JUMAT, 10 JULI 2020
Sekitar lewat tengah malam sedikit, suasana kembali hening. Mungkin sekitar jam 01.00 WIB saya tertidur kembali tapi tidak lama. Sekitar pukul 02.00 WIB, karena udara yang semakin dingin saya pun beser. Rasanya malas sekali keluar dari selimut dan berjalan ke kamar mandi yang hanya beberapa langkah saja saking dinginnya. Tepat setelah niat terkumpul, baru juga membuka selimut, tiba-tiba lampu mati. Yak, mati listrik. Tidak ada penerangan dan otomatis sinyal wifi pun mati. Homestay sebelah sudah tidak ada suara. Bahkan di luar dan sekitaran homestay pun hanya ada suara kodok dan bunyi-bunyian tidak jelas (banyak anjing dan ayam di sekitar homestay).
Sedikit parno juga, sudah takut ada binatang masuk, sekarang listrik mati, takut ada orang jahat juga (lebay emang, terlalu overthinking, maklum, perempuan sendiri). Akhirnya saya pun menunda untuk ke kamar mandi. Sedari awal bersiap tidur, sebenarnya tingkat kewaspadaan tetap jalan, jadi meksipun badan sudah remuk dan mata sudah sangat berat, tetap tidak bisa tidur pulas. Ada suara sedikit langsung bangun. Bahkan mungkin tiga puluh menit sekali saya terbangun sebentar, lalu tertidur lagi.
Sekarang ditambah listik yang mati, tingkat kewaspadaan semakin meningkat. Rasa kantuk sudah hilang sepenuhnya, sekarang mata rasanya segar sekali. Ternyata, meskipun wifi mati, tapi saya tetap dapat sinyal, meskipun hanya 1-2 bar. Masih bisa WA dengan suami meskipun pesan terkirim dan pesan masuknya harus nunggu seabad. Semakin lama, mendekati pukul 02.30 WIB ngantuk tidak kunjung datang juga. Udara dingin semakin menusuk. Orkestra kodok masih terus nyaring di luar. Beser pun tak tertahankan. Tiba-tiba di homestay sebelah terdengar ada yang bangun dan ke kamar mandi. Saya pun memanggil-manggil Ujang, siapa tau Ujang yang bangun.
Tidak ada jawaban, saya pun keluar. Baru juga membuka pintu, udara dingin langsung menusuk. Suasana sekitar sangat sepi, tidak ada cahaya dan suara lain selain suara orkestra kodok. Homestay sebelah tetap sepi. Saya pun kembali masuk. Sekalian saja saya ke kamar mandi menuntaskan urusan beser. Setelah beres urusan dengan kamar mandi, terdengar suara di tempat motor kami terparkir. Motor kami diparkirkan diantara homestay kami. Suaranya seperti sesuatu/seseorang naik & duduk di jok motor, lalu turun lagi, lalu naik lagi. Begitu aja terus. Oke, kayanya ini ayam-ayam di sekitaran homestay (tetep positif).
Meskipun keadaan sekitar sepi, rumah penduduk lain juga jauh, semua orang sudah tidur, tidak ada listrik, tapi saya ga merasa merinding sedikitpun. Perasaan tetap tenang. Hanya waspada aja takut ada ular atau kodok terbang masuk atau anjing yang ikut tidur di teras. Saya pun ga ada kepikiran kalau suara-suara di motor adalah orang yang mencoba maling. Dengan santainya saya kembali ke tempat tidur, selimutan. Oh, ya malam ini terang bulan purnama, jadi meskipun listrik mati, tidak gelap total.
Ilalang di depan homestay, bahkan lapangan kosong di samping homestay saya pun masih sedikit terang ketika saya keluar sebentar tadi. Benar-benar kosong tidak ada binatang, apalagi orang. Saya pun berusaha untuk tidur, karena esok masih ada pekerjaan yang dilakukan. Sekitar pukul 03.00 WIB listrik kembali nyala dan saya pun terlelap kembali tidak lama setelahnya. Jam 04.30 WIB saya kembali bangun. Kali ini karena memang jam bangun saya jam segini, jadi udah otomatis. Ya sudah, karena sebentar lagi adzan Subuh, jadi mending siap-siap solat.
