Tulisan serupa pernah dipublikasikan di https://travelnatic.com/serunya-kerja-sambil-jalan-jalan-di-wakatobi/
Wakatobi. Tujuan wisata yang sudah tidak asing lagi, terutama dikalangan para diver. Nama Wakatobi diambil dari masing-masing empat pulau utama di kepulauan ini. Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Alam bawah laut Wakatobi memang tidak dapat dianggap sebelah mata. Kawasan perariran di sekitar Wakatobi termasuk yang memiliki jenis terumbu karang terbanyak di Indonesia. Keindahan Taman Laut Wakatobi sudah sangat terkenal, bahkan mendunia. Sebagian traveler mungkin sering mengidentikan Wakatobi dengan Wakatobi Dive Resort yang konon waiting listnya bisa sampai bertahun-tahun dan memiliki lokasi yang cukup privat.
Perjalanan saya kali ini ke Wakatobi, tepatnya ke Pulau Tomia sebenarnya dalam rangka perjalanan dinas. Tidak banyak yang akan saya ceritakan mengenai keindahan alam bawah laut Wakatobi yang sudah mendunia. Sebaliknya, disini saya akan mencoba mengenalkan sisi lain Wakatobi, khususnya Pulau Tomia yang selama ini hanya kita kenal dari segi pariwisata bawah lautnya saja.
SENIN 3 OKTOBER 2016
Wannci, Wakatobi
Ini adalah kali kedua saya mengunjungi Pulau Tomia setelah kunjungan pertama saya yang terbilang singkat pada akhir Agustus lalu. Kami tiba di Bandara Matahora, Wangi-wangi tepat pukul 11.20 WITA. Kami tinggal di Wanci dulu satu malam karena masih ada urusan pekerjaan. Saya segera menghubungi penginapan Abi Jaya di Tomia yang sudah cukup banyak referensinya di kalangan para traveler.
Untunglah masih ada kamar kosong untuk kami berempat. Maklum, bulan-bulan ini memang tingkat kunjungan ke Wakatobi sedang tinggi. Sedari Agustus hingga Desember memang sedang banyak diadakan festival budaya di Sulawesi Tenggara, termasuk di Wakatobi. Bulan lalu (Spetember) telah selesai dilaksanakan Festival Kaledupa dan bulan depan (November) akan ada Festival Pulau Tomia dan ulang tahun Kabupaten Wakatobi pada pertengahan Desember nanti.
SELASA, 4 OKTOBER 2016
Kembali ke Pulau Tomia
Ibu pemilik Penginapan Abi Jaya memberi informasi bahwa kapal kayu yang akan berangkat ke Pulau Tomia jadwalnya bergeser lebih cepat. Memang, jadwal kapal disini, baik kapal kayu maupun speed boat tidak tetap. Semua tergantung kondisi pasang surut di pelabuhan. Kami sempat salah masuk pelabuhan karena memang tidak disebutkan di pelabuhan mana. Selain jadwal yang tidak tetap, lokasi sandar kapal pun berubah. Biasanya, kapal kayu yang akan menuju Tomia sandar di Dermaga Mola, tetapi pagi ini ternyata sandar di dermaga lain. Sudah dapat dipastikan, kami pun menjadi penumpang terakhir.
Kapal tidak dapat sandar di dermaga, jadi kami harus naik pompong terlebih dahulu dari dermaga hingga kapal. Tarif pompong 10.000 Rupiah per orang. Berhubung kami sudah dititipkan oleh ibu pemilik Penginapan Abi Jaya ke nahkoda kapal yang sekaligus tetangganya, jadi setidaknya kali ini kami tidak perlu drama ketinggalan kapal. Perjalanan menuju Pulau Tomia kami tempuh selama tiga jam dengan kondisi cuaca cerah, serta perairan dan angin yang cukup tenang. Setiba di Pulau Tomia, kami sudah dijemput oleh ibu pemilik penginapan dan satu orang lainnya. Jarak dari pelabuhan tempat kami datang ke penginapan hanya kurang lebih 170 m.
Pulau Tomia memiliki dua pelabuhan utama, yaitu Pelabuhan Waha di Kelurahan Waha dan Pelabuhan Usuku di Kelurahan Bahari. Kali ini kami sandar di Pelabuhan Waha. Tidak banyak yang kami lakukan di hari pertama, hanya mengecek kesiapan alat survey, menemui camat setempat, dan sisanya kami habiskan untuk istirahat. Sayang rasanya kalau sore yang cerah ini dihabiskan hanya di penginapan. Saya dan dua teman saya memutuskan untuk berjalan kaki ke Pantai Lakota.
