Hunting air terjun kali ini sedikit berbeda dari yang biasanya. Biasanya, saya dan teman-teman lain hanya eksplore di akhir pekan, kali ini saya dan satu teman lainnya memutuskan untuk eksplore di hari Jumat dan kembali ke Bandung Sabtu. Jika biasanya kami memulai perjalanan subuh, maka kali ini perjalanan baru dimulai menjelang tengah hari. Lokasi sudah ditentukan, rute sudah di trek, patokan jalan pun sudah diingat-ingat, perlengkapan siap, motor pun sudah dalam kondisi fit (kecuali ban belakang yang gundul), kami pun berangkat dari Bandung sekitar pukul 10.00 WIB.
JUMAT, 29 APRIL 2016
Sedikit aneh berangkat untuk eksplore menjelang siang begini. Biasanya, sebelum adzan Subuh, saya dan teman lainnya sudah berada di perjalanan. Kali ini, karena kami akan menginap, jadi tidak apa-apa kayanya berangkat aga siang. Pukul 11.00 WIB kami sudah tiba di Nagreg. Karena hari ini Jumat, jadi kami berhenti di sebuah tempat makan. Saya makan siang sambil menunggu teman saya Jumatan. Baru pukul 13.00 WIB kami benar-benar memulai perjalanan. Cuaca cukup bersahabat. Matahari cukup terik dan udara cukup panas.
Memasuki Kadungora, kami terhambat macet. Karena hari Jumat, sekolah selesai lebih cepat, jadi jalanan jadi lebih macet siang hari. Jalanan baru kembali lancar ketika memasuki Cipanas, tapi begitu memasuki Kota Garut, kami kembali tersendat. Jalur yang kami lalui dari Kota Garut yaitu yang menuju Singaparna. Jalanan baru kembali lancar ketika memasuki Kecamatan Cilawu. Entah kenapa, rasanya untuk sampai di Cilawu saja rasanya lamaaa sekali. Padahal biasanya, perjalanan menuju Cilawu dari Bandung ketika pergi itu tidak terasa lama.
Kami istirahat di SPBU Salawu sekitar pukul 15.00 WIB. Matahari masih bersinar terik. Ngantuk mulai menyerang. Mungkin karena efek riding siang hari dan jalannya monoton, jadi cepat terasa ngantuknya. Kaki pun tampaknya sudah mulai susah diajak kompromi. Mungkin karena ada tambahan tas di kanan dan kiri motor, jadi pijakan kaki penumpang ke step sedikit tergeser. Lutut mulai terasa ngilu. Tidak banyak membuang waktu, kami pun melanjutkan perjalanan.
Seperti biasa, untuk menuju Kecamatan Sukaraja, jalur yang kami ambil adalah yang melalui Cibalanarik dan keluar tepat disamping alun-alun Kecamatan Sukaraja. Jalur ini adalah jalur yang selalu sukses bikin saya ngantuk, baik lewat disini pagi ataupun sore. Dan benar saja, setelah melewati persimpangan menuju Situ Sanghyang, mata susah sekali diajak kompromi. Ditambah lutut yang makin pegel dan terasa linu. Kalau sudah begini, kangen sama kasur mulai menjadi. Akhirnya setelah hampir 1 jam kami berhasil sampai di Kecamatan Sukaraja.
Jalur berikutnya yang harus kami tempuh adalah Jatiwaras – Salopa – Cikatomas – Cigugur – Curug Cileutak. Oh ya, tujuan kami adalah Curug Cileutak di Kp. Cikarees, Desa Harumandala, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Pangandaran. Setelah berbelok ke arah Kecamatan Jatiwaras, kondisi jalan baru mulai sepi. Entah kenapa, tiba-tiba saja saya teringat beberapa kali lewat di jalur ini selalu ada razia. Baru saja saya cerita tentang razia di jalur ini, tiba-tiba di satu tikungan banyak polisi. Benar saja, ternyata ada razia, padahal ini Hari Jumat, biasanya razia yang saya temui itu antara Sabtu dan Minggu. Selepas lokasi razia, jalanan benar-benar sepi, hanya beberapa sepeda motor saja yang papasan dengan kami.
Jalur Jatiwaras – Cikatomas ini pagi hari akan cukup ramai dengan bus ¾ baik menuju Cikatomas dan pesisir Selatan Tasikmalaya ataupun sebaliknya. Kalau sudah siang menjelang sore begini, jalanan hanya didominasi oleh sepeda motor dan mobil pribadi sesekali. Jika menjelang malam hingga subuh, jalanan akan ramai oleh truk pengangkut kayu, bambu, pasir, dan batu. Jalanan di Kecamatan Jatiwaras ini sangat mulus, malah jauh lebih mulus dibandingkan jalur Singaparna – Sukaraja melalui Cibalanarik. Selain itu, jalan akan full dengan tikungan-tikungan. Barulah ngantuk dan pegal di lutut saya menghilang.
Setelah Kecamatan Jatiwaras, jalur akan memasuki Kecamatan Salopa. Kondisi jalan di Kecamatan Salopa ini juga cukup membuat mata melek dan badan sedikit olahraga. Kondisi jalan di Kecamatan Salopa ini banyak jebakannya. Lubang kecil yang banyak tersebar di jalan ternyata cukup dalam, bahkan kami pun beberapa kali mengahantam lubang yang cukup dalam. Rasanya sakit sampai ke ubun-ubun. Menjelang perbatasan Salopa – Cikatomas, kami berhenti sebentar di bengkel untuk menyetel ulang shock breaker motor agar lebih nyaman kalau-kalau nanti menghantam lubang lagi.
Riding santai sore hari di jalan yang sepi benar-benar bikin lupa trek. Ketika sampai di kebun karet, saya baru sadar harus mengecek ulang trek dan patokan menuju Curug Cileutak. Ternyata di perkebunan karet ini, susah sinyal. Trek jalur pun berantakan. Ketika kami berhenti di kebun karet -yang akhirnya kami dapatkan namanya beberapa minggu setelah perjalanan ini- waktu sudah menunjukan pukul 16.00 WIB. Kalau tetap ke Curug Cileutak, kemungkinan kami akan sampai menjelang Magrib, itu pun kalau perjalanan lancar. Jadi, mau ga mau tetap harus menginap. Pilihan satu-satunya hanya rumah warga. Tetapi, karena informasi sekitar Curug Cileutak cukup minim kami dapat, akhirnya secara spontan, saya memutuskan untuk mengganti tujuan ke Curug Bilik.
