Tahun baru identik dengan berbagai perayaan yang kebanyakan melibatkan kembang api, open house, live show musik di tv ataupun di beberapa spot terkenal di kota-kota besar, pokonya serba glamor dan meriah. Tahun baru untuk saya, selalu sederhana dan hampir tidak pernah ada perayaan ataupun ikut dalam perayaan apa pun, bahkan hampir beberapa tahun belakangan ini malah diisi dengan perjalanan jauh dengan beberapa teman dekat ke tempat-tempat yang jauh dari hingar bingar perayaan akhir tahun kota besar (yaa… meskipun terkadang ada beberapa tempat yang sudah banyak didatangi, ya rame juga akhirnya). Untuk tahun baru 2012-2013 ini, entah kenapa seperti sudah feeling ini adalah ‘tahun terakhir’. Untuk apa? Saya pun tidak tahu. Yang saya tahu, saya mengikuti insting saya untuk menghabiskan liburan akhir tahun kali ini dengan cara yang cukup berbeda dengan beberapa teman dekat saja, bukan open trip seperti biasanya.
Tujuannya pun disesuaikan dengan diskusi iseng di kala libur puasa Agustus lalu, lama bukan? Siapa sangka obrolan iseng itu akhirnya membawa kami berlima berpetualang di ujung Timur Pulau Jawa, di tujuan utama kami, Kabupaten Banyuwamgi. Beberapa spot di Banyuwangi sebenarnya sudah menjadi incaran saya dalam 1tahun ini, hanya saja masih belum diberi kesempatan. Meskipun bukan open trip, tapi perjalanan kali ini persiapannya lumayan lama, dimulai dari bulan Oktober hingga seminggu menjelang keberangkatan. Banyak hal yang harus dipersiapkan, seperti nge-list objek-objek wisata apa saja yang bakal didatengin, jalurnya kemana, perhitungan jarak tempuh dari masing-masing jalur.
Semuanya harus diperhitungkan berhubung perjalanan panjang kami kali ini menggunakan mobil pribadi dari Bandung dan hampir bertepatan dengan musim libur anak sekolah, bahkan kuliahan, dan tepat 1 Januari kami sudah harus kembali lagi ke Bandung. Merencanakan road trip, apalagi menuju tempat dengan rute yang benar-benar asing itu cukup bikin pusing kepala, untungnya ada beberapa teman jalan yang asalnya dari beberapa daerah yang akan kami lewati, jadi setidaknya bisa minta rekomendasi objek wisata dan jalur-jalur yang ada di sana.
Sebut saja teman kami di Kediri, Blitar, Banyuwangi, Wonosobo, dan kota-kota lainnya. Bongkar pasang personil pun tidak kalah hebohnya, dari rencana awalnya ada tiga orang yang bisa menyetir, hanya tinggal sisa satu orang, itu pun hanya bisa bergabung ketika kami sudah sampai di Blitar. Untungnya ada dua orang teman yang salah satunya bisa nyetir ikut bergabung, dan akhirnya formasi tiga laki-laki dan dua perempuan dan satu unit mobil mini bus pun siap berangkat menuju ujung Timur Pulau Jawa.
Bandung-Kediri 24-25 Desember 2012
Waktu keberangkatan disepakati Senin tanggal 24 Desember 2012 malam untuk menghindari kemacetan karena rute yang akan kami ambil menuju Kediri adalah jalur Pantura untuk menghemat waktu dan juga karena pada siang harinya masih ada beberapa teman yang ada kegiatan. Kami pergi berempat, karena teman yang satu sudah berada di Surabaya untuk urusan pekerjaan. Ketika tiba di Sumedang, sudah jam 00.00 WIB, jalanan cukup lancar hingga ke pintu tol Palimanan masih jam 01.30 WIB, padahal biasanya jalanan yang kami lalui ini sangat ramai dan didominasi oleh truk berbagai ukuran dan jalan yang jelek ikut menyumbang lamanya waktu tempuh. Udara cukup dingin, mengingat Desember hujan cukup sering mengguyur wilayah di Barat Indonesia, kami sedikit khawatir juga kalau di Banyuwangi juga musim hujannya cukup parah, tapi, hajar aja.
