EXPLORE MALANG 29 SEPTEMBER 2018


Sabtu, 29 September 2018

Setelah searching sana-sini, nemulah beberapa air terjun yang kayanya menarik juga. Coban Tundo, Coban Jodo, Coban Telaga Warna. Tapi, setelah tanya ke Mas Aris dan liat videonya di Youtube, skip semua. Saya sempet request pantai yang masih sepi dan bisa hammockan. Rencananya hari ini saya pengen trip nyantei aja. Leyeh-leyeh ke tempat yang ga terlalu susah, apalagi harus trekking cape. Setelah cari-cari referensi lagi, nemu lagi Coban Pandawa. Setelah baca referensinya, kayanya cocok. Kebeneran Mas Aris juga belum pernah. Jadi, impas lah ya sama-sama ga tau kondisinya kaya apa. Fix, hari ini dari Malang kami bakaan langsung ke Coban Pandawa di Dampit. Kebeneran udah lama juga saya penasaran sama daerah Dampit.

Jam 08.00 WIB, mas Aris datang. Kami pun langsung meluncur ke arah Dampit. Lalu lintas mulai ramai. Maklum weekend. Rute kami kali ini sama seperti kemarin. Harus siap-siap ketemu rombongan truk touring lagi. Baru sampai daerah Turen, mata rasanya berat. Cuaca lumayan cerah, meskipun langit ga biru. Udara yang lebih gerah dari kemarin ditambah badan yang masih cape sukses bikin ngantuk datang. Mata pun sepet. Seperti biasa, sebelum kami keluar dari jalur utama, mampir dulu ke mini market.

Kami akan melewati jalur utama sampai di Pasar Dampit. Dari Pasar Dampit, kami ambil arah ke Selatan menuju Desa Sukodono. Setelah masuk ke arah jalan desa, lagi-lagi kami dibikin galau sama rute Gmaps. Jalan utama hanya satu, tapi rute yang ditunjukin kita disuruh belok kanan. Kami putar balik karena penasaran jalan mana yang ditunjukin di rute. Perasaan dari tadi ga ada simpangan sama sekali. Kami putar arah bahkan sampe ke Pasar Dampit lagi. Berhubung ga mungkin juga ke arah pasar, kami putar arah lagi. Ternyata oh ternyata, jalan yang ditunjuk Gmaps adalah jalan masuk gang yang kemudian nyusurin pematang sawah.

Kami pun mutusin buat ikutin jalan utama aja. Toh, cuman satu jalur. Kondisi jalan lumayan baik, meskipun tetap saja kualitas jalan desa. Kami harus menyusul rombongan truk yang bawa sound system (saya lupa apa sebutannya) biar perjalanan lebih lancar dan ga banyak emosi. Lama kelamaan, jalan makin sepi. Di kiri jalan ada aliran sungai yang sudah lumayan lebar, di sisi kanan kebun warga. Di satu titik, kamu ketemu persimpangan tembusan dari jalan yang ditunjukin Gmaps. Jalannya ternyata rabat beton yang baru selesai dan jauh lebih kecil. Untung juga ga nekat ngikutin Gmaps kaya biasanya.

Lama kelamaan, kondisi jalan makin kurang baik. Lubang dan lapisan aspal atas yang sudah hilang jadi medan utama kami. Lalu lintas pun semakin sepi. Pemandangan di kanan jalan sekarang sudah mulai menunjukkan jurang. Sepanjang jalur ini, kami mungkin ada sampai lima kali berhenti di persimpangan karena kurangnya penunjuk jalan. Meskipun sudah pakai Gmaps, tetap saja kalau ketemu simpangan bikin galau. Takutnya jalur yang ditunjuk Gmaps kondisinya lebih parah. Sementara, ternyata jalur yang ga ditunjuk Gmaps pun sebenarnya sama-sama mengarah ke tujuan kami. Takut kejadian persimpangan di dekat Pasar Dampit terulang.

