SURVEY BAKSOS KAMPUNG SARIJADI


Kampung Sarijadi Via Rawa Getok – Cimaskara

Rute yang dilewati:

Bandung – Ciwidey – Rancabali – Perkebunan teh Rancabali – Perkebunan teh Sinumbra – Desa Indragiri – Desa Sukaati – Desa Cipelah – Desa Cisabuk – Desa Karangjaya (Kec. Pasirkuda, Kab. Cianjur) – Desa Girimukti – Desa Girijaya – Desa Cimaskara – Pamoyanan – Desa Kalapanunggal – Kp. Bayondah – Desa Cisaranten – Kampung Sarijadi.

SABTU 9 APRIL 2016

Setelah ditunda selama dua minggu, akhir pekan kali ini kami putuskan untuk survey ke Kampung Sarijadi. Sayangnya, hanya tiga orang (termasuk teman kami yang memang rumahnya di Kp. Sarijadi). Perjalanan kami mulai pukul 05.00 WIB. Perjalanan ke Ciwidey cukup lancar, sekitar pukul 06.00 WIB kami sudah tiba di pertigaan Cipelah untuk menunggu satu teman lagi. Sambil sarapan nasi kuning yang kami beli di alun-alun Ciwidey yang rasanya enak banget, sambil istirahat dan sambil menunggu teman. Tidak lama, teman kami datang. Setelah persiapan kembali, kami memulai lagi perjalanan sekitar pukul 07.00 WIB.

Jujur saja, jalur ini adalah salah satu jalur yang masih saya hindari, apalagi kalau bawa motor sendiri seperti sekarang ini. Turunan panjang setelah PLN Cipelah dan tepat setelah SD Cisabuk merupakan mimpi buruk bagi saya. Kondisi jalan dari pabrik teh Sinumbra hingga memasuki Desa Cipelah masih jelek. Aspal mengelupas dan lubang menjadi suguhan awal bagi kami. Sampailah kami di turunan panjang tepat setelah PLN Cipelah. Turunan panjang tanpa ampun yang 30%nya masih berupa batu menjadi ujian pertama bagi saya. Nampaknya pagi ini saya kurang beruntung, tepat di turunan panjang yang berbatu ada mobil pick up penjual kelontong tepat di depan kami. Fokus, jaga jarak, abaikan turunan panjang, dan ikutin petunjuk teman saya untuk ambil jalur yang mudah biar ga nyungsep masuk ke bak pick up.

Turunan berhasil kami lalui, dan saya pun lolos di turunan pertama. Mobil pick up pun menepi. Berikutnya tanjakan berbatu cukup panjang. Biasanya, jika boncengan, saya selalu treking disini karena motornya ga kuat. Kali ini saya yang bawa motor, jadi mau tidak mau harus bisa lewatin tanjakan ini. Dan, berhasil, lancar. Berikutnya perjalanan kami masih bertemu tanjakan dan turunan batu yang tidak terlalu parah. Sampilah kami di turunan yang paling susah di jalur ini. Turunan yang hanya 1x selama bolak-balik dari 2012 sampai 2016 sekarang saya berhasil ga turun dari motor ketika boncengan. Sayang, mental saya masih belum cukup kuat, ditambah, beberapa motor sudah mengantri di belakang saya. Ya sudahlah, di jokiin aja, daripada ngehambat perjalanan dan kalau kenapa-kenapa ga lucu juga kan, baru juga dimulai udah kehambat.

Turunan berikutnya yang lumayan susah, tapi ga sesusah yang ini, saya pun lolos. Akhirnya kami meluncur melewati perbatasan Kabupaten Bandung dengan Kabupaten Cianjur yang pagi ini tampak beberapa warga sedang memugar tugu perbatasan. Curug Citambur kami lewati, karena perjalanan kami masih panjang, dan tidak tahu medan seperti apa yang akan kami hadapi nanti. Kami pun berbelok keluar dari jalur utama sekitar 200 m dari pintu gerbang Curug Citambur. Pertigaan ini ditandai dengan adanya kolam kecil di kiri jalan, ambil jalan ke kiri.

Jalan yang kami lalui kini sekelas Jalan Desa, jadi, sudah tidak terlalu berharap lagi akan ketemu aspal mulus seperti di jalan utama tadi. Benar saja, jalan aspal yang mengelupas berganti dengan jalan batu disusul dengan medan turunan yang harus kami lewati. Turunan berikutnya cukup panjang, menikung, dan batuannya lepas. Inilah turunan menuju Jembatan Kuning. Kami tiba di Jembatan Kuning sekitar pukul 08.45 WIB (2 jam perjalanan dari pertigaan Cipelah). Kami istirahat sebentar sambil berfoto disini. Menurut teman saya, jika perjalanan kami lancar, setidaknya tepat tengah hari nanti kami sudah tiba di Kampung Sarijadi. Kami melanjutkan perjalanan sekitar jam 09.15 WIB.

Kali ini medan yang banyak kami temui adalah tanjakan. Batu? Sudah tidak diragukan lagi. Untungnya batu sepanjang jalan dari Jembatan Kuning sampai di sebuah sekolah di Kecamatan Pasirkuda stabil. Tidak terlalu menonjol, tidak terlalu besar, dan tidak lepas-lepas ketika dilewati. Sampai di sebuah sekolah di Kecamatan Pasirkuda sampai ke pertigaan Desa Girijaya, medan jalannya masih batu tapi cukup mudah. Di pertigaan Desa Girijaya yang ditandai sebuah gedung serbaguna, jalan yang harus kami ambil adalah yang ke arah kiri. Dari sini, jalan kembali memasuki hutan rasamala. Kali ini medan jalannya lumayan sulit. Beberapa tanjakan dan turuan batu berpadu manis dengan tanah merah basah akibat guyuran hujan semalam yang belum kering karena tidak ada sinar matahari. Sebenarnya, spot jalur yang sekarang kami lalui ini sedikit menyenangkan. Kami berada di tengah-tengah hutan rasamala yang sejuk, bahkan di beberapa titik ada saung dan kursi dari bambu untuk istirahat, tapi kami lewatkan karena tujuan kami masih jauh.

