NGAGELAN – BEDUL – TRIANGULASI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO 29 DESEMBER 2012
Biarpun cape mampus, ngantuk abis dan jam tidur terbatas, tapi tetep aja kami bangun pagi juga. Jam 07.00 WIB seengganya udah ada yang cek hp, ada yg cek kopi, ada juga yg cek sarapan. Ritual pagi ini dumulai dari misahin baju kotor yang gagal di laundry, bersiin mobil, sama jemur-jemur sepatu ama baju yang bisa dijemur. Sarapan kami seadanya aja, maklum namanya juga nginep dadakan di hotel. Sekitar jam 09.00 WIB kami berangkat menuju Alas Purwo. Cuaca cerah, di luar juga lumayan gerah, ah, mudah-mudahan bertahan sampe sunset nanti sore. Perjalanan ke Alas Purwo sedikit lebih membingungkan soalnya kali ini pergi sendiri. Mas Kukuh udah stand by nunggu rombongan temen kami dari Jakarta. Kami mampir sarapan dan beli logistik dan sambil nyoba keberuntungan kami buat dapetin laundry. Semua berhasil kecuali laundry.
Kami sampai di sebuah patung dan gapura yang menandakan wilayah TN Alas Puwo. Wuiiihh akhirnya kami sampai juga. Perjalanan dari hotel sampai ke Kecamatan Tegaldlimo, tepatnya desa terakhir sebelum masuk ke kawasan TN Alas Purwo sekitar dua jam. Perbedaan kondisi jalan mulai kerasa. Jalan yang semula aspal dan ada di tengah-tengah jejeran rapih permukiman penduduk sedikit demi sedikit berubah jadi jalan yang sedikit berbatu dan ada tanahnya. Di kanan dan kiri kami pun mulai dominan rimbun pepohonan dan lahan terbuka. Lama kelamaan jalan kami sudah berubah total jadi jalan tanah dan tepat di tengah-tengah jalan (yang tidak tergilas roda mobil) tumbuh ilalang yang lumayan tinggi. Sinyal hp pun mulai hilang kecuali punya satu teman saya, malah masih bisa terima telepon.
Sepanjang jalan dari batas permukiman sampai ke pintu gerbang Rawabendo sejauh lima belas kilometer kami disuguhi rimbunnya pepohonan, jalan yang rusak lengkap dengan ilalang yang tumbuh subur diantara jalur yang terlindas ban dan monyet-monyet yang jumlahnya cukup banyak hampir di tiap pohon maupun di semak belukar. Kalau jalan di sini sepanjang pagi hingga siang dan cuaca cerah sih suasananya adem, sejuk, tapi kalau menjelang sore atau mendung, suasananya bisa saja sedikit nyeremin.
Taman Nasional Alas Purwo mungkin bukan Taman Nasional yang pertama didirikan di Pulau Jawa, tapi menurut beberapa sumber, hutan di dalam TNAP ini merupakan hutan tertua di Pulau Jawa dan ada 500-an jenis tanaman yang tumbuh di hutan ini yang menjadi habitat bagi berbagai satwa liar. Luas hutan di TNAP ini sekitar 43.420 Ha dan kami hanya baru sampai di bagian terluarnya saja. TNAP memang cukup terkenal karena keangkerannya.
Mungkin ini efek dari sangat tuanya umur hutan ini dan masih banyak yang belum terjamah. Selain itu, yang menguatkan berbagai cerita mistis tentang TN Alas Purwo ini adalah banyaknya gua yang ada di dalam sini dan hampir belum semuanya dapat dijelahahi dan dieksplore informasinya, sehingga yang masih dominan terasa dan terdengar adalah cerita turun temurun masyarakat setempat dibandingkan informasi mengenai sejarah dan ornamen yang ada di gua-gua tersebut.
