KELILING PULAU JAWA PART 3: BLITAR 27 DESEMBER 2012


Saking semangatnya, biar cape maksimal pun bangun tetep pagi-pagi. Jam 08.00 WIB kita semua udah siap, udah mandi dan siap buat ke tujuan pertama kita Museum & Makam Bung Karno. Berhubung jaraknya deket banget, mungkin hanya sekitar tiga puluh menit paling lama, jadilah kita semua jalan kaki, itung-itung olahraga. Tujuan pertama kita apalagi kalo bukan foto sama patung gede di depan ruang lukisan yang di dalemnya ada lukisan yang cukup terkenal. Suasana di sekitar museum sudah cukup ramai padahal masih cukup pagi. Pertama-tama kita harus mengisi buku tamu sebelum masuk dan liat-liat lukisan-lukisan dan foto-foto Sang Proklamator. Setelah selesai mengisi buku tamu, teman saya menyuruh saya untuk memperhatikan sebuah lukisan Bung Karno yang berada tepat di samping meja resepsionis.

Awalnya saya ga ngerti, kenapa saya harus ngeliatin lukisan yang sama kaya lukisan lainnya, ternyata setelah teman saya memposisikan saya dengan angel yang pas barulah saya tahu, ini lukisan Bung Karno yang terkenal itu. Bila kita berdiri tepat di hadapan lukisan tersebut, mungkin kita akan menganggap ini hanya lukisan biasa, tetapi jika kita berdiri di angel yang tepat, mungkin dengan posisi saya yang berada sedikit di samping lukisan tersebut, maka akan terlihat detak jantung seakan keluar dari dalam lukisan. Detak jantung yang mengibaratkan lukisan tersebut hidup. Sampai sekarang pun saya bisa dibilang percaya ga percaya, mungkin saja hanya tipuan mata dengan perpaduan angel yang tepat, pencahayan dll atau memang lukisan itu memang berbeda yang lain.

Setelah puas melihat lukisan yang cukup terkenal itu, saya dan beberapa teman ke ruangan belakang melihat-lihat foto-foto Bung Karno pada masa pra dan pasca kemerdekaan dan tidak lupa berfoto dengan patung burung Garuda yang cukup besar di pojok belakang ruangan. Puas dari ruangan ini, kami pun meneruskan ke Makam Bung Karno dan Ibundanya. Dari tempat lukisan ini menuju makam kita akan melewati semacam taman yang dindingnya penuh dengan ukiran tentang Indonesia dan masa-masa perjuangan, satu yang menarik perhatian saya, yaitu relief teks proklamasi yang di bawahnya terdapat relief Indonesia, favorit saya. Puas foto-foto relief dan desain tamannya yang cukup modern, kami pun membeli es potong murah meriah, hanya sekitar 500 atau 1.000 Rupiah saja di tengah udara dan cuaca Kota Blitar yang mulai panas. Makamnya berada di atas pendopo yang terlihat sejuk dan untungnya masih belum terlalu banyak yang berziarah.

Setelah memberi hadiah doa, tidak lupa kami mengambil foto sebagai kenang-kenangan, dan untungnya ada karangan bunga dari sekelompok organisasi wanita yang baru dipajang, mempercantik tampilan sekitar makam. Tidak berlama-lama di makam karena selain kami harus segera bersiap ke tempat tujuan berikutnya, sudah cukup banyak juga orang yang akan berziarah. Untuk keluar dari areal makam dan muesum ini, kita harus melewati lorong berliku yang penuh dengan penjual suvenir layaknya di tempat-tempat wisata lainnya. Setelah tidak mempedulikan kanan-kiri, akhirnya saya pun tergoda dengan beberapa kaos ‘Blitar’ yang kebanyakan berisikan kutipan-kutipan kata-kata Bung Karno dan beberapa desain Bung Karno, Burung Garuda, dan beragam corak batik.