Benar aja, dari tiga persimpangan yang kami temui, kami sama sekali tidak mengikuti rute yang ditunjukan Gmaps. Kami mengikuti jalan yang yang kondisinya lebih bagus. Meskipun di beberapa titik, jalan masih makadam dan sedang ada pekerjaan peningkatan jalan. Sayangya, pekerjaan peningkatan jalan ini baru akan dimulai. Jadi, jalan yang sudah dibor permukaannya menjadi tanah padat dengan tumpukan material di kedua sisi jalan. Kalau musim hujan, lumayan ngabisin waktu juga.

Kami berjalan dengan patokan pusat Desa Sukodono. Siapa tahu kalau sudah masuk di Desa Sukodono akan ada penunjuk jalan menuju Coban Pandawa. Medan jalan kali ini mulai menanjak lagi. Akhirnya kami sampai di pusat Desa Sukodono. Kami langsung disuguhi bundaran. Awalnya kami mengambil jalur ke arah kanan bundaran desa. Tapi, ternyata, rute yang ditunjukan Gmaps ke arah kiri bundaran. Putar arah lagi. Sayangnya, kondisi jalan yang ditunjukan Gmaps tidak semulus jalur yang pertama kami ambil. Pasrah aja kalau jalan di depan jauh lebih ancur.

Ternyata, kondisi jalannya masih bisa dibilang baik. Medan jalan mulai menurun. Di kanan dan kiri jalan mulai berganti kembali dengan area perkebunan warga. Kali ini, jalur yang kami akan lewati hanya satu dan langsung menuju area Coban Pandawa. Di pertengahan jalur, kami melewati Waduk Kaliungkal. Tidak terlalu besar. Akhirnya saya menemukan waduk lain selain yang memang sudah hits di Malang. Di ujung jalur, kami bertemu persimpangan. Untunglah kali ini sudah ada penunjuk arah menuju Coban Pandawa. Meskipun dengan spanduk seadanya. Medan terakhir menuju Coban Pandawa berupa tanjakan dengan jalan yang masih berupa rabat beton.

Akhirnya kami sampai di parkiran Coban Pandawa. Kami tiba di parkiran tepat pukul 11.00 WIB. Kami pun menitipkan barang-barang yang tidak perlu dibawa ke air terjun dan segera menuju Coban Pandawa. Berdasarkan referensi yang saya baca, jalur trekking menuju Coban Pandawa tidak terlalu jauh dengan medan yang relatif mudah. Ternyata, benar saja, hasil rekaman perjalanan menunjukan jarak dari gapura tiket sampai ke depan Coban Pandawa sejauh 328 m. Medan trekking berupa tanah dan terus menurun sampai tiba di areal Coban Pandawa. Pada awal jalur trekking, di kanan dan kiri jalur merupakan pohon salak yang cukup tinggi. Lumayan teduh jadinya.

Coban Pandawa termasuk objek wisata yang baru dibuka dan dibenahi kurang lebih setahun kebelakang. Sumber aliran Coban Pandawa merupakan aliran sungai. Jadi, ketika kemarau, volume jatuhannya berkurang drastis, bahkan ada yang sampai kering total. Dalam satu aliran sungai ini, terdapat lima air terjun yang semuanya diberi nama Coban Pandawa 1 sampai 5. Air terjun pertama yang akan ditemui merupakan Coban Pandawa 2 (ada juga yang mengatakan Coban Pandawa 3). Pengunjung Coban Pandawa siang ini hanya kami berdua.

Sudah ada gazebo kecil, kursi kayu, tempat sampah, hingga taman kecil di sekitar area Coban Pandawa 2. Coban Pandawa 1 letaknya terpisah dari Coban Pandawa 2-4. Dari Coban Pandawa 4, pengunjung dapat sekaligus melihat Coban Pandawa 2 dan 3. Sedangkan untuk menuju Coban Pandawa 2, hanya tinggal naik ke atas bukit sedikit. Sedangkan untuk menuju Coban Pandawa 1, masih harus trekking ke atas bukit (ke arah hulu) sekitar dua puluh menit. Kami pun turun untuk mengambil foto Coban Pandawa 3-4. Setelah selesai, kami kembali ke Coban Pandawa 2.

