Pendakian Prahu kali ini bisa dibilang pendakian bayar utang gara-gara batal ikut pendakian acara gathering Mei lalu. Kali ini saya hanya nanjak dengan lima orang teman saya (karena kebanyakan udah pas Mei lalu). Seperti biasa, kami janjian jam 17.00 WIB di Terminal Cicaheum. Saya hanya bareng dua teman saya yang dua-duanya perempuan dari Bandung, sedangkan teman lainnya dari Jakarta. Jumlah kami hanya enam orang, tiga orang perempuan dari Bandung dan tiga orang laki-laki dari Jakarta.
SABTU 22 JUNI 2013
Bus kami sedikit terlambat masuk Terminal Wonosobo. Kami baru masuk terminal sekitar pukul 05.00 WIB. Berhubung sudah menjelang puasa, banyak perbaikan jalan di Pantura dan ngefeknya ke jalur Selatan. Sesampainya di terminal, kami cari masjid dan duduk di depan loket Bus Sinarjaya. Tempat makan baru buka sekitar pukul 07.00 WIB.
Anehnya, sekitar pukul 07.00 WIB belum ada tanda-tanda bus dari Jakarta satupun yang masuk terminal. Menurut kabar dari penjaga terminal, mungkin terjebak macet di Pantura, karena sedang banyak perbaikan jalan. Kami pun memutuskan sarapan duluan. Setelah sarapan, kami membeli logistik.
Kami mendapat kabar sekitar pukul 09.00 WIB, bus teman kami yang dari Jakarta masih tertahan di sekitar Indramayu. Pantura macet parah. Sampai jam 11.00 WIB, 12.00 WIB belum ada kabar lagi. Kami pun memutuskan makan siang di Terminal Wonosobo dulu. Ibu penjual makanan cerita kalau memang sejak dari smeinggu yang lalu jadwal bus, terutama yang dari Jakarta dan lewat Pantura kacau. Banyak yang kejebak macet, bahkan kalau macet total, kadang busnya balik lagi atau memutar jalur. Setelah makan, ngantuk pun datang.
Berhubung bus yang dipakai teman kami dari Jakarta adalah Sinar Jaya, jadi kami dipersilahkan untuk menunggu di loket Sinar Jaya. Kami beruntung siang itu tidak ada calon penumpang lain. Kami pun memilih dua deret kursi paling belakang di loket sebagai tempat duduk kami. Sempat ada ide untuk main-nain di Dieng berhubung bus teman kami sepertinya masih sangat lama masuk Wonosobo. Ide itu pun tidak terlaksana, karena nanti dari Dieng kami harus balik lagi ke Terminal Wonosobo, lalu bareng-bareng dengan teman dari Jakarta balik lagi ke arah Dieng.
Rombongan teman kami lainnya dari Jakarta, yang kebetulan sudah berangkat duluan sekitar pukul 10.00 WIB sempat menawarkan kami tumpangan sampai Dieng kalau-kalau kami mau main-main dulu. Sekarang, rasanya sedikit menyesal sudah ditolak tawarannya. Akhirnya kami pun memutuskan untuk istirahat saja, saya pun sudah mulai mengantuk. Cuaca mendukung. Setelah kenyang makan siang, hujan cukup deras turun. Kami bertiga pun langsung ambil posisi tidur. Tempat kami tidur siang ini tidak lain adalah dua deret kursi panjang paling belakang di loket bus Sinar Jaya, Terminal Wonosobo.
Tidur di terminal, di masjid, stasiun atau paling mewah di basecamp sudah bukan hal asing untuk saya. Asalkan tempatnya bersih dan aman, rasanya tidur mah tidur aja. Kebetulan satu teman saya tidak ikut tidur, berjaga-jaga siapa tau ada informasi dari teman-teman kami yang dari Jakarta. Saya dan satu teman lainnya pun terlelap skeitar kurang lebih dua jam.