Ini adalah perdana saya melakukan perjalanan yang cukup jauh dengan mobil pribadi tanpa orang tua, memang sih untuk urusan ijin pinjem mobilnya aga ribet, tapi berkat informasi yang jelas kemana dan lewat mana rencana perjalanan kami dan orang-orang yang ikut pun sudah cukup familier, jadi berangkatlah kami ber-5 dengan mobil pribadi ini. Kami sampai di GT Tol Bakri (dulu masih punya orang itu), GT nya cukup heboh, meriah, dan terang kalau melihat kondisi di sekelilingnya. Ruas jalan tol ini memang belum lama dibuka setelah Lebaran, jadi, masih dibilang cukup baru dan belum banyak yang lewat, apalagi pada hari-hari bukan libur seperti yang kami lakukan ini.
Begitu membayar cukup mahal di GT, kondisi menjadi gelap gulita, tidak ada lampu penerangan di sepanjang jalan tol ini, permukaan jalan bergelombang parah, bahkan lajur yang harus diambil pun zig-zag karena ada beberapa kerusakan dan belum selesainya pembangunan. Banyak papan penunjuk arah yang harus kami hindari sebagai penunjuk untuk berpindah lajur dan jika situasi ini adalah musim libur dan siang hari, sudah dapat dibayangkan bagaimana kemacetannya. Tol berakhir di Kabupaten Brebes, kami pun tidak buang waktu segera melaju di jalur Pantura.
Jalur Pantura yang kami lihat benar-benar berbeda dari yang biasa dilihat di tv, tidak ada antrian kendaraan, tidak ada motor dan sepeda yang menyebrang seenaknya dan membahayakan pengguna jalan lain, tidak ada terik matahari dan debu, tidak ada pasar yang memakan badan jalan, yang ada hanya beberapa bus malam jurusan Jawa Tengah dan Jawa Timur, beberapa kendaraan pribadi, truk, dan pick up. Sepeda motor, gerobak, becak, dan sepeda tidak ada yang terlihat sama sekali di sepanjang jalur Pantura yang kami lalui. Bahkan, di sekitar Tegal, ada bus malam jurusan Kediri yang mengalami kecelakaan tunggal, badan bus nyangkut di median jalan, jadi sebagian berada di jalur yang dari arah Semarang-Cirebon dan sebagian lagi berada di jalur yang dari arah Cirebon-Semarang dan dapat kami lewati dengan mudah, bayangkan kalau kejadian ini terjadi pada siang hari.
Hanya saya yang masih terjaga di kursi depan menemani teman saya yang menyetir, ada saja kejadian dan bahan yang dapat dijadikan bahan obrolan untuk mengalihkan rasa ngantuk sementara dua orang teman saya terlelap di kursi belakang. Tidak terasa, hari menjelang Subuh dan kami sudah masuk daerah Alas Roban. Sepanjang jalan, kami beriringan dengan bus malam, truk berbagai ukuran, dan pick up, tetapi menjelang subuh dan memasuki Alas Roban banyak truk-truk yang berukuran sangat besar harus mengakhiri perjalanannya dulu dan bus-bus malam sepertinya sudah tiba di tujuan masing-masing.
Berhubung kami sedang menargetkan untuk tiba di Kediri secepat mungkin, jadi kami cukup puas menikmati sunrise yang tidak kelihatan sama sekali dari daerah Alas Roban. Keluar dari Alas Roban, kami mencari tempat untuk sarapan dan ternyata susah juga mencari tempat makan yang buka pagi-pagi sekali jika bukan di kota besar. Akhirnya kami berhenti di perbatasan Bawen-Salatiga untuk sarapan dan tidur sejenak pukul 08.00 WIB.