Menjelang keluar dari hutan rasamala, tampak tanjakan dengan aspal mulus didepan kami. Harta karun! Ternyata begitu tanjakannya habis, aspalnya pun habis. Aspal abunawas! Jalankembali berbatu, kali ini lebih banyak medan yang datar. Tidak lama, medan kembali bervariasi, kali ini batunya jauh lebih licin. Selain ada tanah merah yang masih basah, ada juga lumut dan rumput-rumput liar yang tumbuh subur di antara celah-celah batu. Enjoy! Sampai saat ini, kami masih sempat behenti untuk sekedar difoto di spot atau di jalan yang cukup ekstrim. Akhirnya lama kelamaan, malas juga banyak-banyak berhenti, apalagi jalan sedikit demi sedikit mulai makin sulit dan kondisi fisik juga sudah tidak se-full ketika di Jembatan Kuning. Kampung demi kampung, desa demi desa kami lewati. Jalur ini memang tidak akan pernah putus dari kampung dan desa, meskipun di beberapa spot ada jarak antar kampung yang berjauhan. Jadi, tidak akan terlalu kesulitan jika membutuhkan sesuatu atau sekedar beristirahat.

Tanjakan panjang batu yang licin, turunan panjang berikut menikung batu yang ga kalah licinnya, jalan lumpur, sampai beberapa kali kena portal warga yang sedang benerin jalan jadi cerita kami di jalur ini. Beberapa kali kami melewati semacam toko kelontong dan bengkel yang cukup besar dan lengkap sepanjang perjalanan ini. Sedikit aman pikir saya. Kondisi jalannya pun bervariasi, tidak hanya batu licin saja. Terkadang jika masuk ke pusat desa atau kampung yang sedikit besar, jalannya pun akan sedikit membaik, bahkan ada jalan yang berupa coran yang sudah rusak ketika melintas di area perkebunan.. Di jalur ini setidaknya ada 2-3 pertigaan besar yang tidak ada petunjuknya. Sebaiknya, jika sampai di persimpangan-persimpangan tersebut, jangan ragu bertanya arah menuju Desa Cisaranten. Kalau sampai salah jalan atau malah dapat jalan yang memutar dijamin bakal habis tenaga sebelum sampai di Desa Cisaranten.

Akhirnya kami keluar dari Kecamatan Pasirkuda, kami tiba di persimpangan yang sudah masuk ke daerah Desa Cimaskara. Persimpangan yang juga pertemuan antara Kecamatan Pasirkuda, Desa Cimaskara Kecamatan Cibinong, dan Kecamatan Tanggeung. Patokan paling jelas adalah SD Cimaskara. Setelah SD Cimaskara akan ada persimpangan. Sebenarnya jalan yang kanan dan yang kiri sama-sama bisa ke Desa Cisaranten, tapi kami memilih jalur yang ke arah kanan. Jalan yang lebih kecil tetapi lebih bagus dibandingkan jalan utamanya. Sebelumnya, kami istirahat di warung tepat di pertigaan. Ternyata dari Kp. Rawa Getok sampai di Desa Cimaskara kami hanya memerlukan waktu 1 jam. Menurut teman saya, waktu 1 jam ini terhitung yang sangat cepat dan biasanya ini adalah waktu rata-rata yang diperlukan warga setempat. Oke, ujian berikutnya masih lolos.

Setelah ini, kami akan masuk ke jalan kecil yang nantinya akan tembus di Desa Kalapanunggal, sedangkan jalan utama pernah dilalui oleh teman-teman kami setahun yang lalu nampak tidak rekomen. Medan jalan berikutnya berupa turunan panjang dengan kondisi yang lumayan jika dibandingkan dengan kondisi jalan dari Kp. Rawa Getok sampai Desa Cimaskara. Kalau tidak salah, nama daerah yang sedang kami lalui ini adalah Pamoyanan. Medan turunan kemudian datar. Di sisi kiri kami sekarang adalah jurang yang sangat sangat dalam, dan di sisi kanan kami adalah tebing dan kebun warga. Di spot ini inilah pemandangan benar-benar menghibur.

Jurang dan perbukitan serta beberapa puncak gunung yang dialiri tiga buah air terjun berdampingan benar-benar menyegarkan mata. Air terjun yang terlihat jelas sedari jatuh dari puncaknya sampai menghilang di belakang jejeran bukit yang lebih rendah rasanya sayang jika tidak diabadikan. Sayang, spot dan lahan untuk mengabadikannya sulit dan kalau ada pun sempit plus di tikungan. Tidak aman. Jalan yang kami lalui saat ini bisa dibilang jauh lebih baik dibandingkan perjalanan 1 jam kebelakang. Jalan cukup lebar dengan kondisi aspal yang masih cukup bagus ditambah dengan pemandangan yang cukup keren.

Sayangnya perjalanan kami tidak seterusnya melewati jalan yang bagi saya pribadi yang paling bagus yang saya temui sepanjang perjalanan ini. Kami harus berbelok ke kiri, menuju sebuah turunan curam dan panjang dengan kondisi aspal yang lebih buruk. Belok dan langsung turunan panjang merupakan salah satu kelemahan saya. Akhirnya di titik ini pun kembali motor saya dijokiin teman saya. Ternyata belum berakhir sampai disana. Medan berikutnya yang harus kami lalui didominasi oleh turunan dan lebar jalan jauh lebih sempit dari jalan-jalan yang sudah kami lewati sebelumnya. Jujur, mental saya aga turun disini, ditambah lagi mata mulai terasa sedikit berat dan badan rasanya sudah berontak ingin berhenti. Saya lawan, karena perjalanan kami masih jauh dan saya sedikit tahu bagaimana kondisi jalan di Desa Cisaranten, jadi jelas, fisik harus dipersiapkan sebaik mungkin.

Satu turunan, dua turunan, tiga turunan saya lewati dengan tidak PD, dan akhirnya entah di turunan keberapa, yang saya takutkan selama ini kejadian juga. Mungkin karena ragu ambil jalur ditambah rem depan yang terlalu banyak dan jalan batu dicampur tanah merah yang belum sepenuhnya kering sukses membuat motor saya jatuh dan saya pun terbanting ke kiri. Untungnya, kaki kiri saya tidak tertimpa motor, hanya langsung sungkem sama batu, sama-sama sakit. Untuk sesaat, kaki kiri, terutama lutut benar-benar sakit dan susah digerakan, jadi ya sudah deh ngagoler dulu lah. Di kejauhan, saya bisa lihat Unay segera lari ke tempat saya dan ga berapa lama badan saya pun ditarik oleh Ujang. Yang mereka khawatirkan saya pingsan setelah jatuh, padahal, kaki emang ga bisa digerakin jadi ya sudah nunggu ada yang bantu bangunin atau setidaknya sampai kaki kiri bisa digerakin lagi sedikit.