Entah pukul berapa, tapi yang pasti, begitu bangun, loket bus Sinar Jaya sudah dipenuhi beberapa calon penumpang. Kebanyakan bus Sinar Jaya ke Jakarta memang berangkat sore dari jam 16.00 – 17.30 WIB dari Wonosobo. Ada juga yang seperti kami, menunggu bus dari Jakarta yang berangkat Jumat malam (kemarin). Menurut info dari petugas loket, bus dari Jakarta sudah sada yang berhasil keluar dari jalur Pantura menuju Bumi Ayu. Sayangnya, itu adalah bus yang berangkat dari Jakarta sebelum bus yang ditumpangi teman-teman kami.
Mungkin sekitar hampir Magrib, kami dapat informasi dari teman kami kalau bus mereka sudah bisa lolos dari macet parah Pantura. Kami pun makan malam di tempat yang sama saat kami sarapan. Ibu pemilik warung sampai kaget melihat kami bertiga masih ada di terminal. Untung kami belum terlambat, karena sehabis magrib ibu ini biasanya sudah menutup warungnya. Sekitar pukul 19.00 WIB suasana Terminal Wonosobo kembali sepi. Warung-warung dan lapak jualan sudah banyak yang tutup.
Kami sempat bertemu beberapa teman dari Jakarta yang juga terjebak macet, tapi kebanyakan dari mereka sudah dengan rombongannya masing-masing. Begitu sampai di Wonosobo, segera berangkat ke tempat tujuan mereka. Lain halnya dengan kami bertiga, yang sampai hampir pukul 20.00 WIB ini pun masih luntang-lantung nunggu tiga teman kami. Kami cukup beruntung, karena nampaknya hujan sudah dihabiskan turun tadi siang. Mala mini cerah, malah sangat cerah.
Akhirnya, tiga teman kami sampai di Terminal Wonosobo. Kalau tidak salah sudah hampir pukul 21.00 WIB. Kasihan, tenaga untuk satu hari ini akhirnya habis sia-sia di dalam bus yang katanya panas dan sumpek karena AC nya tidak berfungsi dengan baik. Badan pegel-pegel karena harus sehari semalam di dalam bus dan tidak bisa keluar. Belum lagi tenaga yang habis karena tidak banyak yang bisa dimakan ketika terjebak macet. Begitu sampai di terminal, dua teman saya langsung mencari angkot yang masih bersedia mengantar kami ke Gardu Pandang.
Satu bulan lalu, terjadi longsor yang menyebabkan jalur utama Wonosobo – Dieng terputus. Kendaraan dari arah Wonosobo hanya bisa sampai di Gardu Pandang. Selepas dari Gardu Pandang, harus berganti kendaraan. Oleh karena itu, tidak banyak kendaraan pribadi. Lain halnya dengan kendaraan umum yang harus tetap beroperasi untuk mendukung pergerakan warga setempat. Jika masih siang, ada bus ¾ dengan jadwal regular dari Terminal Wonosobo sampai ke Gardu Pandang. Jika sudah mala seperti ini, sangat sulit dicari.
Oleh karena itu, kami memutuskan mencarter angkot saja. Tidak mudah juga mencari angkot di Wonosobo malam-malam begini. Kebanyakan, supirnya sudah mau pulang. Akhirnya kami dapat angkot. Setelah disepakati tarif per orang sampai ke Gardu Pandang, barang-barang pun kami naikkan ke dalam angkot. Cape dan ngantuk. Itulah yang dirasakan semua orang di rombongan kami. Bahkan, saya sempat tertidur lagi dalam perjalanan menuju Gardu Pandang yang hampir satu jam ini.
Udara makin dingin ketika kami tiba di Gardu Pandang. Baru pukul 22.00 WIB ketika kami sampai di Gardu Pandang, tapi suasana sangat sepi. Hanya ada banyak bus ¾ berjejer di pinggir jalan, sedangkan supirnya menghangatkan diri di warung. Ada beberapa warga yang mengatur perpindahan penumpang dari arah Wonosobo ke Dieng. Penumpang dari arah Wonosobo harus turun dan berjalan kaki melewati bekas longsor untuk kemudian berganti kendaraan yang sudah tersedia dari arah Dieng.
