KEMBALI KE TOMIA 3-14 OKTOBER 2016 PART 3


Tulisan serupa pernah dipublikasikan di https://travelnatic.com/serunya-kerja-sambil-jalan-jalan-di-wakatobi/

SELASA, 11 OKTOBER 2016

Hari ini adalah hari terakhir kami survey darat, sekaligus hari terakhir saya di Pulau Tomia. Rencanaya, memang saya akan kembali ke Wanci besok, tapi dua teman saya mungkin masih menetap di Tomia karena masih ada pengukuran area laut. Lokasi survey kami kali ini di Pelabuhan Waha yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari penginapan. Hari ini survey tersantai selama kami di Tomia. Setelah sarapan, saya dan Imam ke pelabuhan untuk mengecek pengukuran, setelah itu kami keliling Waha untuk mencari toko obat dan warung yang menjual obat flu dan batuk pesanan A Cevi. Akhirnya salah satu dari kami tumbang juga.

Kami keliling dari Waha hingga Onemay. Saya baru tau kalau di Kelurahan Onemai juga ada pantai yang landai. Pantai-pantai di Kelurahan Onemai hanya dimanfaatkan oleh penduduk setempat sebagai tempat sandar kapal kecil penangkap ikan. Pantainya juga tidak terlalu terawat, karena memang tidak difokuskan untuk area wisata. Jalan utama di Kelurahan Waha dan Kelurahan Onemai lebih mirip jalan-jalan di komplek perumahan di Bandung. Meskipun kami berada di Pulau Tomia, tapi suasana di sekitar menjadikan kami serasa ada di Bandung.

Berhubung di Pelabuhan Waha juga air masih pasang, jadi pengukuran belum bisa dilakukan. Kami akan berangkat ke Pelabuhan Waha setelah makan siang. Sembari menunggu makan siang, kami hammockan dan mengobrol di halaman penginapan. Penginapan siang ini kembali sepi. Dua tamu dari Jakarta sudah kembali ke Wanci dan langsung ke Jakarta. Tamu-tamu dokter Yudi pun sudah semenjak pagi meninggalkan penginapan untuk diving. Cuaca hari ini terik dengan udara yang cukup panas.

Berhubung ini hari terkahir saya di Tomia, saya memtuskan untuk pergi jalan-jalan sendiri saja dengan motor. Mumpung masih pagi. Rute saya pertama adalah ke sebuah tebing dan benteng di Keluarahan Onemai, benteng di Desa Patua, lalu mengikuti jalur Desa Patua – Desa Kahiyanga. Jalur dari Desa Patua hingga Desa Kahiyanga berada di puncak bukit dan akan melewati hutan yang cukup lebat serta jauh dari permukiman. Untuk kondisi jalannya, sepanjang jalur kondisinya sudah sangat baik. Saya pun berhasil melewati tanjakan tepat di ujung jalan Desa Onemai yang cukup panjang dan curam ini dengan mulus.

Selepas tanjakan, sudah tidak ada lagi permukiman penduduk. Sepanjang jalur hanya semak belukar dan hutan. Warga pun tidak ada yang melintas disini. Sepi. Meskipun masih pukul 09.30 WITA, tapi sepinya sudah hampir mirip Kota Bandung jam 02.00 WIB. Saya bertemu percabangan. Sebenarnya saya sedikit lupa jalur menuju benteng yang saya cari. Seingat saya, jalannya hanya ambil yang lurus saja. Jadi, di dua persimpangan yang saya temui, saya ambil yang lurus. Tau-tau saya sudah sampai di gapura Desa Patua. Salah jalan.

