Setelah ngobrol sama suami, akhirnya motoran kali ini kami putuskan untuk mengunjungi dua danau ini September nanti. Awalnya, kami rencana pergi Selasa 14 September 2021, tapi berhubung rasanya kelamaan, akhirnya kami majukan jadi Selasa 7 September 2021 saja. Ga tau kenapa, Senin malamnya berasa malas untuk pergi-pergi. Akhirnya, kami kembali ke rencana awal saja.
Selasa 14 September 2021, saya sudah bangun jam 03.00 WIB, sesuai rencana awal. Entah kenapa, tiba-tiba rasanya malas lagi, akhirnya, saya bilang ke suami untuk pending dulu sampai Kamis. Benar saja, hari Selasa itu, sudah dari pagi buta gerimis turun. Bahkan sampai di penghujung hari, tidak ada matahari sama sekali. Ya sudahlah, Kamis saja perginya.
Kamis 16 September 2021
Kami rencana pergi dari rumah sesubuh mungkin. Maksimal 04.30 WIB kami sudah jalan. Malas rasanya harus macet-macetan sepanjang Jalan Soekarno-Hatta sampai ke Soreang. Ya, tujuan kami kali ini dua danau yang terletak di Cianjur Selatan. Satu danau belum ada yang menamai di Google Maps. Satu danau lagi baru beberapa hari lalu ada yang memberikan nama.
Rawa Picung, begitulah yang tertera di Google Maps. Rawa Picung ini lokasinya masih berdekatan dengan Situ Sukamanah di Tanggeung. Situ Sukamanah sudah pernah saya kunjungi Agustus 2016 silam. Sebelum berangkat, saya siapkan bekal untuk di danau atau di perjalanan nanti. Lumayan, selain bisa menghemat budget, juga untuk jaga-jaga kalau-kalau kami susah cari warung seperti perjalanan ke Curug Epot dan Curug Panoongan akhir Maret lalu.
Ternyata seperti biasa, kami molor dari waktu yang sudah ditentukan. Kami baru berangkat jam 06.00 WIB. Cuaca pagi ini cukup cerah, udara pun bersih, semoga saja cerah sampai nanti pulang lagi.
Perjalanan masih lancar. Jalan Soekarno-Hatta masih cukup kosong. Terlambat sebentar lagi saja, mungkin jalanan sudah padat. Sesampai di daerah Sayati, barulah arus lalu lintas mulai ramai. Hanya saja, yang ramai di arah berlawanan dengan kami (arah ke Kota Bandung).
Tidak terasa, kami sudah sampai di Soreang. Kami pun mengarahkan kendaraan ke arah Ciwidey. Setiba di Ciwidey, kami mampir sebentar ke minimarket. Kami tiba di minimarket sekiat 07.30 WIB. Kami jalan lagi sekitar pukul 08.00 WIB. Tujuan kami berikutnya adalah Situ Buleud.
Situ Buleud terletak di Kampung Sukaati, Desa Cipelah. Situ Buleud berbatasan dengan Desa Sukaresmi, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung. Situ Buleud masih berada di area PTPN Perkebunan Sinumbra.
Untuk menuju Situ Buleud, setiba di Kecamatan Rancabali, tepat setelah kantor Desa Patengan dan sebelum kantor Kecamatan Rancabali akan ditemui pertigaan besar. Ambil arah kanan pada pertigaan ini. Jalur ini juga merupakan jalur menuju Curug Citambur. Kondisi jalannya sudah cukup baik, bahkan tepat setelah pertigaan, jalannya sudah dibeton. Sayangnya, betonnya habis ketika permukiman di jalur itu habis juga.
Jalur berikutnya kondisi jalannya masih sama dengan terakhir kami melintas di jalur ini pada September 2019 lalu. Kondisi jalan sedikit becek, tanda sudah turun hujan di daerah ini. Kondisi jalannya semakin ke Selatan ternyata masih sama saja, bahkan lebih rusak dibanding 2019 lalu. Yang berbeda adalah banyaknya alih fungsi lahan perkebunan teh menjadi lahan budidaya strawberry.
