pasir papasan, jalur ini jauh lebih lebar. Meskipun makadamnya jauh lebih hancur.

Batuannya jauh lebih besar-besar, medannya relatif datar, hutannya sama lebatnya, dan sama sepinya. Untungnya Mas Aris sudah pernah ke Pantai Selok jadi sepertinya lebih bisa ngitung waktu dibandingkan ke Pantai Bantol kemarin. Sama-sama belum pernah, jadi masih belum bisa hitung waktu.

Terdapat persimpangan menuju beberapa pantai yang tidak sempat saya baca. Tapi, kalau menurut Mas Aris, tujuan kita, Pantai Kondang Merak adalah yang tetap mengikuti jalur. Penasaran juga seperti apa Pantai Kodang Merak. Saat mencari artikel tentang Pantai Selok, artikel tentang Pantai Kondang Merak yang jadi pintu masuknya malah tidak saya baca.

Setelah hampir satu jam melewati jalan makadam dengan batuan yang besar-besar, kami tiba di jalan yang sedikit lebih sempit. Terdapat gapura tanpa keterangan apapun. Saya pikir kami sudah sampai di Pantai Kondang Merak, ternyata masih belum. Masih sekitar 1 Km lagi dari gapura pertama tadi.

Kami pun tiba di area Pantai Kondang Merak. Sebelum gapura Pantai Kondang Merak terdapat jalan ke arah kanan. Jalur inilah yang harus diambil untuk menuju Pantai Selok. Jangan masuk ke area Kondang Merak karena nanti harus keluar lagi. Terdapat pagar pembatas di area parkir Pantai Kondang Merak dengan Pantai Banyu Meneng.

Pantai Kondang Merak dan Pantai Banyu Meneng merupakan pintu masuk menuju beberapa pantai cantik lainnya. Mulai dari Pantai Banyu Meneng dan Pantai Selok yang masih memiliki akses cukup mudah. Lalu Pantai Kondang Sugu di paling ujung Barat.

Bila dari Kondang Sugu terus menyusur ke arah Barat, maka akan ditemui Pantai Pakhutan Sikutan, Pantai Rante Wulung dan Pantai Mbehi. Untuk mencapai tiga pantai terakhir, medannya cukup sulit. Memasuki area hutan dan waktu tempuhnya sekitar dua jam berjalan kaki. Pantai Rante Wulung juga terkenal sebagai spot memancing. Pantai Mbehi terkenal dengan kolam dengan airnya yang sangat jernih tepat di batuan karang pinggir pantai.

Jika dari Pantai Mbehi diteruskan lagi ke arah Barat, pantai-pantainya lebih dikenal sebagai area memancing. Sebut saja Alang-alang rock spot, Sap Rock fishing spot di area sekitar Pantai Jemblong. Kuniran Rock fishing spot, Geben Rock fishing spot, serta Anjatan rock fishing spot yang berada di area Pantai Gragalan. Spot memancing paling Barat yaitu Pring Jowo fishing spot yang berada di area Pantai Pring Jowo.

Berhubung waktu kami terbatas, kami hanya sampai di Pantai Selok. Padahal saya penasaran juga sama Pantai Mbehi dan Pantai Rante Wulung. Mungkin lain kali saja. Kami memakirkan motor di area parkir dekat Pantai Banyu Meneng. Sepi, semua warung tutup, tidak ada penjaga parkir dan pengunjung lain.

Kami pun berjalan kaki menuju Pantai Selok. Pertama-tama kami melewati Pantai Banyu Meneng, tapi kami tidak mampir, nanti saja setelah dari Pantai Selok. Ternyata masih ada warung-warung di sekitaran Pantai Selok. Ada juga rombongan yang sedang kemping di Pantai Selok. Kami memilih sisi Timur Pantai Selok.

Pantai Selok memiliki pasir pantai yang putih. Terdapat beberapa bongkahan karang yang tepat berada di depan bibir pantai. Bongkahan batu inilah yang menjadi ikon Pantai Selok. Di sisi Baratnya terdapat pulau batu karang. Pantai Selok di sisi Barat dibatasi oleh Pathukan Jugruk. Sedangkan sisi Timurnya dibatasi oleh bukit. Tepat di sebelah bukit tersebut terdapat Pantai Banyu Meneng.