Saya sengaja lewati dulu gapura yang sedang direnovasi oleh beberapa warga ini dan berhenti di satu lokasi yang cukup terbuka. Pemandangan di kiri jalan sangat terbuka dan laut langsung terlihat. Sayangnya, konturnya tidak rata, jadi saya tidak bisa jalan di semak belukar tepat di sisi jalan. Setelah puas foto-foto di jalan yang cukup sepi ini, saya kembali ke gapura. Saya pun bertanya pada satu warga yang sedang merenovasi gapura. Saya pun tidak ketinggalan memperlihatkan foto tempat yang saya maksud. Begitu saya memberikan hp pada bapak ini, spontan beberapa warga yang sedang beristirahat pun ikut berkumpul. Malah jadi ramai, dikira ada apaan, padahal saya hanya nyasar saja.

Bapak pertama yang saya tanya akhirnya mengantar saya ke lokasi tersebut. Bapak tadi menjelaskan kalau sebentar lagi waktu istirahat. Kalau sudah masuk waktu istirahat, semua warga kembali ke rumah masing-masing, baru nanti kembali bekerja lagi. Sebagian besar warga yang sedang merenovasi gapura berasal dari Desa Patua. Ternyata, di persimpangan kedua yang saya temui dari arah Onemai, saya harusnya mengambil jalur ke kiri, bukan yang lurus menuju Desa Patua.

Setelah masuk jalan yang benar, ternyata jalannya berubah dari aspal menjadi pasir yang baru diratakan. Pasir yang digunakan berwarna putih, jadi jalan di jalur ini jadi lebih silau. Di kanan dan kiri jalur semak belukar dan cukup tinggi. Sesekali di sisi kiri jalur, semak belukar terbuka dan memperlihatkan laut yang berwarna biru dan tosca. Di tengah jalur, di sisi kanan jalan, ada sesuatu berwarna putih yang tersangkut di dahan semak belukar. Sebenarnya hanya kain berwarna putih dengan ukuran cukup besar tersangkut, tetapi penampakannya cukup kontras dengan kondisi sekitar.

Sampailah kami di tempat yang saya maksud. Bapak ini pun pamit untuk kembali ke gapura yang sedang direnovasi. Tinggalah saya sendiri di pinggir tebing ini. Menurut bapak tadi, jika menjelang sore biasanya banyak anak sekolah yang kemari hingga menjelang Magrib. Setelah bapak tadi pergi, saya benar-benar sendiri. Suasana di sekeliling benar-benar sepi, tidak ada warga yang melintas. Cuaca pagi menjelang siang hari ini cukup terik. Saya pun segera mengeluarkan kamera.

Lokasi tempat saya berada merupakan pinggiran bukit yang dibuatkan bangunan menyerupai benteng layaknya pada masa perang dahulu. Bangunan benteng dibuat tiga undakan. Terdapat saung yang cukup besar di undakan paling atas. Masing-masing undakan diberi paving block dan tegel berwarna hitam-putih seperti pada papan catur. Dari sisi kiri tebing terlihat semenanjung yang merupakan wilayah Kelurahan Onemai. Di sisi kanan tebing, pemandangan berupa hamparan biru Laut Banda yang sedang tenang. Tebing tempat saya berada cukup tinggi, mungkin ketinggiannya sekitar 100 m atau lebih.

Sekitar tiga puluh menit saya memutuskan untuk kembali. Kali ini saya akan mencoba untuk menyusur jalur ke Desa Patua dan tembus di Desa Kahiyangan, lalu ke Puncak Tomia untuk leyeh-leyeh. Entah kenapa semakin mendekati kain putih yang tersangkut di semak belukar di sisi jalan yang sedang saya lewati ini, perasaan semakin aneh. Rasa takut tiba-tiba saja saya rasakan. Terlebih tidak ada siapa-siapa di jalur ini, dan lokasi saya benar-benar jauh dari permukiman. Permukiman terdekat yaitu Kelurahan Onemai yang tadi saya lihat dari atas tebing.