Beres di objek pertama di Kota Blitar, rasanya kurang lengkap kalau sarapannya bukan pecel. Kali ini kami diajak makan di tempat makan pecel di Kota Blitar yang katanya cukup terkenal. Pecel Blitar hanya sedikit berbeda dengan pecel Kediri, dan ini pecel ke-2 yang langsung cocok sama lidah saya. Enak!!! Sudah enak, murah meriah lagi, itulah Jawa Timur. Sekitar jam 10.15 WIB, kami kembali ke rumah dan tentunya dengan jalan kaki. Sambil packing, sambil godain anak kecil sodara temen saya yang super gemesin & ganteng. Jam 10.30 WIB kami pergi ke tempat tujuan ke-2 kami yaitu pantai sekalian pamit karena hari ini kami akan meneruskan perjalanan ke Jember lewat Dampit, Lumajang.

Karena teman ada yang ga bawa celana untuk basah-basahan, akhirnya tujuan kami berikutnya menjadi toko outdoor yang sudah cukup dikenal di Blitar. Tempat yang satu ini emang sukses bikin kita semua lupa waktu meskipun ga sanggup beli. Akhirnya pukul 11.30 WIB kami baru jalan meninggalkan Kota Blitar dari rencana awal jam 09.00 WIB. Tujuan kami adalah daerah Selatan Blitar yaitu Pantai Serang dan Pantai Sumbersih. Tempat ini saya dan teman saya pilih setelah bergalau ria liat referensi foto-foto pantai di Blitar yang bagus-bagus tetapi hanya punya waktu kurang dari satu hari saja. Perjalanan menuju tempat yang kami tuju katanya sekitar satu jam. Perjalanan di daerah yang panas, jalan berliku yang relatif sepi, perut yang kekenyangan, rasa cape sisa-sisa perjalanan kemarin menjadi paduan yang pas untuk tidur siang dalam perjalanan menuju Selatan Blitar.

Sekitar jam 12.30 WIB semua personil sudah bangun dan kami sudah menuruni medan yang berupa perbukitan, pertanda kami sudah dekat dengan pesisir Selatan Blitar. Cuaca cukup bersahabat, meskipun tidak ada sinar matahari, tetapi tidak juga mendung. Ya, saya kira cukuplah untuk sekedar mengambil landscape laut biru dan pasir putih tanpa langit biru. Pukul 12.40 WIB ternyata kami sudah sampai di pantai,kami parkir di satu warung yang juga langganan teman saya. Ibu warung bilang kami cukup beruntung soalnya tadi pagi hujan cukup lama dan deras mengguyur daerah ini. Ketika kami tiba, sinar matahari muncul lagi, hal ini tidak disia-siakan oleh teman saya untuk jemur pakaian di pagar pembatas kebun tepat di seberang warung. Kami jalan menuju pantai yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat kami parkir mobil.

Hanya ada beberapa orang di pantai ini, maklum belum musim liburan dan pantainya sedikit kotor dengan kayu-kayu, beberapa kapal nelayan bersandar di sini. Kami menyeberangi muara sungai yang cukup lebar dan cukup tinggi, sebatas lutut. Setelah menyeberangi muara, jalan sedikit becek dan langsung menanjak bukit dan cukup curam. Jalannya sangat jelek, pilihan tepat untuk berjalan kaki. Menurut teman saya, jarak dari sini ke pantai yang akan kami tuju tidak terlalu lama. Terlihat jejak ban motor di tanah lumpur yang kami lewati. Jalan yang kami lalui melewati tempat untuk melihat Hilal. Kami beristirahat sebentar di sini. Ketika bersitirahat, ternyata ada pantai yang jaraknya tidak terlalu jauh dan langitnya sudah mulai gelap. Kami sedikit khawatir bila kehujanan dalam perjalanan ke pantai yang kami tuju, karena selain pakaian kami yang tidak dipersiapkan untuk hujan-hujanan, selama perjalanan kami tidak bertemu seorang pun.