Curug Bilik dipilih dengan pertimbangan lokasinya yang berada persis di pinggir jalan. Selain itu, lokasinya juga tidak terlalu jauh dari permukiman. Setidaknya, jika kami benar-benar tiba di Curug Bilik menjelang Magrib, kami bisa langsung meminta izin menginap di sektar rumah warga. Setelah jalur kembali dapat di trek, kami pun masuk ke jalan kecil menuju area perkebunan Bolang. Langit di atas kami sudah berubah warna secara drastis.
Kondisi jalan setelah masuk ke jalan kecil di Perkebunan Bolang ini sangat baik. Aspal mulus dan beberapa kelokan menjadi suguhan jalur yang kami lalui. Tidak berapa lama, ketika sedang khusyuk riding, gerimis mulai turun. Ga pake basa-basi, langsung hujan besar. Untungnya di depan kami ada warung baso yang kebetulan sedang tutup. Kami pun memakai jas hujan sambil mengecek kembali jalur yang harus dilalui. Tidak lama, hujan sedikit reda –meskipun sebenarnya masih tergolong deras- dan kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.
Jarak yang masih cukup jauh ke tempat tujuan, hari yang semakin sore, ditambah rute kami yang harus melipir perbukitan membuat kami memutuskan untuk menerobos hujan lebat. Begitu tiba di desa pertama, hujan kembali deras, kali ini lebih deras dari hujan pertama. Makin jauh, jalan yang kami lalui semakin mengecil dan aspalnya semakin hilang. Benar saja, begitu keluar dari desa yang sampai sekarang saya belum tahu namanya, jalan berubah menjadi aspal hancur. Medan jalan pun menjadi semakin menanjak. Karena tidak memungkinkan untuk mengeluarkan hp, jadi kali ini kami jalan berdasarkan feeling saja.
Jalan awalnya sempit dengan aspal rusak, kemudian menjadi batuan lepas. Hujan yang semakin deras mengakibatkan jalan yang kami lalui lama kelamaan terendam air. Air yang menggenangi jalan berasal dari atas perbukitan. Ada yang mengalir mengikuti jalan, ada juga yang menyeberang jalan dari arah kebun di samping kiri dan kanan kami. Jarak pandang terbatas, jalan yang licin karena campuran tanah merah – batu – dan air, serta mulai berkurangnya permukiman penduduk akhirnya membuat saya ragu untuk meneruskan perjalanan.
Akhirnya kami tiba di persimpangan. Jalan ke arah kiri sama besarnya dengan yang baru kami lewati, sedangkan yang ke kanan, jauh lebih kecil dan berupa jalan semen yang hanya di bagian rodanya saja. Bagian tengah jalan masih batu-batu lepas dan besar serta tanah merah. Kami memutuskan untuk mengambil jalan yang kanan, karena seingat saya, jalur yang di trek oleh Gmaps lurus terus. Setelah kami mengambil jalan yang bagian kanan, makin lama, jalan semakin turun dan semakin kecil. Makin jauh jalan semakin kecil, dan semakin hancur, sementara hujan semakin deras.
Jalan yang kami lalui semakin sulit. Jalan semakin menurun, kondisinya makin hancur dan di kanan kiri kami semakin jarang rumah penduduk. Akhirnya jalan yang kami lewati sampai di percabangan. Di tengan percabangan ada sebuah warung. Kami pun berhenti disana. Sambil teman saya bertanya pada pemilik warung, sambil saya mengecek kembali rute yang harus kami lewati. Sayangnya, hp saya tidak mendapat sinyal. Posisi kami dimana dan jalur mana yang harus kami lewati benar-benar abstrak. Saya sedikit ingat bagaimana bentuk jalan di Gmaps yang harus kami lewati. Kami hanya tinggal menentukan posisi kami disebelah mana, agar bisa memilih jalur kanan atau kiri. Feeling saya mengatakan jalan yang harus kami lewati adalah jalur kanan yang kembali menurun curam dengan kondisi jalan yang semakin amburadul.
Informasi dari pemilik warung yang ditanya oleh teman saya, malah semakin bikin galau. Menurut ibunya, kalau mau ke Curug Bilik, kami harusnya lewat jalan yang satunya (tidak jelas jalannya yang mana), kalau kami tetap mengikuti jalan di kanan kami, itu jalan buntu katanya. Selain itu, jalannya ke bawah semakin rusak, kami disarankan untuk memutar balik, dan mengambil jalan ke arah sebaliknya. Kami yang sudah cape, lapar, kedinginan, basah kuyup hanya bisa menyimak selewat. Akhirnya, kami memutuskan untuk tetap meneruskan perjalanan melalui jalan di sisi kanan kami. Karena pertimbangannya kalau balik lagi lumayan jauh dan males juga hujan deras begini lewatin jalan ancur lagi. Lagipula, di Gmpas, persimpangan untuk menuju jalur utama yang harus kami lewati sudah dekat.
Kami pun pamit. Benar saja, tidak jauh dari warung tempat kami berhenti tadi, jalan semakin hancur. Sudah tidak ada lagi semen dan batuan kerikil, yang ada hanya tanah merah super licin karena tergerus air hujan. Jalan pun hanya cukup untuk dua motor papasan dan di sisi kiri kami sudah jurang dalam. Ada beberapa longsor kecil dan jalan amblas, jadi kami benar-benar harus sampai berhenti untuk bisa melewatinya. Karena, kalau salah sedikit, bisa-bisa motor kami tergelincir ke jurang. Setelah longsor dan jalan amblas, kali ini jalan menjadi mirip saluran air. Tanah merah ditambah air yang mengalir di medan turunan menjadi paduan yang pas untuk jatuh dan tergelincir ke jurang. Akhirnya setelah berhasil melewati beberapa rintangan tak terduga, jalan di depan kami semakin menyulitkan kami.
Turunan panjang dan curam dengan trek tanah merah hampir keramik harus kami lalui. Motor beberapa kali ngesot kanan-kiri, untungnya teman saya bisa mengendalikan motor. Setelah turunan panjang sekaligus tikungan itu, tiba-tiba, bruukkk motor pun akhirnya kepeleset. Untungnya saya refleks sedikit loncat jadi, kaki saya ga sampe ketimpa motor. Berdiriin Pulsar di tanah keramik ditambah ujan itu PR banget. Setelah motor berhasil stabil, saya memutuskan untuk turun saja, karena di depan kami sudah ada tanjakan panjang dengan trek keramik menungu kami. Trekking menanjak di tanah merah super licin ditambah guyuran hujan super deras itu sama sekali ga mudah, dan karena emang udah kesel pengen cepet-cepet keluar dari jalur sesat ini, saya pun mengeluarkan semua tenaga buat sampai di ujung tanjakan.
