Situ Sangiang secara administratif berada di Desa Sangiang, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat dan berada pada koordinat -6.941097, 108.341314. Keberadaan Situ Sangiang tidak terlepas dari sejarah kerajaan-kerajaan Hindu Budha dan Islam pada zaman dahulu. Kemunculan Situ Sangiang masih erat kaitannya dengan Kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi, bahkan masih ada beberapa trasdisi dan kepercayaan yang dilaksanakan oleh masyrakat di sekitar Situ Sangiang, bahakan hingga ke Kecamatan Talaga. Terlepas dari sejarah dan mitos-mitos seputar Situ Sangiang, saat ini, Situ Sangiang merupakan salah satu objek wisata unggulan dari Kabupaten Majalengka selain TN Gunung Ceremai. Status Situ Sangiang yang sudah menjadi objek wisata unggulan dari Kabupaten Majalengka memberikan dampak terhadap kemudahan akses. Aksesibilitas dan kondisi di sekitar Situ Sangiang sudah dapat dikatakan cukup baik. Untuk menuju Situ Sangiang, terdapat dua rute utama yang dapat ditempuh, yaitu dari arah Utara dan arah Selatan. Dari arah Utara, patokannya adalah Kota Majalengka, sedangkan dari arah Selatan, Kecamatan Talaga dapat dijadikan sebagai patokan. Angkutan umum hanya sampai setengah perjalanan, sampai Cihaur, Banjaran (dapat menggunakan elf/microbus jurusan Kadipaten – Cikijing / Bandung – Cikijing atau medium Bus jurusan Cikarang – Bantarujeg) dari arah Kota Majalengka. Dari Gapura selamat datang menuju Situ Sangiang dapat menggunakan ojek atau disarankan untuk menggunakan kendaraan pribadi. Berikut adalah uraian singkat mengenai rute menuju Situ Sangiang.
MAJALENGKA – SITU SANGIANG
Bila datang dari arah Utara (Jakarta, Cikampek, Subang, dan sekitarnya) maka pertama kali ambil rute menuju Kota Majalengka. Setibanya di Kota Majalengka, ikuti terus jalan utama (Jalan Raya Majalengka – Rajagaluh) hingga ke persimpangan Cigasong pada koordinat -6.836162, 108.250259 kemudian ambil ke kanan menuju Kecamatan Talaga. Ikuti terus jalan utama hingga tiba di patokan berikutnya, yaitu Kecamatan Maja. Setelah Alun-alun Kecamatan Maja, ikuti jalan utama ke Kecamatan Talaga sebagai patokan. Kondisi jalan dari Kota Majalengka hingga Kecamatan Maja cukup baik. Jalan dari Kota Majalengka menuju Kecamatan Talaga merupakan jalan utama sehingga lalu lintasnya cukup ramai, baik oleh kendaraan pribadi, ELF, maupun bus antar kota pada pagi hingga sore hari. Setelah Kecamatan Maja, ikuti terus jalan utama menuju Kecamatan Talaga, dan berhenti tepat di koordinat -6.947809, 108.307237. Koordiat tersebut merupakan persimpangan menuju Desa Sangiang yang ditandai dengan adanya pangkalan ojek di sisi kanan jalan. Sebenarnya ada gapura penanda objek wisata Situ Sangiang, hanya saja tidak akan terlihat jika datang dari arah Kota Majalengka. Setelah belok kiri tepat di pertigaan, kondisi jalan akan lebih kecil dan mulai menanjak. Kondisi jalannya sudah cukup baik. Sebelum tahun 2014, kondisi jalan menuju Situ Sangiang tidak terlalu baik, terutama di sekitar Desa Sangiang karena sering banjir. Ikti terus jalan kecil tersebut karena tidak akan ditemukan patokan apapun menuju Situ Sangiang. Bila ragu, bisa menanyakan arah menuju Situ Sangiang kepada penduduk sekitar. Pintu masuk menuju Wana Wisata Situ Sangiang kurang lebih berada pada koordinat -6.945026, 108.338841. Jarak padda pembacaan peta melalui jalur ini adalah sejauh 22,5 Km dengan waktu tempuh sesuai pembacaan peta adalah sekitar 34 menit dan waktu tempuh terlama sesuai pembacaan peta adalah sekitar 38 menit.