Semakin mendekati kain tadi, saya pun menambah kecepatan. Saya benar-benar tancap gas. Tidak peduli jalan yang sedang saya lewati ini berpasir dan banyak batuan lepasnya. Saking takutnya, saya malah mengambil jalur ke arah Kelurahan Onemai, bukannya jalur ke atas menuju Desa Patua. Ya sudahlah, hanya kain putih tersangkut di semak belukar saja saya sampai ketakutan begini, bagaimana nanti saya masuk jalur hutan di Desa Patua II? Saya putuskan lain kali lagi ke puncak Tomia. Saya pun kembali ke penginapan.

Setiba di penginapan, dua teman saya masih di halaman penginapan. Saya pun kembali hammockan sambal menunggu waktu makan siang. Kami makan siang di dekat penginapan. Selesai makan siang, kami kembali ke penginapan untuk siap-siap pengukuran. Sekitar pukul 14.30 WITA, kami menuju Pelabuhan Waha. Sinar matahari masih sangat terik, namun angin yang cukup kencang menjadi penyeimbangnya. Air sudah mulai surut. Tidak ada kapal sandar dan penumpang yang akan pergi, jadi kali ini saya hanya mengambil foto-foto saja.

Tidak lama setelah saya mengambil beberapa foto, datang sekelompok anak-anak, mungkin masih usia SD. Anak-anak ini kemudian bermain sepakbola di sisi kanan jalan masuk dermaga. Bila air sedang surut, hamparan pasir putih yang cukup luas digunakan anak-anak untuk bermain. Baik perempuan, maupun laki-laki nampaknya cukup asik bermain sepakbola. Mungkin sekitar satu jam mereka bermain sepakbola, lalu satu persatu anak-anak tadi membubarkan diri. Kali ini mereka menaiki salah satu kapal yang sedang sandar. Tenyata air mulai pasang. Perlahan tapi pasti, tempat anak-anak tadi bermain sepakbola kini terendam air laut.

Anak-anak tadi satu persatu berlompatan ke laut dari salah satu kapal yang sedang diperbaiki. Ketika air mulai pasang, ritual berenang di laut sambil mencari teripang pun dimulai. Kadang, teripang dan bulu babi dijual dengan cara bekeliling desa dengan berjalan kaki, ataupun untuk dikonsumsi sendiri. Ada yang unik ketika sore di sekitar penginapan. Anak-anak kecil akan berjualan dengan berkeliling berjalan kaki. Yang dijual pun bisa berbeda-beda setiap hari. Satu hari berjualan makanan ringan khas Tomia, esoknya jadi jambu dan buah-buahan lain, besoknya bisa teripang dan bulu babi, esoknya bisa ganti lagi. Barang dagangan berubah tergantung logistik yang masuk hari itu di pelabuhan.

Sekitar pukul 16.30 WITA, pengukuran selesai. Ketika sedang merapihkan peralatan, saya bertemu doter Yudi yang baru selesai mengantar tamu-tamunya. Setiba di penginapan, saya mandi kemudian packing. Kapal yang akan membawa saya ke Wanci akan berangkat dari Pelabuhan Waha tepat pukul 06.00 WITA. Tidak lupa malamnya menyelesaikan pembayaran sewa motor, kamar, dan jasa mencuci pakaian selama di penginapan. Tidak terasa besok saya sudah harus meninggalkan Pulau Tomia.

RABU, 12 OKTOBER 2016

Saya sudah mulai packing ulang sedari pukul 05.00 WITA. Tidak lupa sebelum ke pelabuhan, saya sarapan dulu. Sarapan terakhir di Pulau Tomia, meskipun dengan menu yang masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Nasi goreng, telur mata sapi dan kerupuk sudah pasti ada. Pukul 05.45 WITA, saya pun pamitan pada dua teman saya yang masih satu hari lagi di Tomia. Tidak lupa pamitan dengan bapak dan ibu pemilik penginapan Abi Jaya.

