KAMIS, 29 OKTOBER 2015
Sesuai jadwal, kami berangkat sedikit lebih pagi hari ini. Hujan cukup lebat turun sejak tengah malam hingga menjelang subuh, untungnya subuh tidak hujan lagi. Sekitar jam 08.00 pagi, sinar matahari sedikit menyapa. Sekitar pukul 09.00 kami sudah di jalan menuju Selat Lampa. Langit di sekitar Selat Lampa lebih cerah dari hari kemarin, semoga saja perjalanan kami kali ini tidak kepotong hujan badai seperti kemarin. Berbekal pengalaman kemarin, kali ini kami tidak lupa membeli cemilan untuk selama perjalanan. Sekitar jam 10.00 kami sudah melewati Pulau Akar dan memang benar, air lautnya surut cukup jauh dari bibir pantai. Setelah kami lewatin pekerjaan pembangunan jembatan, jalannya langsung berubah menjadi lurus dan di kanan kirinya sudah tidak ditemui lagi rumah-rumah. Kalaupun ada, jaraknya cukup berjauhan. Di kejauhan, terlihat deretan puncak-puncak perbukitan yang saya kira, daerah perbukitan hanya ada di sekitar Gunung Ranai di dekat Kota Ranai. Semakin lama, jalan yang kami lewati semakin mengarah ke perbukitan dan langitnya pun semakin mendung. Medan jalan yang kami lewatin pun semakin lama semakin berkelok dan menanjak, meskipun tidak terlalu ekstrim. Selain pekerjaan pembangunan jembatan yang kami temui di Desa Cemaga, ada lagi proyek pengaspalan jalan di dekat perbatasan Kecamatan Bunguran Selatan dengan Kecamatan Pulau Tiga. Setelah memasuki Kecamatan Pulau Tiga, jalan semakin menanjak dan kami mulai sering berpapasan bahkan mengantri di belakang truk pengangkut pasir. Memasuki kawasan hutan lindung, medan jalan langsung berubah drastis menjadi tanjakan yang lumayan curam dan semakin berkelok-kelok. Tepat sebelum kami keluar dari area hutan lindung, beberapa monyet bertengger dengan santainya di pagar pembatas jalan, bahkan ada beberapa yang berlarian dari tengah jalan ke arah pagar pembatas ketika ada kendaraan melintas.
Setelah tiba di puncak bukit, jalan kemudian menurun dan barulah terlihat perairan Selat Lampa dengan beberapa pulau besar dan kecilnya. Truk pengangkut pasir kebanyakan berbelok ke arah lokasi pembangunan pelabuhan penyeberangan, sementara kami meneruskan jalan ke arah pelabuhan Pelni. Pelabuhan Pelni Selat Lampa ini sebenarnya adalah pelabuhan Pertamina untuk kapal-kapal tanker, tetapi berhubung untuk pelabuhan penumpang ukuran besar masih belum ada, jadilah pelabuhan ini yang dimanfaatkan. Setibanya di area pelabuhan, kami memarkirkan motor dan tidak lama kemudian ada bapak-bapak yang menghampiri kami. Menurut teman saya, kalau kita mau menyeberang ke Pulau Setanau baiknya sore, sekitar jam 15.oo, karena kalau sekarang, kami harus berjalan kaki karena airnya masih surut, jadi kapal tidak bisa merapat ke pulau. Dengan pertimbangan hujan dan sepertinya matahari sedang cerah-cerahnya saat ini, kami pun memutuskan untuk langsung menyeberang dengan risiko harus turun dan jalan dengan kedalaman air sekitar sepinggang kami. Setelah deal, bapak tadi pun menyuruh kami menunggu, karena kapalnya terhalang kapal yang akan mengangkut barang (termasuk sepeda motor milik salah satu penumpang) dan beberapa penumpang yang akan meyeberang ke Pulau Lagong. Setelah kapal yang mengangkut penumpang tadi pergi, kami pun segera naik kapal.