Apa yang ada di ujung tanjakan bener-bener bikin tenaga berasa terkuras habis. Tepat di depan kami, jalan tanah merah hampir keramik menghilang begitu saja tepat disamping rumah warga. Ya, jalan buntu. Jalur berikutnya di samping rumah warga adalah jalan setapak yang sama licinnya, gelap karena masuk ke area perkebunan dan sama sekali tidak ada tanda permukiman lagi di depannya. Putus asa, kesal, konyol, cape, ngantuk, lapar, dingin, aahh, sudahlah.
Untungnya, ada bapak-bapak yang bisa kami tanya, karena sedari warung tadi, kami tidak bertemu siapapun. Ya juga, siapa yang mau keluyuran di tengah hujan deras menjelang Magrib kaya gini. Kata bapak tersebut, kami salah jalan (Fix kali ini mengakui kami salah jalan, disasarin GPS!!) Jalan motor dan permukiman warga hanya sampai disini, selebihnya jalan kecil dan masuk hutan. Curug Bilik pun masih jauh. Ketika nanya ke warga setempat dan dijawab ‘sudah dekat’ jangan langsung percaya, sodorin lagi pertanyaan yang lebih detail dan terukur, kaya misalnya “1 jam lagi?”, “kaya dari desa A ke desa B jauhnya?” atau “Jalannya sejelek ini teruskah?” karena bisa jadi artinya masih jauuuh, 2 jam pun masih belum sampai.
Tapi ketika warga setempat bilang jauh, apalagi pake intonasi dan ekpsresi muka yang mendukung, artinya beneran masih jauh, pake BANGET!. Dan bapak yang kami tanya ini memenuhi kriteria warga yang terakhir. Artinya Curug Bilik masih jauh pake banget. Bahkan belum tentu sebelum Magrib pun sampai. Kami putuskan balik arah, setidaknya sampai bertemu percabangan setelah warung tempat kami berhenti sebelumnya.
Balik arah artinya harus melewati turunan curam – panjang – tikungan – tanah keramik lagi, dan kali ini menanjak. Fix kali ini mendingan saya turun dan treking aga panjang daripada jatuh lagi. Treking pun tidak gampang, karena pijakan kaki benar-benar licin. Ternyata, motor pun cukup kesulitan untuk nanjak. Akhirnya dengan sedikit didorong dan diarahkan ke jalur yang benar biar ga tambah slip, si motor pun berhasil sampai di ujung tanjakan. Beberapa menit kemudian, saya pun berhasil sampai di ujung tanjakan. Setelah mengatur nafas, barulah kami melanjutkan perjalanan kembali. Di depan kami ada longor, amblas, dan jalur air yang masih menanti untuk dilalui. Hujan pun masih sama derasnya.
Setiap lewatin longsor, jalur air, dan jalan amblas, saya tahan nafas dan posisi udah siap-siap loncat dari motor. Alhamdulillah, kami sukses lewatin rintangan dan akhirnya kami sampai di warung tempat kami berhenti. Kali ini kami hanya numpang lewat. Untungnya teman saya ngeh, persimpangan mana yang harus kami ambil untuk menuju Curug Bilik, jadi kami tidak buang waktu lagi untuk berhenti di warung. Akhirnya kami kembali ke persimpangan. Menurut teman saya, jalan di kanan kami yang harusnya kami lewatin. Tapi, kondisinya sama saja. Jalannya lebar, tapi sudah hampir semuanya tertutup aliran air. Selain itu, jalannya sedikit menanjak, jadi, kami harus menanjak sekaligus melawan arus air. Ujung jalannya pun gelap, karena kembali masuk hutan. Akhirnya saya putusin untuk kembali ke jalur utama Salopa mengingat sudah pukul 17.00 WIB.
Jalan yang harus kami lewatin kali ini benar-benar sudah tertutup air, kalau kami terlalu pinggir, bisa-bisa masuk ke parit dan terbawa arus. Air yang mengalir di jalan kali ini jauh lebih deras daripada pada pas kami lewat satu jam yang lalu. Jalanan benar-benar sudah seperti dasar sungai. Di tengah perjalanan menuju Perkebunan Bolang, saya ga sengaja lihat ada pertigaan menuju Curug Cimanitin. Rupanya lokasi Curug Cimanitin di sekitar sini. Mungkin besok bisa mampir. Akhirnya kami tiba di desa sebelum Perkebunan Bolang dan hujan masih tetap deras. Dari sini, kecepatan motor ditambah. Sebisa mungkin kami bisa sampai di Cikatomas sebelum jam 18.00 WIB.
Kami berhasil keluar dari jalur kebun Bolang sekitar pukul 17.30 WIB dan langsung mengarah ke Cikatomas. Kami akhirnya berhenti di mini market seberang alun-alun Cikatomas. Tidak lama kami berhenti, hujan pun reda. Sambil membeli roti dan minum untuk mengganjal perut, saya pun nanya ke kasir jalan menuju Langkaplancar dari Cikatomas. Ternyata kasir mini market pun ga tau. Bapak-bapak yang di antrian belakang saya ternyata tau jalan ke Langkaplancar. Katanya bisa saja kami masuk dri Cikatomas. Persimpangan ke arah Langkaplancar ternyata sudah dekat ke arah Cibalong, dan lumayan jauh. Jalannya pun rusak berat. Motor besar saja (bapak tadi liat motor yang kami pakai) lumayan susah untuk lewat, kalau sial, bisa aja ada bagian kaki-kaki yang patah. Waduh, segitunyakah jalan ke Langkaplancar. Jalur lain ya, lewat Banjar, tapi itu artinya kami harus jauh memutar lagi ke Utara sambung ke Timur, lalu turun lagi ke Selatan.
Dan sepertinya emang jalan tembus ke Langkaplancar dari arah Cikatomas ini ga terlalu rekomen. Akhirnya kami sepakat untuk cari penginapan atau semacemnya di Cikatomas biar bisa istirahat dan seengganya besok jaraknya ga terlalu jauh. Ternyata, sampai ngelewatin Pasar Cikatomas, ga ada satupun penginapan atau losmen atau semacamnya. Akhirnya kami putusin untuk balik arah ke Kota Tasikmalaya dan cari tempat istirahat setelah dihajar hujan super deras dan jalan ga karuan. Ini pertama kalinya saya lewat jalur Cikatomas – Tasikmalaya malam-malam. Biasanya pagi dan sore. Kondisi jalan sepanjang Cikatomas – Jatiwaras sangat sepi, padahal baru jam 18.30 WIB. Kalau di Bandung, ini lagi jamnya macet dimana-mana, apalagi habis hujan deras. Sepanjang Cikatomas – Salopa jalur banyak lewatin perkebunan, jadi kondisi jalan benar-benar gelap. Bagi yang belum terbiasa lewat jalur ini, sebaiknya jangan lewati sini malam-malam. Badan mulai terasa dingin karena rembesan dari kaos kaki. Jaket waterproff pun mulai rembes. Rasanya perjalanan dari Cikatomas ke Tasikmalaya ini lamaaa dan ga nyampe-nyampe.