Tanpa membuang waktu, kami pun meneruskan perjalanan dari tempat Hilal ini karena sudah jam 13.15 WIB. Jalan yang kami tempuh kali ini menuruni bukit dan kemudian hanya terlihat hamparan kebun dengan bukit-bukit penuh batu koral dan beberapa pohon kelapa di sekelilingnya, sama sekali tidak terlihat garis pantai. Sedikit heran dan cemas juga dengan jalan yang nantinya kami ambil. Ketika menuruni bukit, sepintas kami lihat pantai yang cukup kecil dari sela-sela batuan besar, ombaknya cukup besar. Setelah medannya stabil, tidak lagi berupa turunan, kami harus melintasi kebun warga yang sebenarnya tidak ada treknya, kebunnya pun tidak sedang ditanam, jadi hanya mirip hamparan tanah kosong.

Sebenarnya jalan yang teman saya ambil ini merupakan jalan pintas, karena jalan utamanya tidak melewati kebun, bahkan kendaraan pun bisa, tetapi tidak untuk mobil. Jalannya cukup curam, batu koral, dan berhubung musim hujan, jadi sudah dipastikan lumpur semua. Inilah alasannya teman saya mengajak kami untuk lewat jalur kebun berlumpur yang sebenarnya kalau musim kemarau jadi jalan setapak dan padang rumput dihiasi bukit-bukit berbatu koral berbagai ukuran. Ketika di tempat melihat Hilal, sebenarnya awan hujan sudah mulai terlihat di seberang bukit dan air di sekitar pantainya sudah sangat cokelat, hanya tinggal menunggu waktu saja tempat kami ini diguyur hujan. Benar saja, begitu baru sebentar berjalan di kebun ini, mulai gerimis, untungnya ada saung kecil untuk berteduh meskipun sudah cukup rusak.

Jalan yang penuh lumpur dan tanah liat serta perpaduan batu koral dan medan yang menurun menjadi kombinasi serasi untuk mempersulit jalan dan merusak alas kaki berhubung tidak ada yang memakai sepatu. Ternyata gerimisnya hanya sebentar, kami pun meneruskan perjalanan. Baru saja akan memulai, kami sudah harus berhadapan dengan medan turunan dan lagi-lagi hamparan tanah bekas kebun yang medannya berupa tanah liat dan batu koral. Setelah cukup lambat dan susah payah menuruni turunan di depan saung, medannya menjadi dataran luas dengan bukit-bukit yang tidak terlalu tinggi di sepanjang jalur hingga ke tepi pantai. Medan yang datar bukan berarti perjalanan kami mulus, justru di sinilah tantangannya. Beberapa langkah dari turunan saung, lumpur yang kami injak dalamnya sebatas mata kaki, kami semua sudah pasti sulit untuk melangkah.

Semakin ke depan, kedalaman bertambah, bahkan ada beberapa titik yang dalamnya sampai ke lutut. Dengan cuaca yang cukup mendung, kami hanya bisa bergegas dan konsentrasi dengan langkah kami, sudah pasrah kalau tiba-tiba hujan besar turun. Dari semua orang di rombongan ini, tidak ada satu pun yang memakai perlengkapan dan pakaian yang mendukung. Kami hanya memakai pakaian untuk ke pantai, kaos, celana pendek, sandal outdoor, tidak membawa cukup logistik hanya beberapa botol minum yang jumlahnya pun tidak seimbang, serta tas kecil untuk barang-barang penting, kamera yang hanya dibawa dengan tasnya saja bukan tas khusus kamera.

Kurang lebih selama satu jam kami harus melintas di jalur berlumpur dan berbatu di tengah tempat terbuka, bahkan beberapa kali kaki kami harus terperosok ke bagian lumpur yang lebih dalam. Binatang dan sisa-sisa tanaman warga sudah tidak kami pedulikan lagi, kami hanya berusaha konsentrasi mengatur dan memilih langkah kami agar tidak semakin terperosok lebih dalam. Sekitar satu jam, tepatnya jam 14.15 WIB akhirnya Pantai Wedi Ombo/Pasir Putih Serang/Peh Pulo yang kami tuju sudah terlihat. Posisi kami sendiri masih berada di sela-sela bukit. Kami memutuskan untuk beristirahat sejenak di sini sambil membersihkan lumpur dan minum.