Lahan budidaya strawberry ini memakan areal yang sangat luas. Bahkan, area di sekitar Situ Balekambang pun berubah fungsi. Sebelum ada budidaya strawberry, areal di sekitar Situ Balekambang, merupakan semak belukar. Kini, berubah menjadi lahan pembibitan budidaya strawberry.
Kondisi lalu lintas sangat sepi, hanya sesekali saja kami papasan dengan sepeda motor warga. Kondisi cuaca masih cerah, bahkan, garis pantai Selatan Cianjur sedikit terlihat dari jalur kami.
Patokan kami adalah Pabrik Teh Sinumbra. Tepat sebelum Pabrik Teh Sinumbra akan ada persimpangan jalan kecil di sebelah kiri. Kami pun belok kiri di persimpangan tadi. Setelah belok kiri, ada percabangan lagi, ambil arah kanan. Tidak jauh dari persimpangan kedua, tujuan kami sudah telrihat.
Situ Buleud terletak tepat di pinggir jalan desa, bahkan di pinggir permukiman warga. Kami pun parkir di saung kecil tepat di pengkolan Situ Buleud. Saya pun mengambil beberapa foto Situ Buleud. Sayangnya, kondisi permukaan Situ Buleud hampir seluruhnya tertutup tanaman air (ganggang?) berwarna merah.
Terdapat jalan setapak kecil di sisi kanan Situ Buleud yang mengelilingi setengah danau. Dinamakan Situ Buleud karena memang danau ini berbentuk lingkaran besar. Situ Buleud berfungsi sebagai sumber air bagi warga dan juga areal perkebunan teh di sekitarnya.
Kami tidak terlalu lama di sini karena mengejar ke danau tujuan utama kami. Danau yang masih tanpa nama sampai kami tiba di Situ Buleud ini. Yang saya khawatirkan adalah kondisi jalan di Kecamatan Pasirkuda. Bukan tidak mungkin, kondisi jalannya masih makadam.
Selepas permukiman di Kampung Sukaati, kondisi jalan kembali rusak. Kondisi jalan berlubang dan becek terus kami temui hingga tiba di gerbang Desa Cipelah (pusat Desa Cipelah). Jalan yang sebelumnya rusak kini berganti beton. Kondisi jalan beton bergantian dengan jalan aspal terus kami lewati hingga Desa Karangjaya. Sayangnya, tepat beberapa meter sebelum gerbang masuk Curug Citambur, jalan aspalnya menghilang. Kondisi jalan kini berubah menjadi apsal rusak, bahkan lapisan aspalnya sudah habis digantikan lapisan batuan.
Tidak jauh dari gerbang masuk Curug Citambur akan ditemui Rawa Getok di sisi kiri jalan. Tepat di sebelahnya ada jalan kecil, kami pun belok kiri ke arah jalan kecil tersebut. Kondisi jalan sedikit bagus, setidaknya lapisan aspal paling atasnya masih ada. Tepat setelah melewati Rawa Getok, jalan sedikit menikung ke kanan memasuki areal permukiman. Di sinilah jalan berubah menjadi jalan makadam. Sedari permukiman warga ini juga, medan jalannya terus menurun hingga di Jembatan Cibuni nanti.
Batunya cukup besar tapi tertancap, jadi sedikit meringankan pengendara motor yang tidak biasa melewati jalan makadam. Perbedaan yang ada di jalur ini adalah adanya jembatan besi yang baru di atas aliran Ci Buni. Jembatan lama yang berwarna kuning masih tetap ada, hanya saja sudah menjadi rongsokan menggantung di jalur lama. Jalur yang ada saat ini sedikit dibelokan dan dibangun jembatan baru yang lebih lebar dan kokoh.
Pembangunan jembatan ini juga bersamaan dengan dibangunnya PLTM Cibuni (yang pada 2016 lalu belum ada dan masih menggunakan jembatan yang berwarna kuning). Tepat setelah melewati jembatan, jalan kembali menanjak. Rasanya sudah senang, karena jalannya sudah dibeton. Ternyata, rasa senang itu hanya sebentar, bahkan di tengah tanjakan pun, betonnya sudah habis. Jalur makadam kembali menyapa.