Sekitar pukul 20.00 WIB, kami masuk Kawalu. Saya meminta teman untuk jalan pelan-pelan, kalau ada hotel atau losmen langsung berhenti. Akhirnya kami nemu satu hotel. Sebenernya aga ragu juga sih ama hotelnya, tapi peduli amatlah, saya cuman pengen ganti baju, bebersih, terus tidur. Kamarnya satu malam 100.000 Rupiah dan kayanya kosong. Teman saya nawarin untuk coba ikut nginep di tempat KKN nya dulu, di sekitar Tasik Kota. Akhirnya, setelah galau beberapa saat, kami pun menuju rumah tempat teman saya KKN. Kami tiba sekitar pukul 21.00 WIB. Rumahnya masuk gang lagi, hanya ada beberapa anak mudah di teras rumah yang dimaksud. Di depan rumah, ada kolam ikan yang lumayan besar. Suasana di sekitarnya sepi, cocok untuk istirahat. Setelah aga lama mengetok pintu, akhirnya teman saya meminta tolong salah satu dari anak-anak tadi untuk memanggil ibu yang punya rumah dari pintu belakang. Memang, biasanya ibunya jam segini sudah tidur, karena di rumah ini hanya tinggal sendiri.
Akhirnya kami dibukakan pintu, setelah temen saya cerita panjang lebar, ibunya pun akhirnya inget. Maklum, KKN teman saya ini sudah hampir lebih dari 2 tahun yang lalu. Kami pun dipersilahkan masuk dan disuguhi minum. Cukup air putih karena memang perut sudah ga karuan rasanya. Fix masuk angin. Saya dipersilahkan untuk tidur di kamar depan, kamar tengah adalah kamar ibunya, dan saya lupa ada kamar ketiga paling ujung atau ngga ya. Pokonya temen saya tidur di kursi. Sebenernya, kalau boleh milih, saya tidur di kursi juga gpp, lebih nyaman kayanya. Karena ibunya sudah mau istirahat, saya pun pamit ke kamar. Niat mau mandi pun pupus karena sudah keburu males. Udaranya pun ga terlalu panas. Saya hanya cuci muka, ganti baju, langsung nempel di kasur. Anak-anak di luar masih asik nyanyi-nyanyi, ya seengganya lumayan ga sepi banget. Saya sempat ketiduran, dan sekitar jam 23.30 WIB saya bangun lagi. Di luar sudah sepi, teman saya juga sudah tidur. Daripada laparnya makin kerasa dan udaranya juga jadi lebih dingin, saya pun kembali tidur.
Sabtu 30 April 2016
Sesuai rencana, jam 5 subuh sudah bangun, jam 06.00 WIB udah mulai packing. Tas lumayan kering, baju-baju basah mulai dipisahin, dan ternyata sepatu masih basah banget. Sambil nunggu temen saya mandi (karna saya udah mandi duluan), saya ngobrol sama ibu yang punya rumah. Ibunya udah lumayan sepuh, tinggalnya sendiri karena anak-anaknya sudah berkeluarga. Ibunya cerita tentang jamannya temen saya KKN, seru juga ceritanya. Ternyata ibunya dulu waktu muda tinggal di Cidurian (dekat Terminal Cicaheum). Entah pengalamannya tahun berapa yang diceritakan ke saya. Sebagian besar orang-orang yang disebut diceritanya sudah meninggal. Saya tiba-tiba jadi inget Alm. Uyut. Sambil menemani ibunya nostalgia masa lalunya di Bandung, temen saya ternyata sudah beliin bubur untuk sarapan. Sambil menikmati bubur panas setelah seharian keujanan kemarin, sambil dengerin cerita nostalgia ibunya, rasanya jadi males untuk nerusin perjalanan.
Akhirnya, setelah sarapan dan packing ulang, sekitar pukul 08.00 WIB kami pamitan. Saya pribadi benar-benar berterimakasih karena sudah diijinin istirahat semalam biarpun baru pertama kali ketemu. Perjalanan kami kali ini tetap Curug Bilik, karena mempertimbangkan waktu kami yang hanya tinggal satu hari ini untuk kembali ke Bandung. Perjalanan lancar. Kota Tasik Sabtu pagi kali ini masih sepi. Tidak terasa akhirnya kami tiba di Sukaraja. Begitu belok ke arah Jatiwaras, tidak lupa kami nyalakan kembali trek jalur di Gmaps.
Jatiwaras – Salopa non stop dan beberapa kali papasan dengan bus ¾. Cuaca kali ini sedikit mendung, matahari tidak seterik kemarin siang. Sampai di Salopa, ternyata jalur di trek mengarahkan kami ke jalur Gunungtanjung. Setelah belok ke jalan Salopa – Gunungtanjung, jalur mulai aneh. Seingat saya, jalur menuju Curug Bilik tidak akan sampai ke Gunungtanjung. Akhirnya setelah melewati persimpangan ke Curug Cimanitin, kami berhenti lagi untuk cek jalur. Ternyata benar, kami salah jalan. Jalan yang harus kami lewati ternyata belok ke arah Curug Cimanitin. Jalan yang kami lewati kali ini lumayan bagus, setidaknya masih ada aspalnya. Makin lama, makin tidak terlihat spanduk-spanduk Curug Cimanitin. Padahal, kalau kelewatan, kami mau mampir dulu sebentar.
Jalan yang semula datar dan hanya disemen saja, kali ini mulai menanjak. Setiap kamu ketemu percabangan, baik kecil ataupun besar, kami berhenti. Jangan sampai kejadian salah jalan kaya kemarin sore keulang lagi. Kami memasuki Desa Tanjungsari, Kecamatan Salopa, Kabupaten Tasikmlaya. Lama kelamaan jalan semakin banyak turunan. Kondisinya pun semakin tidak baik. Sempat ragu, apa sekarang jalan kami sudah ga nyasar? Di beberapa titik, kondisi jalan berubah jadi berlubang. Makin lama, kondisi jalan makin sempit dan makin hancur. Akhirnya jalan kami bercabang. Kami memilih ke kiri karena kondisi jalan yang kanan batuan licin. Setelah belok ke kiri, kami kembali bertemu percabangan. Kali ini kami memilih yang menanjak. Setelah menanjak, kondisi jalan batu berubah jadi jalan semen kembali. Karena ragu, akhirnya kami balik arah. Ternyata trek di Gmaps pun menunjukan kami salah jalur.