TNAP juga erat kaitannya dengan Kerajaan Blambangan. Nama Blambangan sendiri pernah saya temukan dalam sebauah peta ketika nyari informasi mengenai TNAP. Setelah sedikit obrolan dengan Mas Kukuh ketika baru tiba di Banyuwangi, memang, dulu namanya adalah CA Blambangan kemudian berubah menjadi TN Alas Purwo. Versi lainnya yaitu CA Blambangan termasuk ke dalam wilayah TN Alas Purwo. Blambangan sendiri merupakan nama kerajaan bercorak Hindu terakhir di Pulau Jawa. Hampir semua situs-situs di dalam dan di sekitar TN Alas Purwo erat kaitannya dengan sejarah kerajaan Blambangan. Kalau ada yang pernah denger “Minakjingga”, ini sebenarnya versi populer tentang Kerajaan Blambangan yang dianggap sebagai mitos karena sangat minimnya informasi mengenai sejarahnya.
Singkat cerita, kami tiba di gerbang Rowobendo yang merupakan tempat semua pengunjung melakukan registrasi tepat pukul 11.00 WIB. Sudah ada dua mobil pribadi di depan kami. Awalnya hanya dua orang teman saya yang turun, tapi ko lama-lama ga balik lagi ke mobil? Akhirnya kami semua turun. Dan taulah kami kenapa dua orang teman saya ini ga cepet-cepet balik ke mobil. Di Pos Rowobendo ini ada sebuah peta yang cukup besar lengkap sama informasi dan legenda tentang TNAP, mulai dari lokasi objek wisata, jenis medan jalurnya (trekking, mobil, jalur hewan, dll), sampai jenis tanah yang ada di TNAP. Setelah ngobrol-ngobrol dam tanya-tanya, ternyata jalur ke beberapa objek wisata ini terbagi ke dalam dua jalan utama.
Setelah dipilih-pilih, jalur pertama yang kami ambil rencananya akan kami pilih untuk mengunjungi Pantai Ngagelan dan Bedul. Pantai Ngagelan merupakan pantai lainnya di Banyuwangi yang difokuskan untuk penangkaran penyu. Bedul sendiri ada yang bilang merupakan danau segara anak (banyak bener ya nama ini). Bedul terkenal sebagai kawasan hutan mangrove yang terluas di Pulau Jawa sekaligus jalur migrasi beberapa jenis burung dari Australia. Ga kerasa ternyata kami ngobrol-ngobrol di sini selama 1 jam, artinya tepat jam 12.00 WIB kami pun pamit sama bapak penjaga pos Rowobendo yang ternyata asli dari Garut, Jawa Barat.
Sebenernya masih ada jalur yang ke arah Sadengan, tapi berhubung kata bapa penjaganya kalau siang gini binatangnya ga ada dan sampe besok pun ga cocok waktunya sama jadwal kami, jadi Sadengan terpaksa harus kami simpan di dalam list dulu. Seingat saya, jalan ke arah Ngagelan dan Bedul itu ambil arah kanan di pertigaan ga jauh dari Pos Rowobendo. Waktu kami berkunjung, sudah ada papan penunjuk jalan, jadi kalau misalnya sekarang-sekarang ke TNAP mungkin udah sedikit lebih jelas penunjuk arahnya. Kondisi jalannya lebih parah dari sebelum pos Rowobendo. Ilalang yang ada diantara dua jalur ban jauh lebih tinggi, malah bunyi gesekan ilalang sama bagian bawah mobil kedengeran jelas banget, sampe ga tega sendiri dengernya.
Ilalang tinggi belum seberapa, soalnya di tengah jalan jangan kaget kalau ada batang pohon melintang ngabisin jalur dan kita harus sedikit melipir keluar jalur atau ada rombongan monyet nyebrang atau malah lagi pada arisan di jalur. Sepanjang jalur ini juga bakal kita temuin papan yang tulisannya “Hati-hati jalur perlintasan hewan” atau “Hati-hati hewan yang menyeberang”. Setelah pas 1 jam kami neglintas di jalur hutan Alas Purwo, di sisi kiri jalan ada papan yang bukan lagi peringatan hewan melintas tapi papan penunjuk arah menuju Pantai Ngagelan. Sampai juga di tujuan pertama.