Berhubung tempat makannya masih sepi, jadi kami menyempatkan diri tidur sejenak setelah melihat peta untuk mengambil rute berikutnya menuju Kediri. Beruntungnya lagi, pemilik tempat itu tidak protes melihat kami berempat sudah kaya orang pingsan dari antah berantah. Tidur yang nikmat itu adalah tidur yang berkualitas, meskipun hanya beberapa jam saja, itulah yang kami dapatkan kali ini. Biarpun kami hanya tertidur dua jam lamanya, tapi sangat cukup untuk membuat kami segar kembali. Setelah membayar, kami bersiap-siap meneruskan perjalanan, kali ini kami akan memasuki Kota Salatiga mencoba jalan lingkar luar yang baru dibuka ketika Lebaran bulan September lalu.
Sebenarnya rute kami dari Salatiga menuju Ngawi itu cukup mudah, hanya tinggal mengikuti Jalan Nasional seperti yang biasa saya lakukan ketika jaman Lebaran dulu menuju Cepu dari Boyolali, tapi, GPS teman menunjukan jalur lain dan berhubung kami tidak terburu-buru, apa salahnya mencoba jalur yang sama-sama belum pernah kami lewati sebelumnya, sepertinya cukup menarik. Jalur yang kami lewati kali ini menuju Kecamatan Karanggede lewat Gemolong, nama daerah yang cukup asing. Kalau dilihat di peta, jalur yang saya lewati ini sebenarnya tidak terlalu jauh dari Kecamatan Ampel, makam Alm. Eyang Kakung tapi ini pertama kalinya saya lewat jalur ini. Ternyata jalan yang kami lewati ini satu jalur dengan jalur menuju beberapa waduk yang baru saya tau juga. Jalannya cukup bagus meskipun lebar jalannya hanya cukup untuk dua kendaraan mikro bus.
Medannya relatif datar, tetapi ada juga beberapa yang menanjak dan sedikiti berkelok tetapi tidak terlalu berat. Pemandangannya cukup menarik, tidak dominan dengan permukiman penduduk saja, tetapi ada beberapa ladang, sawah, serta sungai yang cukup bersih. Kami sempat berhenti di mini market sambil menanyakan jalan menuju Ngawi berhubung kami sudah sampai di Kecamatan Karanggede, kecamatan terakhir yang ada di petunjuk GPS, selebihnya, kami harus mencari jalur baru lagi yang tidak melewati jalur utama Salatiga-Sragen.
Cuaca cukup bersahabat, cukup berawan untuk tengah hari di kawasan yang cukup panas di Jawa Tengah, ternyata, jalur kami menuju Sragen-Ngawi merupakan jalur yang sama menuju Situs Manusia Purba Sangiran. Kami sempat memutuskan untuk mampir, tetapi ternyata jalan menuju ke Situs tersebut satu arah, sehingga kami harus memutar arah dulu, kemudian memutar lagi ketika akan meneruskan perjalanan menuju arah perbatasan. Akhirnya kami pun meneruskan perjalanan tanpa mampir terlebih dahulu. Kami sempat kebingungan mencari jalur keluar, karena hampir semua jalan menuju jalur utama Solo-Sragen yang kami hindari. Ternyata jalan yang kami cari merupakan jalan lingkar luar dari Karangasem menuju Surabaya.
Gunung Lawu yang sebagian besarna sudah tertutup awan hujan. Kami jadi ingat beberapa teman kami sedang mempersiapkan perjalanan mendaki Gunung Lawu. Semakin ke Timur, cuaca semakin mendung, begitu keluar di Jalan Raya Sragen – Ngawi, kami disambut dengan kemacetan dan hujan besar. Saking besarnya, jarak pandang jadi sangat pendek. Kali ini perbatasan administratif Jawa Tengah-Jawa Timur seperti menajdi pembatas cuaca juga, karena begitu kami melewati perbatasan Jawa Tengah dan masuk Kabupaten Ngawi di Jawa Timur, hujannya pun reda bahkan semakin ke Timur semakin tidak ada tanda-tanda hujan.