Kami putar balik, dan jalur di Gmaps ternyata menunjukan arah ke percabangan jalan ke kanan. Mau tidak mau kami pun putar arah dan menuruni jalan kecil dengan batuan licin. Sampai akhirnya di depan kami, jalannya menurun dan lebih curam. Saya putuskan untuk turun dulu dan mengecek kondisi jalan didepan. Ternyata tidak terlalu panjang tapi curam, selain itu jalan di depan sudah merupakan jalan batu kembali. Untungnya teman saya bertemu warga yang sedang lewat. Kami pun bertanya arah ke Curug Bilik. Untungnya lagi, bapak yang kami tanya ini tau lokasi Curug Bilik. Jalan yang kami ikuti hasil trek Gmaps pun ternyata kata bapak ini adalah jalan buntu. Jalan ke arah Langkaplancar dari tempat kami sekarang hanya bisa dilalui dengan jalan kaki. Jarak ke Langkaplancar pun masih jauh, masih sekitar 2 jam untuk pendatang seperti kami ini.
Bapak ini malah menyarankan untuk lewat jalur Bolang, jalur yang kemarin sore kami lewatin, tapi mungkin karena jauh, akhirnya bapak ini menyarankan kami lewat jalan potong. Jalur jalan potong ternyata jalan kecil dekat tempat kami puter arah. Setelah pamit sama bapak barusan, kami pun putar arah lagi. Jalan yang kami lewatin ini katanya bapak tadi lewat sawah dan langsung tembus ke Desa Mulyasari, Desa sebelum Desa Jayasari, lokasi Curug Bilik. Awalnya jalannya masih batu-batu khas pedesaan di Selatan, permukiman penduduk pun masih ada di kanan dan kiri jalan.
Rintangan pertama adalah tanjakan panjang dengan batuan lepas dan jalannya sempit. Karena ban belakang sering slip, akhirnya saya pun mutusin untuk turun dan trekking. Dengan tenaga dari sarapan bubur ayam tadi pagi, saya berhasil sampai di ujung tanjakan yang ternyata jauh banget. Setelah sampai, kami putuskan untuk istirahat dulu. Sekeliling kami hanya sawah, permukiman sudah jauh di bawah kami. Di depan kami jejeran perbukitan seakan jadi dinding pembatas. Ke arah perbukitan itulah tujuan kami, Curug Bilik. Dan kalau lihat dari posisi kami sekarang, jaraknya masih jauh banget. Sedikit putus asa, karena jaraknya yang jauh dan takut kondisi jalan di depan lebih parah dari tanjakan barusan. Mau putar balik ke jalan utama Salopa pun jauh, mau di terusin pun masih jauh. Pilihan kami sama-sama ga enak. Akhirnya karena sudah terlanjur nyampe sini, kami pun berangkat lagi.
Pas mau jalan, motor teman saya ga bisa nyala. Staternya sedikit bermasalah. Aga parno juga ya kalau sampe ga nyala, soalnya jauh kemana-mana dan seru banget klo motornya harus sampe didorong turun sampe permukiman. Setelah berhasil nyala, kami langsung tancap gas. Bener-bener tancap gas karena kami kembali dihadapkan dengan tanjakan panjang dengan batuan lepas sebagai pijakannya.Tapi lama kelamaan, ketika jalannya berasa ada yang salah, barulah kami ngerti maksud bapfdcak tadi jalan potong lewat sawah itu kaya apa. Setelah tanjakan panjang tadi, ada beberapa tanjakan sampe akhirnya jalan sedikit datar. Tapi, kali ini kami benar-benar berada di tengah-tengah pematang sawah.
Lebar jalan bukan lagi single track tapi benar-benar jalan setapak. Benar-benar pematang sawah. Saya pun mutusin untuk turun, karena kalau boncengan aga susah juga nyeimbangin motornya kalau ngehantem batu. Saya jalan duluan sambil sedikit ambil foto. Ternyata di depan kami ada bapak-bapak sama anaknya lagi jalan. Untunglah jalur kami kali ini benar, meskipun kondisi jalannya bener-bener ga karuan. Menurut bapak ini, jalan sawah ini ga terlalu panjang, di depan, kami bakalan ketemu desa lagi. Di desa ini, ikuti jalan yang ke arah Desa Mulyasari. Jalannya besar. Patokannya adalah kami akan melewati lokasi acara sebuah pesantren. Kalau kami ga ketemu pesantren yang dimaksud, berarti kami salah jalan. Setelah pesantren tersebut, tanya saja jalan ke Desa Jayasari.
Biarpun ga terlalu panjang, tapi ya susah juga bawa motor di pematang sawah kaya gini. Dinikmatin aja. Sambil nunggu temen saya lewat, sambil ambil foto-foto kondisi jalan sekitar dan fotoin temen saya juga karena jarang-jarang kami lewat sini (kalo bisa ga lewat sini sih mending ga usah lewat deh). Akhirnya kami sampai di jalan desa yang dimaksud bapa tadi. Kami masuk lagi ke permukiman. Ternyata benar aja jalan yang barusan kami lewati itu jalan pintas, karena di sisi kanan kami ada jalan yang entah darimana awalnya. Jalur yang harus kami ambil adalah ke arah kiri dari jalan sawah ini.
Setelah belok kiri, jalan kembali manusiawi. Lebarnya cukup untuk 3 mobil papasan, bukan lagi batuan lepas, sudah kembali jalan semen. Tapi ga lama kemudian, kami harus kembali nanjak. Dan tanjakan panjang, curam, sekaligus tikungan ini diperparah dengan adanya bekas longsor. Bekas longsor ini sukses bikin saya turun lagi dari motor dan kembali trekking. Untungnya hanya sedikit. Setelah ujung tanjakan, kami kembali melanjutkan perjalanan secara normal. Jalannya sudah mulus karena disemen, datar, dan kami melewati pesantren yang dimaksud bapa tadi.
Kami tiba di ujung jalan, dan kali ini kami harus ambil jalur kanan. Ga sengaja, saya melihat ke jalur sebelah kiri. Rasanya sedikit familiar. Ternyata benar saja, jalan yang sekarang kami lalui ini adalah jalan menuju Curug Cimanitin yang kami lihat kemarin sore ketika perjalanan pulang menuju Salopa. Dugaan saya benar 100% setelelah kami tiba di ujung jalan. Jalan di depan kami adalah jalan utama yang kami lewati kemarin sore.