Tenryata, musola dekat banget sama homestay. Sura bedug benar-benar jelas. Akhirnya waktu pagi yang saya tunggu akan segera datang. Berhasil juga melewati satu malam yang rasanya campur aduk ini. Setelah Solat Subuh, saya memutuskan untuk mandi kemudian menyiapkan peralatan foto. Siapa tau dapat sunsrise. Jarang-jarang juga kan sudah ada di danau sebelum matahari terbit. Sekitar 05.30 WIB saya keluar untuk mengambil beberapa foto.
Tidak lama setelah saya mengambil beberapa foto dari atas teras homestay, saya pun bersiap ke arah kedai kopi. Pak Irwan yang kebetulan sudah bangun juga ikut ke kedai kopi, mau ngopi katanya. Sayangnya kedai kopinya masih tutup. Langit pagi ini bersih, tidak ada awan sama sekali, kabut pun tidak ada. Padahal tadinya saya pengen foto kabut pagi hari. Tidak lama Ujang pun bangun. Saya ikut Ujang mencari warung kopi yang sudah buka. Hanya satu warung kopi yang sudah buka, sedikit ke arah Barat. Itupun hanya ada gorengan yang masih sedikit dan kopi tentunya.
Sekembali dari warung kopi, Ujang kembali ke homestay karena Pak Abang dan Pak Irwan menitip kopi ke Ujang. Saya meneruskan mengambil foto area Situ Rawa Gede. Dimulai dari jembatan masuk di belakang kedai kopi, lalu berjalan menyusuri jembatan bambu. Namanya juga foto untuk dokumentasi pekerjaan, jadi cukup banyak yang harus didokumentasikan. Berbeda dengan ketika hanya sekedar main saja. Objek/moment yang menurut saya kurang menarik pun harus terdokumentasikan dengan baik bila berhubungan dengan tema pekerjaan.
Mungkin sekitar 30 menit saya mengambil beberapa foto di jembatan bambu, Pak Abang ikut bergabung. Matahari sudah mulai muncul. Sebagian area Situ Rawa Gede sudah mulai bisa untuk difoto. Sekitar pukul 07.00 WIB, saya, Ujang, Pak Abang, Pak Agus dan Pak Sekdes sudah tiba di area kolam renang di sisi lain Situ Rawa Gede. Are Situ Rawa Gede ini cukup kumplit untuk sebuah tujuan wisata. Terdapat kedai kopi, warung kopi yang berjejer cukup banyak, toilet cukup banyak, kolam renang, area kemping, taman, area parkir yang luas, serta akses menuju air terjun dan kebun kopi.
Kami istirahat sambi memesan sarapan. Pilihan kami jatuh pada nasi goreng. Rasa nasi gorengnya enak kalau kata saya. Rasanya hampir mirip dengan nasi goreng rumahan buatan almh. Uyut. Satu piring penuh habis saya lahap. Selain rasanya memang enak, saya memang lapar banget. Setelah sarapan, apalagi full carbo, otomatis mata menjadi berat. Badan yang sangat cape dari kemarin dan tidak mendapat istirahat yang cukup semalam pun ikut berkontribusi. Dengar-dengar, setelah ini, kami akan trekking ke Curug Cibeureum dan Curug Cidulang. Baiklah, saya putuskan untuk tidur sejenak di saung di pinggir Rawa Gede ini.
Saya pun dibangunkan karena sudah waktunya trekking. Mungkin hanya sekitar 15 menit saya mengistirahatkan mata dan badan. Saya pikir kami akan ke homestay dulu untuk mengambil keperluan trekking, ternyata langsung trekking dari saung. Saya yang hanya bawa kamera dan air putih kemasan rasanya tidak siap. Tadi pagi ketika mau ambil foto, saya asal saja pakai sepatu tidak pakai kaos kaki, tidak pakai buff, bahkan tas yang isinya dompet dan segala macemnya saya tinggal di kamar. Saya hanya bawa kamera dan hp saja.
Rasanya aneh trekking tanpa ‘kostum’ yang biasa saya pakai, tapi mau gimana lagi. Menuju Curug Cibeureum akan memakan waktu hampir satu jam trekking dengan medan yang terus memanjak. Baiklah, sekuatnya saja deh, karena dari kemarin dan semalam kurang sekali istirahat. Bahkan tidur yang nyenyak pun hanya 1-2 jam saja, Belum apa-apa kami sudah disuguhi tangga batu yang terus menanjak. Menurut Pak Sekdes, medan menuju air terjun akan terus seperti ini, menanjak terus. Baiklaaah.