Kapal kayu atau Pompong dalam bahasa daerah ini sebenarnya cukup hingga 15 orang dan kali ini penumpang pompong ini hanya kami berempat, benar-benar ekslusif. Bapak pemilik kapal pun bilang, kalau kami mau berkeliling ke sekitar perairan Selat Lampa ini tidak usah memikirkan berapa biayanya. Kami pun fokus ke tujuan utama kami, Pulau Setanau yang nampak cerah terkena terpaan sinar matahari di kejauhan. Selama kami menyeberang, tampak di kejauhan kapal perang milik TNI AL sedang berpatroli. Ya, bukan pemandangan yang asing mungkin bagi masyarakat di wilayah terdepan ini melihat kapal-kapal berpatroli menjaga perbatasan, tapi untuk kami yang baru kali ini berada di wilayah terdepan Indonesia mungkin ini pemandangan yang tidak biasa.
Lama perjalanan menuju Pulau Setanau dari Pelabuhan Selat Lampa hanya sekitar 20 menit. Seperti yang sudah diberitahukan bapak pemilik kapal, kami akhirnya harus turun sekitar 500 m dari bibir pantai Pulau Setanau yang berpasir putih. Sekilas teringat ketika malam-malam harus turun dan berjalan di laut dengan penerangan yang minim dan berusaha agar tidak terbawa arus di Pulau Satonda Mei 2014 lalu. Salah satu cerita perjalanan yang penuh ‘rasa’ di pertengahan 2014 dan semenjak dari Pulau Satonda itulah, sedikit mikir-mikir lagi kalau harus jalan dari tengah laut ke pinggir pantai. Untungnya kondisi kali ini sangat jauh berbeda dengan pada waktu ke Pulau Satonda. Tidak ada batuan karang yang lepas ketika diinjak, tidak ada ular laut yang kebetulan melintas, tidak ada arus cukup kencang yang harus kami lawan, tidak ada lagi khawatir ada bulu babi yang tidak sengaja kami injak karena minimnya cahaya, tidak ada lagi pulau gelap tanpa penghuni yang harus kami capai malam-malam. Air jernih dengan pasir tanpa karang, arus yang tidak terlalu deras, serta pulau kecil yang terang karena tertimpa sinar mataharilah yang menyambut kami kali ini. Meskipun kedalaman air perairan Pulau Setanau ini jauh lebih dalam dibandingkan dengan Pulau Satonda, tapi setidaknya tidak se-horor waktu di Pulau Satonda.
Pulau Setanau merupakan salah satu spot wisata andalan di wilayah Selatan Pulau Bunguran dan di Kabupaten Natuna. Pulau kecil tidak berpenghuni ini memiliki bagian pulau (tepatnya pasir) yang memanjang sehingga diapit oleh dua pantai. Mirip seperti Pulau Maitam di Lampung atau setidaknya gambaran kasar bagaimana Pantai Ngurtafur di Maluku Tenggara Barat sana. Kami menuju bagian pulau yang teduh untuk mengatur ulang tas dan istirahat sejenak. Tidak lama, kami mulai mencari spot untuk mengambil foto. Cuaca kali ini jauh lebih bersahabat dibandingkan kemarin. Sinar matahari pukul 12.00 siang hari ini cukup terik, langit pun biru, hanya ada sedikit awan putih. Jika melihat ke arah Pulau Bunguran, awan hitam sudah mulai nampak. Setelah puas mengambil foto di spot bagian depan pulau, Bang Naen dan temannya mengajak kami untuk keliling pulau.
Kalau biasanya keliling pulau kecil itu identik sama batu karang yang permukaannya tajam dan sedikit curam dan harus sedikit berhati-hati dengan ombak, tapi keliling pulau kali ini sedikit berbeda. Jalan setapak untuk menyusur pulau ternyata tidak terlalu susah, selain itu, posisi kami cukup tinggi dari bibir pantai dan ombaknya pun tenang, jadi tidak perlu khawatir jalannya harus tertutup ombak atau terkena ombak. Di beberapa titik, banyak bongkahan batu pemandangan kami adalah selat kecil antara Pulau Setanau dan Pulau Setahi yang ukurannya lebih besar tetapi juga tidak berpenghuni. Di bagian belakang pulau, jalan yang kami harus lewati mulai turun mendekati batas air. Disinilah spot untuk snorkling. Kami yang hari ini tidak berencana snorkling otomatis hanya bisa melihat keindahan terumbu karang dan beberapa hewan laut dari darat. Ya, permukaan airnya sangat jernih, sehingga jarak pandang dari darat pun cukup jelas. Ah, keputusan yang kurang tepat tidak membawa alat snorkling. Mungkin lain kali kami akan coba snorkling di sini. Setelah puas mengambil foto, kami pun jalan lagi.