Rasa sakit dan ngilu di kaki kiri untungnya, sebentar saja sudah hilang sedikit demi sedikit. Kondisi motor ga sebegitu beruntung. Spakboard depan patah, step depan bengkok, spion kiri pun bengkok, ditambah saya lihat ada pecahan kaca yagn ternyata kaca lampu depan sedikit pecah di bagian kiri. Untungnya stang tidak terlalu miring, tapi memang sedikiiit miring. Ya sudahlah, yang penting stang, mesin, dan bagian-bagian lainnya yang penting masih dalam kondisi baik. Kami pun istirahat sebentar untuk ngilangin kaget dan mempersiapkan kembali mental. Sayangnya, susah juga balikin mental setelah down gara-gara jatuh di tempat dan dalam keadaan yang paling ditakuti. Setelah ini banyak turunan yang akhirnya dijokiin sama Unay dan Ujang, sementara saya jalan kaki. Jelas, dengan kondisi kaya gini tenaga makin terkuras dan waktu makin terbuang.

Benar saja setelah beberapa turunan, saya mulai kehabisan tenaga. Rasa ngantuk yang sedari tadi ditahan kini sudah mulai berubah menjadi rasa pusing, ditambah terik sinar matahari dan kondisi fisik yang makin kelelahan. Beberapa kali duduk untuk minum dan sekedar berteduh, tidak terasa sudah hampir Adzan Dzuhur, artinya waktu kami sudah banyak sekali terbuang. Akhirnya, pada satu titik, kami dihadapkan dengan turunan yang lebih panjang dari sebelumnya, jelas, saya pun jalan kaki. Cukup jauh saya berjalan kaki kali ini. Turunannya sebenarnya tidak terlalu curam, batunya pun sudah mengering karena areanya terbuka, hanya memang panjang. Akhirnya, setelah berjalan kaki dan kepanasan, saya lihat motor saya sudah diparkir tepat di samping saung di tengah sawah, sementara dua teman saya tidak terlihat dimana posisinya. Tanpa pikir panjang, saya pun langsung istirahat di saung kecil tadi. Angin sepoi-sepoi serta suara tiga air terjun besar di kejauhan menjadi semacam obat untuk memejamkan mata. Matahari kali ini cukup terik, jadi tenaga lebih cepat terkuras.

Sekitar 15 menit saya memejamkan mata sejenak, tiba-tiba terdengar seruan dari teman saya untuk mengajak segera bersiap jalan lagi. Rasanya berat untuk mulai lagi, apalagi saya tahu saya harus bawa sendiri motornya karena perjalanan kami masih jauh, ga mungkin terus-terusan dijokiin teman saya. Di turunan ini, kami boncengan karena motor dua teman saya sudah sampai di akhir turunan. Lumayan menghemat waktu dan tenaga. Setibanya di ujung turunan, ternyata kondisi jalan masih sama saja. Batu-batu yang cukup besar masih jadi kondisi jalan yang harus kami lalui, hanya saja kali ini medannya datar. Saya pun mencoba bawa motor lagi. Sayangnya, fisik saya kali ini sudah kewalahan. Tangan rasanya berat, bahkan hanya untuk membelokan stang motor. Saya lawan, dan akhirnya sudah mulai bisa mengendalikan motor di jalan batu dicampur lumpur sawah ini. Jalannya makin menyempit dan sebagian besar jalannya masih tertutup lumpur sawah yang setengah basah. Sinar matahari seterik ini pun masih belum cukup membuat lumpur di spot ini kering total.

Meskipun jalan datar, beberapa kali saya harus berhenti karena tangan dari bahu sampai ke telapak rasanya mati rasa. Setiap melepas tangan dari kemudi, langsung gemetar, mirip orang tremor. Jalan yang kami lewati akhirnya tiba di pinggir aliran sungai yang cukup besar (Sungai Cisadea). Unay bilang, itulah jembatan bambu yang pernah ia ceritakan sebagai salah satu medan yang harus kami lalui di jalur ini. Jembatan bambu yang hanya cukup untuk satu buah sepeda motor dan sepenuhnya terbuat dari bambu di atas aliran Ci Sadea yang sedang deras-derasnya siap menyambut kami. Berhubung tenaga saya udah abis, akhirnya kami istirahat sejenak di warung kecil tepat sebelum jalannya berbelok ke arah jembatan.

Segera saya menuju kamar mandi yang hanya terbuat dari bilik seadanya dan untuk pintu hanya dihalangin karung goni yang nampak ga ada gunanya. Posisi bilik ini lebih tinggi dari jalan dan tepat di samping jalan, ditambah karung goni yang kebeneran sobek di bagian paling bawahnya. Lengkap sudah. Sebenernya ke kamar mandi karena mual ga ketahan, tapi ya klo kondisi toliletnya kaya gini, mau muntah pun susah. Akhirnya hanya batuk-batuk ga bisa muntah. Sambil istirahat dan ngemil untuk nambah tenaga, kami ngobrol ringan dan akhirnya keputusan paling tak terduga datang dari saya. Akhirnya mayday untuk minta tolong dijokiin atau dijemput di satu titik ke warga Kp. Sarijadi. Yah, akhirnya saya harus nyerah juga demi kelancaran perjalanan kami yang kata Unay masih jauh dan medan yang masih bervariasi.

Unay dan Ujang pun sempet heran kenapa bisa saya jatuh di tempat tadi, padahal medan dari Kp. Rawa Getok sampai Cimaskara jauh lebih susah daripada jalur Pamoyanan – Kalapanunggal. Mungkin karena udah jatoh, mental down, jadi jalan yang menurut Unay dan Ujang biasa-biasa aja menurut saya jadi medan yang bener-bener susah, apalagi kalau ketemu turunan. Yah, lumayan obrolan ringan dan celetukan yang bisa bikin ketawa ngebantu ngusir ngantuk dan cape selama perjalanan barusan. Akhirnya, kami akan dijemput oleh dua orang saudara Unay di Kampung Bayondah, masih sekitar satu bukit lagi.

Setelah terasa sedikit lebih segar, kami pun jalan lagi. Kali ini motor saya dibawa Unay sampai ke seberang jembatan untuk menghemat tenaga. Setelah jembatan, medan yang kami lewati lebih banyak tanjakan. Yah, lumayan deh seengganya bisa lebih cepet kalau tanjakan. Ketika lagi asik nanjak, tiba-tiba ketemu lagi turunan. Sebenernya sih turunannya gampang, terlebih batu-batunya pun udah kering, tapi sayang, kali ini ban motor nyangkut pas di tengah-tengah turunan dan kalau salah sedikit bisa kejadian jatoh ngeguling lagi kaya tadi. Akhirnya di jokiin lagi ama Ujang. Setelah ini, perjalanan lancar jaya, meskipun kondisi batunya makin lama makin ganas. Kalau sedari tadi batunya masih ukuran kecil, sedang, dan besar tapi rata meskipun di tanjakan, kali ini batunya batu koral yang besar, banyak menonjol, ga begitu rata ditambah tanjakan super panjang. Lumayan harus ngegas dan kalau boncengan, udah pasti saya harus turun buat treking.