Kami istirahat di sebuah tempat yang rencananya akan dijadikan tempat persinggahan untuk agrowisata menuju kebun kopi. Jalur menuju Curug Cibeureum dan Curug Cidulang ini sudah dibuka dan dibenahi oleh warga, jadi meskipun medannya menanjak terus, jalurnya sudah cukup nyaman untuk dilalui. Kami melanjutkan perjalanan kembali. Kali ini jalur trekking menanjak di sebelah kebun kopi binaan Bumdes dan warga. Kopi yang ditanam kebanyakan berjenis robusta. Dari sini rombongan terbagi dua. Saya dan Ujang berjalan di depan, lalu rombongan kedua yaitu Pak Abang, Pak Agus dan Pak Sekdes. Udara pagi itu cukup segar, meskipun matahari bersinar cukup terik.
Saya dan Ujang tiba di sebuah persimpangan kecil. Karena takut salah jalan, kami pun memutuskan untuk berhenti dan menunggu saja. Selang 10 menit, Pak Agus tiba. Akhirnya kami bertiga jalan barengan, biar kami tidak nyasar katanya. Sementara Pak Abang dan Pak Sekdes masih cukup jauh di bawah. Di tengah jalur trekking kami melihat ada tiga air terjun di bukit di seberang kami. Yang paling kanan dan masih ada airnya sedikit adalah Curug Cibeureum yang akan kami tuju. Di sebelah kirinya ada air terjun yang lebih kecil, tapi kering total. Itulah Curug Ciawitali. Di atas Curug Cibeureum, hampir di puncak bukit ada juga air terjun yang airnya cukup deras. Itulah Curug Cibeureum 1 yang juga merupakan tingkatan atas dari Curug Cibeureum.
Curug Cibeureum memiliki nama lain Curug Rawagede. Entah siapa yang memberi nama, tetapi nama Curug Rawagedelah yang lebih terkenal. Bahkan di Google Maps pun Curug Cibeureum diberi tag nama Curug Rawagede. Sebenarnya, untuk menuju Curug Cibeureum ini bisa juga dengan menggunakan kendaraan. Hanya saja, jalannya cukup jelek dan berada di kebun kopi. Berhubung airnya sudah mengecil, kami pun skip Curug Cibeureum. Nanti saja sesudah beres dari Curug Cidulang dan menggunakan motor saja. Tujuan kami pun berubah menjadi Curug Cidulang. Berbeda dengan Curug Cibeureum, Curug Cidulang airnya deras dan sangat jernih. Begitu kata Pak Agus. Ya sudah tujuan kami pun berubah menjadi hanya Curug Cidulang saja.
Jalan yang kami lalui berujung di sebuah pertigaan. Jika ke kanan, maka akan menuju Curug Cibeureum. Waktu tempuhnya masih sekitar 30 menit. Jika ke kiri, maka akan menuju Curug Cidulang. Jalur yang kami lewati saat ini merupakan jalur petani kopi untuk mengangkut kayu dan kopi dengan menggunakan motor. Kami tiba di puncakan bukit yang letaknya di sebelah bukit yang sebelumnya kami naiki. Jalur motor hanya sampai sini. Di sisi kiri jalan terdapat sebuah petilasan. Menurut Pak Agus, petilasan tersebut merupakan Makom/Petilasan Eyang Suryakencana, salah satu Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran. Kami tidak mampir dan tetap berjalan menuju Curug Cidulang.
Medan menanjak hanya sampai di sini. Sisanya kami berjalan di antara kebun kopi menyusuri punggungan bukit. Terdapat satu gazebo yang berfungsi sebagai warung ketika akhir pekan dan satu gardu pandang. Saat ini tidak ada yang jualan karena belum akhir pekan. Tidak lama kamipun sampai di area Curug Cidulang. Kami harus turun dulu sedikit untuk benar-benar sampai di depan Curug Cidulang. Terdapat gazebo cukup luas di sisi kanan air terjun. Terdapat meja untuk berjualan, tempat sampah yang pada saat itu sampahnya sudah sangat penuh sampai-sampai tumpah.