Seingat saya, jalur ini akan menanjak lalu setelahnya akan lebih banyak turunan. Semoga saja benar kata teman saya, kalau jalur di Desa Girimukti ini sudah dibeton. Malas rasanya melewati jalan makadam yang licin dan berlumut di hutan pinus di depan sana.
Mendekati Kantor Desa Girimukti, jalan beton kembali menyambut kami. Ternyata yang teman saya bilang terbukti. Sekilas saya membayangkan kalau jalannya terus beton seperti ini sampai tujuan, hari ini mungkin bisa mampir ke danau di daerah Desa Simpang nanti pulangnya. Saking asiknya bertemu jalan beton, saya pun lupa cek Gmaps. Karena tidak jaluh dari kantor desa, jalan sedikit menikung dan ada jalan kecil di sebelah kanan. Takutnya kami harus keluar dari jalan utama.
Tiba-tiba motor berhenti. Suami menyuruh saya cek jalurnya. Ternyata eh ternyata, jalur betonnya sudah habis sampai di sini saja. Jalur di depan kami jauh lebih rusak dibanding jalur setelah Rawa Getok tadi. Batuannya sudah banyak yang menghilang, digantikan tanah dan ada beberapa genangan air bercampur lumpur juga.
Ternyatanya lagi, kami melenceng jauh dari jalur yang ditunjukan Gmaps. Jalur yang sedang kami lewati ini merupakan jalur Babakan Sirna, sedangkan jalur yang ditunjukan Gmaps melewati Cikawung. Fix, putar balik sambil cari di persimpangan mana kami harusnya belok. Untungnya di daerah sini sinyal untuk maps masih sangat bagus.
Sebenernya, kalau kami terusin jalan Babakan Sirna ini, tetep bakalan ketemu sama jalur Cikawung. Tapi, liat kondisi jalur di depan kami, auto males. Kami pun putar arah dan ternyata ada satu tikungan yang kami lewatkan. Harusnya, kami belok kanan. Patokan persimpangan ini jika mencari di Gmaps adalah CV. Barokah Mandiri (-7.211520, 107.227406).
Setelah belok kanan ke jalan yang lebih kecil, jalannya mulai menurun. Jalannya sangat sempit, kira-kira hanya cukup untuk ukuran satu pick up. Kondisi jalannya cukup bagus, meskipun bukan beton. Setidaknya bukan makadam. Medan jalannya menurun terus dan melewati areal permukiman. Setelah tiba di dasar bukit, jalur yang kami lalui melewati areal persawahan. Medannya cukup datar di sini.
Tidak lama, medan jalan mulai menurun dan terus menurun lagi. Untungnya kondisi jalan masih dalam keadaan yang cukup bagus. Jalan lingkungan dengan kualitas aspal desa. Jauh lebih bagus dibandingkan makadam. Jalur yang kami lalui tidak dapat ditebak, karena memang cukup sempit dan kemiringan turunan cukup curam. Akhirnya kami bertemu percabangan jalan, kami ikuti Gmaps untuk ambil arah kiri.
Persimpangan ini (-7.216432,107.221111) cukup mengecoh, karena simpangan jalan ke kanan pun kondisinya tidak jauh beda. Lebar jalan sama dengan kondisi jalan yang sama juga. Sebetulnya, jika memilih jalur kanan pun bisa saja, nanti akan bertemu di SDN Cibingbin 2.
Hanya saja, kami lebih memilih jalur Gmaps. Pertimbangan lainnya adalah, di depan kami ada tukang jualan siomay bakso tahu. Tukang jualannya menggunakan motor dengan gerobak. Kami pikir, kalau tukang jualan seperti ini pasti akan pilih jalan yang sedikit lebih bagus.
Medan jalan cukup datar sampai akhirnya jalan yang akan kami lalui harus melewati satu bukit kecil. Kami sempat berhenti di sini, karena ada pick up yang mengangkut motor dari arah berlawanan. Pick up pun mempersilahkan kami untuk lewat duluan.