Lagi asik-asik nanjak, tiba-tiba di depan kami ada truk yang berusaha mundur di tanjakan untuk naikin muatan. Jujur, saya yang emang jarang liat kegiatan kaya gini cuman bisa nganga dan kaget sendiri pas truknya maju lagi gara-gara gagal nanjak mundur. Bagian ban kiri udah ngangkat-ngangkat, udah takut aja ini truk teguling atau remnya blong. Kalau tiba-tiba remnya blong, habislah kami. Akhirnya truk berhasil memposisikan diri, kami pun bisa lewat. Lagi-lagi ban motor saya nyangkut di batu koral pas di samping truk. Kalau maksa dan terlalu buru-buru bisa-bisa saya malah nabrak bagian samping truk dan repotnya lagi kalau jatuh, makin susah. Dengan sedikit bantuan dorong dari warga dan Ujang, akhirnya motor pun kembali naik. Untuk ukuran batu koral yang lebih gede dari kepalan tangan saya, tanjakan di jalur ini lumayan nguras tenaga juga. Akhir tanjakan dilengkapi dengan tikungan dan di depan kami kali ini jalan mulai bercabang. Di sinilah kami berhenti menunggu saudara Unay untuk menjemput, ya inilah Kampung Bayondah.

Berhubung perjalanan masih jauh dan saya beser, akhirnya sambil beli persediaan air yang udah habis, sekalian mampir ke kamar mandi. Obrolan standar dengan ibu penjaga warung dan ibu-ibu lainnya pun terjadi. Seperti biasa, ditanya mau kemana dan dari mana. Berkali-kali ibu ini bilang bisaan juga kami (saya dan Ujang) yang dianggep ‘orang kota’ bawa motor sendiri sejauh ini menuju Desa Cisaranten yang masih entah dimana rimbanya. Setelah bayar dan selesai ngobrol, tidak lupa bilang terimakasih karena sudah ikut ke kamar mandi, saya pun pamit, tapi anehnya, Ujang yang jaraknya ga terlalu jauh di belakang saya ga ada. Padahal, saudaranya Unay udah nyampe.

Unay pun malah nanya ke saya posisi terakhir Ujang. Seingat saya, Ujang masih ada bantuin ban motor saya yang nyangkut di samping truk. Dapet info dari warga yang lewat katanya Ujang balik lagi. Udah mikir kalau Hpnya ketinggalan di warung, atau ada yang jatoh, soalnya ga mungkin tiba-tiba balik arah dan ngilang. Ga berapa lama, Ujang pun dateng dan ternyata emang bener ada barang bawaannya jatoh, sayangnya begitu disusur lagi, barangnya udah ilang. Formasi perjalanan dari Kampung Bayondah sampai ke Kp. Sarijadi ini sedikit berubah. Kali ini saya jadi boncengers. Saya ama Unay boncengan pake motor saya, adiknya Unay bawa motor Unay, dan Ujang tetep sendiri. Jalan kami berikutnya langsung disuguhin turunan panjang tanpa ampun dan curam sampi ke dasar bukit. Jalannya makin sempit dan kembali bertemu dengan batu yang ditengah-tengahnya banyak tumbuh rumput liar. Udah paling bener deh kayanya saya kali ini dibonceng bair hemat tenaga dan waktu.

Setelah turunan panjang, datanglah tanjakan panjang. Yah, kalau udah boncengan gini, sudah dapat dipastikan saya pun turun. Lumayan cape juga. Di ujung tanjakan sudah ada saudaranya Unay dan Unay, sementara Ujang dan adiknya Unay masih belum keliatan. Kami pun terusin jalan yang masih nanjak. Nanjak, nanjak, dan nanjak, tapi kali ini kondisi jalannya makin bervariasi. Mulai dari batu yang diselipin rumput, batu pake tanah merah basah, dan batu sekaligus jalur air. Jalur ini jalur yang sama yang dilewatin temen-temen MBI tahun lalu dalam kegiatan pembangunan MCK di Kp. Sarijadi. Sambil lewat, sambil denger cerita Unay tentang keseruan teman-teman MBI taun lalu lewat jalur sini, bikin lupa medan kaya apa yang sedang kami lewatin saat ini. Ujung tanjakan panjang di jalur yang kami lalui ini lagi-lagi pertigaan. Di pertigaan kali ini, jalan yang harus kami ambil adalah yang ke kiri. Jika tadi di Pamoyanan kami terus ikutin jalur aspal dan ga belok ke jalan kecil lokasi saya jatoh tadi, tembusnya dari jalan di kanan kami, ternyata kondisi jalannya ga jauh beda, masih batu-batu juga, ditambah, jaraknya jadi lebih jauh karena memutar jauh.

Sambil menunggu Ujang dan adiknya Unay, kami bertiga istirahat di pertigaan ini. Sudah jam 14.00 WIB, dan kami sudah meleset dua jam dari perkiraan waktu awal. Lumayan lama, Ujang akhirnya muncul. Saya dan Ujang udah mulai kecapean, beberapa bagian motor Ujang pun mulai ada yang harus diperhatiin, motor kami pun sudah pasti panas banget, tapi apa boleh buat, tujuan kami masih jauh. Kami melaju lagi, medan yang harus kami lewati masih menanjak terus dan kondisinya tidak jauh berbeda dari tanjakan sebelumnya, hanya saja tidak ada jalan batu sekaligus jalur air. Akhirnya kami masuk Desa Cisaranten. Ini pertama kalinya saya lewat Desa Cisarantennya, karena perjalanan saya dulu ke Kampung Sarijadu melewati jalur yang berbeda dan tidak sampai melewati Desa Cisaranten.

Sedikit lega karena sudah masuk Desa Cisaranten. Kondisi jalan dan medan jalan pun tidak se’ganas’ sebelumnya. Hanya tanjakan ringan dan batu-batu yang lebih bersahabat sampai ke titik terakhir menuju Kampung Sarijadi. Jalur yang kami lewati dari Desa Cisaranten menuju Kampung Sarijadi yaitu melewati lokasi awal Kampung Sarijadi sebelum terjadi longsor akhir Desember 2013 lalu. Tanah lapang yang sangat luas dan bekas longsoran yang tidak berubah menjadi gerbang masuk menuju Kampung Sarijadi. Menurut Unay, dulu, rumah-rumah warga Kp. Sarijadi yang sekarang lokasinya ya di tanah kosong ini, bahkan lahan sawah dan kebun garapan warga pun tidak jauh dari tanah lapang ini. Setelah longsor dan dievakuasi, kini warga Kp. Sarijadi jika ingin ke ladang dan ke sawah harus menempuh jarak yang cukup jauh dengan kondisi medan yang sulit.