Pantai Lakota merupakan salah satu icon di Pulau Tomia. Pantai ini juga merupakan gerbang masuk Fastival Pulau Tomia awal November nanti. Sore ini terlihat kesibukan warga untuk mempersiapkan festival. Area Pantai Lakota sudah rampung direnovasi. Pantai Lakota merupakan spot sunset terbaik di bagian Barat Pulau Tomia. Pantainya landai, tidak ada gelombang, airnya sangat jernih dan berpasir putih. Sudah disediakan kursi-kursi lengkap dengan landmark tulisan ‘Pantai Lakota’ berukuran besar seperti yang sedang marak di taman-taman dan di sudut Kota Bandung. Sayangnya, sunset sore ini sedikit mendung, jadi kami tidak dapat sunset dengan matahari yang bulat sempurna menghilang di perairan.
Semakin malam, Pantai Lakota semakin ramai. Mulai banyak muda-mudi yang berdatangan. Para penjual makanan dan minuman pun baru mulai ramai menjelang malam. Pagi hingga sore hari akan cukup sulit menemukan penjual makanan dan minuman disini, meskipun merupakan spot untuk pedagang kaki lima. Kami pun segera kembali ke penginapan. Malam ini kami lebih memilih makan bakso yang penjualnya ternyata berasal dari Sragen. Meskipun harganya terbilang cukup mahal, tapi Bakso Mas Dhika ini laris manis bahkan sampai menjelang malam. Pilihan makanan di sekitar penginapan memang hanya sedikit, karena kebanyakan semuanya berpusat di Pantai Lakota.
RABU 5 OKTOBER 2016
Ujung Timur Pulau Tomia
Kegiatan kami hari ini lebih untuk observasi lokasi pengukuran. Lokasi pengukuran kami terbagi ke dalam lima wilayah. Dua wilayah masuk ke dalam adiminstrasi Kecamatan Tomia Timur dan dua wilayah lagi masuk ke dalam wilayah administrasi Kecamatan Tomia. Kami akan mulai dari lokasi terjauh di Kecamatan Tomia Timur. Kami menyewa dua sepeda motor, satu milik penginapan dan satu lagi milik tetangga di sekitar penginapan. Biaya sewa motor disini berkisar antara 70.000 – 100.000 Rupiah per hari. Kami memilih menggunakan motor ketimbang menyewa mobil karena selain lebih murah, juga lebih praktis. Beberapa lokasi kami medannya cukup curam, bahkan masih ada yang harus masuk ke area kebun.
Kami memutuskan untuk berangkat pukul 07.00 WITA, karena hari ini kami akan full keliling setengah Pulau Tomia. Selain itu, listrik di seluruh Pulau Tomia akan mati sedari pukul 06.00 WITA dan baru akan menyala kembali sekitar pukul 16.00 WITA. Karena tidak ada listrik, tidak banyak yang dapat kami lakukan di penginapan. Jadi, kami manfaatkan saja sebagian besar waktu kami beraktivitas di lura ruangan hingga sore hari.
Dua dari lokasi survey kami adalah Pelabuhan Waha dan Pelabuhan Usuku. Dua pelabuhan ini sekaligus menjadi lokasi survey utama saya yang bertugas untuk menyebarkan kuesioner. Setelah observasi lima lokasi selesai, kami kembali ke Pelabuhan Waha untuk memasang alat. Setelah makan siang di Bakso Mas Dhika, saya dan satu teman lainnya berangkat kembali ke Pelabuhan Usuku. Menurut jadwal, seharusnya pukul 15.00 WITA nanti akan ada kapal speed boat dari Wanci.
Setelah tiba di Pelabuhan Usuku, ternyata yang saya temui bukanlah kapal seed boat dari Wanci, melainkan kapal tongkang yang karam di alur masuk Pelabuhan. Sudah pasti hal tersebut menjadi tontonan banyak orang. Saya memanfaatkan kesempatan ini untuk wawancara kuesioner. Menurut beberapa warga yang saya wawancara, kapal tongkang tersebut sudah karam dari pagi tadi dan baru bisa ditarik sedikit demi sedikit ketika air di alur masuk pelabuhan pasang. Artinya, upaya penarikan tongkang baru bisa dilakukan sore ini.