Ternyata, jalannya langsung menanjak. Tanjakan curam dengan kemiringan besar serta langsung menikung. Setelah menikung pun tanjakan masih belum habis sampai puncak bukit. Keuntungannya adalah kondisi jalan masih dilapisi aspal.
Setelah tiba di puncak bukit, kami menemui lagi area permukiman. Selepas area permukiman, jalan kembali menuruni bukit hingga ke areal persawahan lagi. Kembali di ujung jalan kami harus menaiki bukit lagi. Tanjakannya tidak jauh beda dengan tanjakan sebelumnya.
Jalan yang kami lalui melewati area hutan pinus. Sedikit familiar dengan jalur ini. Ternyata ini adalah jalur yang pernah saya lewati ketika akan ke Desa Cisaranten. Ada hal menarik ketika kembali melewati jalur hutan pinus ini.
Sekitar setahun atau dua tahun lalu, saya pernah memposting foto saya ketika melintas di jalur ini tahun 2016. Saat itu ada teman yang memberi komentar kalau jalan di sekitar hutan pinus dan sekitar Pasirkuda sudah dibeton. Komentar ini jugalah yang membuat saya mempertimbangkan memilih jalur ini ketimbang jalur masuk dari Tanggeung. Jalur masuk dari Tanggeung cukup jauh.
Selama perjalanan melintasi hutan pinus ini saya ga habis pikir, ko bisa-bisanya teman saya itu komen kalau jalannya sudah dibeton. Jangan-jangan hutan pinus yang dia maksud bukan di daerah sini. Memang benar sih jalannya sudah dibeton, tapi hanya di beberapa tanjakan yang lumayan curam (itupun hanya hitungan meter) dan di dekat-dekat area kantor desa setempat. Selebihnya masih makadam licin. Ditambah ketika kami melintas, jalanan masih basah karena hujan semalam.
Setiba di ujung tanjakan, kami kembali menemui permukiman. Jalur yang kami lalui melewati bagian belakang sebuah SD (saya lupa namanya). Tepat berada di seberang Lapang Sepak Bola Datar Tonggoh. Setelah melewati lapangan sepakbola dan SD jalan akan menemui percabangan. Percabangan jalan inilah yang merupakan tembusan dari jalur Babakan Sirna.
Kami istirahat sejenak di pertigaan ini. Nantinya, kami akan mengambil jalur ke kanan. Selama kami bersitrahat setidaknya ada satu truk mengangkut metrial dari arah Babakan Sirna menuju Mekarsari. Ada juga truk kayu dari arah Mekarsari menuju arah Babakan Sirna. Selebihnya hanya tukang jualan dari SD yang menggunakan motor yang juga mengarah ke Mekarsari. Jika mencari lokasi pertigaan tempat kami berhenti patokannya di Gmaps adalah DKM Al-Bayinah (-7.220333, 107.223402).
Setelah cukup beristirahat, kami pun melanjutkan perjalanan. Medan jalan kembali menurun dan kembali bertemu makadam. Jalur kini berada di area kebun dengan medan yang menanjak dan menurun. Kondisi jalan pun masih sama, jalur makadam.
Untungnya tidak lama, kami bertemu kembali permukiman. Medan jalan masih didominasi tanjakan dan turunan. Jalur kembali bertemu permukiman yang lumayan ramai. Di sini, sebaiknya selalu cek Gmaps ketika bertemu persimpangan.
Lumayan banyak ditemui persimpangan di area ini. Patokannya adalah tetap ikuti jalur utama. Jika ingin bertanya pada warga, tanyakan saja patokan jalan terdekat, yaitu SDN Cibingbin 2. Kami pun sempat beberapa kali berhenti dan mengecek jalur yang benar. Lagi-lagi, untungnya sinyal untuk GPS masih sangat bagus di daerah ini.
Sampailah kami di persimpangan berikutnya, yaitu SDN Cibingbin 2 (-7.226793, 107.213594). Kami sempat berhenti sebentar di persimpangan ini. Sekilas, saya melihat kondisi jalan dari arah lain. Kondisinya cukup bagus, sudah aspal. Meskipun bukan aspal bagus, tapi setidaknya bukan makadam.