Beruntung bagi kami, hari ini tidak turun hujan, bahkan matahari sore yang cukup terik menjadi teman kami melewati tanjakan panjang tanah merah ini. Ya, kondisi jalan yang akan kami lewati kali ini adalah tanah merah yang hanya satu jalur saja yang tidak gembur, selebihnya tanah merah gembur dan langsung di pinggir jurang dan di sisi tebing yang masih sangat rawan longsor. Tidak ada lagi batu-batu atau semen rusak, hanya murni tanah merah. Tanjakan panjang tanah merah berhasil kami lewati dan akhirnya kami pun sampai di lokasi tujuan kami sekitar pukul 15.30 WIB, di Kampung Sarijadi, Desa Cisaranten, Kecamatan Cikadu, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Pak RT, orangtua Unay, dan beberapa warga sedang beraktivitas di luar rumah. Senang rasanya bisa sampai dan berkunjung lagi ke sini dengan cerita yang berbeda dengan kunjungan saya sebelumnya yang juga tidak kalah seru.

Nasi putih panas, ayam goreng kampung, ikan, telur mata sapi, dan ga ketinggalan yang paling ditunggu, sambal buatan ibunya Unay menjadi obat lelah kami selama hampir satu hari ini. Sekitar 16.00 WIB, Ujang pamit karena ada acara yang ga bisa ditinggal. Sepulang Ujang, saya, Unay, Pak RT, dan satu warga yang sekaligus tahu benar tentang kayu dan sebagainya mulai ngobrol untuk kebutuhan awal kami. Sedikit bocoran, nanti malam akan ada pengajian di rumah Unay, jadi agar nanti malam saya bisa istirahat, untuk keperluan baksosnya kami mulai saja sore ini.

Hanya obrolan singkat mengenai kebutuhan awal apa saja yang harus dipenuhi agar kegiatan kami bisa berjalan. Permasalahan kayu menjadi kebutuhan prioritas. Kayu memang berlimpah, tapi jika tidak segera memasan, takutnya tidak kebagian dan harus menunggu, akibatnya kegiatan kami pun bisa jadi molor tanggalnya. Menurut warga disini, kebutuhan kayu paling utama untuk membuat tiang, papan penyangga di samping, di bawah, di atap, dan lainnya yang saya lupa apa istilah-istilahnya. Kebutuhan biaya untuk kayu pun menjadi hal yang cukup penting, karena warga disini cukup kesulitan dengan jumlah biaya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan kayu seperti perhitungan. Jika kebutuhan kayu dan biayanya sudah dapat dipenuhi, kegiatan pembangunan pun bisa segera dilakukan dengan tenaga kerja yang berasal dari warga Kp. Sarijadi sendiri secara gotong royong. Tidak terasa, matahari sudah mulai menghilang, sunset pun datang. Kesempatan ini tidak saya sia-siakan. Sunset di Kp. Sarijadi ini dinikmati dari atas perbukitan dan langsung menghadap ke Barat tanpa halangan kecuali jejeran perbukitan di arah Barat. Tidak ada jejeran gedung-gedung tinggi ataupun atap-atap perumahan yang menghalangi pemandangan kami dengan sunset di Barat sana. Meskipun tidak seindah sunset dari puncak gunung atau pinggir pantai, tapi menurut saya, sunset sore ini dari Kp. Sarijadi cukup indah. Bonus lainnya dari perjalanan cukup melelahkan kami hari ini untuk sebuah misi yang dititipkan oleh teman-teman lain di Bandung.

Selepas Solat Magrib, ada kegiatan pengajian di rumah Pak RT. Kali ini hanya anak-anak dari Kp. Sarijadi saja yang mengaji. Biasanya banyak anak-anak dari kampung lain yang ikut mengaji disini, malah sampai menginap karena kegiatan mengaji dilanjutkan lagi setelah Solat Subuh esok harinya. Setelah Solat Magrib, saya pun mendokumentasikan kegiatan mengaji yang ternyata hari ini tidak selama biasanya. Setelah Isya akan diadakan pengajian di rumah Unay. Pengajian di rumah Unay akan lebih banyak yang hadir, bahkan warga dari kampung sebelah, jadi pengajian hari ini di rumah Pak RT disambung dengan pengajian di rumah Unay. Saya yang memang sudah cukup lelah dan mengantuk, memutuskan untuk tidak ikut pengajian di rumah Unay. Sebaiknya saya tidur lebih awal untuk memulihkan tenaga untuk perjalanan pulang besok yang rencananya akan lewat Sumbul.

Sinyal di Kp. Sarijadi memang cukup tidak stabil tapi tetap tertangkap, jadi sesekali memeriksa hp ketika sinyal penuh sampai akhirnya mata sudah tidak kuat lagi. Pukul 20.00 WIB Bu RT dan dua anaknya yang sama-sama tidur di ruang tamu bersama saya sudah terlelap duluan, pengajian di rumah Unay belum selesai, saya pun memutuskan untuk tidur saja. Udara malam ini tidak sedingin udara malam pada awal Mei tahun lalu ketika kami hampir 22 orang lebih menginap di rumah Pak RT dan di rumah Unay dalam rangka kegiatan pembangunan MCK di Kp. Sarijadi. Rasanya sedikit kangen dan sedih kalau ingat suasana tahun lalu dan suasana kali ini. Tahun lalu, bahkan sampai jam 21.00 WIB pun masih terdengar oborlan dan suara tawa lepas kami di Kp. Sarijadi, kali ini hanya saya sendiri di rumah Pak RT ditemani suara TV dan suara binatang yang beberapa kali menabrakan diri ke papan di bagian depan rumah yang saya sendiri malas memikrikan binatang apa itu.