Pada titik ini, kami semua sudah tidak ada yang memakai alas kaki karena tebalnya lumpur di sepanjang perjalanan kami. Memang, sedikit lebih mudah dengan melepas alas kaki tetapi risiko kaki terkena batu yang sedikit tajam atau menginjak binatang pun lebih besar. Meskipun alas kaki sudah dilepas, tetapi rasanya masih ada alas yang melindungi telapak kaki sehingga ketika menginjak batu tidak terlalu sakit, saking tebalnya lumpur yang menempel di kaki. Beruntungnya kami, hujan tidak turun ketika kami dalam perjalanan. Setelah puas istirahat dan bahkan sempat mengambil beberapa foto, kami pun menuju pantai.

Semakin mendekati pantai, semakin besar dan banyak bebatuannya. Sepertinya ini memang waktu yang kurang tepat untuk kami berkunjung ke sini. Pasir pantainya memang putih, airnya juga cukup tenang, tetapi langit dan warna air yang sangat biru seperti yang saya lihat di foto, lenyap berganti dengan air laut yang tanpa warna, cenderung keruh, awan hujan, serta langit yang berwarna kelabu. Tidak banyak yang bisa kami lakukan di sini, bahkan untuk mengambil gambar pun tidak banyak angel yang didapat. Semesta pun nampak tidak mendukung, baru sebentar kami membersihkan kaki dari lumpur, gerimis kembali turun. Kami segera berlari menuju saung-saung yang berada di dekat pantai.

Di saung sudah ada beberapa orang yang juga berteduh. Mereka datang ke sini menggunakan sepeda motor dengan ban yang sudah sangat belepotan lumpur. Kira-kira begitulah nasib ban mobil kami jika nekat melewati jalan utama. Dengan sore yang mendung, gerimis, dan saung yang tidak ada penerangannya membuat kami semua memutuskan untuk segera kembali meskipun kami baru lima belas  menit berada di sini.

Tepat pukul 15.10 WIB kami pun bergegas kembali dan mau tidak mau kami harus melewati jalan berlumpur yang tadi, sementara beberapa orang di saung sudah pergi terlebih dulu dengan menggunakan jalur yang berbeda. Tidak lama, kami pun tiba di tanah datar yang sangat luas dan berlumpur. Kepalang tanggung belepotan lumpur, kami pun sedikit mempercepat langkah kaki kami karena awan gelap sudah semakin mendekat. Berkat sedikit teknik dan jejak kaki kami yang masih tertinggal, kami tidak terlalu sulit untuk kembali ke saung tempat kami berteduh pertama kali. Begitu tiba di saung, telapak kaki sudah mulai terasa sakit, bukan hanya karena menginjak batu-bati koral, tetapi juga lecet karena sendal yang saya gunakan. Kami bertemu dua warga yang pulang berladang, berbeda dengan kami, bapak ini membawa golok dan bersepatu boot jadi sudah bisa dipastikan jalannya lebih cepat dari kami.

Setelah sampai di tempat Hilal dan menyelesaikan tanjakan dengan susah payah karena kaki yang sangat sakit, saya dan dua orang teman saya bersitirahat sejenak, sementara dua teman lainnya terus jalan bersama seorang warga lainnya yang baru pulang memasang jaring. Ketika saya dan dua teman saya tiba di pinggir muara, ternyata airnya sudah meluap, arusnya sangat deras. Ketinggiannya sudah hampir di atas pinggang dengan beberapa bagian dari pijakan yang tergerus dan hanyut. Dua teman saya dan warga yang tadi bareng dengan kami pun tampak cukup sulit melintas, apalagi rombongan saya dengan dua orang perempuan dan hanya satu orang laki-laki. Akhirnya kami bertiga memutuskan untuk mengambil jalan memutar melalui bukit di belakang kami daripada mengambil risiko menyeberangi muara yang airnya meluap dan ombak yang sudah sangat pasang serta sudah tidak ada orang lagi di Pantai Serang.