Ketika saya melihat ke arah belakang, awan hitam masih tetap berada di langit Kabupaten Sragen. Di areal hutan jati ini, ada sebuah monumen untuk Gubernur Jawa Timur Pertama setelah Proklamasi, RM Soeryo yang namanya diabadikan juga sebagai nama Tahura di perbatasan Kabupaten Mojokerto-Kota Batu Jawa Timur. Berhubung masih siang dan kami pun mencari tempat makan, maka kami memutuskan untuk mengunjungi museum purbakala Trinil. Trinil adalah situs paleoantropologi di Indonesia yang terletak di Desa Kawu, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur dengan patung gajah yang cukup besar sebagai ciri khasnya. Jalan menuju ke Desa Kawu, cukup baik untuk ukuran jalan desa yang pemandangan kanan dan kirinya berupa hamparan sawah yang sangat luas.
Meskipun di sepanjang jalan menuju Desa Kawu tidak ada sarana penerangan, tetapi kondisi jalannya melebihi kondisi jalan serupa di Jawa Barat.Untuk mencapai Desa Kawu tidak terlalu sulit dan jauh, sudah ada petunjuk arah menuju museum Trinil. Kami tiba di Museum Trinil tepat pukul 13.00 WIB dan cuaca sangat panas, terik, dan gersang. Sebenarnya kami berniat untuk menumpang mandi di sini, karena cuaca cukup terik, tetapi setelah melihat kondisi air di kamar mandi, kami memutuskan untuk menunda acara mandi kami. Museumnya sendiri memiliki patung gajah yang sangat besar di gerbang masuknya, pendopo yang cukup luas dan sejuk di sisi kanan jalan masuk, serta bangunan museum yang berada di sisi kiri.
Begitu masuk ke dalam museum, udara menjadi lebih panas, benar-benar gerah, ada beberapa rombongan yang juga berkunjung ke museum ini dan sedang diberi penjelasan oleh guide museum. Puas berkeliling museum, kami akhirnya memutuskan untuk mengisi perut terlebih dahulu sambil merencanakan tempat apa lagi yang akan kami kunjungi berikutnya. Kebetulan, ada beberapa air terjun yang masuk di list saua di daerah Nganjuk dan ada temannya teman yang tinggal di daerah Nganjuk. Setelah berembuk objek apa yang akan didatangi, teman saya pun akhirnya menghubungi temannya di Nganjuk. Maklum, ini pertama kalinya kami bepergian ke daerah ini. Untuk kembali ke jalan utama Ngawi-Madiun, kami harus melewati lagi jalan yang sama, tidak terasa, panas terik matahari sudah berubah menjadi cuaca yang sangat berangin, awan hitam pembawa hujan sudah semakin mendekat dari arah Barat.
Begitu tiba di Kota Ngawi, kesan yang pertama saya dapatkan masih sama seperti beberapa tahun silam ketika masih sering melewati kota ini. Bersih, tertata rapih baik parkir, area peruntukan lahan, maupun pembagian jalannya. Kami langsung mengambil arah ke Caruban kemudian Madiun, tetapi kami sempat salah jalan, sebenarnya jalan yang kami ambil bisa tembus langsung ke Madiun, hanya saja sedikit memutar dan kami tidak hafal jalan, jadilah kami balik arah lagi menuju Kota Madiun kemudian menuju Kota Caruban. Gunung Lawu masih bisa kami lihat dari kejauhan dan lama kelamaan berganti menjadi pemandangan Gunung Liman yang berada di wilayah administrasi Kabupaten Kediri, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Madiun, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Nganjuk, dan Kabupaten Trenggalek, rasanya Kediri sudah dekat.