Begitu keluar dari jalur utama, jalannya sedikit menyempit terus lebar lagi. Kami parkir di deket bangunan tempat pembiakan telur-telur penyu. Kami kurang beruntung soalnya ini belum waktunya telur-telur penyu menetas, malahan belum ada penyu yang mendarat di pantai. Sementara tiga temen saya ngobrol sama pengurus konservasi, saya dan satu temen saya mutusin untuk ke pantainya. Pantai Ngagelan ini termasuk pantai yang full pasir. Garis pantainya luas banget, malah dari sini keliatan pantai-pantai lainnya di Alas Purwo. Pasir pantainya bukan pasir putih, dan sayangnya waktu kami nyampe di sini udah mulai mendung, udah ga ada sinar matahari sama sekali, jadi saya dan temen saya ga lama-lama di pantai ini. Ternyata temen kami yang lain juga mutusin untuk ke tempat berikutnya, Bedul.
Dari Pantai Ngagelan ini kami tinggal nerusin jalur utama lebih jauh lagi ke dalam hutan. Jalurnya sih masih sama, lumpur sama ilalang yang tingginya ampir setengah pintu mobil. Kecepatan mobil udah ga bisa lebi dari 30 Km/Jam. Suara gesekan ilalang sama bagian bawah mobil bener-bener miris banget kedengerannya. Makin lama, langit makin mendung, wah, kalau kena hujan di jalur ini lumayan juga. Selain bakalan sedikit lebih gelap, jalannya juga licin abis.
Jarak dari Pantai Ngagelan ke Bedul ini juga sama, satu jam perjalanan dengan kecepatan seadanya dan berkali-kali berenti dan melanin kendaraan gara-gara ada rombongan monyet ngalangin jalan atauh harus ngehindar batang kayu yang kegeletak di tengah jalan. Seru abis deh ni jalur. Saya sih setuju-setuju aja kondisi jalurnya kaya gini, lah ya emang ini bukan tempat untuk manusia ko.
Sampai jga kami di Bedul, jadi ternyata di seberang pos Bedul, tepatnya di sisi kiri jalan utama ada Pantai, namanya Pantai Grajagan. Kalau sedikit diinget-inget, Pantai Ngagelan sama Pantai Grajagan itu satu garis pantai. Dua tempat ini jauh lebih rame dibanding sama Pantai Ngagelan pas kami dateng. Udah ada kira-kira empat sampai lima mobil lainnya yang udah parkir. Kami pun akhirnya parkir di deket pos Bedul dan langsung aja menuju rakit yang bakal bawa kami nyeberang danau bareng sama beberapa warga desa dan pengunjung lainnya. Rakit di sebelah kami ternyata isinya adalah kru dan presenter acara JP Survival.
Kalau ga salah, temen saya sempet ngobrol dan katanya klo ga salah lagi, mereka udah siap stay di sekitar Bedul ini sekitar entah satu bulan entah tiga bulan untuk keperluan syuting di kawasan mangrove. Rakitnya cukup besar, ada atap dan ada tempat duduknya jadi ga kaya rakit-rakit yang biasa diliat di pinggir kali. Ukurannya mngkin lebih gede dari perahu-perahu yang di Curug Cikaso. Pas kami ambil tempat duduk di rakit, pas banget gerimis.
Buat nyeberang ke desa pake rakit ini, tiap orang bayar sekitar Rp 3.500,00 dengan waktu tempuh hanya sekitar 5-10 menit saja. Perahu kru JP Survival langsung mengarah ke jalur untk menyusuri hutan mangrove. Sebenernya kalau pengunjung mau nyusurin hutan mangrove di Blok Bedul ini sudah disediakan perahu yang bernama Gondang-Gandung. Perahu ini berupa dua buah perahu yang digabungkan dengan lantai dan kursi dari kayu dan diberi atap dari terpal. Tarif untuk menyusuri Segara Anakan ini sebesar Rp 200.000,00. Kapasitas perahu Gondang-Gandung ini sebanyak 10-15 orang.
Bedul erat kaitannya dengan tiga hal ini, Segara Anakan, hutan mangrove, dan jalur migrasi burung dari Australia. Nama Bedul sendiri sebenarnya adalah nama jenis ikan yang terbanyak di sungai ini. Segara Anakan merupakan muara sungau yang memiliki panjang 18,8 K, dan lebar rata-rata 400 m yang terhubung dengan laut Selatan. Hutan mangrove terdapat di sisi kiri dan kanan di sepanjang Segara Anakan ini dengan luas 2.300 Ha dan membentang sepanjang 16 Km.