Perjalanan kami bertiga menjadi sedikit sulit dengan tanjakan yang cukup terjal, sempit, dan berbatu koral tentunya. Sambil menahan perih karena lecet dan telapak kaki yang berkali-kali menginjak batu koral yang cukup tajam, bahkan di turunan yang tidak seberapa pun saya dan teman saya harus dengan susah payah melewatinya. Akhirnya hujan pun turun, kali ini tidak lagi tanggung seperti sebelumnya, hujan kali ini benar-benar hujan deras, sangat deras. Setelah berhasil menuruni bukit dengan basah kuyup, kami menemukan gubuk yang ukurannya sangat pendek, bahkan kami harus sedikit jalan jongkok untuk masuk.

Gubug ini lumayan untuk jadi tempat istirahat sejenak, setidaknya kami bisa berhenti dulu di tengah hujan sangat deras dan kilat yang menyambar-nyambar. Atap gubug ini sudah banyak yang bocor, tidak ada alas, jadi kami bertiga hanya bisa berjongkok dan menggigil kedinginan. Tanah di sekitar gubug sudah kembali menjadi genangan air dan lumpur, lagi-lagi kami harus menerjang lumpur. Setelah petirnya tidak terlalu sering, meskipun masih hujan cukup deras, kami bertiga nekat untuk meneruskan perjalanan, karena kata teman saya, masih cukup jauh untuk sampai di jalan utama, baiklah. Kesalahan kami adalah melupakan pepatah “Sedia payung sebelum hujan”, bahkan jaket kami ber-5 yang sebenarnya anti air pun kami tinggal di mobil!

Setelah mengamankan barang-barang berharga, kami bertiga pun meneruskan perjalanan di tengah hujan deras dengan penutup kepala berupa daun pisang, satu orang satu. Kalau mungkin dulu pernah ada iklan di tv yang menampilkan anak-anak kecil berjalan di bawah guyuran hujan deras dengan daun pisang sebagai pelindungnya menyusuri pematang sawah, seperti itulah kami bertiga, yaaa mungkin tanpa gigi ompong dan kerbaunya saja.Kami menyusuri pinggiran kebun warga, berkali-kali menyeberangi aliran irigasi yang nantinya akan menjadi muara yang kami seberangi siang tadi hingga akhirnya ini kali terakhir kami mengikuti aliran irigasi.

Hambatan kami berikutnya adalah jembatan yang hanya dari bambu yang ditumpang tindih seadanya tanpa pegangan dan sudah sangat basah diguyur hujan untuk menyeberangi aliran irigasi yang masih cukup lebar dan arusnya sangat deras. Susah payah kami menyeberangi solokan ini, dengan batang bambu yang bergoyang ketika kami berjalan di atasnya, solokan yang tinggi airnya sudah hampir menyentuh bambu, sendal yang licin karena lumpur dan permukaan bambu yang licin karena hujan, serta badan yang menggigil dan lapar.

Begitu tiba di seberang kebun, yang juga merupakan jalan setapak di pinggir tambak garam, hujan pun mereda, meskipun tidak berhenti total, daun pisang pun hanya tinggal dua saja yang di bawa, karena yang satu kami tinggal di seberang jembatan, ribet juga menyeberang jembatan bambu dengan membawa daun pisang. Tambak garam ini sebenarnya adalah tambak yang sama yang saya lihat ketika di tempat Hilal. Dari tempat melihat Hilal, tambak garam ini terlihat sangat jauh, tidak disangka kami memutar hingga sejauh ini demi menghindari luapan muara sungai dan ombak pasang. Kami berjalan megikuti jalan setapak di pinggir tambak dengan petir yang kembali menyambar-nyambar.Kami mempercepat langkah karena jalannya sudah datar dan tidak lagi berlumpur parah. Di ujung jalan setapak ada sebuah gubug yang digunakan oleh para pekerja tambak garam untuk sekedar shelter dan tidak ada orang ketika kami tiba dan pertigaan.