Kapal tongkang yang karam berasal dari Kendari dan mengangkut material bangunan untuk pembangunan Pelabuhan TPI yang tidak jauh dari Pelabuhan Usuku. Kapal karam di alur masuk bukan lagi hal yang aneh di Pulau Tomia ini. Bahkan tidak sedikit yang baling-balingnya patah, mengalami kerusakan, keterlambatan jadwal kapal-kapal lainnya, dan kerugian-kerugian lainnya. Banyak dari yang saya wawancara mengeluhkan kurang layaknya alur masuk di Pelabuhan Usuku dan Waha sebagai pelabuhan utama untuk kepentingan ekonomi, sosial, bahkan pariwisata.
Bercerita sedikit tentang akses masuk menuju Pulau Tomia. Bagi wisatawan lokal, mancanegara, dan penduduk di Wakatobi yang akan menuju Pulau Tomia, saat ini hanya bisa ditempuh dengan menggunakan jalur laut. Bukannya Pulau Tomia sebagai pulau dengan spot diving terbanyak di Kabupaten Wakatobi tidakmemiliki bandara, hanya saja pemanfaatannya masih sangat sangat terbatas. Bandara yang berada di Pulau Tomia saat ini hanya merupakan satu-satunya Bandara yang izin pemakaiannya khusus bagi salah satu resot termahal di Wakatobi, bakan di Sulawesi Tenggara.
Izin penggunaan bandara hanya khusus untuk tamu-tamu resort tersebut yang rute penerbangannya dari Denpasar – Sumba – Wakatobi (Tomia). Ketika banyak warga mengeluhkan kondisi pelabuhan-pelabuhan utama yang ada saat ini, alternatif trasnportasi udara masih belum bisa dinikmati. Ironisnya, transportasi udara merupakan salah satu alternatif yang dirasa dapat menjadi ‘katalis’ perkembangan suatu wilayah kepulauan, termasuk Kabupaten Wakatobi.
Kembali ke Pelabuhan Usuku. Setelah dirasa speed boat akan sangat terlambat sandar dari jadwal, dan juga sudah cukup terpenuhinya kuota kuesioner sore ini, kami berdua memutuskan untuk mengeksplore Pulau Tomia. Tujuan kami adalah Pantai Huntete di Desa Wisata Kulati, Kecamatan Tomia Timur. Perjalanan dari Pelabuhan Usuku pertama-tama masih akan melewati permukiman penduduk. Selepas permukiman penduduk mulai berkurang, kondisi jalan pun berubah. Jalan yang semula aspal mulus kini berganti batuan yang baru diratakan dan belum sempat diaspal. Di kanan dan kiri jalan pun sudah berubah menjadi lahan kosong dipenuhi semak belukar.
Kondisi jalan kembali membaik setiba di Desa Timu, kurang lebih 1,2 Km. Jarak menuju Desa Kulati dari Desa Timu hanya sekitar 2,6 Km lagi. Medan jalan mulai menanjak. Kontur Pulau Tomia ke arah Timur dan Utara memang berbukit-bukit. Akhirnya kami tiba di Desa Kulati. Rumah-rumah di Desa Kulati nampak direnovasi senyaman mungkin dan didesain semenarik mungkin, karena hampir semuanya dapat disewakan sebagai homestay. Predikat Desa Wisata bagi Desa Kulati memang bukan hanya sekedar pemanis saja. Kami tiba di sebuah persimpangan lengkap dengan papan penunjuk arah berisikan semua objek wisata di Desa Kulati. Kami pun segera mengambil jalan menuju Pantai Huntete yang masih berjarak 2,6 Km.
Jalan yang kami lalui makin sepi. Rumah-rumah warga kembali berganti menjadi hamparan semak belukar. Kami tiba di gapura pintu masuk Kawasan Wisata Huntete. Jalan sudah dibeton, namun turunan-turunannya cukup curam dan panjang. Jalan langusng turun ke dasar bukit. Medan jalan menjadi datar dan di kanan kiri kami terhampar tegalan dengan semak belukar yang cukup tinggi dan pepohonan yang masih cukup rimbun sebagai batasnya. Sore ini tidak ada orang lain selain kami berdua. Untungnya di setiap persimpangan sudah diberi papan penunjuk jalan menuju masing-masing objek wisata.