Hutan Mangrove ini terdiri dari 27 jenis mangrove. Saat ini Pantai Bedul, Pantai Cungur, dan Segara Anakan merupakan spot untuk memancing bagi warga. Wilayah yang berada di seberang merupakan dataran yang sebenarya masih terhubung dengan daratan utama TNAP di Kecamatan Tegaldlimo, hanya saja terpotong oleh aliran Sungai Segara Anak. Segara Anak ini masih merupakan daerah hilir dari DAS Stail yang akhirnya membentuk rawa air payau.
Setibanya kami di dermaga di seberang daratan utama Tegaldlimo, ternyata ngantuk dan sedikit malas gerak menang. Jadi, sebenarnya kalau kita jalan terus ke arah hutan mangrove di ujung dermaga ini, nantinya kita akan ketemu jalan setapak menuju Pantai Bedul. Jarak dari ujung dermaga ini ke Pantai Bedul sektar 1 Km. Pantai Bedul ini tipikal pantai berpasir hitam dengan garis pantai yang cukup panjang dan pada bagian Timurnya langsung menjorok ke laut Selatan yang terkenal dengan ombaknya.Selain Pantai Bedul, ada juga Sungai Kere, yaitu aliran sungai yang lebih sempit dari aliran Sungai Segara Anak dan di sisi kanan dan kirinya merupakan hutan mangrove. Beberapa ada yang bilang kalau suasana di Sungai Kere ini mirip kaya suasana di hutan Amazon.
Pantai Cungur juga merupakan pantai yang ada di sekitar Blok bedul. Pantai Cungur ini juga merupakan jalur migrasi dan tempat singgah burung-burung dari Australia dalam bulan-bulan tertentu. Pantai Cungur sama Sungai Kere ini spot utama warga untuk memancing ikan, terutama Kerapu yang paling banyak ada di sini. Para nelayan ini juga ngebangun gubuk-gubuk semi permanen untuk tempat istirahat. Dan kami, kali ini hanya mampir dan foto-foto di dermaganya aja, trus balik lagi ke parkiran mobil berhubung udah jam 13.50 WIB dan mendung banget. Tujuan kami berikutnya yaitu Pantai Triangulasi untuk spot sunset dan Pos Pancur sebagai tempat istirahat sekaligus gerbang masuk ke Pantai Plengkung atau G-Land yang rencananya bakal kami kunjungi besok pagi.
Sepanjang jalan dari Bedul ke pertigaan deket pos Rowobendo sedikit gerimis dan beberapa kali mobil kami papasan sama mobil lainnya. Berhubung ini jalannya kecil dan banyak ranjau di mana-mana, jadi kalau udah papasan gini emang harus ada yang ngalah salah satunya. Padahal sebelum kami sampai di Bedul, kami sempet kepikiran gimana ya kalau lewat jalur ini pas abis ujan atau pas ujan? Sama gimana ya kalau papasan sama mobil? Nah, akhirnya kejadian deh. Untungnya lokasi kami papasan sama mobil lain di tempat yang lumayan ga terlalu berlumpur dan ga banyak ranjau kayunya. Untuk waktu tempuh dari Bedul ke pertigaan deket pos Rowobendo ini paling lama dua jam, tapi untungnya kami hanya perlu waktu satu jam, jadi sekitar jam 15.30 WIB kami udah masuk di jalur lainnya ke arah Pantai Trianggulasi.
Di sepanjang jalur ke arah Pantai Trianggulasi, kondisi jalannya ga jauh beda, malah lebih parah. Di jalur inilah ada dua buah pura yang masih erat kaitannya sama sejarah Kerajaan Blambangan, Pura Kawitan dan Pura Giri Selaka. Kami sempet mampir ke salah satu puranya, tapi saya lupa pura yang mana. Sore hari, di tengah hutan yang katanya paling tua se-Pulau Jawa trus berenti pas di depan Pura yang lumayan gede itu rasanya campur aduk. Antara kagum, tersepona, sama merinding juga. Ternyata di depan pura ini ada sekelompok anak muda yang siap-siap pergi dari pura. Semuanya pake motor, jadi kalo kesimpulan saya, jalur di TNAP ini masih bisa dilewatin motorlah seengganya sama warga lokal. Mobil kami merapat ke deket Pura.