Sinar matahari yang terik, langit yang lumayan biru, cukup membuat kami berempat cepat haus dan untuk pertama kalinya sejak berada di Natuna ini, kulit rasanya benar-benar terbakar matahari dalam waktu yang cukup lama. Di spot berikutnya, terdapat tumpukan batu karang yang mirip dengan coloumnar joint bentukan batuan beku dan di puncaknya terdapat satu buah pohon yang cabangnya terpisah menjadi dua. Disini kami beristirahat sebentar. Lemas karena belum makan siang dan sudah lewat waktunya makan siang, ditambah terik matahari dan ketersediaan air putih yang terbatas cukup membuat kami kewalahan siang ini. Perjalanan kami memutari Pulau Setanau ini sudah hampir selesai, dan untuk bagian terakhir ini, pemandangan yang disuguhkan pun tidak kalah menariknya. Kami tiba dari sisi pantai di sebelah kanan bagian pulau yang memanjang (bila menghadap pulau). Dari sini terlihat hamparan pasir putih memanjang menjauhi bagian utama pulau menuju air laut yang biru, di belakangnya jajaran perbukitan yang masih gersang menampilkan batuan berwarna putih dengan puncak-puncak bukitnya yang runcing dan beberapa yang landai. Setelah istirahat sebentar dan mengambil beberapa foto lagi, tepat pukul 14.00 kami meneruskan perjalanan menuju Pulau (Teluk) Batang. Temannya Bang Naen, kebetulan dulu kos dan bapak kosannya rumahnya di Pulau Batang ini, jadi bisa sekalian mampir sekalian kami rencananya akan makan siang di Pulau Batang, salah satu pulau besar yang menjadi dasar penamaan Kecamatan Pulau Tiga ini (Pulau Batang, Pulau Lagong, dan Pulau Sededap).
Perjalanan dari Pulau Setanau ke Pulau Batang memakan waktu sekitar 30-40 menit. Di perjalanan, kami melewati dua buah kapal perang Indonesia, KRI Leuseur 924 dan KRI Todak 631 yang sedang sandar di Deramaga Pulau Lagong. Sayang, kami ga sempat mampir, jadi hanya melihat sembari lewat saja. Pulau Batang merupakan salah satu pulau besar yang berpenghuni. Dari kejauhan, topografi pulau ini memiliki setidaknya dua puncakan bukit yang cukup landai dan lebat. Menurut Bang Naen, hanya bagian pesisir saja yang merupakan permukiman penduduk, sedangkan bagian dalam pulau hingga puncak bukitnya merupakan kebun cengkeh. Jika musim panen tiba, sekitar Februari-Maret dermaga pulau ini akan penuh. Kebanyakan yang memanenya adalah penduduk dari Provinsi Kalimantan Barat. Panen cengkeh di Pulau Batang ini masih lebih sedikit dibandingkan dengan Pulau Midai. Jika musim panen cengkeh tiba, hampir seluruh jalanan dan halaman serta tanah lapang akan penuh dengan cengkeh. Rumah-rumah di Pulau Batang ini merupakan rumah apung. Maksudnya pondasi rumahnya merupakan kayu-kayu yang ditancapkan ke dasar laut. Rumah-rumah disini sebagian besar adalah kayu (memang, selama kami singgah di Pulau Batang ini, belum menemukan rumah dengan pondasi beton dan berdiri di atas daratan). Rumah yang kami singgahi merupakan rumah ketua RT. Ruang tamunya memanjang dan hanya ada sofa, selebihnya hanya kayu. Bangunan rumah memanjang hingga yang paling ujung adalah dapur dan kamar mandi. Ketika berjalan ada bagian yang berderak dan sedikit bergeser kayunya. Aga serem juga, soalnya bagian bawah rumah ini langsung laut.