Setelah mendapat bus ¾ yang akan mengantar kami ke basecamp Patakbanteng, kami pun memutuskan untuk mengistirahatkan mata sejenak. Bus yang kami naiki kali ini adala bus regular ke arah Dieng dan kebetulan, basecamp Patakbanteng berada di jalur yang dilewati bus ini. Setidaknya ongkosnya jadi lebih murah. Bus pun melaju diiringi udara Dieng yang super dingin dan jalanan berkelok yang gelap gulita.
Kami sampai di basecamp Patakbanteng sekitar pukul 23.00 WIB. Basecamp sudah sangat kosong, hanya ada kami dan teman-teman basecamp Patakbanteng. Kami mengisi buku tamu dan dipersilahkan untuk istirahat sejenak. Sambil istirahat, kami re-packing ulang. Kami akhirnya start nanjak sekitar pukul 23.30 WIB. Jujur, nanjak malem itu bukan sesuatu yang nyaman untuk saya. Selain tenaga udah abis karena seharian beraktivitas, semakin tinggi tempatnya, semakin tipis oksigennya, ditambah, kalau malam hari tumbuhan sama-sama mengeluarkan CO2, kalau saya sih, malah jadi lebih cepet cape.
Trek pertama kami adalah ngelewatin jalan setapak di belakang permukiman warga. Begitu kami lewat, kambing, sapi, anjing, dan jangkrik bunyi semua. Seketika area permukiman ini jadi heboh karena kami lewat, tengah malam pula. Kami harus menemukan jalan yang tepat yang menuju ke ladang di depan kami. Selagi beberapa teman di depan mencari jalan yang benar setiap bertemu persimpangan, saya manfaatkan untuk memejamkan mata sambil bersandar ke tembok atau tiang kayu.
Jalan kami semakin menanjak dan kami harus melewati beberapa anak tangga sebelum akhirnya sampai di trek ladang. Trek berikutnya adalah jalan tanah dan batu yang cukup lebar di kebun kentang. Treknya langsung menanjak dan tidak ada bonus sama sekali. Entah karena tepat seminggu lalu saya sukses dibuat emosi oleh trek Gunung Penanggungan, entah karena tenaga saya lagi full, sepertinya nafas saya masih normal padahal nanjaknya udah lumayan.
Akhirnya kami berbelok ke jalan setapak. Jalan setapak sempit dengan tanah gembur dan langsung menanjak menjadi trek kami berikutnya. Disini jalur pendakian dimulai. Jalur yang terus menanjak di tanah gembur yang kondisinya kering menyebabkan debu berterbangan sepanjang kami menanjak. Ada beberapa persimpangan dan kalau salah jalan hanya akan berputar-putar di kebun kentang. Untungnya di depan kami ada rombongan lain yang baru naik juga. Kami tinggal mengikuti saja.
Semakin dekat dengan rombongan depan, ada yang menyapa. Wajah yang tidak asing menyapa saya dan teman lainnya. Di rombongan ini ada beberapa teman kami dari Wonosobo yang kebetulan sedang naik Prau juga. Akhirnya kami ketemu teman nanjak. Berhubung jumlah mereka jauh lebih banyak dan jalannya ngebut semua, kami mempersilahkan mereka jalan duluan. Teman-teman Wonosobo berjalan di paling belakang, jadi masih bisa bereng juga dengan rombongan saya.
Sekitar satu atau dua jam jalan kaki, perlahan kebun kentang bertemu dengan hutan pinus. Disini kami berhenti. Kami berhenti di sebuah tanah kosong yang lumayan luas. Pemandangan di belakang kami benar-benar menggoda untuk diabadikan dalam sebuah foto. Kebetulan, mala mini bertepatan dengan puncaknya supermoon/blue moon/dan moon-moon lainnya. Inilah yang membuat hampir kami semua tidak ada yang menyalakan headlamp. Penerangan kami sedari jalan ladang sampai di pintu hutan pinus ini hanya sinar bulan yang sangat terang.