Begitu sampai di depan gerbang Pura, salah satu dari rombongan tadi ngedatengin mobil. Berhubung saya sama beberapa temen saya emang males keluar dan cuma mau liat puranya dari dalem mobil aja, jadi temen saya yang nyetirlah yang buka kaca mobil dan ngobrol sama salah satu dari mereka. Mereka sih sebenernya hanya ngasih tau ini nama puranya apa, sejarah singkatnya gimana dan biasa dipake untuk ritual umat Hindu di waktu-waktu tertentu daan obrolan lainnya yang saya juga lupa karena emang ga terlalu merhatiin. Saya terlalu sibuk ngeliatin dan ngagumin bangunan pura ini. Sebelum pamit, mereka pesen hati-hati aja jangan ngelamun selama di Alas Purwo. Mereka pun pergi, begitu juga kami yang nerusin jalan ke arah Trianggulasi.
Suara gesekan ilalang sama bagian bawah mobil dan nyebur ke lumpur lama-lama udah jadi hal yang biasa, yaaa meskipun masih kerasa miris juga sih. Apa kabar ini mobil ya? Kayanya udah belepotan lumpur sama ada goresan-goresan ilalang dikit kali ya. Seru abis deh jalanan TNAP di musim ujan pake mobil jenis mini bus kaya gini. Ternyata sekitar jam 16.30 WIB kami udah mulai masuk wilayah Pos Pancur. Dari jalan utama ini, ada percabangan jalan ke arah Pos Pancur sama ke Pantai Trianggulasi. Seingat saya ga ada papan penunjuk arah, tapi dari pertigaan Pos Rowobendo sampe Pos Pancur hanya ada satu percabangan jalan, yaitu yang ke arah Pantai Trianggulasi. Berhubung masih mendung, kami pun mutusin buat ke Pos Pancur dulu, liat-liat kaya apa kondisi di sana.
Ternyata ada bangunan permanen yang fungsinya buat kantor pengurus Taman Nasional, ada warung kecil dan di seberangnya ada pendopo yang bentuknya kaya rumah panggung. Bagian atas si bangunan kaya rumah biasa dari kayu, bagian bawahnya udah disulap jadi kaya pendopo dengan lantai putih dan kebuka tentunya. Di belakang bangunan ini ada juga beberapa kamar mandi yang kondisinya masih bisa lah dipake untuk mandi soalnya ada beberapa yang pintunya rusak dan ga ada airnya. Tapi, daripada mati gaya di sini, kayanya kami mending puter balik lagi ke Pantai Trianggulasi deh sambil nunggu sunset, berhubung jaraknya juga ga terlalu jauh.
15.40 WIB kami sampai di areal Pantai Trianggulasi. Sebenernya ada bangunan semi permanen yang hanya bisa ditempatin sama pengurus TN, dinas terkait, penelitian, dan lainnya yang harus pake surat pengantar ini-itu dulu. Bangunannya bisa dibilang cukup mewah untuk di tempat kaya gini. Seengganya ada tempat tidur sama kamar mandi yang airnya memadai. Satu hal yang bakalan ditemuin di setiap sudut objek wisata di TNAP ini, yaitu monyet-monyet yang bebas berkeliaran dan ukurannya gede banget. Setelah numpang lewat dari bangunan wow tadi, kami pun parkir mobil tepat ngadep ke Pantai Trianggulasi yang punya garis pantai panjang banget ini.
Sayangnya masih tetep mendung. Hanya saya dan temen saya yang perempuan aja yang main-main di pinggir pantai, sisanya ambil spot foto masing-masing di deket mobil. Setelah jalan seharian penuh lumpur dan belum makan, kayanya nikmatin Pantai Trianggulasi dengan ga ngapa-ngapain dan cuman ngobrol ama foto-foto itu udah paling pas. Pantai Trianggulasi yang viewnya luas banget dan di sekelilingnya full hutan kawasan TNAP dan hanya ada kita ber-5 itu sesuatu banget. Ga lama, dateng dua rombongan beda. Yang satu hanya dua orang perepuan, dan rombongan satunya sekeluarga besar. Tetep, Pantai Trianggulasi masih luas banget buat tiga rombongan berbeda di sore hari tanggal 29 Desember ini.