MINGGU 10 APRIL 2016

Pukul 05.00 WIB saya sudah terbangun dan ternyata Bu RT sudah bangun duluan. Segera setelah Solat Subuh, saya pun disuguhi kembali oleh Bu RT. Kali ini singkong goreng yang gurih serta masih ada sisa pisang goreng semalam yang rasanya enak dan pisangnya empuk. Tidak lupa segelas kopi susu untuk menghangatkan badan. Setelah selesai mengisi perut, mungkin sekitar pukul 05.30 WIB saya keluar, niatnya untuk melihat sunrise tapi terhalang bukit. Pemandangan lainnya pun segera menarik perhatian saya. Gunung Gede-Pangrango di kejauhan (setelah konfirmasi ke Pak RT) dengan warna langit yang cukup cantik saya abadikan seadanya. Ternyata Kp. Sarijadi sudah ramai. Baik orangtua maupun anak-anak sudah telrihat beraktivitas di luar.

Menurut Pak RT, paling siang, jam 06.00 WIB para orangtua di Kp. Sarijadi sudah pergi ke sawah dan ke kebun. Selepas Subuh, mereka sudah mandi, sarapan, dan mempersiapkan kebutuhan untuk dibawa ke sawah dan ke ladang, jadi saya termasuk yang paling siang tadi mengisi perut. Terlihat satu rumah sudah kosong karena penghuninya baru saja pergi ke sawah. Satu rumah lainnya masih berusaha membujuk anak mereka yang menangis karena ingin ikut ke sawah tapi nampaknya dilarang oleh orangtuanya. Anak ini akan dititipkan di rumah saudaranya di kampung lain seperti biasa selama orangtuanya pergi bekerja, namun kali ini, nampaknya si anak ingin ikut serta. Setelah semua usaha gagal, akhirnya sang anak berhasil juga mendapat ijin dari sang ibu untuk ikut ke sawah sementara ayahnya ke kebun. Kosonglah rumah kedua. Tak lama kemudian, beberapa ibu-ibu menghampiri rumah Pak RT dan mengobrol sebentar, setelah itu, mereka pun berjalan ke sawah.

Menurut warga, sawahnya cukup jauh, berada di bawah bukit. Sebenarnya, jika masih tinggal di lokasi Kp. Sarijadi sebelum terkena longsor, jarak dari tempat tinggal ke sawah tidak terlalu jauh dan medannya pun tidak sesulit sekarang. Dari lokasi Kp. Sarijadi yang sekarang (setelah relokasi) untuk menuju ke sawah harus menuruni bukit melewati jalan setapak dari tanah yang jika hujan akan berubah menjadi lumpur dan sangat licin hingga ke dasar bukit, barulah menyusuri pematang sawah. Perjalanan pulang, artinya mereka harus menempuh tanjakan hingga tiba di Kp. Sarijadi. Jika sedang memungkikan, para ibu ini bisa menebeng suami atau anak mereka menggunakan motor melewati jalan tanah merah yang kemarin kami lewati untuk tiba di Kp. Sarijadi.

Perbincangan selama sarapan dengan lauk buah Picung yang digoreng (baru pertama kali saya makan), telur mata sapi, dan sambal bersama Pak RT dan Bu RT memang tidak jauh-jauh dari keseharian warga di Kp. Sarijadi. Jika musim panen seperti sekarang ini biasanya para ibu akan kembali dari sawah menjelang sore, tapi jika tidak sedang musim panen, biasanya siang menjelang sore pun sudah kembali ke rumah, tapi para bapak-bapak biasanya tetap menjelang sore baru pada pulang. Anak-anak yang belum usia sekolah pun terkadang dibawa ke sawah dan menghabiskan waktunya di sawah, atau dititipkan di tempat saudaranya di kampung lain. Untuk yang usia sekolah, jika bersekolah di Cikadu, biasanya pagi-pagi sudah berangkat dan kembali lagi siang menjelang sore, tapi jika yang bersekolah di Ciwidey, umumnya baru akan kembali akhir pekan. Untuk sumber penerangan, hampir seluruh rumah di Kp. Sarijadi dan kampung lainnya menggunakan listrik yang berasal dari Tenaga Mikrohidro, tetapi jika musim kemarau dan debit sungai mengecil, tidak jarang seharian atau lebih rumah gelap gulita tanpa penerangan dan hanya memanfaatkan penerangan seadanya.

Khusus untuk Kp. Sarijadi, kabarnya PLN sudah masuk, bahkan kabel dan tiang listirk serta gardu pun sudah ada, tapi kenapa hampir semua warga di Kp. Sarijadi masih belum bisa menikmati listrik PLN?? Ternyata, untuk mendapatkan Kwh, warga diminta bayaran yang cukup mahal dari harga seharusnya, bahkan menurut teman saya, seharusnya tidak sampai segitu mahalnya. Kecurigaan kami adalah ada oknum yang sengaja memanfaatkan kondisi ini hanya untuk kepentingannya saja. Baik kami, maupun wara Kp. Sukajadi tidak tahu siapa oknum tersebut dan hanya bisa berusaha memperoleh hak sebagai warga negara untuk mendapatkan energi listrik tanpa ditambah pusing memikirkan oknum licik atau kesalahpahaman tak masuk akal apa yang sedang dimainkan.

Sekitar pukul 07.30 WIB, Unay dan adiknya akan ke kampung bawah untukk memasang rantai di ban belakang motor saya. Jadi juga akhirnya kami lewat Sumbul. Pukul 09,00 WIB kami pamit dan jalan pulang. Ga karuan rasanya harus ngulang jalur ini lagi, apalagi kali ini hanya bareng Unay dan adiknya, ditambah saya sendiri yang bawa motor, bukan dibonceng. Setelah warga pun oke kami lewat Sumbul, rencana untuk lewat Cikadu dan Jalur Belanda pun langsung dicoret, karena memang sebenarnya jalur Sumbul ini yang tercepat untuk sampai di Rancabali. Pertama-tama kami uji coba bagaimana rasanya ban belakang dipasangi rante di jalan depan rumah Unay sampai ke turunan panjang batu yang tembus di jalan utama Desa Cisaranten – Jalur Sumbul. Entah Kenapa setelah jatoh kemaren, kalau liat turunan rasanya ngeri, padahal tingkat susahya masih belum seberapa dibanding turunan yang di Cipelah.

Turunan dan jalan batu perlahan mulai menghilang begitu kami memasuki Kp. Kebon Muncang, ya, kampung terakhir sebelum kami masuk jalur Sumbul. Jalan tanah dengan medan yang realtif datar kami lewati, sampai akhirnya ada satu tanjakan tanah yang sukses bikin motor saya rebahan. Berhubung legokannya dalam, jadi motor hanya bersandar di dinding tanah merah, yah, maklum belum pengalaman di jalan tanah sekaligus tanjakan. Setelah kursus singkat ama Unay tentang milih jalur di trek kaya gini, kami pun jalan lagi. Rumah yang setaun lalu jadi tempat singgah kami karena terjebak di dalem Hutan Sumbul sudah kami lewati, artinya kami akan bertemu tanjakan selamat datang di Jalur Sumbul.