Saking terangnya, bahkan bayangan kami pun muncul. Pemandangan sumur-sumur geothermal dan desa-desa di Dieng yang sebagian tertutup kabut tipis sebagian bersih dari kabut yang terlihat jelas membuat kami benar-benar betah duduk disini. Semakin lama kami berhenti, udara akan semakin terasa dingin. Kami pun bergegas jalan lagi. Trek kami kali ini ada di dalam hutan pinus. Tanjakan demi tanjakan tanpa bonus menjadi medan kami kali ini. Debu semakin banyak menerpa wajah kami. Sesekali berhenti sejenak mengambil nafas.
Trek kali ini bisa dibilang lebih berat dari trek di ladang kentang. Kami beberapa kali berhenti sejenak menunggu teman lainnya. Pemandangan lebih tertutup sehingga godaan untuk berhenti lama-lama menikmati pemandangan pun bisa diminimalisir. Normalnya, pendakian Prau dari Patakbanteng ini sekitar 3-4 jam, kalau jalan santai mungkin bisa 4 – 4,5 jam. Tidak lama, trek hutan pinus habis. Trek kami berikutnya sangat-sangat terbuka. Jalur pun semakin sempit. Kami harus menyusui jalan setapak dan punggungan bukit yang sangat sempit dan berbatu lepas.
Pemandangan sumur geothermal, bulan yang bulat sempurna, bayangan-bayangan deretan perbukitan di di belakang kami menjadi penyemangat kami untuk segera tiba di puncak Prahu. Setidaknya, kalau di puncak, kami tidak perlu repot berhenti dengan posisi aga aneh demi menjaga keseimbangan untuk melihat pemandangan di bawah sana. Setelah dua tanjakan yang lumayan curam, sempit, dan rawan longsor, trek kembali bertemu dengan jalan setapak. Kali ini menyusuri punggung bukit. Tanjakan dan turunan silih berganti. Kami tiba di trek ini sekitar pukul 02.30 WIB. Artinya, kalau hitungan normal, harusnya kami sudah mau sampai di puncak.
Ketika sedang asik menikmati trek jalan setapak, tiba-tiba angina bertiup sangat kencang. Kabut tebal seketika menutup pemandangan kami. Jarak pandang menjadi terbatas. Untungnya karena angina terus bertiup, kabut pun segera menghilang, tapi kemudian datang lagi, kemudian menghilang lagi. Di tengah tiupan angin Dieng subuh ini dan kabut, tiba-tiba teman di depan saya, yang juga merupakan orang paling depan di rombongan kami berteriak kalau kami sudah sampai.
Tepat jam 03.00 WIB kami tiba di puncak Prau yang kala itu sudah tidak ada lagi yang bangun. Hanya tenda-tenda yang tertiup angin yang telrihat. Setelah memilih lapak untuk tiga tenda kami, kami pun membangun tenda. Jam 03.00 WIB merupakan waktu terdingin, terutama di salah satu puncak gunung di Dieng. Meskipun sudah ganti baju, sudah masuk Sleeping Bag, udara dingin tetap menusuk ke dalam tenda. Tenda yang saya tempati kapasitas dua orang. Saya dan Destari/Keke masih tetap menggigil kedinginan di dalam tenda.
Saya pun tertidur saking capenya, namun sepertinya tidur nyenyak saya tidak lama. Mungkin hanya sekitar satu jam saya benar-benar tertidur lelap. Sisanya, sebentar-sebentar bangun karena menggigil kedinginan. Akhirnya, tepat pukul 05.00 WIB saya memutuskan untuk bangun saja. Berhubung di luar juga sudah mulai terdengar suara penghuni tenda sebelah. Setelah memakai jaket, sarung tangan, slayer, tidak lupa kamera, saya pun memutuskan untuk keluar tenda, sekalian nunggu sunrise.