Kami tiba di Curug Cidulang dengan estimasi waktu sekitar 45 menit. Segera kami keluarkan kamera dan mengambil foto-foto di area Curug Cidulang. Air Curug Cidulang sangat jernih dan dingin. Volume jatuhannya masih cukup besar, berbeda dengan Curug Cibeureum dan Curug Ciawitali. Aliran Curug Cidulang ini membentuk air terjun kecil yang berada dekat tempat kami istirahat pertama. Sumber air untuk homestay pun diambil dari aliran curug kecil yang masih satu jalur sungai dengan Curug Cidulang. Oleh karena itu, kebersihan di sekiar Curug Cidulang harus sangat diperhatikan agar kualitas airnya tetap terjaga.
Saya pun tidak tahan untuk mencuci muka dan mencelupkan kaki. Segar sekali rasanya. Beruntungnya lagi, cipratan air masih terkena sinar matahari sehingga memunculkan pelangi. Posisi pelangi berada di bawah aliran jatuhan curug, tidak terlalu tinggi dari kolam air terjun. Curug Cidulang memiliki kolam air terjun yang lumayan luas. Semakin mendekati aliran jatuhan semakin dalam dan semakin jernih. Dinding air terjun Curug Cidulang membentuk Collumnar Joint. Bentuk Curug Cidulang merupakan air terjun tunggal. Artinya aliran jatuhannya hanya satu lintasan atau lebih dikenal dengan istilah Horsetail Waterfall. Bentuk air terjun yang akan banyak ditemui di hulu aliran sungai atau di puncak-puncak pegunungan.
Sekitar satu jam kami menghabiskan waktu di Curug Cidulang. Foto dan video sudah didapat, istirahat pun rasanya sudah cukup. Pak Abang dan Pak Sekdes tidak kunjung muncul, mungkin tidak jadi naik dan balik kanan. Pak Agus mengajak kami turun karena memang sudah hampir dekat waktunya Jumatan. Ketika kami akan mulai jalan, Pak Abang dan Pak Sekdes datang. Ternyata, meskipun jalan sangat pelan dan banyak sekali berhentinya, Pak Abang tetap lanjut menuju Curug Cidulang. Bahkan, sempat mampir dan mengambil sedikit foto Petilasan Eyang Suryakencana.
Kami pun menunda perjalanan kami. Kami menambah waktu sekitar 30 menit lagi di Curug Cidulang sebelum akhirnya benar-benar turun. Di perjalanan turun, kami mengambil foto gardu pandang dan gazebo warung. Perjalanan turun non stop karena memang medannya menurun terus. Kami baru berhenti lagi di tempat kami pertama istirahat ketika mulai trekking. Dari tempat ini, Situ Rawa Gede terlihat sangat jelas. Area Situ Rawa Gede sudah sangat ramai. Ada beberapa rombongan santri dengan menggunakan pick up. Saya dan Ujang turun duluan karena masih ada beberapa spot yang harus di foto di sekitar Rawa Gede.
Kami tiba di bawah bertepatan dengan bubarnya rombongan para santri, sehingga suasana kembali sepi. Meskipun tidak sesepi pagi, masih ada beberapa pengunjung dan pedagang. Kami pun kembali ke homestay untuk beres-beres. Berhubung saya sudah mandi sehabis solat Subuh tadi, saya berencana untuk tidur sambil menunggu para bapak-bapak Jumatan. Untungnya barang-barang yang saya tinggalkan di homestay masih aman. Sambil menunggu Jumatan, saya pun istirahat dan packing. Rencana saya dan Ujang hanya sampai hari ini, karena besoknya kami sudah ada keperluan masing-masing. Pak Abang dan Pak Irwan sepertinya masih akan menginap satu malam lagi.
Beres Jumatan, kami langsung disuguhi makan siang. Nasi liwet, ikan bakar, aneka sayur yang langka ada di kota, dan dua jenis sambal dihidangkan di homestay. Sambal kecap dan sambal merah. Rasanya benar-benar nikmat. Sehabis trekking langsung diisi nasi liwet. Cuaca pun berubah menjadi mendung dan angin bertiup sepoi-sepoi. Habis makan langsung bawaannya pengen tidur. Mata mulai berat. Selesai makan, kami koordinasikan rencana berikutnya. Berhubung saya dan Ujang akan pulang hari ini, jadi sebelum pulang ada beberapa tempat yang sebaiknya didatangi dulu untuk diambil fotonya. Kami bagi dua. Rumah pohon Curug Ciherang, kedai kopi Rawa Gede dan Curug Leuwi Lieuk bagian saya dan Ujang. Villa Khayangan dan budidaya kopi, serta beberapa lokasi sekitar Rawa Gede bagian Pak Abang, Pak Irwan beserta Pak Agus dkk.