Menuju Pantai Huntete ternyata masih harus menuruni bukit lagi. Lokasi Pantai Huntete ternyata yang paling jauh dari semua objek yang ada. Kami setidaknya sudah melewati dua persimpangan dengan total kurang lebih empat tempat wisata yang tidak kami pilih. Kami sempat ragu apa benar ini merupakan jalan yang benar menuju Pantai Huntete. Tidak ada orang lain selain kami dan di sekeliling kami tidak nampak seperti kawasan wisata pada umumnya. Tidak ada rumah penduduk, tidak ada warung, tidak ada nelayan yang lalu lalang di jalanan. Bahkan, banyak kambing dan sapi yang dilepaskan begitu saja di sepanjang padang rumput yang kami lalui.
Jalan beton kami habis. Berganti jalan setapak dari tanah merah. Sekeliling kami berubah menjadi deretan pohon kelapa. Kami sudah sampai di area Pantai Huntete. Tidak ada yang berubah selain semak belukar berganti deretan pohon kelapa. Tidak ada orang sama sekali, tidak ada warung, tidak ada rumah penduduk, bahkan tidak ada gapura tempat membayar retribusi, tidak ada penjaga, tidak ada lahan parkir, dan yang paling membuat kami bingung, tidak ada jalan lagi. Jalan kami berganti jalan makadam bercampur pasir ke arah kiri dan jalan selebar jalan setapak tanah merah ke arah kanan. Kami memilih mengukti jalan makadam bercampur pasir ke arah kiri.
Posisi jalan yang kami lalui dengan bibir pantai dipishankan oleh semak belukar yang memanjang seperti pagar. Akhirnya kami berhenti dan memarkirkan begitu saja motor kami di pinggir jalan, toh, tidak akan ada yang lewat ini. Pasir pantainya sangat gembur. Pantai Huntete tipe pantai berpasir dengan garis pantai yang sangat panjang. Pasir pantainya berwarna sangat putih dan gembur. Tidak ada sampah di sepanjang bibir pantai, kecuali sampah bawaan dari laut. Pantai Huntete merupakan tipe pantai yang berpasir namun tidak sampai setengah meter sudah merupakan karang. Di hadapan kami sudah terbentang luas Laut Banda.
Tidak ada bangunan lain dan orang lagi selain kami berdua. Pantainya benar-benar sepi dan kami malah mati gaya. Kami memutuskan untuk pindah ke sisi lain Pantai Huntete. Kami kembali ke persimpangan tempat kami datang. Kali ini kami memilih jalan ke arah kanan yang berupa jalan setapak tanah. Disini barulah kami menemukan bangunan yang merupakan tempat penyimpanan dan pembakaran kelapa. Kami pun bertemu dua warga. Keduanya sedang membakar kelapa dan sampah-sampah. Kami diarahkan untuk terus mengikuti jalan setapak hingga masuk kembali ke semak belukar. Karena jalan semakin tidak memungkinkan untuk dilalui motor, kami pun berhenti.
Kami segera menuju bibir pantai yang lagi-lagi jalannya tertutup semak belukar. Masih sama seperti bagian pantai yang lain. Pasir putih terhampar luas dan gembur. Hanya saja, diujung kanan, bibir pantai sedikit melengkung, tidak lurus memanjang seperti garis pantai satunya. Banyak sampah kayu dan beberapa sampah plastik. Kami tidak lama disini, selain sudah mati gaya, langit di depan kami pun, tepatnya di atas Laut Banda sudah sangat hitam. Bahkan, terlihat pelangi meskipun jaraknya cukup jauh. Artinya hujan sudah mulai turun dan sedang mengarah ke tempat kami. Kami pun bergegas kembali ke Desa Kulati.
Di tengah perjalanan, kami penasaran juga dengan situs Meriam Belanda. Di Sulawesi Tenggara ini memang banyak ditemukan benteng-benteng pertahanan pada masa penjajahan Belanda, salah satunya yang akan kami datangi ini. Kondisi jalannya masih sama. Beton dengan semak belukar di kanan dan kirinya. Setibanya di area benteng, tidak ada pos tiket retribusi, hanya ada dua orang anak muda yang sedang mengotak-atik motor. Karena ragu, kami pun bertanya jalur menuju Meriam yang dimaksud. Jalan setapak menghilang di hutan. Kami benar-benar berjalan di batuan karang dan di kiri kami sudah tebing di kanan kami sudah hutan.