Kami berdua hanya bisa tertawa konyol. Jadi, kami putar-putar jalur dan motong lewat jalan sawah ujung-ujungnya tembus di jalan yang pernah kami lewati kemarin. Benar-benar disasarin GPS namanya ini. Begitu ada tukang tambal ban, ban belakang kami tambah angin dulu. Tidak lupa bertanya pada bapak tambal ban jalan ke Desa Jayasari. Menurut bapa tersebut, di depan kami ada persimpangan besar, ambil arah ke kiri. Ikuti jalan utama dan akan langsung sampai di Desa Jayasari. Ternyata jalan yang dimaksud adalah jalan di sisi kiri ketika kemarin sore kami memutuskan untuk ke jalan di sisi kanan dan akhirnya buntu.
Jalannya cukup bersahabat meskipun tetap batu-batu. Jalannya lebar, masih dominan datar. Jalan ini langsung melipir tebing perbukitan. Cocok dengan apa yang di trek di Gmaps. Setidaknya kali ini kami tidak salah jalur lagi. Kondisi jalan monoton, batu-batu. Medannya bervariasi. Kadang datar, kadang menurun, tapi memang lebih banyak menurunnya. Kurang lebih 1 jam kami menyusur jalan ini, belum ada tanda-tanda permukiman penduduk. Akhirnya, jalan sudah berada di dasar pebukitan (setelah sebelumnya banyak medan turunan), kami menyeberang sebuah aliran sungai kecil dan tepat di samping jembatan terdapat dua buah tugu bertuliskan Desa Jayasari dan tulisan berikutnya yang sudah hilang. Akhirnya sampai juga. Kali ini kami hanya tinggal mengikuti jalan hingga tiba tepat di samping Curug Bilik. Medan jalan ketika memasuki permukiman masih didominasi oleh turunan panjang dan tanjakan, hanya kondisinya jauh lebih bagus. Kami kembali bertemu dengan jalan aspal desa. Desa Jayasari siang ini sangat sepi. Hanya terlihat anak-anak sekolah yang berjalan kaki pulang dari sekolah. Akhirnya kami tiba di Curug Bilik.
Kami mencari tempat untuk memarkirkan kendaraan, karena lokasinya benar-benar di pinggir jalan. Untuk melihat Curug Bilik, kita masih harus turun melewati pematang sawah di sisi kanan jembatan. Kami memarkirkan motor di halaman rumah warga yang cukup luas dan tepat berada di samping jalan setapak menuju sungai Curug Bilik (nama aliran sungai yang menjadi sumber air Curug Bilik). Kami tiba tepat pukul 11.00 WIB. Cuaca kali ini sangat cerah. Matahari bersinar terik, jarang angin. Sukses membuat kami dehidrasi. Kami istirahat di bawah pohon tidak jauh dari tempat kami memarkirkan motor. Perpaduan antara teduh karena di bawah pohon dan cuaca yang terik, ditambah tenaga kami yang sudah lumayan terkuras sukses membuat kami berdua mengantuk.
Teman saya mengajak untuk memindahkan motor ke warung Mie Ayam di jembatan, karena ga enak kalau parkir lama di halaman rumah orang dan orang yang punya rumahnya ga ada. Berhubung udah waktunya makan siang dan hanya warung mie ayam ini yang kami temui, kami akhirnya makan mie ayam. Mie Ayam Bang Tega namanya. Kalau mencari di Google Maps pun sudah ada tag namanya.
Mie Ayamnya enak, enak pake banget. Saya saja sampai nambah 2x (uppss). Meskipun warungnya kecil, tapi bersih. Malahan penjual dan pembeli pun kalau mau masuk warung, alas kakinya disuruh dilepas. Karena sepatu saya aga ribet dan ga kotor, jadi hanya saya yang pakai sepatu. Tenang saja, saya hanya duduk dan sesekali rebahan di kursi, jadi ga ngotorin semua lantai. Mie ayam tambah 2 mangkok, air minum entah berapa kali refil. Sambil makan, seperti biasa obrolan dengan pemilik warung pun terjadi.
Pertanyaan standar seperti dari mana mau kemana itu sudah pasti jadi pembuka, tapi yang saya suka adalah dari pertanyaan simple itu, saya bisa lebih banyak menggali informasi tentang lokasi ini dari warga setempat. Tidak lama, datanglah teman dari pemilik warung, yang katanya ‘Warga Setempat ga mungkin ga ada yang kenal dia’. Setelah cerita-cerita, ternyata warung mie ayam ini juga boleh ko dipake untuk tempat nginep kalau ada yang mau ke Curug Bilik tapi datengnya kemaleman. Nginap di warga juga boleh.
Curug Cileutak pun tidak lupa saya tanyakan, Ternyata informasinya masih tetap simpang siur. Entah kenapa mas-mas yang baru datang ini malah bilang Curug Cileutak itu Curug Dengdeng, asa jauh. Setelah aga ngotot kasih info sampe liatin foto yang saya simpen dari sosmed, barulah, sepaham Curug Cileutak mana yang dimaksud. Kalau kata mas-mas ini, Curug Cileutak ada di daerah hutan/kebun, aga jauh dari permukiman warga. Udah ditawarin dianterin, tapi berhubung sudah terlalu siang dan kami ngejar pulang ke Bandung hari ini juga, terpaksa tawarannya kami tolak. Seengganya, kami sudah bisa konfirmasi info dari sosmed dengan info dari warga setempat.
Puas makan 2 mangkok mie ayam dan makanan sudah turun ke perut dengan sempurna, giliran kami berdua yang turun ke Curug Bilik. Untuk turun ke Curug Bilik ini treknya gampang banget. Cuman 10 menit kami sudah ada tepat di depan Curug Bilik. Trekkingnya lewat saluran irigasi kemudian lanjut nurunin pematang sawah. Area di sekitar Curug Bilik lumayan sempit. Ada dataran kecil yang kalau musim hujan mungkin hilang karena besarnya debit air. Di depan dan sisi kiri dataran ini sudah kolam Curug Bilik dan aliran sungai yang cukup lebar. Saya sedikit kesulitan untuk mengambil gambar Curug Bilik, karena backlight. Berarti, kalau mau dapat view Curug Bilik yang bagus harus pagi-pagi sekali.
Di sisi atas Curug Bilik terdapat tempat cuci mobil, yang sebenarnya kebanyakan yang cuci disana adalah truk pengangkut pasir. Air pembuangan dari tempat cuci mobil itu langsung ke dinding di sisi kanan Curug Bilik. Di sisi kiri bagian atas Curug Bilik, ternyata sering juga dipakai oleh warga sebagai mck. Siang itu, kami ga sengaja liat warga yang mau (entah mandi entah buang air), tapi mungkin karena melihat kami di bawah, jadi ga jadi. Tetep aja, ada beberapa jepretan dengan warga tadi di pojok kiri atas frame. Merusak frame dan mood kami sekaligus.