Sekitar pukul 14.00 WIB saya dan Ujang pamit setelah beres mengambil dokumentasi Kedai Kopi Rawa Gede. Tujuan pertama kami adalah Rumah Pohon Curug Ciherang. Untungnya tidak perlu sampai ke curugnya, karena butuh waktu trekking lagi. Ternyata area Curug Ciherang ini sangat luas. Dari gerbang utama hingga ke start point trekking Curug Ciherang masih sangat jauh. Dekat gerbang utama terdapat wahana waterboom yang cukup besar. Setelah arena waterboom terdapat beberapa villa yang disewakan. Setelah area villa, sedikit naik lagi ke arah bukit, terdapat spot panorama yang cukup luas dan arena outbound. Setelah arena outbound, naik lagi ke atas bukit, barulah area pakrir menuju Curug Ciherang.
Dari area parkir pun masih harus berjalan kaki menaiki anak tangga ke atas bukit. Diantara area parkir dan start point trekking Curug Ciherang inilah terdapat arena Rumah Pohon, tujuan kami. Karena tujuan kami hanya rumah pohon dan waktu kami tidak banyak, kami bahkan tidak melepas jaket dan langsung naik. Memang fisik tidak dapat dibohongi, hanya naik tangga sedikit saja, nafas kami rasanya sudah habis dan badan rasanya tidak ada tenaga sama sekali. Dari area rumah pohon terhampar jelas Desa Sirnajaya di bawah sana. Pemandangannya sangat bagus sebenarnya. Area sawah, kebun, bahkan jalan desa terlihat sangat jelas. Sayang, waktu kami tidak banyak.
Kami hanya sebentar di rumah pohon. Setelah mendapatkan beberapa foto untuk dokumentasi yang layak, kami segera turun. Tujuan kami berikutnya Curug Leuwi Lieuk. Lokasinya cukup jauh dan kami belum kebayang jalurnya seperti apa dan mengarah ke mana. Oleh karena itu, kami tidak banyak membuang waktu. Kami meneruskan perjalanan ke arah kantor Desa Wargajaya lagi. Ternyata, medan menuju kantor Desa Wargajaya cukup curam. Turunan panjang ditambah tikungan cukup tajam dan jalan berlubang di sana-sini cukup memperlambat laju kendaraan.
Ditambah, baik arah turun maupun arah naik ramai mobil pribadi dan pick up yang membawa rombongan santri. Setau saya, memang beberapa pondok pesantren, atau malah sebagian besarnya mengambil hari Jumat sebagai hari liburnya, bukan hari Minggu. Hal ini mengacu pada hari libur di Arab Saudi sana. Hal yang sama dengan yang diadaptasi oleh Malaysia. Hari libur adalah Jumat, dan Minggu termasuk hari kerja. Jarak tempuh yang cukup jauh, jalan yang cukup padat, sinar matahari sore yang cukup terik, udara yang semakin ke bawah semakin gerah semakin sempurna menguras sisa tenaga saya. Sebisa mungkin jangan sampai kalah dengan ngantuk, karena harus tetap sek Gmaps hingga ke tujuan akhir kami, Curug Leuwi Lieuk.
Kami sempat berhenti lagi di kantor Desa Wargajaya untuk cek posisi dan ngetrek jalur yang harus dilewati. Ternyata, Curug Leuwi Lieuk yang disebut Pak Irwan berada satu lokasi dengan Curug Leuwi Hejo. Jalur yang ditunjukan Gmaps pun cocok dengan nama desa yang diinfokan oleh Pak Sekdes. Jadi, fix, tujuan kami kali ini mengarah ke Curug Leuwi Hejo. Curug Leuwi Hejo merupakan air terjun yang sangat hits di Bogor, tepatnya lebih dikenal dengan Curug Leuwi Hejo Sentul. Sedikit yang perlu diluruskan mengenai Curug Leuwi Hejo, lokasinya bukan di Sentul. Sentul hanya merupakan daerah pertama yang dilalui setelah keluar dari Tol Lingkar Luar Bogor.