Jangan tanya sedingin apa di luar tenda jam 5 subuh! Untuk bicara aja susah. Ternyata lokasi tenda kami sebelahan dengan tenda temen-temen Wonosobo. Malahan ada beberapa teman Wonosobo yang ternyata nanjak Prau tapi ga ketemu pas kami naik tengah malam tadi. Jadinya, saya ‘ngungsi’ ke tenda sebelah berhubung udah rame. Sambil nunggu sunrise, sambil ngangetin badan pake kopi. Begitu langit sedikit terang, saya, Mas Ikun, dan Dyah langsung cari spot untuk sunrise sementara yang lainnya masih enggan untuk berjauhan dari tenda dan api unggun.
Suasana puncak Gunung Prau masih terbilang sepi, malahan kalau dibandingkan dengan sekarang (2016), puncak Prahu saat ini sangat sangat sangat sepiiii. Tidak lama, sunrise yang ditunggu pun datang. Cuaca cerah, bersih dari kabut, sedikit berangin, jarak pandang ke ujung horizon pun sangat jelas. Perlahan-lahan puncak-puncak gunung di sekitar Gunung Prahu mulai terlihat. Di belakangnya, langit mulai berwarna kemerahan.
Sunrise di Gunung Prahu adalah salah satu yang terindah di kawasan Dieng dan saya sangat sangat beruntung pagi ini dapat sunrise terbaik. Malah katanya sunrise kami kali ini adalah Golden Sunrise. Entah sudah berapa ratus kali jari tangan saya memencet tombol di kamera. Entah itu untuk foto landscape, mengabadikan moment dengan beberapa teman yang kebetulan ketemu di Gunung Prahu, termasuk rombongan teman saya yang menawarkan tumpangan ke Dieng Sabtu lalu. Udara puncak Prahu yang dingin menusuk tulang sedikit tersamarkan dengan kehangatan tawa sapa teman-teman pagi ini.
Setelah matahari mulai tinggi dan udara sudah tidak terlalu membuat badan menggigil, kami kembali ke tenda. Teman-teman seperjalan saya pun satu persatu mulai keluar dari tenda. Ada yang hanya duduk di depan tenda, ada juga yang berkeliling sambil mengambil foto. Pagi itu kami lewati dengan kegiatan standar. Mulai dari memasak makanan untuk sarapan, bersih-bersih alat tenda, dank arena kami memang nanjak santai, setelah sarapan, yaa leyeh-leyeh lagi. Sesekali mengambil foto ketika ada awan atau kabut yang menutupi Gunung Sundoro yang tampak besar di depan kami.
Ketika satu persatu rombongan membereskan tenda dan beranjak turun, kami malah masih asik leha-leha. Saya dan dua teman lainnya hanya menghabiskan waktu dengan obrolan ringan sampai-sampai tidak terasa sudah hampir pukul 11.00 WIB. Sebetah-betahnya kami di sini dan se-santai-santainya perjalanan kami kali ini, tetap ada bus yang harus dikejar di Wonosobo sana. Suasan puncak Prahu yang siang ini hanya ada tiga sampai empat tenda termasuk milik kami, benar-benar membuat Prahu serasa gunung pribadi.
Tepat pukul 11.00 WIB kami sudah siap untuk turun. Beberapa teman kami dari Wonosobo sudah ada yang turun sejak pukul 09.00 WIB dan yang terakhir hanya berjarak beberapa menit dari kami. Kali ini kami mengambil jalur turun melalui pemancar dan akan langsung tembus di Kejajar, Dieng. Jalur kami kali ini akan melewati hamparan padang rumput yang sangat luas di puncak Gunung Prahu yang terkenal akan bunga Daisynya. Jika kemarau, padang rumput ini merupakan salah satu yang sering terbakar.