Ga banyak yang kami lakuin selain foto-foto dan nikmatin perubahan warna langit di waktu sunset yang mendung ini. Biarpun cuman foto-foto dan ngobrol dan ga dapet sunset kaya di foto-foto sumber blog kami, ternyata kami lama juga di sini. Pas udah bener-bener gelap kami baru pergi dari Pantai Trianggulasi, tepatnya jam 18.30 WIB. Jalan ke arah Pos Pancur malem-malem gini lumayan bikin melek juga. Sepi dan gelap abis, takut aja tiba-tiba ada binatang yang nyebrang. Jam 19.00 kami sampe. Setelah parkir mobil, saya sama dua orang temen saya langsung cari lapak buat tempat kami tidur malem ini. Berhubung aga gerah dan angin malemnya enak banget, jadi kami berlima lebih milih buat tidur di bagian bawah rumah panggung ini.
Udah ada beberapa rombongan yang gelar lapak. Rombongan kami ada di paling pojok sebelah kanan bangunan (kalau ngadep ke bangunan) di depan kami ada rombongan kakek-kakek yang gayanya sih abis sepedahan. Rombongan lain, yang tadi sore bareng kami di Pantai Triangulasi tidur di atas, di tempat yang lebih ketutup. Saya dan temen yang perempuan lebih milih buat mandi atau seengganya ngebilas badan sebelum makan. Yang lain mencar-mencar. Urusan sama kamar mandi beres, akhirnya tinggal kami berdua yang belum makan.
Tempat makan ini satu-satunya yang ada di belantara Alas Purwo yang kami lewatin dari tadi siang. Begitu sampe di dalem, ibu yang punya warung sama dua orang lainnya lagi sibuk nyiapin macem-macem olahan sea food dengan porsi gede banget dan berbagai jenis, ngileerrr!! Pas iseng nanya sama ibunya, ternyata itu pesenan dari rombongan yang tadi sore barengan kami di Pantai Trianggulasi. Kata ibu yang punya warung, rombongan ini salah satunya keluarga dokter dari Banyuwangi dan emang udah rutin dateng ke sini. Rombongan yang satunya temennya yang punya anggota keluarga yang lagi sakit. Kata ibu ini juga, keluarga dokter ini lumayan rutin ke sini apalagi pas full moon kaya gini, katanya jga mereka biasa ko ritual di gua yang saya lupa namanya yang ada di deket Pos Pancur ini.
Hanya “Ooohh” sambil manggut-manggut jawaban kami berdua. Antara bener atau ngga sama ngiler dan laper liat aneka sea food. Akhirnya temen saya ambil 3 jenis lauk pauk, sementara saya cuman dua ajah, salah satunya telur mata sapi minumnya sama, teh anget. Pas bayar, entah gimana tapi sama ibu malah diratain Rp 10.000,00!! ya elaah tau gitu kan ambil banyak aja sih. Okesip Bu masih ada besok. Pas kami makan, ternyata rombongan tadi juga ikut makan dan ternyata mereka kaget ternyata kami nginep di sini juga.
Berhubung pas di pantai tadi sore juga udah sempet ngobrol-ngobrol ama maen-maen ama anaknya yang super lucu, jadi pas makan malem ya bisa gabung-gabung dikit tempatnya, maklum mereka banyakan banget. Kami sempet ditawarin sih sea foodnya tapi maluuuuu!! Akhirnya pas mereka selesai makan, dan balik lagi ke pendopo, ternyata ibu warungnya sebelum nyajiin ke rombongan ini udah misahin dikit buat kami, lumayaaan dapet ikan bakar ama udang gratisan.
