Mudik, pulang kampung, pulang kota, nyekar ke makam dan sebutan lainnya untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri mungkin sudah jadi suatu tradisi dan ciri khas berakhirnya bulan Ramadhan dan datangnya Bulan Syawal di Indonesia. Tradisi ini hanya dapat dijumpai satu tahun sekali. Inilah yang menjadikan mudik menjadi spesial. Karena spesialnya, berbagai macam cara dilakukan untuk bisa mudik, mulai dari memesan tiket angkutan umum lebih dari satu bulan sebelumnya, memakai kendaraan pribadi yang sudah umum seperti mobil pribadi, mobil sewaan, sepeda motor atau bahkan yang sudah mulai nge-hits beberapa tahun ke belakang ini yaitu pick up dan truk yang dimodifikasi agar bisa menampung orang dan tetap nyaman dan aman, bahkan kendaraan seperti bajaj pun ikut serta meramaikan tradisi mudik. Pemerintah pun tidak mau ketinggalan untuk berkreasi dalam moment mudik, sebut saja armada bus tambahan, gerbong tambahan, kapal laut tambahan, berbagai posko mudik dari beragam instansi dan perusahaan di sepanjang jalur mudik, mudik bersama disponsori perusahaan, diberlakukannya kebijakan pembatasan lalu lintas truk ekpsedisi demi kelancaran lalu lintas, bahkan yang sekarang sedang gencar yaitu layanan pengiriman sepeda motor gratis dengan kereta api khusus untuk para pemudik. Rekayasa lalu lintas dan pengawasan lalu lintas di lapangan pun terus ditingkatkan inovasinya, beberapa ruas jalan alternatif baru mulai di buka dan dibuat layak untuk bisa dilalui oleh para pemudik, yaaa meskipun tetap masih ada ‘kecolongan’ di beberapa jalur. Meskipun sudah banyak persiapan dan antisipasi hal-hal yang bisa membuat kenyamanan dan keamanan para pemudik berkurang, tetap saja harus siap dengan hal-hal yang tak terduga, seperti yang benar-benar tidak terduga di tahun ini adalah amblasnya Jembatan Comal di perbatasan Pemalang-Pekalongan tepat 2 minggu sebelum arus mudik dimulai.
Tanpa adanya jembatan yang amblas pun, jalur ini sudah pasti macet parah oleh para pemudik, kali ini jembatan tersebut nampak enggan bekerja sama dan tentunya hal ini membuat beberapa instansi harus bekerja ekstra. Salut untuk Bina Marga, Dishub, DLLAJ, Polisi, kontraktor, konsultan, dan pastinya para pekerja konstruksi yang kerja ekstra keras membuat jalur ini dapat dilalui pada arus mudik dan balik Lebaran. Meskipun pada akhirnya jembatan ini dapat dilalui oleh para pemudik, tetapi tetap saja tidak bisa dengan kondisi 100% seperti sebelum amblas. Tetap harus dilakukan rekayasa lalu lintas dengan penyempitan jalur dengan konsekuensi kemacetan akibat bottle neck dan pembukaan jalur alterntif yang sekiranya tidak membuat pemudik terlalu jauh memutar. Amblasnya jembatan Comal ini seolah menjadi cerita baru dalam perjalanan mudik, ada yang terjebak kemacetan hingga belasan hingga puluhan jam, ada yang diputar arahnya menuju Selatan dan menemui kemacetan tidak kalah dasyatnya di jalur Nagreg, hingga ada yang memutuskan pulang lebih cepat dan lebih lama demi menghindari kemacetan, bahkan ada yang sampai memutar jauh dan mengambil jalur yang tidak terlalu lazim dilalui oleh jalur pemudik seperti saya dan dua orang teman saya. Ya, mudik kali ini memberikan cerita dan pengalaman baru serta rute baru tentunya. Lain cerita dengan dua orang teman saya yang menghindari kemacetan di jalur Pantura dan jalur Nagreg (karena yang satu tujuan akhirnya Kuningan dan yang satu tujuan akhirnya Yogyakarta) mereka lebih memilih jalur pesisir Selatan Jawa Barat-Jawa Tengah dengan motor masing-masing dengan bekal tenda. Seputus asakah mereka dengan akibat amblasnya Jembatan Comal dan kemacetan Nagreg? Jawabannya…. TIDAK SAMA SEKALI! Bagi mereka, jembatan Comal amblas atau tidak, jalur Nagreg macet atau tidak, mereka tetap akan mencari jalur mudik yang asik menurut mereka. Perlu dicatat, dua orang teman saya ini memang hobinya motor-motoran ke tempat antah berantah dengan medan yang bagaimanapun karena menurut mereka medan yang sulit itu lebih asik dan tidak jarang akan dapat bonus landscape yang cukup untuk menahan nafas sesaat yang ga akan ditemui jika melewati jalur yang sudah biasa dilewati oleh pemudik lainnya.