Tanjakan cukup panjang dengan jalur yang entah harus yang sebelah mana yang harus diambil serta tanah merah yang masih sedikit basah jadi tanjakan pertama kami. Tahun lalu, saya dan satu warga Desa Cisaranten berjalan kaki di jalur ini karena tidak memungkinkan untuk dibonceng, dan tepat ketika kami tiba di titik ini, kami istirahat sambil foto-foto karena jalannya unik. Jalur ini sebenarnya cukup lebar, malah lebih lebar dari jalan sepanjang Rawa Getok kemarin, hanya saja 90%nya berupa legokan sangat dalam, bahkan di bagian tengahnya banyak tonjolan kayu seperti bekas pohon yang ditebang. Intinya, pokonya jalur ini cukup ajaib untuk saya. Sebenarnya tanjakannya ga sesadis tanjakan-tanjakan di dalam Hutan Gunung Sumbul sana, tapi karena jalur yang bisa dilewati cukup sempit dan masih basah, jadi cukup membutuhkan bantuan lagi.

Setelah kursus singkat ke-2 tentang cara main gas dan rem di trek beginian, kami pun gas lagi. Sedikit demi sedikit, rasa percaya diri saya mulai muncul setelah berhasil lewatin tanjakan pertama. Jujur, sebelumnya, bener-bener ga PD dan ga yakin apa bisa lewatin jalur Sumbul apalagi cuaca bener-bener ga bisa diprediksi. Kami pun jalan lagi, kali ini kami bertemu genangan lumpur, karena di depan saya adiknya Unay sekaligus memilihkan jalur yang paling gampang untuk saya, jadi saya tinggal ngikutin dan dengerin instruksi Unay kapan harus nge gas dan kapan harus main rem, dan kapan juga harus turun dari motor kalau emang ga sanggup (ha ha).

Sejauh ini, kami sudah masuk lumayan jauh, tapi belum sampai setengahnya sih. Akhirnya saya pun bertemu tanjakan kedua. Sebenarnya sulit dan terjalnya sih masih standar, tapi taun lalu padukan itu sama lumpur dan batu yang berserakan, hasilnya satu motor makan banyak waktu. Kali ini untungnya saya lancar jaya lewatin tanjakan ini, malah di tengah-tengah tanjakan masih sempet berhenti untuk foto. Tanjakan, turunan, kubangan lumpur berhasil kami lewati dengan cukup mudah, berbeda sekali dengan setahun lalu, bahkan tanjakan ga seberapa pun makan waktu 1 jam untuk sekitar 4 motor. Hanya satu yang kami temukan kali ini yang sedikit berbeda dengan perjalan sebelumnya, pohon besar tumbang dan melintang menghalangi jalan kami. Untungnya lokasi pohon tumbang ini ada di jalan yang medannya datar. Setelah menyusun batu dan memotong sedikit ranting dan membuang bagian batang yang sudah benar-benar rapuh untuk jalur pulang adiknya Unay nanti, kami pun meneruskan perjalanan. Siapa kira melewati satu pohon tumbang saja cukup menguras tenaga kaya gini.

Akhirnya medan yang kami lewati jadi sedikit sulit, kali ini kami sampai di kubangan yang ga mungkin kering dalam waktu 3 hari. Kali ini saya serahkan motor saya pada Unay dan adiknya yang udah ahli disini. Untuk spot ini, jangankan motor, untuk jalan kaki saja susah, salah melangkah bisa-bisa berendem di kubangan lumpur. Akhirnya setelah beberapa menit (cukup lama dan menguras tenaga) tiga motor berhasil diseberangkan. Selagi kami beristirahat, terdengar suara mesin mobil di belakang kami. Mobil offroad!! Celaka pisan kalau jalur kami bekas dilewatin yg offroad, apalgi mobil. Untungnya HANYA tiga mobil, tapi tiga mobil juga lumayan bikin saya manyun. Ga pake dilewatin mobil atau motor offroad aja udah lumayan kerepotan, nah ini harus lewatin bekas mereka.

Akhirnya kami jalan lagi, kali ini kami bertemu satu kubangan lagi yang lumayan susah dan saya pun kembali menyerahkan motor saya untuk diseberangin ama Unay dan adiknya. Setelah kubangan ini kami mulai ketemu tanjakan-tanjakan yang susah. Mulai dari tanjakan panjang dan terjal ditambah lumpur, batu lepas, sampai beberapa kali stuck dan harus didorong. Akhirnya kami sampai di lokasi darurat camp kami di Hutan Gunung Sumbul tahun lalu, setidaknya sudah setengah perjalanan kami di jalur Sumbul ini. Semakin jauh ke dalam Hutan Gunung Sumbul, sinar matahari semakin berkurang teriknya, bahkan beberapa kali menghilang di balik kabut dan awan, padahal waktu hampir menunjukan pukul 12.00 WIB yang seharusnya matahari sedang terik-teriknya. Inilah yang bikin saya ingn cepat-cepat keluar dari jalur Sumbul. Bukannya tidak menikmati, tapi hanya masih sedikit khawatir kejadian taun lalu keulang lagi dan kali ini hanya ada kami bertiga.

Kami bertemu lagi rombongan mobil, kali ini mereka istirahat sambil benerin mobil yang sepertinya bermasalah. Kali ini kami papasan dengan warga dari arah Rancabali, ah akhirnya ada motor bebek juga selain kami. Lokasi berikutnya yang kami lewati adalah lokasi dimana kami memasang bivak darurat setahun lalu karena kondisi jalan yang makin sulit ditengah guyuran hujan super deras. Menurut Unay, tanjakan berat pertama sudah dekat, ya Tanjakan Mani’i. Tahun lalu, karena dari arah yang berlawanan, jadi kami melewatinya sebagai turunan panjang, curam, sangat licin, penuh batuan lepas. Itu pun harus oleh Unay diturunakan satu persatu motor kami. Kali ini saya coba untuk bawa sendiri motornya. Ya, meskipun di ¼ tanjakan motor mulai kehilangan tenaga. Untung, kursus singkat tentang gas dan rem di tenjakan seperti ini ga ikutan meluncur begitu saja dari otak. Akhirnya dengan bantuan kedua kaki untuk mendorong motor di tanjakan dan tentunya tenaga Unay yang mendorong motor, akhirnya motor berhasil sampai di ujung tanjakan tanpa saya harus nyerahin motornya. Yah, ga percaya juga saya bisa lewatin ini tanjakan meskipun ga 100% usaha sendiri, lumayan daripada motornya dikasiin dan saya trekking kaya taun lalu.