Karena jalannya yang tidak terlalu jelas, saya memutuskan untuk kembali ke benteng sementara teman saya melanjutkan perjalanan. Sekitar lima belas menit, teman saya kembali. Jalan yang tadi kami lalui sudah benar dan lokasinya memang berada di tengah hutan. Meriamnya hanya diletakan begitu saja, tidak ada benteng ataupun bangunan apapun. Di seberang lokasi kami, terlihat tebing-tebing tinggi dengan pantai kecil di bawahnya. Air lautnya berwarna tosca. Rasa penasaran sudah tidak dapat dibendung lagi. Kami pun bertanya pada dua orang warga yang sedang mengotak-ngatik motor.
Menurut mereka, ada jalan setapak yang cukup curam menuju pantai kecil diantara celah-celah tebing tersebut. Kalau sampai sih pasti sampai, tapi berhubung tebingnya cukup tinggi, dapat dipastikan kami akan sampai lagi ke atas tebing ketika hari mulai gelap. Sepertinya memang bukan waktunya bagi kami berkunjung ke pantai diantara tebing tadi, karena ternyata awan hitam sudah hampir sampai di pesisir Pantai Huntete. Kami berdua pun bergegas menuju ke jalan utama Desa Kulati.
Perjalanan kami menuju jalan utama Desa Kulati didominasi tanjakan panjang dan curam. Awalnya kami ragu motor pinjaman yang kami gunakan ini bisa kuat nanjak dengan beban kami berdua. Untungnya, meskipun dengan sedikit susah payah, motor kami berhasil melewati tanjakan terakhir. Sampailah kami di gapura Kawasan Objek Wisata Huntete. Ketika kami datang, gapura ini sepi, tapi sekarang, sudah sangat ramai oleh anak-anak. Kami pun membayar retribusi dan mengambil foto di lokasi ini. Awan hitam sudah sampai di pesisir pantai di bawah kami. Tidak perlu menunggu waktu lama, gerimis turun di lokasi kami. Kami langsung tancap gas menuju permukiman.
Belum juga kami sampai di permukiman Desa Huntete, hujan deras sudah turun. Kami segera menepi ke sebuah bale-bale cukup besar. Hujan sangat deras serta angin kencang rasanya membuat usaha kami berteduh di bale-bale ini sia-sia. Tetap saja kami kena cipratan air. Saya mengecek hp yang memang baru mendapat sinya. Dua teman saya menanyakan posisi kami. Ternyata, mereka sudah kembali ke penginapan dan tidak ada hujan hanya mendung. Kami berdua pun memutuskan untuk lanjut jalan karena tempat tujuan kami tidak hujan. Awalnya kami akan mengambil jalan ke arah bukit karena sepertinya hujan belum turun, tetapi mengingat sudah cukup sore dan akan melewati hutan, kami batalkan saja.
Benar saja, setibanya di dekat Pelabuhan Usuku, hujan seakan tiba-tiba menghilang. Kami mampir sebentar membeli beberapa peralatan untuk alat survey besok. Kami tiba kembali di penginapan tepat pukul 18.30 WITA dan langsung pergi lagi untuk makan malam.
KAMIS, 6 OKTOBER 2016
Seperti biasa, setelah Solat Subuh, segera saya mandi mumpung listrik belum mati, jadi airnya masih cukup besar. Tepat jam 06.00 WITA listirk mati. Suhu udara di kamar saya masih cukup dingin sisa dari AC yang memang dinyalakan sedari malam. Pukul 07.00 WITA saya dan Imam langsung menuju ruang makan. Sarapan sudah tersedia. Nasi goreng, telur, dan kerupuk menjadi menu tetap semenjak kami disini. Lauk pauk sisanya terkadang berbah-ubah. Pukul 08.00 WITA, kami bersiap menuju lokasi survey. Kali ini A Cevi dan Imam akan mengukur di Dermaga Tiro’au sementara saya akan melanjutkan kuesioner yang tertunda kemarin di Pelabuhan Usuku gara-gara tongkang karam.
Satu teman saya, Mufti sudah kembali ke Wanci pukul 06.00 WITA tadi karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Setiba di Pelabuhan Usuku, ada beberapa warga yang duduk-duduk di tepi jalan masuk dermaga. Saya terlebih dahulu memarkirkan motor di satu-satunya warung makan terdekat dengan dermaga. Karena belum kenyang, saya pun memesan semangkok mie kuah. Sekalian biar ga dikira hanya numpang parkir motor. Setelah satu mangkok mie kuah habis, saya pun berjalan ke dermaga. Orang pertama yang saya temui adalah penumpang yang menunggu kapal menuju Baubau.