Ombak di Pantai Selok cukup besar, bahkan ketika saya tiba, masih pasang. Berhubung matahari lagi terik-teriknya, jadi saya hanya mengambil foto dari sisi Timur Pantai Selok saja. Setelah cukup mengambil foto-foto Pantai Selok, kami pun bergerak menuju Pantai Banyu Meneng.

Di dekat warung menuju Banyu Meneng, kami bertemu warga. Bapak ini menyarankan agar motor kami dibawa saja ke area Pantai Selok. Menurut bapak ini, kurang aman kalau disimpan di Pantai Ngentup yang berdekatan dengan Pantai Kondang Merak. Bapak ini juga bilang kalau masih ada sedikit masalah antara pengelola Pantai Kondang Merak dengan pengelola Pantai Selok & Pantai Banyu Meneng.

Semetara Mas Aris mengambil motor, saya jalan duluan ke Pantai Banyu Meneng. Di Pantai Banyu Meneng, saya sempat mengobrol dengan warga lainnya yang sedang mengumpulkan sampah plastik. Ternyata, dari Pantai Banyu Meneng, terlihat Pathukan Sirap. Pantai inceran saya hari ini. Saya pun bertanya sekaligus mengobrol dengan bapak ini tentang akses menuju Pathukan Sirap.

Sebelum saya pergi ke Malang untuk kedua kalinya, saya memang sudah mencari referensi mengenai Pathukan Sirap. Cukup sedikit yang membahas lengkap mengenai akses ke Pathukan Sirap. Satu artikel yang cukup lengkap yang saya baca mengatakan kalau akses masuknya dari Pantai Kondang Merak. Dari Pantai Kondang Merak menuju Pathukan Sirap harus ditempuh dengan berjalan kaki kurang lebih satu jam.

Menurut bapak yang saya temui ini, akses ke Pathukan Sirap masih lumayan susah, tapi motor masih bisa masuk sampai titik tertentu. Bapak tadi juga menawarkan kalau mau dianter bisa menunggu bapak ini di warung yang tutup tepat di belakang pos tiket Pantai Kondang Merak. Kata bapak itu, ada motornya di parkirkan di warung tersebut.

Bapak ini juga bercerita-cerita mistis dan mitos-mitos tentang Pathukan Sirap. Katanya dua pulau karang di depan Pathukan Sirap merupakan tempat bertapa salah satu tokoh raja di kerajaan Hindu di Jawa Timur. Saya lupa detailnya.

Bapak ini juga bercerita kalau semalam kedatangan rombongan dari Surabaya yang bermalam di Pantai Kondang Merak. Ada empat atau lima mobil rombongan. Memang sih, dari tempat saya berdiri terlihat cukup banyak pengunjung yang bermain air di area sekitaran Pantai Kondang Merak. Namun, tujuan kedatangannya masih berhubungan dengan hal-hal mistis. Ya sudahlah ya.

Ga lama, Mas Aris pun datang. Kami ngobrol ngalor ngidul sebentar. Kami pun pamit untuk mengambil foto-foto di Banyu Meneng. Bapak tadi pun pamit untuk kembali mengumpulkan botol plastik ke arah Pantai Selok.

Pantai Banyu Meneng merupakan pantai yang membentuk teluk kecil, sehingga ombaknya lebih tenang dibandingkan Pantai Selok. Terdapat tulisan Banyu Meneng di bukit karang di sisi Barat pantai. Tepat di hadapan Pantai Banyu Meneng terdapat pulau batu karang yang bernama Pulau Reges. 

Di Pantai Banyu Meneng terdapat beberapa ayunan yang diikatkan ke batang pohon. Selain itu, banyak juga batang pohon yang merambat sehingga bisa dijadikan tempat untuk duduk. Area Pantai Banyu Meneng saat kami kesana kotor oleh sampah kayu. Terdapat juga area untuk mendirikan tenda di Pantai Banyu Meneng.

Saya pun meminta untuk ke Pantai Pathukan Sirap. Sayangnya, Mas Aris juga belum pernah kesana, jadi rutenya masih sangat burem. Mau cek di Google Maps pun sinyal intenet di sini bener-bener bikin emosi. Akhirnya kami pun mencoba melihat akses jalan dari Pantai Kondang Merak.