Kapal kayu yang sama dengan yang saya naiki ketika menuju Tomia minggu lalu kembali saya naiki. Kali ini perjalanan selama tiga jam menuju Wanci akan saya tempuh sendiri. Khusus untuk tamu Penginapan Abi Jaya, biasanya sudah disediakan tempat di tingkat dua kapal. Lengkap dengan kasurnya. Penumpang lain pun boleh mengambil tempat di tingkat dua ini . Kali ini saya bersama tiga penumpang lainnya (dua bapak-bapak dan satu ibu-ibu) di tingkat atas kapal kayu ini. Berhubung saya masih ngantuk dan tidak ada teman mengobrol, saya pun memutuskan untuk tidur saja.

Saya terbangun ketika kapal berhenti di Pulau Kaledupa untuk menurunkan dan mengangkut penumpang. Perjalanan dari Pulau Tomia hingga perairan Pulau Kaledupa cukup lancar, cuaca cerah, udara panas, dan angin sesekali bertiup kencang. Memasuki perairan Pulau Wangi-wangi, sinyal hp sudah mulai bagus. Bahkan 4G. Sekedar informasi, selama di Pulau Tomia, sinyal hp sangat sulit, bahkan untuk Telkomsel dan XL pun hanya bisa sampai EDGE, itu pun terkadang hanya dua bar sinyal.

Segera saya menghubungi Bang Akbar untuk menjemput saya di pelabuhan manapun nanti saya sandar. Memang belum jelas kapal akan sandar dimana, tergantung kapasitas pelabuhan dan ketinggian air pasang di alur masuk. Ternyata kapal sandar di pelabuhan dekat permukiman Suku Bajo. Begitu turun dari kapal, Bang Akbar sudah stand by. Lumayanlah tidak usah celingukan sendiri di pelabuhan. Setiba di hotel, saya harus menunggu dulu karena kamar-kamar masih dibereskan. Maklum, saya tiba disini sebelum pukul 12.00 WITA. Untuk makan siang, sudah ada restoran di belakang hotel. Segera setelah kamar saya siap, saya pun mandi dan leyeh-leyeh. Nampaknya masih sedikit jet lag.

Karena hanya sendiri, jadi sedikit malas jalan-jalan. Lagipula, waktu Agustus lalu, saya sudah cukup kenyang berkenalan dengan Wanci. Malam hari, saya mencegat ojek untuk mengantar saya membeli makan malam, beli kaos oleh-oleh, membeli beberapa kebutuhan di toserba dekat penginapan, dan tidak lupa ke ATM. Pesawat saya ke Makassar besok siang, jadi biar besok pagi santai, saya packing semua hari ini.

KAMIS, 13 OKTOBER 2016

Sedikit panic, karena Bang Akbar belum menjemput juga. Saya tiba di bandara tiga puluh menit sebelum check in ditutup. Ternyata saya satu pesawat dengan dokter Yudi dan tamunya. Ya, meskipun ga terlalu kenal, setidaknya ada dua wajah yang familiar dalam perjalanan saya ke Makassar kali ini. Pesawat saya akan transit di Kendari lalu landing di Makassar. Hari ini saya akan bermalam di Makassar karena jadwal pesawat Makassar – Bandung tidak cocok. Jadi, besok saja saya pulang ke Bandung langsung pakai pesawat dari Makassar.

Wanci siang ini cukup terik dan udaranya panas. Sehari kemarin, hujan cukup besar mengguyur Wanci. Sementara di Tomia, kemarin terik dan cerah sepanjang hari. Perjalanan dari Wanci menuju Kendari hanya tiga puluh menit saja. Setiba di Kendari cuaca cukup cerah, meskipun tidak seterik di Wanci. Penumpang transit tidak turun di Kendari. Seperti biasa, di Kendari naik beberapa WNA dari Cina yang kemungkinan besar bekerja di pertambangan.