Kami memilih jalan yang menyusuri solokan di sisi kanan dan tambak garam di sisi kiri. Kami bertiga menyeberang ke sisi satu lagi dari tambak garam ini mengikuti aliran air. Tidak berapa lama akhirnya kami keluar dari tambak garam dan tiba di jalan utama, syukurlah! Ternyata tempat kami keluar tidak jauh dari tempat kami membayar retribusi ketika datang. Kami tiba di warung tempat kami memarkir mobil sekitar pukul 17.00 WIB. Untungnya teman saya ini sudah cukup dekat dengan pemilik warung, jadi kami bertiga bisa menumpang mandi, karena kami akan langsung menerukan perjalanan menuju Banyuwangi, non stop melalui Malang-Dampit-Lumajang-Jember-Banyuwangi, setidaknya kami melakukan perjalanan panjang ini dengan badan yang tidak gatal-gatal karena lumpur dan tidak masuk angin.

Seperti halnya daerah pesisir Selatan Pulau Jawa yang belum tejamah oleh wisata, begitu Magrib, penerangan satu-satunya hanya lampu dari rwarung sekaligus rumah tempat kami memarkir mobil dan menumpang mandi ini, sementara di sekitarnya, gelap gulita. Saya dan teman saya sampai bisa ganti baju di pinggir warung hanya dengan ditutupi kain pantai dan modal headlamp saking gelap dan sepinya. Setelah ikut cash hp, power bank, baterai kamera dll, kami pun pamitan dan tidak lupa berterima kasih pada ibu warung dan keluarganya. Kejutan terakhir pun kami dapatkan ketika sedang packing.

Ternyata dari tadi, tepat di seberang warung ada orang yang sudah tidak waras lagi ngoceh sendiri dengan tampang yang cukup mengerikan dengan kondisi gelap gulita begini. Ketika kami akan berangkat, orang gila ini tiba-tiba mendekat, dan oleh teman saya dengan isengnya ngasih rokok yang tidak di bakar, orang gila menyingkir, kami pun langsung tancap gas menuju Blitar.

Jam 19.00 WIB kami meninggalkan Desa Serang, dan sekitar pukul 20.00 WIB kami sudah tiba di persimpangan jalan utama Blitar-Malang. Kami pun pisah di sini, karena teman kami balik lagi ke Blitar, sementara kami menuju Malang. Sebenarnya ga enak jga karena sudah anter kami main, ternyata kemaleman dan harus balik lagi ke Blitar pakai kendaraan umum. Berhubung kami belum makan dari siang, akhirnya begitu nemu tempat makan yang sedikit beda dari biasanya (biasanya warteg, warung nasi, warung di objek-objek wisata), kali ini tempat makannya sedikit mirip dengan family resto yang harganya pun pasti sedikit lebih mahal.

Setidaknya ngasih sedikit hadiah sama perut dan lidah setelah seharian treking lumpur-lumpuran, ujan-ujanan, ngelintas bukit, kedinginan gara-gara keujanan, haus berat, dan ngantuk pastinya. Jenis makanan yang kami pesan pun sedikit berbeda, kalau biasanya kami makan nasi pecel, nasi dengan sayur rumahan, mie instan, baso, kali ini kami memesan sea food!

Puas makan, leyeh-leyeh di tempat makan yang kebetulan dapet lesehan, foto-foto dan trek jalur yang bakal dilewatin. Perut kenyang, mata sepet, begitulah biasanya kalau hukum alam. Kali ini ditambah lagi dengan badan yang super pegel-pegel setelah trekking lumpur dan ujan-ujanan seharian. Pukul 21.00 WIB kami berangkat lagi, kali ini menuju Malang, hanya kami sengaja tidak melewati Kota Malang, rute yang kami ambil dari Blitar sedikit ke Selatan, melewati Pindad, jalur-jalur menuju pantai Selatan Malang, salah satunya jalur yang menuju Pulau Sempu. Blitar-Malang hanya ditempuh dengan waktu satu jam saja dengan jalan yang dominan hanya lurus dan sangat sepi, maklum ketika masuk ke pinggiran Kota Malang, sudah pukul 22.00 WIB, ditambah lagi ini hari Kamis, bukan hari Sabtu-Minggu.


About Dya Iganov

Penyuka traveling, tidak hanya mendaki gunung, tapi juga touring, rafting, explore, city tour, kemping ceria, susur pantai, dll

Leave a comment