Kami pun masuk ke area Pantai Kondang Merak dengan membayar retribusi lagi sebesar Rp 10.000,00/orang (total Rp 20.000,00) dan parkir motor sebesar Rp 5.000,00. Kami pun langsung bergegas menuju ujungnya Pantai Kondang Merak. Ternyata, di ujung Timur Pantai Kondang Merak merupakan muara sungai yang cukup besar dan dalam.

Kami sampai turun ke samping area muara untuk mengecek apakah kami bisa berjalan kaki menyeberang muara. Setelah diperhatikan lagi, pantai di seberang muara sungai ini tidak bisa dilewati, bahkan untuk berjalan kaki. Di balik pantai di depan kami pun (yang baru saya tahu seakarang namanya Pantai Pasir Besi) dikhawatirkan ada beberapa muara sungai dan terhalang tebing.

Dari arah permukiman pun tidak ada jembatan untuk menyeberang. Akhirnya kami pun menyerah dan kembali ke Pantai Kondang Merak. Setelah dipikir-pikir lagi, apa mungkin ada jalur lain untuk ke Pathukan Sirap. Mas Aris sempat bilang kalau mungkin jalan masuknya dari persimpangan yang tadi kami lewati pas di jalur makadam.

Bisa jadi sih, soalnya dilihat-lihat dari posisinya, kalau dari Pantai Kondang Merak kejauhan banget ditambah treknya pun ga ada. Kami pun cari yang jual bensin dulu. Ternyata di sekitaran Pantai Kondang Merak terdapat permukiman warga yang cukup ramai. Padahal akses masuk dari jalan raya di persimpangan Pantai Bale Kambang, sepanjang jalannya hanya hutan lebat.

Setelah berputar-putar cari bensin, kami pun meninggalkan Pantai Kondang Merak. Ketika berada di jalur makadam menuju persimpangan yang dimaksud, langit mulai mendung. Untungnya masih belum gelap. Tepat sebelum persimpangan, saya minta berhenti dulu untuk mengambil foto kondisi jalannya. Tepat dari arah kami datang (arah Timur) melintas Toyota Yaris ke arah Pantai Kondang Merak. Wow!

Setelah mobil tadi lewat, kami pun melanjutkan perjalanan. Kami sampai di persimpangan yang dimaksud. Ternyata benar, untuk menuju Pantai Pathukan Sirap tidak perlu dari Pantai Kondang Merak, sudah ada jalurnya sendiri. Ada baligo yang berisikan informasi nama-nama pantai di jalur tersebut. Pantai Sumur Pitu, Jembatan Panjang, Weden Ciut, Pulau Penyu, dan Tanjung Sirap. Semua pantai tersebut termasuk ke dalam area Pantai JPTS (Pantai Jembatan Panjang Tanjung Sirap).

Kami pun menyusuri jalur makadam menuju JPTS. Kali ini, saya dan Mas Aris sama-sama belum pernah lewat jalur ini. Jalur menuju JPTS jauuuuh lebih rusak dan jauuuh lebih lebat hutannya. Sepertinya masih sangat sangat jarang dilewati. Bahkan, di beberapa titik banyak kayu dan batang pohon berserakan di tengah jalan. Hutannya jauh lebih rimbun, sinar matahari hanya sedikit yang dapat menembus pepohonan. Ditambah lagi cuaca saat saya lewat sudah mendung, tidak ada sinar matahari sama sekali.

Ngeri-ngeri sedap juga lewat jalur ini. Kami sama-sama ga tau berapa panjang jalur makadam super ancur dan super gelap ini sampai di gerbang Pantai JPTS, terlebih ga ada satupun kendaraan yang melintas. Cuaca pun semakin mendung.

Untungnya, kami akhirnya tiba di gerbang tiket Pantai JPTS. Kali ini sama sekali tidak ada orang kecuali saya dan Mas Aris, bahkan penjaga loket pun tidak ada. Mas Aris langsung mengarahan motor ke jalan setapak di seberang loket tiket. Jalan setapak yang hampir tertutup pasir dan harus sesekali menghindari ranting pohon. Di jalur ini akan ditemui dua persimpangan sebelum persimpangan Pantai Tanjung Sirap.

Persimpangan pertama yaitu yang menuju Pantai Wedi Ciut, yang kedua merupakan persimpangan menuju Pantai Rowo Gebang. Dua pantai ini kami lewat dulu karena tujuan utama kami Pathukan Sirap. Entah kenapa, rasanya penasaran sekali dengan Tanjung Sirap ini.