Setelah dirasa cukup kepanasan (karena areanya benar-benar terbuka, ga ada pohon), kami putuskan untuk naik. Perjalanan pulang trekkingnya memang menajak, tapi tidak susah dan jaraknya juga tidak terlalu jauh. Setelah sampai kembali di mie ayam Bang Tega, kami melihat ada banyak anak kecil main air di sungai di samping warung. Menurut informasi dari mas-mas yang tadi, kalau trekking sedikit ke arah hulu sekitar 10 menit, ada bagian sungai yang airnya sangat jernih. Sering dipakai berenang oleh anak-anak setempat. Berhubung sudah aga cape dan aga males trekking, jadi kami lewatkan lagi tawarannya.
Akhirnya kami mengobrol seputar Curug Bilik. Menurut informasi dari mas-mas ini (saya beneran lupa namanya), hulu Sungai Curug Bilik ini adalah mata air di Gunung Parang. Sebenarnya namanya Gunung Barang, tetapi terjadi perubahan ejaan, jadilah Gunung Parang. Gunung Parang sendiri terlihat jelas dari warung mie ayam ini, tapi kalau menuju kesana, masih sekitar 1 jam lagi pakai motor. Selain Curug Bilik dan Curug Cileutak, ternyata di kaki Gunung Bongkok (lama-lama berasa kaya di Purwakarta) ada tempat mas-mas ini, semacem villa. Lokasinya lebih tinggi dari Desa Jayasari, jadi udaranya jauh lebih sejuk. Selain itu, view Langkaplancar bisa keliatan. Lagi-lagi kami tolak karena waktu yang terbatas.
Setelah cukup istirahat, kami memutuskan untuk segera packing dan pulang. Rute yang diasrankan oleh mas-mas dan mas-mas jualan mie ayam adalah yang lewat Banjar, mekipun sebenarnya jauh lebih memutar. Tidak apa-apa lah. Sekalian ganti suasana. Jam 13.30 WIB kami pamit pulang. Tidak jauh dari Curug Bilik, kami masuk permukiman warga. Kondisi jalan masih bagus, meskipun hanya semen seadanya. Keluar dari permukiman, kami kembali bertemu jalan batu dan aspal rusak berat. Di ujung jalan permukiman ini adalah tanjakan panjang.
Kali ini kami tidak sendiri, malah, kami harus menunggu 1 truk berisi muatan yang sedang berusaha nanjak. Setelah truk ada di ujung tanjakan, motor kami dan 3 motor warga lainnya langsung tancap gas. Begitu sampai di ujung tanjakan, langsung siap-siap ambil posisi nyusul truk. Jalan batu masih harus kami lalui sampai akhirnya kami tiba di ujung jalan. Ujung jalan ini bertemu dengan jalan raya yang aspalnya muluuusss. Sesuai saran, kami ambil arah kiri. Kami sempat berhenti di sebuah tempat yang mirip hutan lindung. Situs Cagar Budaya Gagal Lembayung. Petak 13B RPH Langkaplancar. BPK Cijulang, Kab. Pangandaran. Seperti itulah tulisan yang tertera di satu-satunya papan informasi yang kami temui disini. Hanya papan kayu sederhana yang sudah sedikit lapuk ditempel di salah satu pohon besar dekat jalan. Kami pun melanjutkan perjalanan. Aspal mulus dan jalan yang masih penuh turunan dan tanjakan membuat kami semangat lagi. Sedikit tancap gas. Di sisi kiri kami, terlihat puncak-puncak perbukitan yang tadi pagi kami lewati di Salopa.
Kami tiba di gapura Desa Bojongkondang. Kalau dari sisi kami, artinya kami akan meninggalkan desa tersebut. Kami berfoto sebentar, lalu melanjutkan kembali perjalanan. Jalanan mulai bervariasi, ada aspal, ada lubang, ada aspal yang hancur. Kami melewati beberapa kantor desa Mekarwangi dan Cimanggu. Di Desa Cimanggu, jalan kami bercabang. Karena ragu, kami pun bertanya arah ke Banjar. Ternyata dari arah kami datang, kami harus berbelok ke kanan. Jalan masih didominasi aspal desa dan sesekali melewati area perkebunan dan melipir di pinggir tebing.
Kami tiba di persimpangan bersar berikutnya di Desa Karangkamiri. Disini, kami melihat rombongan trail. Menurut warga yang kami tanya, jalur ke Banjar adalah yang ke kiri, sedangkan jalur ke kanan akan tembus di Parigi. Karena memang menghindari ke arah pantai, jadi kami ambil jalur ke Banjar. Kebetulan, sedari pertigaan di Desa Cimanggu tadi banyak persimpangan, tapi kami bareng dengan mobil dari Koramil jadi cukup mengikuti mobil saja. Kami nebak kalau mobil ini mau ke Banjar juga, sayangnya mobilnya sempat kami susul ketika ada perbaikan jalan dan akhirnya kami harus nanya jalan kembali ke penduduk.
Jalan mulus kembali menjadi jalan rusak berat sewaktu memasuki areal perkebunan PTPN VIII Cikupa yang merupakan perkebunan karet. Di beberapa titik, kami malah harus berhenti sejenak kalau papasan dengan kendaraan lain. Selain jalannya rusak parah, ada beberapa titik yang sedang diperbaiki oleh warga setempat. Jadi, jangan heran kalau banyak sekali pungli dari warga setempat atas nama perbaikan jalan. Di tengah kebun karet bisa macet? Bisa! Buktinya di Kebun Karet Cikupa ini. Kami tancap gas, udah ga peduli lagi goncangan akibat ngehajar batu-batu ganas di kebun karet. Malahan, kami hampir nabrak anjing yang lagi nyebrang. Untungnya ga kena. Sebagai balasannya, anjing tadi menggonggong sambil ngejar kami. Duh, dikejar anjing di jalan batu itu rasanya sesuatu.
Begitu keluar dari area perkebunan karet, kami tiba di Desa Cikupa dengan kondisi jalan yang jauh lebih manusiawi. Kami kembali merasakan aspal desa. Meskipun masih banyak zonk karena aspalnya sebagian sudah habis dan sebagian masih mulus. Ga lama, hujan mulai turun lagi. Kali ini gerimis, lalu tiba-tiba hujan deras. Kami melipir ke warung dulu. Untung kami sudah keluar dari kebun karet. Sambil istirahat, sambil tanya-tanya jalur ke Banjar. Kata pemilik warung, jalur kami ini nanti keluar di Pamarican. Berarti jalur kami sudah benar. Kalau kami jalannya cepat, kurang lebih 1 jam lagi sampai di Pamarican. Setelah keluar dari Desa Cikupa, kami akan ketemu jalan jelek lagi, tepat di makam sampai turun bukit. Karena sudah cukup kenyang menghajar jalan jelek dari kemarin, rasanya mati rasa kalau dengar di depan ada jalan jelek lagi. Ya, setidaknya itu jalan jelek terakhir yang harus kami lewati.