Sampe ke pendopo, satu temen saya langsung ambil posisi tidur dan sisanya termasuk saya, ikut nimbrung ngobrol ama bapak-bapak berumur yang abis sepedahan. Ternyata, bapak-bapak ini asalnya dari Malang dan sepedahan keliling Banyuwangi. Klo ga salah rombongan mereka belasan orang plus 2 mobil evakuasi. Tempat yang mereka udah datengin itu Kawah Ijen, Baluran, Meru Betiri (sampe ke Sukamade), Pantai Pulau Merah, dan semua Alas Purwo termasuk Plengkung tadi siang. Selama di Banyuwangi, full sepedahan, sepeda cuman diangkut pas dari ama balik ke Malang aja. Aki-aki geloooo!! Ternyata satu dari mereka dulunya ntah anggota apa yang buka jalur pendakian Gunugn Buthak sama beberapa gunung di sekitar Malang.
Beliau juga cerita-cerita semua jalur pendakian Gunung Buthak sama apa aja sih yang bakal didapet kalau kita ke Buthak. Selain Buthak juga cerita tentang Kelud, Wilis, Arjuna, Welirang, Raung, Ijen dll, oke fix ini rombongan aki-aki gelo. Ngobrol tentang alam, travelling, petualangan apalagi sama orang yang pengalamannya udah banyak banget kaya rombongan Malang ini emang bikin lupa waktu. Pas lagi cerita-cerita tentang Jawa, rombongan dokter yang tidur di atas, turun dan sempet ngajakin kami ke gua. Kalau kata ibu warung sih, ritual di gua deket sini dilakuin pas ampir tengah malem. Dua temen saya yang penasaran akhirnya mutusin buat ikut, saya sama temen saya yang perempuan akhirnya mutusin buat pamit tidur duluan.
Berhubung pas lagi ngobrol tadi lampunya mati. Begitu liat jam emang udah ampir jam 00.00 WIB sih. Malem ini cerah banget, bulannya bener-bener bulet sempurna ga ada awan dan di sekitar kami jadi sedikit terang. Di sekeliling tempat kami tidur ini lumayan rame. Ada banyak rusa totol yang ukurannya gede-gede sama monyet yang emang super banyak di sekitar sini yang juga punya ukuran badan yang gede juga. Lama-lama ngeri juga liat monyet-monyet di TNAP ini.
Kalau saya ga salah inget, sekitar jam 02.00 WIB saya kebangun gara-gara ada yang teriak kenceeeeng banget. Saya sama temen saya yang perempuan langsung bangun dan liat ke sekeliling. Temen saya yang tidur duluan tadi masih tetep tidur, beberapa bapak-bapak yang tadi ngobrol sama kami masih ada yang masih bangun, sisanya masih tidur, dua orang temen saya yang ikut ke gua belum dateng lagi. Saya ama temen saya yang perempuan dikasih tau sama bapak yang dari Malang klo yg kaya gitu udah biasa di sini, bagian dari ritual katanya. Saya sama temen saya berusaha tidur lagi, sebenernya sih ga usah usaha juga udah ampir setengah sadar lagi ko kita, cumaaaan ini nyamuknya ganaaass bangeett. Gigitannya bener-bener sakit, kerasa sampe bisa bangunin kami dan gatelnya luar biasaaaaaa.
Gimana mau tidur nyenyak kalau nyamuknya ganas gini. Sekitar jam 03.00 WIB temen saya dateng, saya ama temen saya yang emang tidurnya ga terlalu nyenyak gara-gara nyamuk akhirnya mutusin buat bangun. Temen saya ini cerita, kalau gua yang paling deket itu ada dua tapi itu pun beda jalur. Sedeket-deketnya gua ini, jaraknya ya satu jam juga. Mana hutannya lumayan rapet dan super gelap. Mereka pisah ama rombongan dokter yang emang masih lama banget bakala ada di dalem gua. Berhubung temen saya mah cuman penasaran aja ama guanya dan salah juga penasaran malem-malem jadi ga bisa liat apa-apa, mereka pun balik ke pendopo. Ga lama, kami pun berusaha tidur lagi ditengah serangan gigitan naymuk Alas Purwo yang super ganas.
http://banyuwangiapik.blogspot.com/2013/09/wisata-mangrove-di-bedul.html
http://fboock.blogspot.com/2014/10/taman-nasional-alas-purwo.html