Curug Leuwi Hejo terletak di perbatasan Desa Central Karang, Kecamatan Babakan Madang dengan Desa Cibadak, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor. Posisi Curug Leuwi Hejo cukup jauh dari daerah Sentul. Kami pun menyusuri jalan utama desa yang masih tetap ramai dan berdebu. Kami tiba di persimpangan di Pasar Sukamakmur. Kemarin, Pak Abang dan Pak Irwan bablas sampai pasar ini. Untungnya segera sadar karena hafal jalur berikutnya sudah jalur yang mengarah ke Jonggol dan arah Bogor. Lumayan jauh juga bablasnya.
Kami pun mengambil arah ke Babakan Madang di persimpangan ini. Jalur kembali menanjak. Kali ini lalu lintas lumayan lebih sepi, kondisi jalan pun lebih lebar dari sebelumnya. Sebelumnya saya sempat melihat penunjuk jalan menuju Kantor Desa Sirnajaya dan jalur menuju Situ Rawa Gede lewat Kebon Nanas. Jaraknya cukup jauh dari jalur yang kami lewati dari arah Puncak Dua. Kami sempat salah belok dua kali. Pertama salah belok, yang kedua kami memang diputerin ama Gmaps. Seharusnya kami bisa belok kiri di persimpangan, tapi oleh Gmaps diarahkan ke kanan dan memotong jalan lewat jalan setapak membelah kebun dan lewat pekarangan rumah orang. Jalur yang ujung-ujungnya tembus ke jalur terusan kalau kami belok kiri di persimpangan berikutnya.
Semakin lama, jalan semakin lebar dan semakin sepi. Tetap saja, kami tidak bisa tancap gas, karena lubang dan pasir berserakan di mana-mana. Akhirnya kami sampai di lokasi Leuwi Hejo. Leuwi Hejo merupakan area wisata yang lahannya cukup luas. Bukan hanya sekedar parkiran lalu jalur trekking dan sampai di Curug Leuwi Hejo. Leuwi Hejo hanya merupakan salah satu aliran air terjun kecil di sepanjang aliran sungai.
Dalam satu aliran sungai setidaknya hingga saat ini terdapat delapan air terjun. Dimulai dari yang paling hulu yaitu Curug Mariuk, Curug Hordeng, Curug Kembar, Curug Ciburial, Curug Cibaliung/Leuwi Baliung, Leuwi Cepet, Leuwi Lieuk, dan Leuwi Hejo. Terdapat juga Curug Cakrawardana yang dekat masih satu area namun berbeda aliran sungai. Hanya Leuwi Cepet, Leuwi Lieuk, Leuwi Hejo dan Curug Cakrawardana yang masih berdekatan dan memiliki satu akses masuk, kemudian Curug Hordeng dan Curug Kembar satu akses masuk. Sisanya memiliki pintu masuk masing-masing.
Kami tiba sekitar pukul 17.00 WIB kurang lebih. Sayangnya, menurut yang jaga, kalau tujuan kami Leuwi Lieuk sudah tidak akan sempat. Kami memutuskan untuk skip Leuwi Lieuk. Ada beberapa pertimbangan yang membuat kami balik kanan pulang saja. Pertama karena jaraknya lumayan jauh, harus trekking kurang lebih 30-40 menit dari Curug Leuwi Hejo. Kedua, jika nekat naik, ketika pulang sudah tidak ada yang jaga parkir, di atas maupun di bawah. Takutnya ada sesuatu hal yang tidak diinginkan.
Ketiga, biaya masuknya terbilang cukup mahal. Kami harus dua kali bayar. Pertama di pintu masuk di bawah, kedua di Leuwi Hejo harus bayar lagi kalau mau lanjut ke Leuwi Lieuk. Keempat, jalur pulang kami yang melalui jalur Cariu cukup sepi dan minim penerangan. Sebisa mungkin kami lewat jalur tersebut sebelum gelap. Kelima, tenaga kami berdua sudah benar-benar habis kalau harus trekking lagi. Setelah koordinasi dengan Pak Abang terkait kondisi Leuwi Lieuk, kami pun akhirnya balik kanan. Jalur yang kami lewati kembali ke arah Pasar Sukamakmur. Kami berhenti di Pasar Sukamakmur untuk beli minuman dan istirahat sejenak. Setelah ini kami akan nonstop entah sampai mana.