Memasuki wilayah Makassar, langit mendung. Bahkan gerimis turun ketika akan landing. Tepat sesaat setelah pesawat mendarat di landasan, hujan sangat deras mengguyur bandara. Seluruh penumpang terpaksa menunggu di dalam pesawat, mungkin sekitar tiga puluh menit. Sebagian besar penumpang yang akan melanjutkan penerbangan ke Jakarta mulai panik, termasuk dokter Yudi. Sementara tamunya sudah turun terlebih dahulu di Kendari. Masalahnya waktu Check in untuk pesawat ke Jakarta sangat mepet. Apalagi jika harus menunggu tiga puluh menit. Untungnya penumpang transit ke Jakarta masih menggunakan maskapai yang sama.

Setelah hujan hanya tinggal gerimis, satu persatu penumpang dari jejeran paling belakang dipersilahkan keluar menuju bus bandara, dengan dipayungi tentunya oleh petugas bandara. Sayangnya hanya ada tiga petugas bandara yang memayungi penumpang, jadi waktu yang dibutuhkan seidkit lebih lama. Saya duduk di sebelah dokter Yudi di dalam bus bandara. Ternyata untuk pesawat ke Jakarta, sudah terlambat beberapa menit. Untungnya karena satu maskapai, jadi masih bisa ditunggu.

Saya pun berpisah dengan dokter Yudi yang bergegas menuju area keberangkatan domestik di lantai dua, sementara saya menuju tempat pengambilan bagasi. Sekarang saya benar-benar hanya tinggal sendiri di Makassar. Setelah mendapat bagasi, saya makan siang dulu, baru mencari taxi. Ternyata perjalanan saya dari bandara menuju hotel tempat saya menginap lumayan jauh. Saya check in sekitar pukul 17.00 WITA. Kepala sudah sedikit pusing akibat jet lag. Untuk makan malam, sengaja saya membungkus makan dari bandara. Agak malas juga keluar hotel lagi kalau jetlag dan hanya sendiri.

JUMAT, 14 OKTOBER 2016

Saya check out sekitar pukul 11.30 WITA. Sedikit tidak enak juga waktunya, karena mepet dengan Jumatan. Harusnya saya ke bandara saja tadi dari pukul 10.30 WITA. Jadilah bapak supir yang mengantar saya ke bandara sedikit ngebut, untung jalan tol. Sayangnya, ketika sudah hampir keluar di GT, ada antrian perbaikan jalan. Ujian berikutnya yaitu kemacetan akibat pembangunan fly over tepat di persimpangan antara GT dengan jalan masuk menuju bandara. Saya pun tiba di bandara dan bapak supir tadi masih keburu Jumatan. Sekarang tinggalah saya yang menunggu pesawat yang baru akan berangkat kurang lebih dua jam lagi.

Selagi menunggu di bandara, ternyata kami pinda gate, karena akan dipakai Jemaah haji yang baru tiba. Untungnya pesawat saya tidak delay. Perjalanan dua jam Makassar – Bandung ditemani cuaca yang semakin mendung ketika mendekati Bandung. Seperti biasa, pesawat harus berputar-putar di atas Saguling sebelum akhirnya dapat mendarat di landasan. Pesawat pun landing di Bandara Hussein. Selamat datang di Bandung. Setelah menunggu bagasi, tepat pukul 17.00 WIB saya keluar bandara. Jumat, hujan, jam pulang kantor, sudah pasti macet. Akhirnya saya baru tiba di rumah sekitar pukul 19.00 WIB.

Selamat kembali pulang di Bandung. Selamat berjumpa lagi di lain waktu, Wakatobi. Sampai jumpa lagi lain waktu, Makassar. Sampai jumpa lagi lain waktu, Kendari. Dan sudah kangen lagi dengan suasana di Pulau Tomia. Semoga nanti bisa kembali berkunjung ke Tomia.


About Dya Iganov

Penyuka traveling, tidak hanya mendaki gunung, tapi juga touring, rafting, explore, city tour, kemping ceria, susur pantai, dll