Ternyata di sepanjang jalur Ngawi-Caruban ini banyak jalan menuju waduk yang saya sendiri pun baru tahu, sepertinya mampir untuk menikmati sunset di salah satu waduk ini mungkin ide yang cukup bagus, tetapi berhubung kami sudah dua hari berada di jalan, maka kami urungkan niat kami. Jalur menuju Caruban melalui kawasan hutan jati, meskipun tidak selebat dan sepanjang ketika memasuki Kabupaten Ngawi. Kota Caruban sendiri merupakan kota yang berada di Kabupaten Madiun berada tepat di persimpangan Jalan Nasional menuju Kecamatan Saradan dan Kecamatan Madiun. Kami mengambil yang menuju Kecamatan Saradan. Kami sempat terkena macet karena perbaikan jalan dan juga perlintasan kereta api, maklum, Madiun memiliki salah satu stasiun yang menjadi persimpangan kereta-kereta jarak jauh di Pulau Jawa.
Memasuki Kecamatan Saradan, kami disambut oleh penjual ukiran-ukiran dan berbagai kerajinan dari kayu jati dan juga kawasan hutan lindung Saradan dengan tanaman utama jati. Sepanjang perjalanan dari mulai memasuki Kabupaten Ngawi hingga Kecamatan Saradan ini, kami tidak menemui satu pun jalan yang rusak parah, sempit, berlubang, bahkan bergelombang. Marka jalan, lampu penerangan jalan, rambu lalu lintas dan juga penunjuk arah dapat dengan mudah kami temui. Satu hal yang saya pelajari mengenai lalu lintas di seluruh wilayah Jawa Timur baik dari papah maupun cerita dari teman adalah, ketaatan terhadap rambu lalu lintasnya cukup tinggi dibandingkan dengan Jawa Barat, serta aparatnya pun dengan siaga menjaga keamanan dan ketertiban lalu lintas.
Kami masuk Kecamatan Caruban sekitar pukul 15.00 WIB dan tiba di perbatasan dengan Kabupaten Madiun dengan Kabupaten Nganjuk sekitar pukul 16.00 WIB dan disambut dengan beberapa baligho objek wisata air terjun di Kabupaten Nganjuk yang sebagian besar berada di kaki Gunung Wilis. Rasanya tidak sabar untuk berkunjung ke sana. Jalanan sepanjang Saradan-Nganjuk ternyata cukup ramai. Kabupaten Nganjuk ini merupakan jalur persimpangan menuju Kabupaten Jombang lalu Kota Surabaya dengan yang menuju Kabupaten Kediri hingga ke daerah Selatan Jawa Timur, jadi lalu lintas di sini cukup padat, terutama oleh bus antar kota dalam provinsi.
Kami tiba di alun-alun Kabupaten Nganjuk tepat jam 17.00 WIB. Hampir setengah jam kami nunggu temannya teman kami, tapi tidak bisa dihubungi. Sebenarnya jarak dari Kabupaten Nganjuk – Kabupaten Kediri sudah cukup dekat, mungkin sekitar satu jam perjalanan, tetapi dengan kondisi sudah di mobil dua hari hampir dua malam, belum mandi, dan belum istirahatin badan dengan bener, maka, kami putuskan untuk segera meluncur ke Kediri tepat pukul 17.30 WIB. Jalan yang kami ambil ternyata bukan jalur paling utama, jadi sedikit sepi tapi memepercepat perjalanan.
Jam enam lebih kami sudah masuk Kota Kediri dan langsung mencari pecel yang udah dipromosiin sama satu teman kami asli Kediri yang batal ikut perjalanan kali ini. Cukup susah juga nyari pecel yang di maksud, tapi, bukan Kediri namanya kalau bisa bolak-balik dan muter-muter di sekitar alun-alun dalam waktu singkat. Lalu lintas di alun-alun Kota Kediri menjelang Magrib bisa dikatakan cukup kosong kalau dibandingin sama alun-alun Kota Bandung, jadi kami juga cukup mudah untuk nemuin tempat pecel yang dim maksud. Tempat pecel yang di maksud teman kami ini lesehan di trotoar aga masuk ke jalan kecil dari jalan utama alun-alun, patokannya adalah toko sepeda di sebelah kiri jalan tepat di belokan. Berhubung jalan sempit, jadi kami parkir mobil aga jauh dari tempat pecel yang mulai penuh dengan pembeli.