TALAGA – SITU SANGIANG
Jalur ini merupakan jalur utama bila datang dari arah Selatan, seperti Kecamatan Cikijing, Kecamatan Bantarujeg, bahkan jika datang dari sekitar Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut (jalurnya dapat melalui Wado atau melalui Cipasung). Ambil jalur utama menuju Kecamatan Maja. Kondisi jalan cukup baik dan lalu lintasnya cukup ramai, baik oleh kendaraan pribadi maupun kendaraan umum. Tepat pada koordinat -6.947809, 108.307237 tepat di sebelah kanan jalan akan ditemui gapura menuju objek wisata Situ Sangiang. Selain itu, di sisi kiri jalan akan ditemui pangkalan ojek. Ambil kanan dan ikuti terus jalan utama hingga tiba pada koordinat -6.945026, 108.338841 yang sekaligus menjadi pintu masuk menuju objek wisata Situ Sangiang. Jarak padda pembacaan peta melalui jalur ini adalah sejauh 11,1 Km dengan waktu tempuh tercepat sesuai pembacaan peta adalah sekitar 19 menit dan waktu tempuh terlama sesuai pembacaan peta adalah sekitar 20 menit.
MALANGBONG –TALAGA – SITU SANGIANG
Jalur ini merupakan jalur utama dari arah Selatan (Garut, Malangbong, Limbangan, dan sekitarnya). Ambil jalan menuju Wado melalui Jalan Raya Wado – Cilengkrang pada persimpangan di koordinat -7.060686, 108.086889. Lalu lintas di jalan ini cukup ramai dari pagi hingga sore hari. Pada malam hari, lalu lintas akan sangat sepi. Sepanjang jalur ini belum semuanya dilengkapi oleh lampu penerangan jalan, sehingga tidak dianjurkan untuk melintas di sini pada malam hari. Kabut yang cukup tebal pun sering turun, terutama pada area di sekitar kaki Gunung Cakrabuana. Ikuti jalan utama hingga tiba di Wado, dan belok kiri ke arah Terminal Wado pada koordinat -6.945195, 108.092624. Ikuti jalan utama yang sekaligus merupakan jalan utama menuju Kecamatan Talaga dari Wado melalui Kecamatan Lemahsugih dan Kecamatan Bantarujeg.
Kondisi jalan dari selepas Terminal Wado, akan cukup buruk. Tanjakan, turunan panjang serta tikungan tajam akan menjadi medan dominan yang harus dilalui. Kondisi jalan sebelum memasuki Kecamatan Bantarujeg dan Kecamatan Talaga akan cukup buruk. Bila musim hujan, akan turun kabut di beberapa area di sepanjang Kecamatan Lemahsugih hingga Kecamatan Bantarujeg. Lalu lintas di jalur ini hanya akan ramai pada siang hari, itupun hanya ramai oleh ELF dan sepeda motor. Sore hari menjelang malam akan kembali sepi. Bila sudah malam, tidak dianjurkan untuk melewati jalur ini karena cukup sepi dan masih banyak area berupa perkebunan yang jauh dari permukiman yang akan dilewati di jalur ini. Setiba di Kecamatan Talaga, ikuti jalan utama menuju Kecamatan Maja. Kondisi jalan cukup baik dan lalu lintasnya cukup ramai, baik oleh kendaraan pribadi maupun kendaraan umum. Tepat pada koordinat -6.947809, 108.307237 tepat di sebelah kanan jalan akan ditemui gapura menuju objek wisata Situ Sangiang. Selain itu, di sisi kiri jalan akan ditemui pangkalan ojek. Ambil kanan dan ikuti terus jalan utama hingga tiba pada koordinat -6.945026, 108.338841 yang sekaligus menjadi pintu masuk menuju objek wisata Situ Sangiang. Jarak padda pembacaan peta melalui jalur ini adalah sejauh 58,1 Km dengan waktu tempuh sesuai pembacaan peta adalah sekitar 1 jam 41 menit.