Saya cek di Gmaps pun, jarak ke Pamarican sudah tidak terlalu jauh, hanya saja hujannya lama juga berhentinya. Jangan sampai kami kejebak hujan deras lagi kaya di Salopa kemarin. Kami putuskan untuk nekat nerobos hujan daripada kesorean keluar dari Desa Cikupa. Untungnya, ga berapa lama kami jalan, hujannya sedikit reda. Di Desa Cikupa ini kami beberapa kali bertem persimpangan, tapi tetap di jalur utama untuk menuju Pamarican, karena sebagian jalan lainnya hanya ke perkampungan dan buntu.
Kami tiba di persimpangan terakhir menuju Pamarican. Jalur yang kami ambil adalah yang menurun ke arah kiri. Kondisi jalan langsung berubah. Dari aspal desa yang mulus, jadi aspal rusak. Permukiman warga mulai jarang kami temui. Kebun-kebun mulai kami lewati di kanan dan kiri jalan. Medan jalan makin turun. Sampai akhirnya, sudah tidak ada rumah lagi yang kami lewati. Untungnya, ada beberapa motor di belakang kami, ada juga mobil yang satu arah dengan kami. Dari arah berlawanan pun cukup ramai yang melintas. Seengganya kami ga sendiri banget di jalur yang lumayan bikin melek ini. Makin lama kebun-kebun berubah jadi hutan yang sedikit rimbun.
Jalan yang kami lewati semakin turun dan semakin lebar. Tidak ketinggalan, semakin hancur. Beberapa lubang dan longsor kami temui di tikungan sekaligus turunan. Batuannya pun batuan lepas. Beberapa malah terlihat batu koral menyembul di tengah jalan. Kalau sampai kami kena hujan deras lagi disini, fix kami abis tenaga. Sebisa mungkin kami jalan cepat tapi juga tepat ambil jalur. Kami tiba di sebuah turunan panjang dengan view yang jauh lebih terbuka. Di depan kami pemandangan kota Banjar dan beberapa puncak bukit terlihat jelas. Sebenarnya gatal ingin mengambil foto. View yang cukup bagus dan sinar matahari yang masih tersisa di atas Kota Banjar sayang rasanya dilewatkan. Tapi kali ini saya terpaksa mengalah. Demi cepat keluar dari jalur ini karena di belakang kami awan hitam sudah mulai mendekat. Turunan curam demi turunan curam akhirnya habis. Jalan sedikit datar dan jalur kembali masuk ke area perkebunan. Di depan kami banyak sekali kayu hasil hutan yang disimpan di pinggir jalan. Kayu-kayu ini nantinya akan diangkut oleh truk menjelang malam. Kami pun mulai melewati rumah penduduk. Lega rasanya keluar dari jalur Cikupa tadi sebelum hujan turun. Kali ini jalan yang kami lewati sudah merupakan jalan utama. Medannya datar, sudah aspal, dan sudah ramai pastinya.
Kami tiba di persimpangan dengan Jalan Raya Pamarican tepat di Pangkalan Ojek Pamarican. Akhirnya kami kembali ke jalan yang benar. Tidak lama, hujan sangat deras turun lagi. Kami berhenti sebentar untuk pakai jas hujan dan tetap jalan menerobos hujan deras sampai di Kota Banjar. Setiba di Kota Banjar, kami langsung ambil jalur ke Bandung melewati jalur utama, alias jalur Bandung – Banjar – Jawa Tengah. Cukup sudah potong-potong jalur dan iseng nyobain jalurnya. Keluar dari Banjar, hujan reda. Perjalanan kami menuju Kota Ciamis cukup lancar. Kami tiba di alun-alun Ciamis sekitar pukul 16.30 WIB. Kami istirahat sebentar di Masjid Agung Ciamis. Di Ciamis hujan belum turun, jadi hanya kami yang pakai jas ujan dengan kondisi penuh lumpur. Pukul 17.00 WIB kami melanjutkan perjalanan.
Karena ini Sabtu, jadi sebisa mungkin kami sampai di Bandung Magrib atau diatas pukul 21.00 WIB agar tidak terjebak macet di Cileunyi. Jalanan lancar. Gentong pun masih kosong. Jika lewat Gentong sekitar pukul 20.00 WIB sampai tengah malam, bisanya akan macet parah. Bus malam, truk barang, pick up semua baru sampai di Gentong diatas pukul 19.00 WIB. Di Ciawi, kami kembali berhenti untuk pakai jas hujan karena sudah mulai gerimis. Lanjut jalan lagi. Malangbong pun masih belum macet. Setelah Gentong, titik macet kedua yaitu Malangbong sampai Limbangan. Bisanya karena truk dan bis disini akan sedikti lambat karena medannya menanjak. Selain, itu, lubang-lubang di jalan sepanjang Malangbong – Balubur Limbangan harus diwaspadai. Kondisi jalan gelap, lubang kecil tapi dalam bisa jadi jebakan kalau tidak waspada.
Perjalanan kami cukup lancar. Sekitar pukul 22.00 WIB saya sudah sampai di rumah. Rasanya lega akhirnya bisa sampai di rumah setelah nyasar dan perjalanan panjang dari Langkaplancar. Curug Bilik tuntas, tapi Curug Cileutak masih jadi PR. Mungkin nanti kalau ke Curug Cileutak saya akan ambil jalur pesisir Selatan Jabar dan naik ke Cigugur dari Cijulang. Sepertinya jalannya lebih manusiawi, meskipun di Desa Jayasari sampai Desa Harumandala sudah dipastikan jalannya batu. Terimakasih untuk partner motoran kali ini, Aria. Kalau ga nekat nginep di rumah pas KKN, entah istirahat dimana waktu itu. Untuk jarak yang ditempuh, kata yang punya motor sih total 2 hari hampir 500 – 600 Km. Yah, harusnya jarak segitu sih kami udah bisa sampe Jatim, tapi nyatanya hanya muter ke Pangandaran dan Banjar aja. Well, seengganya sekarang jadi tau kalau Pangandaran ga cuman pesisir aja, yang jalannya kayanya jadi rute wajib orang-orang touring. Pangandaran di sisi perbukitan dengan jalur amburegul pun ternyata ada.
BACA JUGA: http://dyaiganov.com/curug-bilik/