Setelah dapat pecel Kediri yang disajikan tidak jauh berbeda dengan pecel-pecel lainnya di daerah Jawa, alas pecel terbuat dari daun, aneka sayuran, bumbu pecel, dan ada gorengan pengganti peyek kacang rasanya nikmat. Lidah saya langsung cocok dengan pecel Kediri, padahal pecel Jogja dan Madiun yang sudah lebih terkenal, saya tidak terlalu cocok. Selesai makan pecel, kami pun menghubungi teman yang tinggal di Kediri.
Sebenarnya cukup mendadak, karena teman kami yang asalnya mau kami tebengin rumahnya di Kediri jadi salah satu personil yang tereliminasi karena satu dan lain hal, jadilah kami menghubungi teman yang satu ini, selain memang sudah lama ga ketemu, saya pun dengan teman yang satu ini hanya satu kali ketemu, bulan Maret 2012 lalu. Setelah sempat nyasar sedikit, akhirnya kami ketemu dengan dua orang teman kami. Rumah teman saya ini sedikit berada di luar Kota Kediri, lebih tepatnya sudah ke arah menuju Gunung Kelud, objek wisata pertama yang akan kami datangi di Jawa Timur ini.
Pukul 20.00 WIB kami sudah riba di rumah teman kami. Setelah mandi, dan beberes barang, kami mengobrol sebentar di halaman rumahnya karena memang Kediri cukup gerah waktu itu meskipun malam hari. Ngobrol hanya tinggal niat, ga sampai lima menit, kami berempat terlelap saking capenya dan badan udah seger. Sekitar jam 22.00 WIB, kami mulai bangun, sambil menunggu teman yang belum mandi, kami makan malam dan akhirnya dadakan kami keliling Kota Kediri di malam hari, tepatnya ke Simpang Lima Gumul, salah satu icon Kota Kediri.
Jam 23.00 WIB kami berangkat. Pertama kalinya baut saya keluyuran di Kota Kediri, tengah malam pula. Tepat tengah malam kami tiba di Simpang Lima Gumul. Ikon Kota Kediri yang hampir mirip dengan bangunan bersejarah di Paris bernama Arc de Triomphe, hanya bedanya, yang mengisi bangunan di SLG ini adalah ukiran-ukiran mengenai Kerajaan Majapahit, bukan nama-nama pahlawan seperti yang berada di Paris. Dulu, tempat ini merupakan simpang lima biasa,tanpa ada bangunan apapun dan merupakan tempat paling macet dan semrawut, untuk mengakalinya dibangunlah monumen Simpang Lima Gumul berikut penataan jalannya agar lebih tertata baik dari segi keindahan kota, maupun dari segi lalu lintasnya.
Untuk pengunjung yang ingin berkunjung ke Simpang Lima Gumul disediakan tempat parkir khusus di taman yang lokasinya berada sedikit di bawah jalan utama dan cukup luas, sehingga tidak akan menambah kemacetan di tempat tersebut. Ketika kami datang, meskipun tengah malam, masih ada beberapa yang mengunjungi Simpang Lima Gumul. Kami parkir di pinggir jalan di dekat monumen, tidak di lahan parkir yang telah disediakan. Kami tidak membuang banyak waktu dan segera mengeluarkan kamera dan berfoto-foto narsis. Biar muka kucel, mata panda, rambut ga karuan, yang penting ada foto kenang-kenangan di salah satu ikon Kota Kediri, kapan lagi? Sekitar jam 02.00 WIB kami kembali ke rumah teman. Kali ini tidak pake basa-basi langsung buka lapak di ruang tamu teman saya dengan modal SB yang kami bawa masing-masing dan tikar yang disediakan oleh teman. Maaf merepotkan.