Sama halnya dengan yang saya lakukan, hanya bedanya dengan dua orang teman saya, mudik saya ini menggunakan mobil pribadi dengan personil keluarga lengkap, ayah, ibu, dan adik perempuan saya yang semuanya hampir tidak pernah lewat jalur antah berantah seperti yang biasa saya dan teman-teman lakukan ketika motor-motoran, mobilnya pun mobil mini bus biasa, bukan mobil-mobil khusus untuk medan yang berat, jadi, saya lebih ditantang untuk mencari jalur yang sedikit ‘ngawur’ tetapi tetap masih bisa dilalui mobil saya dan tetap tidak kena macet.
Untuk mudik kali ini, saya acungkan jempol untuk dinas-dinas terkait dengan bidang transportasi jalan karena rute yang saya dan dua teman saya lalui ini merupakan Jalan Nasional terparah lebih dari jalur Pantura tetapi penanganannya sangat-sangat lambat. Ya, rute Pansela Jabar (Pesisir Selatan Jawa Barat) kini sudah tinggal tersisa beberapa Km saja dari total sebelumnya hampir sepanjang jalur Pansela ini rusak parah dan sangat minim fasilitas kelengkapan jalan, begitu pula jalur Deandels, jalur yang paling pertama di buat secara besar-besaran pada masa penjajagan Belanda yang melintas di sepanjang pesisir selatan Jawa Tengah dari Cilacap hingga Kulonprogo. Dua ruas Jalan Nasional ini kini sudah cukup layak dilalui oleh mobil meskipun dari segi fasilitas kelengkapan jalannya masih minim, tetapi dari segi kualitas jalan, sudah bisa diacungi jempol, salut!
Ya, tapi itulah seninya mudik, memanfaatkan berbagai macam moda angkutan, jeli dengan berbagai inovasi program pemerintah yang memudahkan kegiatan mudik, bermacet-macetan dengan rombongan keluarga, cari jalur alternatif, sampai bikin rute mudik sendiri yang hanya satu tahun sekali, itu pun kalau memang punya kesempatan untuk mudik lagi tahun depan.
Sadar atau ngga, bisa saja tahun depan sudah ga bisa mudik karena beberapa hal, seperti karena orangtua yang memang sudah tidak bisa melakukan perjalanan jauh, tempat kerja baru kita yang tidak memungkinkan untuk melakukan ritual mudik, sudah nikah dan punya dua tempat mudik jadi harus sedikit berinovasi untuk bisa mudik ke dua kampung halaman, hingga faktor-faktor tak terduga lainnya.
Sama seperti saya, mudik di jaman saya masih SD itu untuk menempuh Bandung-Yogyakarta harus diatas 12 jam dan melalui jalur Selatan, rombongan mudik? Ketika itu sampai 4-5 mobil, bareng sepupu-sepupu, lalu beberapa tahun berikutnya berkurang satu mobil karena keluarga yang ini dipindahtugaskan ke daerah Cepu, jadi rombongan mudik pun menambah waktu mudik demi bisa berkunjung ke Cepu. Lalu, beberapa tahun berikutnya, jalur mudik dirubah menjadi lewat Pantura dan jumah mobil rombongan mulai berkurang, alasannya karena sudah tidak kuat untuk melakukan perjalanan lama dengan jarak yang cukup jauh. Beberapa tahun kemudian, keluarga yang di Cepu sudah pindah lagi ke Cirebon, kali ini rombongan mudik hanya tersisa 2 mobil saja. Hingga beberapa tahun terakhir mudik hanya nyekar ke makan Eyang Kakung di Boyolali dan hanya satu mobil bareng dengan Eyang Putri. Tapi ternyata, ritual mudik ini harus berubah lagi. Ini adalah tahun ke-2 mudik saya tanpa Eyang Putri karena memang kondisi beliau yang tidak memungkinkan untuk menempuh perjalanan jauh.
Jadi, yang masih bisa menikmati ritual mudik yang kurang lebih sama dengan tahun-tahun sebelumnya, bersyukurlah kalian dengan segala kekurangan dan ketidaknyamanan selama mudik kemarin.