Berhubung masih hanya kami berdua pengunjungnya dan saya pun mulai mager, akhirnya saya meminjam hammock mas Aris. Akhirnya kesampean juga hammockan lagi di air terjun. Sementara saya hammockan leyeh-leyeh di Coban Pandawa 2, Mas Aris trekking ke Coban Pandawa 1. Penasaran katanya. Cuaca siang ini bener-bener bikin mager. Sekitar 20-30 menit kemudian, mas Aris udah balik lagi. Coban Pandawa 1 tipikal air terjun dengan dinding air terjun yang melebar. Sayangnya, aliran jatuhannya hanya terdapat di sisi kanan dinding air terjun karena kemarau.

Sebenernya saya masih pengen leyeh-leyeh di Coban Pandawa, berhubung saya juga ga tau lagi mau kemana tujuan berikutnya. Pantai sih, sesuai request saya kemarin. Tapi, rasanya ko mager di Coban Pandawa ya. Jam 13.00, kami pun kembali ke parkiran. Setelah bayar ini-itu dan packing ulang, kami pun meluncur menuju pantai. Kata Mas Aris kemungkinan perjalanan ke pantai bakal makan waktu tiga jam. Jadi, pas sampai di pantai pas tinggal nunggu sunset. Cuman, sampe sekarang, saya ga tau pantai mana yang dimaksud.

Di perjalanan, saya iseng browsing-browsing lagi spot apa yang kira-kira bisa didatengin selain pantai. Siapa tau ada air terjun lagi yang kelewat didatengin deket-deket lokasi kami sekarang. Ga sengaja, saya malah nemu Pura Mandara Giri Semeru Agung. Sekilas, saya langsung kepikiran Pura Jagatkarta di kaki Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat. Meskipun belum pernah ke Pura Jagatkarta, tapi liat foto-fotonya sih keren. Pura di lahan terbuka dengan hamparan rumput hijau dengan latar belakang Gunung Salak yang sebagian tertutup kabut bener-bener landscape yang keren. Nah, apalagi pura yang satu ini, di kaki Gunung Semeru.

Saya pun langsung kebut cari referensi. Perjuangan juga cari referensi sambil harus konsentrasi biar saya dan hp ga jatoh gara-gara jalan yang berlubang. Menurut referensi, Pura Mandara Giri Semeru Agung ini merupakan Pura kedua terbesar setelah Pura Besakih di Bali. Tapi, nyatanya, ketika tulisan ini dibuat, malah ada teman saya yang bilang kalau Pura kedua terbesar setelah Pura Besakih itu adalah Pura Jagatkarta. Nah loh. Oke, dari segi jarak dan waktu tempuh dari lokasi kami adalah sektiar 2 jam 40 menit. Satu jam lebih singat dibanding ke pantai. Liat rute dan medan menuju Pura pun kayanya sudah aspal. Banyak referensi yang bilang bahwa banyak juga rombongan yang pakai bus sampai tepat di depan Pura.

Setelah mantap dan penasaran sama pura ini, akhirnya saya bilang plan saya ke Mas Aris. Jauh sih memang, ditambah, Mas Aris pun belum pernah sama sekali ke daerah sana. Dari segi waktu sih masih bisa kekejar, hanya pasti pulang ke Malang bakalan malem lagi. Akhirnya rencana pun berubah. Tujuan kami sekarang bukan lagi pantai di Malang yang entah pantai mana yang dimaksud menjadi ke arah Pura Mandara Giri Semeru Agung di Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang. Oh, ya, kami pun sempat mampir sebentar ke Waduk Kaliungal karena saya penasaran.