Situ Sangiang terletak pada ketinggian 600 – 800 m atas muka laut. Ketinggian tanah terendah berada didesa Banjaran dan tertinggi di desa Sangiang. Bentuk permukaan tanah umumnya beragam, namun secara umum adalah relatif datar dengan kemiringan lahan sampai dengan 10%. Lahan-lahan demikian umumnya dipergunakan untuk areal pesawahaan dan perairan. Area di sekitar Situ Sangiang termasuk ke dalam tipe iklim C. Jenis tanah di sekitar area Situ Sangiang terdiri dari dua jenis, yaitu Asosiasi Andosol dan Asosiasi Podsolik. Mayoritas sebaran Podsolik berada pada area sawah dan perairan. Kedua tekstur jenis tanah tersebut halus sampai dengan sedang dengan top soil antara 50-150 cm dengan tingkat kesesuaian S3-S2 untuk pertanian. Ketinggian air tanah di sekitar Situ Sangiang berkisar antara 2-20 m di bawah permukaan tanah dengan sifat pengaliran tidak stabil. Sumur artesis yang digunakan penduduk untuk memperoleh air bersih berkisar pada kedalaman 5-15 m dengan pH 6,5. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa air permukaan dan air tanah di sekitar Situ Sangiang dapat dipergunakan untuk kepentingan pengembangan pertanian, perikanan, dan kegiatan lainnya.
Tumbuhan yang berada di area Wana Wisata Situ Sangiang merupakan hutan campuran dengan tumbuhan jenis mahoni dan kayu manis ditemukan juga jenis-jenis lain diantaranya alang-alang, rumput teki, gewar, rotan, saliara, kirinyuh, pohpohan, tepus, kiara, manglid, suren, benda, kemiri, pasang dan lain-lain. Sedangkna jenis fauna diantaranya ular sanca, ular sawah, burung kutilang, bincarung, cangkakak, kera, lutung, bai. Daya tarik lainnya selain berbagai flora dan fauna, terdapat pula makam Sunan Parung, area untuk berkemah, lintas alam, dan bersampan. Situ Sangiang merupakan salah satu objek wisata alam yang berada di Majalengka yang mengandalkan sumber mata air tanah dan curah hujan sebagai sumber air utamanya. Situ Sangiang memiliki luas total mencapai 26,4 hektar. Area Situ Sangiang juga termasuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ceremai.
Situ Sangiang merupakan objek wisata alam dan tempat ziarah. Banyak para pendatang yang berkunjung kesini dengan tujuan untuk berziarah. Untuk masuk ke lokasi situ terdapat beberapa gerbang. Di tiap pintu gerbang, ada kotak amal yang bisa diisi suka rela oleh pengunjung. Biasanya diperuntukkan bagi para juru kunci. Di sebelah kiri jalan setapak menuju situ, terdapat makam leluhur terdahulu seperti Makam Sunan Parung dengan seorang juru kunci. Terkait dengan adanya kegiatan ziarah ke makam salah seorang tokoh dari kerajaan Islam pada zaman dahulu kala, menjadikan adanya serangkaian kegiatan yang biasa dilakukan oleh pengunjung dengan arahan kuncen. Para peziarah yang datang ke makam Sunan Parung, setelah berziarah, akan dilanjutkan dengan kegiatan mandi di Situ Sangiang. Adapun tata cara mandi di Situ Sangiang seperti memakai kain putih, batas mandi dalamnya hanya sepinggang, dan pelaksanaan kebersihan oleh tujuh kuncen setiap satu minggu sekali pada hari Senin yang disebut “nyapu”. Semua kuncen melaksanakan tugasnya mulai masuk jalan keramat sampai dipertigaan tiga orang melaksanakan kebersihan ke Makam Keramat berikut didalam keramatnya, sedangkan yang empat orang melaksanakan kebersihan jalan yang menuju Situ Sangiang.
SITU SANGIANG DAN SEJARAH KERAJAAN PAJAJARAN DAN KERAJAAN ISLAM
Penulisan Sangiang pada ‘Situ Sangiang’ sekilas mirip dengan penyebutan Sang Hyang dalam ‘Sang Hyang Widi’ yang erat kaitannya dengan agama Hindu. Penamaan Situ Sangiang berasal dari suatu peristiwa sejarah yang mengakibatkan menghilangnya Kerajaan Talaga Manggung berikut salah satu raja (Raden Panglurah) dan seluruh pengikutnya yang menjadi dasar penamaan danau ini. Sangiang dalam ‘Situ Sangiang’ merupakan penyingkatan dari “Ngahiang” yang berarti ‘menghilang’. Jadi, penulisan nama yang benar adalah ‘Situ Sangiang’ bukan ‘Situ Sanghyang’ yang asal katanya dari Sang Hyang Widi seperti pada penamaan Situ Sanghyang di Desa Cibalanarik, Kabupaten Tasikmalaya dan Sanghyang Taraje pada penamaan air terjun di Kabupaten Garut.