Dari Pasar Sukamakmur, kami kembali ke arah Desa Wargajaya, hanya saja, sebelum kantor Desa Wargajaya, kami akan bertemu persimpangan, dan di persimpangan ini kami mengambil jalur ke arah Timur. Setelah berbelok di persimpangan, lalu lintas menjadi sangat sepi. Hanya ada motor kami dan satu mobil yang mengarah ke Cariu. Di sepanjang jalur ini hanya terdapat kebun yang sangat luas. Masing-masing kebun sudah berpemilik. Terlihat dari papan nama di setiap kebun.
Setelah jalur kebun-kebun, jalur kami akan masuk permukiman, tapi tidak jauh. Setelah itu, jalur akan menuju ke Gunung Batu Jonggol. Jalur yang akan kami tempuh tepat di bawah Gunung Batu. Sayangnya kami tidak sempat mengabadikan kemegahan Gunng Batu yang disinari matahari sore dan langit biru. Kami masih harus melewati jalur sepi. Setelah Gunung Batu tidak terlihat lagi, jalan yang kami lewati kembali naik ke atas bukit. Kanan dan kiri jalan kembali kebun dan hutan serta jurang yang cukup dalam. Hanya ada motor kami yang melintas. Kalau terlambat sedikit, sudah dapat dipastikan kami melintas dalam keadaan sekeliling sudah gelap gulita. Sesekali kami berpapasan dengan pengendara motor.
Jalur hutan ini cukup panjang. Jalur hutan berakhir ketika jalan mulai menurun dan kembali bertemu dengan permukiman warga. Permukiman warga ini sudah berada di wilayah administrasi Desa Selawangi, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Bogor. Baik Kecamatan Sukamakmur dan Kecamatan Tanjungsari merupakan pemekaran daerah Cariu. Setelah beberapa km melewati jalur aspal mulus, kosong, dan berada di tengah permukiman, kami bertemu persimpangan besar. Persimpangan ini merupakan pertemuan dengan jalan raya utama Cikalongkulon – Tanjungsari (dahulu Cikalongkulon – Cariu).
Kami berbelok ke arah Selatan di persimpangan besar ini menuju Cikalongkulon. Jika kami mengambil arah Utara, maka kami akan tiba di pusat Kecamatan Jonggol. Lalu lintas di jalur ini cukup sepi. Dari arah Selatan cukup ramai truk tronton dan truk pengangkut batu – pasir. Kami berhenti untuk solat Magrib dulu di sekitaran Cikalongkulon. Awalnya kami akan mengambil jalur Cirata lalu tembus Cikalong Wetan karena pasti lebih sepi. Jaraknya memang menjadi lebih jauh dibanding jalur utama Cikalongkulon – Ciranjang. Setelah jalan dan dipikir-pikir lagi, jadinya jalur yang kami ambil yang menuju Sukaluyu -Ciranjang – Rajamandala. Mudah-mudahan tidak terlalu macet.
Kondisi jalan sudah jauh lebih baik dibandingkan terakhir melintas di jalur ini 2013 lalu, tetapi penerangan masih sama saja. Tidak ada lampu jalan di sepanjang jalur. Sampai Sukaluyu, perjalanan cukup lancar. Kami hanya butuh waktu kurang lebih satu jam saja. Selepas pertigaan Sukaluyu, tepatnya mendekati Pasar Ciranjang, barulah perjalanan kami tersendat. Antrian kendaaraan mengular hingga mendekati Jembatan Citarum.
Kami memutuskan untuk berhenti makan malam dulu sekalian istirahat. Pilihan kami hanya ada di Pasar Rajamandala. Kami pun memilih warung nasi padang. Selesai makan sekitar pukul 20.30 WIB, arus lalu lintas di sekitaran Pasar Rajamandala sudah mulai lancar. Kami pun bisa lebih cepat tiba di Citatah. Perjalanan Cipatat – Citatah – Situ Ciburuy cukup lancar. Kami hanya tersendat di beberapa titik karena truk yang tidak kuat menanjak. Untungnya di jalur Cipatat – Citatah sedang tidak terlalu banyak truk dan bus yang melintas, jadi kami masih bisa jalan sedikit cepat. Memasuki Cimareme hingga Cimahi pun arus lalu lintas lancar. Pukul 22.00 WIB kami sudah tiba kembali di rumah.