Bukan karena cerita mistis bapak yang saya temui di Pantai Banyu Meneng tadi ya. Memang dari pas mencari referensi pantai-pantai di Selatan Malang, rasanya kepincut melihat bentuk dua pulau karang di Tanjung Sirap ini.

Selepas persimpangan dengan Pantai Rowo Gebang, jalur semakin sulit. Jalur lebih menyempit, bahkan ada bongkahan batu yang menghalangi jalur. Untungnya motor kami masih bisa lewat, meskipun step samping harus ditutup dulu dan kaki diangkat biar ga kebentur batu karang tajem.

Semakin jauh, pasir yang menutupi jalur setapak semakin gembur. Sampailah kami di persimpangan Pantai Tanjung Sirap. Kami pun segera belok. Jalan setapak yang kami lalui masih berlanjut, tapi rasanya sudah malas untuk mengeksplore lebih jauh lagi ke dalam hutan.

Sudah sepi, hutannya lebat, banyak monyet dan lutung, pasirnya tambah gembur lagi. Padahal bila diteruskan, ujung dari jalan setapak ini adalah Pantai Pasir Besi. Pantai yang berada tepat di seberang muara sungai di samping Pantai Kondang Merak.

Motor pun tidak bisa masuk hingga ke bibir pantai. Pasirnya benar-benar gembur. Jelas sekali jarang dilalui kendaraan. Kami pun meninggalkan motor begitu saja di tengah jalur karena memang sudah stuck. Kami tiba di sebah pantai yang ternyata adalah Pantai Dali Putih.

Pantai Dali Putih merupakan pantai berpasir cerah dan membentuk teluk kecil. Tidak ada orang lagi selain saya dan Mas Aris. Di kejauhan, terlihat batu karang tanpa nama dan Pulau Ampel. Pulau Ampel merupakan pulau karang yang berada tepat di depan Pantai Pasir Besi.

Jalan menuju Pathukan Sirap ternyata harus menaiki bukit tempat di sisi Pantai Dali Putih. Jalan setapak cukup kecil yang terus menanjak dan cukup rimbun menjadi medan kami sore ini. Perasaan campur aduk. Antara ngeri-ngeri sedap ada di tengah hutan antah berantah dan rasa ga sabar untuk cepet sampai di Pantai Tanjun Sirap, inceran utama eksplore pantai-pantai di Malang kali ini.

Sesekali tercium bau pesing di jalur yang kami lewati. Jalurnya cukup memutar ternyata. Area Pathukan Sirap berada di sisi lain bukit di samping Pantai Dali Putih. Karena bentuknya semenanjung, jadi otomatis jalur trekking kami menjauhi bibir pantai Dali Putih. Kiri dan kanan kami sudah laut lepas dengan batuan karang yang besar. Ngeri-ngeri syedap pokonya.

Dan, sampailah kami di Pathukan Sirap. Puas rasanya bisa mencari jalur Pathukan Sirap dan sukses sampai. Terdapat tempat sampah di area Pathukan Sirap. Sebenarnya, kami bisa berjalan lebih mendekat lagi ke dekat dua pulau karang yang menjadi ikon Pathukan Sirap. Sayangya, ombak sudah kembali besar, bahkan sampai di area batuan karang di depan kami.

Tepat di hadapan kami terdapat dua bongkahan pulau karang. Sebenarnya, dua bongkahan ini masih merupakan satu bongkahan, hanya saja bagian tengahnya hampir habis terkikis ombak. Bagian yang terkikis inilah yang menjadikan seolah-olah terdapat dua pulau batu karang. Dari semenanjung tempat kami berdiri pun sebenarnya terpisah dari dua pulau karang tersebut. Jaraknya pun cukup jauh.

Dua pulau karang di hadapan kami bernama Pulau Lapak, sedangkan pulau karang yang terlihat dari Pantai Dali Putih adalah Pulau Sirap. Bila air laut di Pantai Dali Putih sedang surut, pengunjung bisa sedikit mendekati Pulau Sirap. Keunikan lainnya Pantai Dali Putih yaitu banyak tersebar batuan berbentuk bulat dan halus seperti di Pantai Sendiki. Hanya saja ukurannya jauh lebih besar dan tidak berkumpul di satu tempat seperti di Pantai Sendiki.