Karena jalurnya tidak terlalu jelas, hanya hamparan padang rumput luas, kami sedikit kesulitan. Untungnya ada rombongan lain yang akan ke perbatasan punggungan Puncak Prahu dan menara pemancar. Jadi, kami jalan bareng sampai ke punggungan. Baru juga satu jam berjalan, rasanya tangan sudah gatel ingin mengeluarkan kamera dan mengambil foto padang rumput yang sangat luas ini. Cuaca sangat cerah, berbeda dengan ketika kami packing tadi, sempat berkabut tebal. Akhirnya kamera pun dikeluarkan. Sambil jalan, sambil mengabadikan foto-foto landscape padang rumput Puncak Prahu.
Sudah dapat dipastikan waktu tempuh kami jadi lebih lama. Kami tiba di ujung padang rumput sekitar pukul 12.30 WIB, dan perjalanan rombongan teman kami pun berhenti disini. Mereka hanya akan berkeliling di padang rumput kemudian kembali lagi ke tugu puncak untuk bermalam satu malam lagi. Sementara kami, jalur kami berikutnya adalah punggungan bukit. Jalan setapak yang cukup sempit dan diapit dua jurang sangat dalam di harus kami lewati. Kebetulan, ketika kami ada di tengah-tengah punggungan, papasan dengan rombongan dari bawah. Jadi, harus lebih ekstra hati-hati. Angin pung bertiup jauh lebih kencang disini.
Setelah tiba di ujung punggungan, kami berhenti sebentar untuk memasukan beberapa peralatan dan mengambil foto. Jalur kami berikutnya mulai masuk ke dalam hutan. Trek di dalam hutan ini didominasi trek akar-akar pohon, namun ada juga beberapa yang tanah gembur dan lumayan licin. Jalur menara pemancar ini jauh lebih landau tetapi waktu tempuhnya jadi lebih lama. Untuk saya sih, jalur yang begini memang enak dijadikan jalur turun. Sepanjang jalur hutan sampai puncak menara kami tidak papasan dan tidak bareng dengan rombongan lain. Benar-benar hanya kami berenam.
Jalur mulai keluar dari hutan dan sedikit datar. Tidak lama, sampailah kami di tempat yang disebut-sebut puncak menara. Puncak menara adalah sebuah area cukup datar dan luas yang memang diperuntukkan untuk menara pemancar. Ketika kami tiba disana, suasan sangat sepi karena tidak ada pendaki lain di belakang dan di depan kami. Entah kenapa, meskipun kami semua butuh istirahat, tapi sepertinya kami semua enggan berlama-lama di puncak menara ini. Kami pun turun lagi. Jalur kali ini menurun terus dan sedikit lebih sempit. Lebih mirip jalur air.
Setelah aga jauh dari puncak menara, kami kembali masuk hutan. Disini kami berhenti lagi sebentar. Rumah-rumah penduduk dan ladang sudah sedikit terlihat. Kami jalan lagi. Kali ini jalurnya lebih bervariasi. Ada jalan setapak yang datar, ada juga turunan. Jalur juga jadi lebih lebar dibanding di dekat puncak menara. Bahkan hampir sama lebarnya dengan jalur di hutan pinus melalui Patakbanteng. Menjelang pukul 14.00 WIB, hutan pinus sudah berganti dengan hutan produksi. Artinya, hutan ini sering dimasuki warga untuk keperluan sehari-hari. Artinya lagi, kami sudah hampir sampai di Desa Kejajar.
Tapi apa yang kami temukan di trek ini bukanlah warga dengan kayu bakarnya, melainkan aneka jenis bunga yang berserakan di jalan setapak. Meskipun tampak tidak beraturan, tapi terlihat memang sengaja ditabur di sepanjang trek. Perasaan sedikit tidak enak. Kami pun mempercepat jalan kami meskipun treknya mirip jalur air yang tergerus. Jadi ada bagian yang dalam, ada bagian yang tinggi. Kami bertemu persimpangan, dan tepat di jalur yang bukan trek pendakian, bunga-bunganya lebih banyak tersebar ke arah sana. Ah, selesai sudah ‘Trek Bunga’ kami.