Sialnya, kami beberapa kali salah ambil belokan menuju jalan raya. Padahal niatnya buat nyari jalan pintas ke arah jalur utama Malang – Lumajang, eh, malah muter-muter di jalan desa. Terakhir, dapat zonk, jalan desanya masih makadam. Untungnya jalan makadam ini langsung tembus ke jalan raya. Setelah kembali ke jalan raya utama, lalu lintas sangat sepi. Berbeda jauh dari kemarin yang harus susah payah nyusul rombongan truk. Kali ini malahan sepeda motor dan mobil pribadi aja jarang kami temui. Lumayan bisa tancap gas. Ga kerasa, kami malah sudah ngelewati pertigaan ke arah Tempursari.

Jalur ini sudah tidak asing lagi untuk saya. Jalur ini punya kesan sendiri untuk saya. Dari perjalanan nekat menuju Banyuwangi dari Blitarlah, saya bisa kenal jalur ini. Pertama kalinya menyusuri jalan-jalan di Jawa Timur, tengah malam buta kami harus berkenalan dengan Jalur Dampit – Lumajang yang lumayan terkenal ini. Yang paling saya ingat dari jalur ini adalah jembatan panjang dengan aliran material Semeru di bawahnya. Yang belakangan saya tahu namanya adalah Jembatan Gladak Perak di area Piket Nol.

Kami sempat berhenti di SPBU. Sebenernya kaki dan badan udan mulai pegel. Tapi, kalau istirahat sekarang, waktu banyak kebuang. Akhirnya paksain jalan terus. Dalam waktu satu setengah jam, kami sudah mulai melewati Piket Nol. Setelah Jembatan Gladak Perak, medan akan menurun terus hingga memasuki Kecamatan Candipuro. Cuaca ketika memasuki Kecamatan Candipuro berangsur cerah. Sebelumnya, dari mulai keluar dari jalan Desa Sukodono sampai di Jembatan Gladak Perak, cuaca udah mendung banget. Sama sekali ga ada sinar matahari.

Setelah jembatan Gladak Perak, jalan yang akan dilewati berupa jalan lurus monoton dan sudah datar. Lagi enak-enak tancap gas, tau-tau motor oleng lagi. Ternyata, ban belakang bocor lagi. Untungnya, kali ini lokasi ketika ban kami bocor sangat dekat dengan tambal ban. Lumayan juga di tambal ban, dan akhirnya ban dalem pun diganti. Kata bapa tambal ban, kurang lebih 1-2 jam lagi kami baru akan sampai di Pura. Lama juga ya. Saya sempet putus asa. Kepikiran balik arah. Tapi udah nanggung sampe di sini, tinggal sedikit lagi.

Kami pun berbelok ke arah jalan desa dan keluar dari jalan raya utama. Kali ini, kami benar-benar mengandalkan Gmaps sepenuhnya. Kami berdua buta arah di jalur ini. Jalan desanya ternyata jauh lebih baik dibanding jalan desa di Sukodono tadi. Kalau cerah, Semeru akan berada tepat di depan kami. Sayangnya, sedari tadi Semeru sudah sembunyi di balik awan hujan. Kanan dan kiri jalur kami adalah area persawahan. Jalan pun hanya satu jalur. Kami pun berbelok mengikuti arahan rute Gmaps. Medan mulai kembali menanjak. Permukiman warga menghilang tepat di ujung tanjakan dan kembali digantikan hamparan sawah berundak.

Sebenarnya, saya gatel pengen ambil foto landscape di jalur ini, sayangnya, waktu kami terbatas. Kami sempat bablas. Harusnya kami belok ke kanan, tapi kami malah lurus. Jalur yang lurus ini merupakan jalur ke sebuah air terjun. Menggoda sih, liat aliran air di saluran irigasinya jernih banget. Sayangnya tujuan kami kali ini ke Pura. Ternyata, jalur yang harusnya kami lalui sesuai arahan Gmaps jembatannya sedang diperbaiki. Kami ga bisa lewat. Putar arah. Setelah dilihat lagi di peta, mau ga mau kami harus balik arah.