Dari Pathukan Sirap ke arah Barat terlihat jejeran Pantai Kondang Merak, Pantai Ngentup, Pantai Banyu Meneng, Pantai Selok, bahkan bukit-bukit karang Pantai Rante Wurung. Sedangkan di sisi Barat terlihat Pantai Rowo Gebang dan Pathukan Rowo Gebang.

Kami diam di Patuhan Sirap cukup lama. Selain menunggu langit di Utara kami sedikit lebih cerah, ya puas-puasin aja di Pathukan Sirap, toh, entah kapan lagi bisa balik ke sini. Langit di sekitaran Pantai Selok dan di Utara kami masih hitam, pertanda hujan masih turun. Sebenarnya, jika cerah, bisa sedikit mengintip sunset dari Pathukan Sirap.

Karena sudah cukup sore, kami pun memutuskan untuk kembali ke Pantai JPTS. Perjalanan pulang memang selalu lebih cepat. Karena sudah tanggung berada di sini, tidak ada salahnya mampir sebentar ke Pantai JPTS. Pantai JPTS ini sedikit berbeda dibandingkan pantai lainnya. Nampak sudah ada fasilitas penunjangnya.

Benar saja, setelah kami melewati loket tiket yang tetap tidak berpenjaga, kami langsung disuguhkan area parkir yang super luas, jejeran warung-warung, bahkan jembatan panjang yang menghubungkan area Pantai Sumur Pitu dengan Pulau Hanoman. Dibuat seperti tampilan Pantai Balekambang yang ternyata berada tepat di sebelah Timur Pantai JPTS.

Dari jembatan yang menjadi ikon Pantai JPTS ini terlihat jelas jembatan Pantai Balekambang, Pulau Ismoyo dan Pura Balekambangnya. Jembatan yang menghubungkan bibir pantai dengan Pulau Hanoman dicat berwarna putih-merah-biru. Dibalik Pulau Hanoman terdapat pulau karang yang ukurannya jauh lebih kecil bernama Pulau Wisanggeni.

Nama-nama pulau di sekitar Pantai JPTS dan Pantai Balekambang kental dengan nama-nama Hindu. Sebut saja Pulau Hanoman, Pulau Wisanggeni, Pulau Ismoyo, Balekambang, dan tidak menutup kemungkinan Sirap pun merupakan serapan dari kebudayaan Hindu.

Lagi-lagi tidak ada pengunjung lain selain kami berdua, tapi di sekitar Pantai JPTS lumayan banyak warga yang sedang memancing dan yang menjaga warung. Mas Aris menyuruh saya untuk sekalian ke Pantai Balekambang. Dipikir-pikir, meskipun ga masuk list dan udah super terkenal banget, sayang juga udah sampe sini ga mampir.

Untungnya dari Pantai JPTS bisa berjalan kaki ke area Pantai Balekambang. Pantai JPTS dan Pantai Balekambang dibatasi oleh bukit karang. Oleh pengelola dibuatkan akses khusus pejalan kaki untuk menuju Pantai Balekambang dari Pantai JPTS maupun sebaliknya. Terdapat pagar pembatas dan gapura serta loket penjualan terpisah untuk memasuki Pantai JPTS.

Di sekitar bukit ini, barulah saya bertemu dengan pengunjung-pengunjung lainnya yang sedang bermain air. Saya berjalan kaki sendiri dari Pantai JPTS menuju Pantai Balekambang, sementara Mas Aris istirahat dulu di Pantai JPTS setelah seharian bawa motor di jalur makadam.

Tanpa buang banyak waktu, saya segera menuju jembatan Pantai Balekambang dan menyeberang ke Pulau Ismoyo. Sayangnya, pengunjung tidak dapat masuk ke area Pura Balekambang. Air laut di sekitar Pantai Balekambang dan Pantai JPTS sudah mulai surut. Banyak pengunjung yang bermain air di muara sungai Pantai Balekambang.

Pengunjung di Pantai Balekambang sangat banyak, meskipun bukan hari libur. Berbanding terbalik dengan Pantai Dali Putih dan Pathukan Sirap yang baru saja kami datangi. Memang sih, Pantai Balekambang merupakan pantai yang sudah hits dari dulu sebelum dibukanya Jalur Lintas Selatan Jawa Timur, berbarengan dengan Pantai Sendang Biru. Jadi, dapat dipastikan, akses jalannya pun sudah mudah dan bagus.