Jangan bayangkan cafe ataupun rumah makan di pulau ini. Kami mencari makan di pinggir lapangan sepakbola kampung ini. Kebetulan sedang ada pertandingan antar kampung, jadi ada beberapa tukang jualan, meskipun yang menjual makanan berat hanya satu warung kecil. Saya sendiri, yang memang dari awal jika jadi ke Anambas, sudah niat untuk mencicipi Mie Tarempa. Sudah cukup lama juga saya penasaran dengan mie khas dari Kota Tarempa, Kepulauan Anambas ini. Di Ranai pun belum sempat nyari-nyari, dan siapa sangka di warung kecil di pulau kecil ini, malah nemu Mie Tarempa. Biasanya makanan khas yang dibuat di tempat yang bukan kota besar, rasanya mendekati rasa asli. Akhirnya, setelah menunggu cukup lama (setelah mencicipi cilok yang bumbunya mirip bumbu kacang untuk sate yang rasanya enak), mie tarempa saya pun datang. Mie Tarempa adalah mie kuning yang besar (biasanya untuk mie kocok, mie anglo) dimasak dengan beberapa bumbu dan rempah, juga sambal (kebetulan saya pesan yang goreng). Minyak di mie tarempa ini juga lumayan banyak, jadi kalau yang tidak kuat makan makanan dengan minyak banyak atau sedang diet sepertinya mie tarempa kurang cocok. Biarpun saya ga tahu rasa mie tarempa yang asli atau yang enak itu seperti apa, tapi mie tarempa yang saya pesan di warung kecil ini sudah cukup membuang rasa penasaran saya. Sebenernya ada lagi minuman dari olahan kedelai yang tadinya mau saya beli, tapi berhubung sudah kenyang maksimal, saya urungkan. Setelah selesai makan, kami kembali ke dermaga dan ternyata bapak yang punya kapal yang mengantar kami sedang pulang ke rumahnya, jadilah kami menunggu di dermaga. Pemandangan di dermaga pun tidak kalah menarik. Di seberang dermaga Pulau Batang ini terlihat jejeran puncakan perbukitan dari Pulau Bunguran. Sebenarnya perairan Selat Lampa ini merupakan salah satu spot yang cocok untuk memburu sunset dan kebetulan sekali sekarang sudah pukul 16.00. Tidak lama, bapak pemilik kapal pun datang, dan kami pun memutuskan untuk langsung menyeberang ke Selat Lampa. Rencana awal sih kami ingin mengelilingi perairan Selat Lampa, tapi takut kami kemalaman di jalan menuju Ranai, maka niat tersebut kami batalkan.
Waktu yang dibutukan untuk menyeberang dari Pulau Batang menuju Pulau Bunguran sekitar satu jam. Di sepanjang perjalanan, mulai dari perjalanan Pulau Setanau ke Pulau Batang, hingga perjalanan pulang kembali ke Pulau Bunguran akan banyak ditemui keramba terapung dan kapal-kapal ikan nelayan. Keramba-keramba ini merupakan tempat pengembangan bibit ikan Napoleon. Pembibitan ikan Napoleon terbesar di wilayah Pulau Bunguran ini memang berada di Pulau Sedanau, tetapi, sebenarnya cukup tersebar di wilayah perairan Pulau Bunguran. Sekitar pukul 17.00 kami sudah sampai di dermaga Selat Lampa. Setelah membayar 600.000 untuk kapal plus untuk bapaknya, kami mampir sebentar ke dermaga Pelni yang sebenarnya adalah dermaga untuk tanker milik Pertamina. Kami juga mampir sebentar di puncak bukit untuk mengambil foto landscape ke arah bawah bukit. Menurut saya, pemandangan dari atas bukit dan jejeran bukit di Pulau Bunguran ini cukup ‘langka’, karena sebagian besar foto-foto dan promosi wisata mengenai Natuna hanya mengenai pantai, pulau, dan bawah lautnya, jarang yang menampilkan kondisi jalan ataupun landscape di sepanjang pulau, apalagi view perbukitan. Kami pun, jika tidak diantar oleh Bang Naen, mungkin tidak akan tahu jika ada kawasan perbukitan selain di sekitar Gunung Ranai. Perjalanan kami menuju Ranai sangat lancar. Kami tiba di Desa Cemaga sekitar pukul 18.30 dan sepanjang Desa Cemaga hingga Kota Ranai sudah sangat jarang berpapasan dengan kendaraan lain. Setibanya di hotel, kami bertemu Bang Nelson, dan katanya besok malam, kami (saya, suami, dan Bang Naen) diundang untuk makan malam di restoran hotel, gratis. Perjalanan kami hari pun berakhir tanpa kena hujan sedikitpun, berbanding terbalik dengan perjalanan hari sebelumnya yang harus sampai terjebak badai sampai hampir 3 jam lamanya. Padahal, sepertinya saingnya di sekitaran Kota Ranai diguyur hujan.