Kami harus mengambil jalur tepat di bukit sebelah dari lokasi kami. Sayangnya, kami harus balik arah dan memutar cukup jauh. Waktu sudah menunnjukan pukul 16.00 WIB. Bener-bener nanggung. Ga banyak buang waktu, kami pun balik arah untuk menuju rute lain yang ditunjukan Gmaps setelah di re-route. Sambil berharap, Semeru segera nongol dari balik awan hujan.

Untungnya, jalan desanya semuanya aspal mulus dan view sepanjang jalan bener-bener keren. Meskipun tanpa Semeru. Kami pun masuk ke jalur lainnya. Ternyata jalur yang barusan kami lewati bertemu kembali dengan jalur utama Candiporo – Senduro. Setelah masuk kembali ke jalan raya utama, barulah lalu lintas ramai. Jalan pun jauh lebih lebar dan kondisinya jauh lebih baik. Jika di jalur pertama jembatannya tidak diperbaiki, kami bisa hemat waktu cukup banyak. Persimpangan jalan tembusan dari jalur pertama dengan jalan raya utama sudah berada sangat dekat dengan lokasi Pura.

Medan yang kami lalui menanjak terus sampai ke Alun-alun Kecamatan Senduro. Ternyata, lokasi Pura yang kami cari berada tidak jauh dari alun-alun dan pusat kota Kecamatan Senduro. Bahkan, lokasinya pun berada persisi di pinggir jalan raya utama. Sedikit pupus juga ekspektasi saya mengenai gambaran pura besar di kaki Gunung Semeru seperti Pura Jagatkarta. Jangankan hamparan lahan yang luas, bahkan di sisi kanan dan kiri pura ini sudah berupa area komersial dan permukiman. Berhasil juga kami sampai di Pura Mandara Giri Semeru Agung.

Kami pun bergegas menaiki anak tangga sekaligus gerbang masuk menuju area Pura. Ketika kami tiba di dalam Pura, ada tiga anak muda yang sedang mengambil gambar untuk sebuah acara musik lokal. Sambil menunggu mereka selesai mengambil gambar, saya pun mengambil foto spot gapura utama kemudian keliling bangunan utama Pura. Sayangnya, area yang saya liat di foto referensi dan yang paling menarik untuk dijadikan spot foto merupakan area terbatas. Hanya yang berkepentingan dan yang akan beribadah saja yang diijinkan memasuki area tersebut.

Setelah keliling satu putaran bangunan utama, kini giliran bagian depan Pura yang jadi spotnya. Setelah area depan/luar Pura, kami pun mengambil foto bangunan utama. Ga pake lama, kami pun segera bersiap-siap pulang setelah semua spot dirasa cukup terdokumentasikan. Setelah berunding, daripada kami memutar ke Lumajang Kota, mendingan lewat jalur yang tadi kami lewati. Dengan catatan ga pake mampir-mampir dan berhenti-berhenti. Padahal perut saya udah mulai perih. Untung masih ada roti sedikit buat ganjal.

Kami pun tancap gas menuju jalur alternatif tadi menuju jalan raya utama Candipuro – Dampit. Perjalanan pulang terasa lebih cepat. Tidak terasa, kami sudah hampir keluar ke jalur utama Candipuro – Dampit. Kami isi bahan bakar dulu sebelum masuk hutan.Sepanjang jalur, kami hanya menyusul sedikit truk. Itu pun jalannya tidak berombongan seperti biasanya.

Seingat saya, kami mulai jalan dari Pura Mandara Giri Semeru Agung sekitar pukul 17.46 WIB, dan ketika Magrib, kami sudah tiba di dekat jalan masuk menuju Air Terjun Kapas Biru. Bahkan, kami sudah sampai di Dampit sekitar pukul 19.00 lebih. Kami pun melipir ke warung nasi goreng di Dampit. Berdasarkan rekaman rute saya, total waktu tempuh dari Pura Mandara Giri Semeru Agung sampai di alun-alun Dampit hanya 1 jam 38 menit. Berbeda jauh dengan sehari sebelumnya. Setelah makan malam, kami pun melanjutkan perjalanan ke Malang.