Jalur berikutnya menurun terus dan sudah hampir masuk ke ladang penduduk. Suara-suara musik, deru knalpot kendaraan mulai terdengar jauh lebih jelas. Ah, permukiman penduduk sebentar lagi. Kaki saya pun sudah mulai sakit. Lutut sudah pegal, bahkan kalau berhenti lama gemeteran. Saya percepat langkah agar cepat sampai di jalan yang lebih datar. Akhirnya kami berhasil keluar dari hutan dan tiba di ladang penduduk. Jalan di ladang ini sedikit membingungkan. Kami pun tiba di ujung ladang dan mulai memasuki jalan setapak mendekati permukiman.
Sekitar pukul 15.00 WIB kami sudah tiba di pinggir jalan raya Dieng. Kami menunggu bus regular dari Dieng menuju Gardu Pandang. Kali ini kami akan langsung menuju gardu pandang dan kemudian ke Terminal Wonosobo. Lumayan lama kami menunggu bus ¾ di pinggi jalan. Akhirnya bus yang kami tunggu datang juga. Bus sudah cukup penuh, tapi supir bus dan kernetnya tetap menyuruh kami naik. Hasilnya, kami hanya dapat tempat duduk seadanya. Malah, saya harus memangku satu teman saya karena tidak ada kursi lagi.
Tergencet, kaki keinjak, tas kesenggol, tangan dan kaki harus menahan badan jika melewati jalan berkelok seolah jadi siksaan terakhir untuk kaki yang sudah gemeteran semenjak di trek turun tadi. Teman-teman yang laki-laki bahkan lebih repot lagi. Sudah berdiri, harus pegangan ke besi bus, belum lagi harus menahan badan karena terdorong penumpang lain. Sesampainya di Gardu Pandang, kami langsung menuju bus ¾ yang menuju arah Wonosobo.
Ternyata ada beberapa teman-teman Wonosobo yang masih ada di Gardu Pandang. Merekalah yang mengarahkan kami menuju bus yang akan segera berangkat ke Terminal Wonosobo. Kalau tidak, kami harus menunggu bus ngetem sampai penumpangnya penuh, dan baung waktu pastinya. Kondisi di bus menuju Terminal Wobosobo tidak kalah sempitnya. Malahan, teman-teman kami yang laki-laki amsih harus berdiri dan pegangan ke besi bus. Sementara kami bertiga, masih sempat mendapatkan tempat duduk meskipun sempit hingga Terminal Wonosobo.
Setiba di Terminal Wonosobo, sekitar jam 17.00 WIB, tiga teman kami memutuskan untuk ikut bus ke Bandung. Menghindari terkena macet parah di Pantura lagi. Karena masih ada waktu, saya dan beberapa teman memutuskan untuk mandi dulu di Terminal Wonosobo. Penjaga toilet sampai kaget melihat saya. Dikirinya saya masih nunggu teman saya di terminal. Mungkin mas-masnya berniat untuk ngerekrut saya jadi pegawai penjaga toilet terminal gara-gara Sabtu kemarin seharian bolak-balik ke toilet.
Jam 18.30 WIB bus terakhir menuju Bandung siap berangkat. Setelah memilih tempat duduk yang cukup nyaman. Akhirnya saya bisa tidur juga setelah dari Sabtu malam belum tidur lagi. Perjalanan cukup lancar, bahkan sekitar pukul 07.00 WIB tiga teman kami sudah turun di Cileunyi mengejar bus ke Jakarta. Selesai sudah pendakian Gunung Prahu. Meskipun gagal ikut gathering Mei kemarin, tapi ‘balas dendam’ saya tidak sia-sia. Cuaca cerah, pemandangan yang sangat indah, teman seperjalanan yang asik, dan cerita-cerita lainnya. Terimakasih untuk semua teman-teman dalam cerita perjalanan Pendakian Gunung Prahu kali ini.