Setelah dicek, ternyata jalur tersebut merupakan jalur tembusan dari Cikawung tapi mengambil jalur lurus di persimpangan (-7.216432,107.221111). Tidak melewati DKM Al-Bayinah. Sempat kepikiran juga, jangan-jangan kondisi jalannya lebih mulus dibanding jalur yang barusan kami lalui. Tapi, ya sudahlah, ga ada niat untuk ngulang jalur ini lagi sih.
Di persimpangan SDN Cibingbin 2 ini kami ambil jalur yang lurus. Setelah SDN Cibingbin 2 ini, masih akan ditemui beberapa persimpangan kecil menuju permukiman warga. Sebisa mungkin tetap cek Gmaps atau tetap ikuti jalan utama.
Jika bingung, patokan berikutnya yang harus dilalui adalah Masjid Darul Huda (-7.228383, 107.209198). Jalan yang diambil harus melewati tepat di depan masjid tersebut. Patokan berikutnya yang harus dilewati adalah Pembuangan Sampah Sembarang (-7.229632, 107.207126). Ambil jalur yang mengarah ke kiri di titik ini. Kondisi jalan masih sama, makadam bercampur tanah merah licin sisa hujan semalam.
Setelah tempat pembuangan sampah sembarang, akan ada pesimpangan kecil lagi, kali ini patokannya adalah Masjid Jami Lingkungsari (-7.232621, 107.206987). Patokan berikutnya adalah SMAN 1 Pasirkuda (-7.235433, 107.207735). Setelah lapangan sepakbola SMAN 1 Pasirkuda, jalan akan bercabang. Ambil arah kanan.
Sebenernya udah mulai putus asa. Entah udah berapa percabangan jalan yang kami temui dan kondisi semua jalannya sama-sama makadam. Posisi kami pun sudah ada jauh di tengah jalur. Mau balik ke arah Citambur sudah jauh. Mau diterusin aja sampai lokasi tujuan pun rasanya jalan makadam ga abis-abis.
Hari mulai siang, kami ada di jalur ini sekitar pukul 09.30 WIB. Seengganya ada untungnya juga kami memilih berangkat pagi-pagi sekali. Ada antisipasi jika di jalan bertemu hal tidak terduga seperti ini.
Setelah lapangan sepakbola SMAN 1 Pasirkuda, sudah tidak terlalu banyak ditemui percabangan jalan. Kalaupun ada, jalur kondisi jalur lainnya jauh lebih rusak dibanding jalan utama. Jadi, tidak terlalu sulit menentukan mana yang jalur utama menuju Pasar Cimaskara.
Sedari tadi, rasanya saya tidak asing dengan jalur ini. Persimpangan-persimpangan jalan tepat di depan sekolahan, hutan pinus, serta beberapa tikungan jalan desa rasanya seperti sudah pernah saya lewati. Sampai akhirnya kami tiba di suatu percabangan jalan yang cukup membingungkan.
Jalur yang satu menanjak panjang, sedangkan jalur lainnya di sisi kanan menurun. Jalur menurun kondisinya lebih bagus, meskipun lebar jalannya lebih sempit. Di sinilah saya baru yakin dan ingat kalau ini adalah jalur yang pernah saya lewat tahun 2016.
Waktu itu tujuan saya adalah Kampung Sarijadi, Desa Cisaranten, Kecamatan Cikadu. Saya ingat betul tanjakan di depan saya ini. Fix, ternyata kondisi jalurnya masih sama saja dengan lima tahun lalu. Saya ga nyangka juga bakalan kembali lewatin jalur ini.
Lima tahun lalu, saya bawa motor sendiri melahap puluhan kilo jalur makadam ini. Waktu itu saya pakai motor MX bersama Ujang dan Unay, jadi total ada tiga motor. Kondisi waktu itu jauh lebih suram. Puncak musim hujan dengan awan hujan yang menemani kami sedari berangkat dari Bandung. Jalanan makadam yang licin karena basah, tanah merah, bahkan lumut dan rumput liar yang tumbuh di pinggiran jalan makadam. Dibandingkan dengan saat ini, kondisi jalan saat ini sedikit lebih mudah untuk dilalui ketimbang lima tahun lalu.