Memang, sudah ada setidaknya empat kapal kayu yang sandar di sini. Satu terlihat sedang melakukan bongkar muat. Kesempatan saya untuk mendapat banyak responden hari ini ternyata cukup bagus. Sebelumnya, saya mewawancari dulu dua warga yang baru saja tiba dengan sepeda motor. Satu terlihat cukup rapih, layaknya petugas pelabuhan. Satu lagi terlihat seperti warga biasa yang hendak bepergian. Ternyata bapak berpakaian rapih tersebut memang pegawai pemerintah, tepatnya di Dinas Perikanan yang berkantor di Pelabuhan Usuku. Satu bapak lagi ternyata Lurah Bahari.
Dengan dua bapak ini menjadi responden saya, otomatis beberapa warga yang ada di sekitar dermaga pun dipangil untuk mengisi kuesioner yang saya bawa. Ada pemilik kapal garam yang rute berlayarnya hingga ke Flores (NTT), ada nahkoda kapal Baubau, beberapa pegawai Kelurahan Bahari, nahkoda dan abk kapal barang yang berlayar dari Sidoarjo hingga Merauke, bahkan nahkoda dan abk tongkang yang kemarin karam pun disuruh untuk mengisi kuesioner yang saya bawa.
Dokumentasi yang saya dapat hari ini hanya seputar kondisi eksisting pelabuhan, fasilitas dan prasarana pelabuhan, beberapa kapal kayu dari Baubau yang sedang sandar, kapal kargo, tongkang, dan speed boat yang akan menuju Wanci. Tidak ketinggalan dokumentasi puluhan truk yang entah sudah berapa kali balikan mengangkut material untuk pembangunan dermaga TPI dari kapal tongkang hilir-mudik. Truk-truk ini menyisakan tanah dan pasir yang terjatuh di sepanjang jalur Pelabhan Usuku – Pasar di depan alun-alun Kecamatan Tomia Timur. Jalan keluar pelabuhan yang menanjak panjang dan cukup curam kini bertambah licin.
Menjelang pukul 11.00 WITA, saya pun menyudahi wawancara kali ini dan segera menuju Dermaga Tiro’au. Setiba di Dermaga Tiro’au, nampaknya dua teman saya belum selesai melakukan pengukuran. Saya pun duduk di pinggir dermaga. Tidak lama, ada dua orang warga yang menghampiri. Penasaran dengan apa yang kami lakukan, bapak tadi pun bertanya-tanya. Sekalian saja, saya minta bapak ini mengisi kuesioner yang saya bawa.
Bapak ini ternyata pemilik kapal kayu pengangkut kayu dari Tomia menuju Baubau. Kebanyakan kapal untuk pengangkut kayu sandar di Dermaga Tiro’au. Jika cuaca buruk, baru pindah ke Pelabuhan Usuku. Daya tampung di Pelabuhan Usuku menjadi alasan kapalnya sandar di Dermaga Tiro’au.
Pukul 12.00 WITA kami semua selesai dan segera kami mencari makan siang sekalian pulang ke penginapan. Kali ini kami makan siang di warung bakso yang berada di Kecamatan Tomia Timur. Ternyata, pemilik warung bakso ini adik dari Mas Dhika, pemilik warung bakso dekat penginapan kami. Selesai makan, kami segera kembali ke penginapan. Hari ini kami cukupkan suvey kami, kecuali pengecekan alat yang kami pasang seminggu penuh di Pelabuhan Waha. Udara hari ini tidak terlalu panas, bahkan langit pun sedikit mendung. Maklum, ini adalah bulan-bulan peralihan dari musim kemarau menuju hujan.
Sore hari, saya mendapat sms dari bapak pemilik motor. Setiap sore memang motor yang saya pinjam diambil oleh pemiliknya untuk mengantar istrinya ke pasar dan akan dikembalikan kepada saya besok pagi setelah selesai mengantar anaknya sekolah. Urusan pembayaran bensin dan sewa motor dua hari ini pun saya selesaikan. Sayangnya, besok ternyata motornya akan dipakai seharian. Malam nanti, terpaksa kami menyewa satu motor lagi dari tetangga di sekitar penginapan untuk mencari makan malam dan untuk mobilitas saya satu hari besok. Akhirnya didapatlah Vega R. Lumayanlah saya tidak perlu adaptasi lama karena sama dengan motor pertama saya.