Berhubung malam Minggu, jadi, lalu lintas ketika memasuki Kota Malang jauh lebih ramai dibanding kemarin. Hanya saja, jalur Dampit – Pronojiwo jauh lebih sepi dibanding kemarin. Total perjalanan kami dari Senduro sampai di Kota Malang kurang lebih dua jam lebih. Tidak sampai tiga jam. Sudah termasuk berhenti makan dan ke ATM. Sedangkan, perjalanan dari Tempursari kemarin hingga Kota Malang membutuhkan waktu tempuh sekitar tiga jam lebih. Sudah termasuk makan dan ke ATM.

Selesai sudah perjalanan saya di Malang kali ini. Meskipun banyak banget yang ga sesuai rencana awal, tapi puas juga bisa motor-motoran dan maen ke air terjun lagi. Waktunya istirahat dan packing untuk pulang besok.

Minggu, 30 September 2018

Berhubung ga bisa late check out, jadi jam 12.00 WIB saya udah harus keluar dari hotel. Bingung juga nunggu empat jam di stasiun. Akhirnya, karena emang sedikit absurd, akhirnya saya mutusin buat ke Kepanjen. Tentunya udah janjian dulu lah sama Mas Aris. Meskipun ga percaya juga saya ke Kepanjen. Baru percaya setelah dikirim foto bapak supir Grab yang nganterin saya ke Kepanjen. Iya, saya pake Grab dari Kota Malang ke Kepanjen. Absurd abis.

Berhubung emang dadakan kaya tahu bulat, jadi ya sampe di Kepanjen ga tau juga mau kemana. Seenganya ga bengong sendiri sih. Saya janjian sama Mas Aris di Stasiun Kepanjen, sekalian saya tuker tiket dulu, biar tenang. Saya sampai di Kepanjen sekitar pukul 13.00 WIB. Lumayanlah tiga jam kosong. Kami pun menuju sebuah tempat pusat kuliner olahan ikan yang bernama Dempok. Jaraknya 9,7 Km dari Satsiun Kepanjen. Sayangnya, berhubung sekarang Hari Minggu, jadi tempatnya ruammmeee.

Saya langsung mati gaya kalau tempatnya kelewat rame. Akhirnya, kami balik lagi ke arah Kepanjen. Kali ini kami ke Stadion Kanjuruhan. Lumayanlah ngadem sambil nyemilin cireng dan kawan-kawannya. Untungnya cuaca hari ini pun cerah. Jadi, ga perlu ditambah panik harus ujan-ujanan ke arah stasiun. Jam 15.30 WIB, kami ke Stasiun Kepanjen. Jam 16.30 WIB kereta saya ke Bandung masuk Stasiun Kepanjen. Seleai sudah perjalanan saya di Malang kali ini.

Oh, ya selama tiga hari keliling-keliling saya pakai jasa Ojek Wisata Malang. OWM, singkatannya. OWM ini saya dapet info dari temen yang kebetulan Agustus lalu ke Malang. Mas Aris ini salah satu guide dari OWM. OWM bener-bener nolong banget, secara di Malang ga ada kenalan sama sekali. Malahan, tadinya sih mau nekat sewa motor & jalan sendiri ke Tumpak Sewu. Sisanya? Ya di Malang aja. Cuman, buat saya, diem di kota aja sementara banyak banget tempat menarik yang bisa dieksplore, rasanya rugi banget. Bener-bener makasih buat Mba Dika yang udah infoin tentang OWM, mas Sugeng yang kelola OWM & Mas Aris yang udah nganter-nganter dan direpotin ama tamu yang absurd kaya saya.


About Dya Iganov

Penyuka traveling, tidak hanya mendaki gunung, tapi juga touring, rafting, explore, city tour, kemping ceria, susur pantai, dll