Situ Sangiang memang tidak dapat terlepas dari peranan kerajaan Hindu terbesar sata itu, Kerajaan Pajajaran. Kali ini, tokoh yang memegang peranan penting yaitu Putri Ambet Kasih yang merupakan salah satu putri Prabu Siliwangi dengan Ratu Inten Kedaton. Putri Ambet Kasih kemudian menikah dengan seorang sakti dari Malaka yang bernama Angkalarang. Setelah menikah, Angkalarang dan Putri Ambet Kasih diberi wilayah kekuasaan di daerah yang bernama Sindangkasih. Setelah menikah, Ratu Ambet Kasih dan Angkalarang memiliki tiga orang anak, yaitu Pucuk Umum, Ratu Manah Dewa, dan sunan Guntur. Pucuk Umum kemudian dititpkan untuk dididik oleh Prabu Siliwangi seperti janji Angkalarang. Pucuk Umum (cucu Prabu Siliwangi) inilah yang kemudian menjadi Raja di Talaga dengan gelar Talaga Manggung Pucuk Umum. Wilayah Kerajaan Talaga ini berada di bawah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Prabu Talaga Manggung Pucuk Umum punya dua orang senapati yang juga putranya. Mereka bernama Aria Salingsingan dan Raden Panglurah. Kedua kakak bradik tersebut merupakan senapati andalan kerajaan Talaga.
Singkat cerita, Aria Salingsingan dan Raden Panglurah inilah yang secara langsung menjadi inti cerita terjadinya Situ Sangiang. Aria Salingsingan pada akhirnya memeluk agama Islam setelah kalah berhadapan dengan Sunan Gunungjati. Sunan Gunungjati akhirnya mengutus Sunan Parung untuk membantu mengislamkan rakyat Talaga. Prabu Pucuk Umum yang kokoh memeluk agama Sanghyang pada akhirnya memilih untuk Ngahiang (menghilang) beserta pengikut setianya ke Ujungkulon, sedangkan Raden Panglurah saat itu sedang mencari ilmu ke Gunung Bitung. Akhirnya Kerajaan Talaga berada di bawah kekuasaan Aria Salingsingan yang beragam Islam. Hal ini berpengaruh terhadap kehidupan sosial dan agama rakyat Kerajaan Talaga. Dalam waktu singkat, atas bantuan Sunan Parung, kuil-kuil tempat pemujaan telah berganti menjadi Masjid, Surau lengkap dengan saluran air untuk keperluan beribadah. Tentu saja hal ini membuat Raden Panglurah yang kembali ke Talaga marah sekaligus terkejut. Setelah bertikai dengan Aria Salingsingan, demi mencegah pertempuran dengan saudara kandungnya, dan setelah berunding untuk terakhir kalinya dengan adiknya, Aria Salingsingan, Prabu Panglurah yang amat sakti kemudian bertanya pada pengikutnya apakah akan tinggal di Talaga atau pindah ke alam gaib bersama dirinya.
Keputusan Prabu Panglurah sekaligus hasil perundingan dengan Aria Salingsingan akhirnya menemui sebuah kesepakatan. Prabu Panglurah meminta ijin untuk pindah ke alam gaib bersama pengikutnya beserta bekas Keraton Talaga yang kini sudah sepi karena hampir semua penduduknya memeluk Agama Islam. Singkat cerita, dengan disaksikan Aria Salingsingan dan juga Sunan Parung, dalam sekejap Istana Talaga lenyap. Hal berikutnya adalah dari bekas Kerajaan Talaga kini memancar air dan akhirnya menjadi sebuah danau yang luas. Prabu Panglurah beserta pengikutnya berubah wujud (fisiknya) menjadi berbagai jenis ikan tetapi jiwanya telah pindah ke alam gaib. Adapun jenis ikan yang merupakan jelmaan dari pengkut Raden Panglurah adalah Ikan Lele, Ikan Mas, Ikan Mujaer, dan sebangsanya, sedangkan Raden Panglurah menjelma menjadi Ikan Lele berukuran sebesar bayi manusia. Sebelum binatang tersebut masuk kedalam situ, terdengar suara Raden Panglurah yang kedengaran oleh kakaknya, juga penduduk Talaga. Kemudian mereka berbondong-bondong menuju ke situ ciptaan Raden Panglurah. Bukan main terkejut dan kagumnya penduduk Talaga mengetahui keajaiban tersebut.