Sayangnya, kami tidak bisa pulang dengan menggunakan motor melewati Pantai Balekambang. Jadi, mau tidak mau, kami nanti harus balik lagi melewati jalur makadam yang super suram tadi. Berhubung sudah semakin mendung dan pencahayaannya sudah tidak bagus, saya pun memutuskan untuk kembali ke Pantai JPTS.

Sebenarnya, di dekat loket Pantai JPTS terdapat Sumur Pitu, tapi rasanya tidak akan sempat lagi kalau mampir-mampir. Mendung semakin menjadi. Saya dan Mas Aris malas rasanya harus melewati jalaur makadam suram ditengah guyuran hujan deras.

Untungnya Mas Aris menjemput saya ke dekat loket Pantai JPTS. Baru saja kami akan jalan, hujan mulai turun. Kami pun melipir dulu ke warung kosong. Kami sempat ditawari untuk mampir dulu ke warung sebelah yang masih buka. Tapi berhubung takut kondisi jalannya semakin parah, jadi kami putuskan untuk tetep jalan.

Untungnya, hujannya tidak terlalu deras. Jalur makadam suram jadi tambah suram dan sulit. Guyuran hujan mulai membuat tanah di sepanjang jalur menjadi lumpur, dan batuannya jadi lebih licin. Motor kami sempat terpeleset karena batunya licin, untung tidak sampai jatuh. Sepanjang jalan makadam suram, saya udah ga berani lagi liat kanan-kiri, pokonya liat ke depan.

Akhirnya kami tiba di persimpangan dengan jalur utama menuju Pantai Kondang Merak. Hujan sudah mereda, hanya gerimis dan sudah mulai terang karena pepohonannya sudah tidak terlalu rimbun. Lega rasanya. Meskipun masih hujan dan jalanan masih sepi, tapi suasananya tidak sesuram di jalur sebelumnya.

Malah, saya sempat mengambil beberapa foto dulu sebagai penanda persimpangan. Setelah beres berfoto, kami pun segera menuju persimpangan jalan raya utama. Kondisi jalan sedikit licin, tapi masih dapat kami lewati dengan lancar. Tidak sampai harus menerjang lumpur.

Setibanya di persimpangan dengan jalan raya utama, hujan pun berhenti. Kami pun berhenti dulu untuk istirahat sejenak. Berhubung masih jam 16.00 WIB, sayang rasanya kalau harus pulang ke Malang. Sementara tujuan pantai-pantai pun sudah habis dan sudah tidak bagus untuk mengambil foto karena mendung.

Akhirnya saya putuskan untuk ke Malang tapi melewati rute lain selain rute utama yang biasa kami lalui dari kemarin. Mas Aris pun menyanggupi. Akhirnya, kami mengambil rute horizontal yang tembus di Pagak. Sayangnya batre hp dan power bank saya sudah habis, jadi tidak bisa merekam jalur.

Jalur yang kami lewati sore ini cukup baik, meskipun hanya sekelas jalan lokal. Suasananya pun cukup tenang. Kami sempat mampir di musola dulu sembari melepas jas hujan. Suasana sore di daerah yang sampai sekarang saya ga tahu namanya itu cukup tenang, adem, dan bikin betah. Satu hal yang saya tahu, kami masih jauh dari Kota Malang.

Kami pun menyusuri jalan dan akhirnya tiba di persimpangan dengan jalur utama Kepanjen – Pagak – Donomulyo. Jalur ini sudah tidak asing lagi bagi kami. Setiba di Kepanjen, saya meminta untuk masuk melewati jalur yang tidak terlalu ramai. Setiba di Kepanjen, tepat pas Magrib dan perut saya keroncongan. Benar juga, seharian ini kami berdua belum makan apa-apa, bahkan ngemil pun ngga.

Beres makan semacam gado-gado ala Malang (tahu campur mungkin), kami pun menuju Kota Malang. Seperti biasa, kami harus melewati lalu lintas yang ramai kembali. Kami tiba di Kota Malang tepat pukul 20.00 WIB. Saatnya untuk istirahat untuk perjalanan terakhir sekaligus perjalanan pulang esok hari.


About Dya Iganov

Penyuka traveling, tidak hanya mendaki gunung, tapi juga touring, rafting, explore, city tour, kemping ceria, susur pantai, dll