Berikutnya jalan datar dan masih bertemu dengan genangan lumpur, batu, tapi standar. Berikutnya adalah turunan yang ga curam, tapi panjang dan sempit, selain itu, jalur yang paling mudah untuk dilewati mepet di ujung jalan, jadi salah sedikit bsia-bisa nyungsep di semak-semak berduri. Sialnya lagi, disini kami bertemu rombongan mobil lain yang sedang istirahat, jadi kami harus sedikit pilih-pilih jalur. Di turunan ini, barulah tangan saya kerasa pegelnya. Cape karena seharian kemarin di atas motor, ditambah lagi harus bisa ngendaliin motor di turunan panjang penuh lumpur kaya gini. Sebenernya sih di beberapa titik, lumayan mudah dilewatin, tapi di titik lainnya, salah sedikit bisa-bisa motor ngegubrag lagi. Meskipun kali ini ga sesakit kalau ngegubrag di batu, tapi tetep aja nguras tenaga. Akhirnya turunan panjang berhasil dilewati, tapi tenaga abis, jadi sisa turunannya, saya serahkan motor saya ke Unay. Kami berdua akhirnya berhasil menyusul adiknya Unay yang sudah di depan, karena setelah ini kami akan berhadapan kembali dengan tanjakan berat lainnya. Karena tahu akan menghadapi tanjakan berat lainnya, kali ini kami pun benar-benar berhenti untuk istirahat.

Sudah tiga jam kami di jalur ini, padahal kalau warga yang melintas dengan kondisi jalan yang seperti sekarang, mungkin hanya butuh waktu dua jam hingga sampai di Pos Paskhas AU. Istirahat pun rasanya ga tenang, karena sinar matahari lagi-lagi menghilang, ditambah kali ini kabut sudah mulai turun. Posisi kami sudah lebih tinggi dibandikan posisi awal kami masuk jalur Sumbul. Jalan beberapa meter, langsung bertemu tanjakan, dan kali ini masih saya yang bawa dengan sedikit kesulitan tentunya. Selanjutnya turunan, datar, turunan, dan sampailah di tanjakan berat berikutnya. Kali ini sedari bawah, sudah saya berikan motornya pada Unay dan adiknya. Tenaga saya sudah mulai menipis, ditambah, baru sadar tidak ada perbekalan logistik (sebenernya ada, dan saya baru tahu pas udah sampe di pos Paskhas AU). Selesai tanjakan ini, kami jalan lagi, dan kali ini motor Unay jalan duluan, karena di depan kami, tanjakan berat berikutnya sudah menanti.

Selagi kami berhenti, kali ini kami papasan dengan motor trail yang baru turun, sebelumnya ketika sedang nanjak, tau-tau di depan kami ada mobil offroad yang baru mau turun, untung kami sempat terlihat, jadi mereka bisa berhenti dulu, ga kebayang kalau jarak papasannya mepet, repot urusannya. Sambil kumpulin tenaga, sambil nunggu Unay naikin motornya ke ujung tanjakan dan ternyata lama banget. Bener aja, tanjakan panjang dengan lumpur yang masih bener-bener basah dan batu yang udah lepas semua jadi medan utamanya. Saya jalan kaki duluan, karena tanjakannya lumayan panjang. Di ujung tanjakan, saya bisa liat Unay dan adiknya sedikit kewalahan untuk naikin dua motor, tenaga sudah mulai terkuras. Ini adalah tanjakan berat terakhir yang kami lewati, karena posisi kami sekarang sudah dekat dengan hutan rasamala, gerbang untuk keluar dari jalur Sumbul ini. Setiba di hutan Rasamala, ga lupa foto-foto lagi. Selama perjalanan di dalem Sumbul tadi sih boro-boro inget untuk foto-foto, yang ada hemat tenaga dan nyari jalur yang aman buat dilewatin. Akhirnya tanjakan terakhir, tanjakan Pos Paskhas AU.

Sebelum bener-bener keluar dari jalur Sumbul, kami istirahat dulu di pos Paskhas AU. Saya langsung duduk sambil ngumpulin tenaga lagi. Rasanya ga percaya bisa lewatin jalur Sumbul ini tanpa harus memakan waktu 2 hari 1 malem lagi, ga percaya saya bawa sendiri motornya meskipun di beberapa titik yang susah masih saya kasiin ke Unay dan adiknya. Beres Unay nyopotin rante dan masang lagi spakboard belakang dan adiknya Unay selesai makan, kami pun pamit. Adiknya Unay pulang lagi ke Kp. Sarijadi lewat Jalur Sumbul karena emang hanya nganter kami sampai di sini, saya dan Unay pun bersiap lagi keluar dari jalur ini dan siap bermacet-macetan di jalur Ciwidey – Bandung.

Perjalanan pulang kami dari Rancabali sampai Kawah Putih bisa dibilang lancar, tapi selepas Kawah Putih sampai ke SPBU pertama cukup penuh. Kami berhenti dulu di SPBU. Disini saya pisah dengan Unay, karena Unay mau mampir dulu di Ciwidey dan saya mutusin untuk cepet masuk Bandung sebelum terlalu sore. Perjalanan pulang sendiri sepanjang Ciwidey – Bandung sore ini terasa sangat lama. Sisa tenaga saya gunakan untuk perjalanan santai ke Bandung. Untungnnya jalanan belum mulai macet dan sinar matahari sore yang lumayan terik jadi teman sepanjang perjalanan pulang ke rumah. Akhirnya pukul 17.00 WIB selamat sampai di rumah dan pas sampai di rumah, pas hujan akhirnya turun, lumayan deras bahkan.

Misi survey kali ini selesai. Perjalan kali ini, bukan hanya informasi dari warga saja yang saya dapat kali ini, tapi juga beberapa pelajaran lainnya tentang sebuah perjalanan dengan sepeda motor yang baru pun saya dapatkan. Terimakasih banyak untuk warga Kp. Sarijadi yang lagi-lagi direpotin, terutama Ujang dan Unay yang udah banyak banget saya repotin sepanjang perjalanan. Ujang pun yang pulang duluan Sabtu, ternyata punya cerita sendiri tentang jalur Kp. Sarijadi – Cikadu – Sindangbarang yang ga mungkin dilupain.


About Dya Iganov

Penyuka traveling, tidak hanya mendaki gunung, tapi juga touring, rafting, explore, city tour, kemping ceria, susur pantai, dll