Adapun pesan Raden Panglurah kepada Aria Salingsingan dan seluruh penduduk Talaga yang menyaksikan kejadian ini adalah “Walau kami kini telah berubah menjadi ikan, kalian harus tetap menghormati kami layaknya seperti kepada manusia. Jika salah satu dari kami mati, kalian harus menguburkannya seperti manusia, sebab asal kami manusia. Anak cucu di kemudian hari dilarang keras untuk makan ikan dari situ ini. Jika mereka tetap memakannya, akibatnya akan fatal. Mereka akan mati sebab pada hakekatnya kami ini manusia seperti kalian. Dan rupanya tempat kami yang tepat sekarang adalah situ. Kakang Salingsingan, maafkanlah semua kesalahanku. Selamat berpisah, Kakang. Juga rakyat Talaga.” Bahkan, Aria Salingsingan pun memberikan pesan kepada rakyat Talaga “Kalian telah mendengar pesan adikku, Raden Panglurah sebelum ia masuk ke dalam situ. Mulai saat ini peliharalah situ ini sebaik mungkin. Jika kebetulan kalian mendapatkan ikan yang mati, kuburkanlah seperti manusia layaknya, sebab ikan itu masih saudara kita. Pesan ini sampaikan pula kepada generasi penerus agar iangan memakan ikan yang hidup di situ ini. Jika ada yang berani mengambil ikannya, aku tidak bertanggung jawab akan akibatnya.” Atas nasihat Sunan Parung kepada Aria Salingsingan, maka danau ciptaan Raden Panglurah ini harus segera diberi nama, agar amanat dari Raden Panglurah dapat diteruskan secara turun temurun. Kutipan berikut menjelaskan mengapa penulisan danau ini adalah Sangiang bukan Sanghyang
“Situ… ya…. Situ. Situ bukan terjadi begitu saja. Situ ini sebaiknya kuberi nama talaga. Di situ itu ayah dan adikku menghilang atau ngahiang. Bagaimana seandainya kuberi nama sangiang. Ya, Situ Sangiang. Sesuai dengan ngahiangnya mereka. Bukan Situ Sanghiang, tetapi Situ Sangiang sebagai peringatan kepada adik dan ayahku beserta abdi setia yang berjumlah 41 orang itu,”
Keesokan harinya Aria Salingsingan mengumumkan kepada penduduk Talaga, bahwa situ tersebut diberi nama Situ Sangiang. Penduduk setempat menyambut gembira nama itu. Mereka pun berjanji akan mengindahkan pesan Raden Panglurah agar menguburkan bangkai ikan yang mati dengan layak. Kalau perlu mereka akan menguburkan setelah terlebih dahulu membungkusnya dengan kain kafan seperti layaknya jenazah manusia. Untuk hal itu Aria Salingsingan tidak menyuruh ataupun mencegah. Yang jelas harus dihormati, namun jangan sampai menimbulkan mudarat.
SITU SANGIANG dan MAKAM SUNAN PARUNG SAAT INI
Sejak saat itu sampai sekarang, danau ciptaan Raden Panglurah tersebut dinamakan Situ Sangiang yang letaknya di Kampung Wates, Desa Sangiang, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Majalengka. Banyak keanehan di Situ Sangiang. Antara lain, sampai sekarang tidak pernah ditemukan selembar daun pun yang mengapung di atas situ walau sekelilingnya dipenuhi pepohonan yang telah berumur ratusan tahun, ini merupakan bukti bahwa situ tersebut ada yang menjaga serta memelihara, yang tak lain adalah Raden Panglurah beserta abdi setianya. Sesekali orang bisa melihat kehadiran ikan lele jelmaan Raden Panglurah yang besarnya sebesar bayi. Namun itu jarang terjadi, kecuali kepada mereka yang kebetulan bernasib baik saja. Namun biasanya orang yang sempat melihat ikan Lele tersebut akan terus berlari menghindar karena takut terkena musibah. Mereka percaya sampai sekarang kemungkinan besar Raden Panglurah masih menyimpan dendam kepada penduduk Talaga. Seiring dengan itu, agama Islam berkembang dengan pesat di Talaga dan sekitarnya. Kini hampir dari setiap rumah terdengar suara orang yang sedang mengaji, dan ada pula yang sedang berzikir mengagungkan asma Allah SWT.
Setelah sekian lama menyebarkan Islam kepada penduduk setempat, Sunan Parung pun wafat dengan tenang. Makamnya tidak jauh dari tepi Situ Sangiang, dan dikeramatkan sampai sekarang. Di hari-hari tertentu para peziarah berdatangan mengharapkan berkahnya, terutama dari Cirebon. Lokasi makan Sunan Parung agak tinggi dari tepi situ, sehingga kita harus manaiki tangga sejumlah 128 buah. Suasana di dalam makan wali tersebut sangat sakral dan mencekam. Tidak heran jika juru kunci melarang para peziarah untuk bermalam di dalam makam Sunan Parung. Juru kunci tidak bertanggung jawab jika ada peziarah yang memaksa tidur di makam. Alasannya para peziarah belum tentu tahan menghadapi godaan sebab biasanya godaan akan datang dari dalam Situ Sangiang. Godaan itu bisa berbentuk ikan besar, ular, dan sebangsanya yang menakutkan. Di dalam hutan sekitar situ sangiang terdapat pula tujuh buah pohon angsana yang telah berusia ratusan tahun. Dari bawah pohon tersebut terpisah, tapi setelah agak ke atas, ketujuh pohon angsana itu menjadi satu sehingga tampaknya seperti sebuah pohon saja. Itu merupakan keajaiban yang tidak terdapat di tempat keramat lain. Ada beberapa versi tentang pohon angsana itu. Sebagian penduduk mengatakan, bahwa pohon tersebut berasal dari tongkat Sunan Parung. Sebagian lagi mempercayai bahwa pohon itu berasal dari senjata Prabu Talaga manggung Pucuk Umum. Dan sebagian lagi percaya bahwa pohon itu berasal dari tongkat Raden Panglurah yang ia bawa saat baru saja pulang bertapa dari Gunung Bitung. Selanjutnya ditancapkannya, dan berubah jadi tujuh buah pohon hingga sekarang. Tak jauh dari tempat itu, terdapat batu untuk menyembelih binatang sebagai Nazar mereka yang berhasil maksudnya. Namun banyak pula yang hanya berekreasi, sebab Situ Sangiang sekarang dijadikan objek pariwisata yang menarik.
SITU SANGIANG BERDASARKAN PAPARAN KELILMUAN
Situ Sangiang yang terletak 700 m atas muka laut terbentuk karena lidah lava yang mengantarkan air tanah, mengalir hingga cekungan yang saat ini menjadi Situ Sangiang. Cekungan yang terisi air tanah karena lidah lava ini merupakan salah satu Maar di kaki Gunung Ceremai, selain Setu Patok di Cirebon dan Setu Sedong di Kuningan. Maar merupakan bahasa dialek dari Jerman yang berarti genangan air atau danau. Menurut Sutikno Bronto (2010) menulis, maar adalah gunungapi yang memotong batuan dasar di bawah muka air tanah, dan membentuk kerucut berpenampang landai yang tersusun oleh rempah gunungapi berbutir halus hingga kasar, mempunyai diamter kawah yang bervariasi antara 100 – 3.000 m, yang terisi air membentuk danau. Sebagian besar Maar terbentuk oleh letusan hidroklastika, namun juga bisa berakhir dengan letusan magmatik, sehingga terbentuk kerucut sinder atau kubah lava. Jejak gunungapi Maar ini umumnya lebih berupa cekungan ketimbang kerucut seperti layaknya bentuk gunungapi yang biasa dikenal. Bisa dikatakan, bentuk gunungapi Maar ini berupa gunungapi kerdil karena kecilnya. Dasar gunungnya hanya 1/8 gunungapi komposit. Gunungapi ini termasuk ke dalam kelompok gunungapi monogenesis, yaitu gunungapi yang terbentuk oleh satu periode letusan karena energinya yang rendah dengan volume magma yang kecil, sehingga waktu hidupnya sangat singkat dan bentuk gunungnya menjadi kecil.
Sumber lainnya:
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/05/hukum_adat_indonesia.pdf
http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=958&lang=id
www.geomagz.com/artikel-geologi-populer/160-setu-patok-gunungapi-purba-di-selatan-cirebon/
www.denisugandi.com/tag/situ-sangiang-ikan/