RABU 8 JANUARI 2020
Berhubung hari ini lokasi yang mau didatengin ga terlalu trekking berat & jauh kaya kemarin, jadi aga santai berangkatnya hari ini. Tujuan kami hari ini adalah Ranu Darungan di Pronojiwo, Lumajang dan Candi Jawar Ombo di Ampelgading, Malang. Sebenernya rutenya masih samar-samar, jadi kalau ga ketemu, ya sudahlah, mungkin memang belum waktunya.
Kami berangkat dari Malang sekitar jam 11.00 WIB. Kami langsung mengambil jalur menuju Pronojiwo, sama seperti kemarin. Kali ini motor ga ada masalah. Berhubung kami berangkat kesiangan, jadi sedari Turen hingga Dampit kami sering iringan sama anak-anak sekolah. Pertama, kami akan datangi Ranu Darungan terlebih dahulu.
Jaraknya paling jauh, ditambah ada jalur yang sedikit offroad. Persiapan kalau-kalau nanti harus jalan kaki. Seperti biasa, jalur Turen – Pronojiwo hanya ramai sampai di Dampit. Lalu lintas di kota-kota kecamatan lainnya sangat sepi. Patokan kami adalah Lapangan Pronojiwo.
Setelah berbelok dari Lapangan Pronojiwo, jalan yang harus kami lewati berupa jalan desa yang dilapisi semen dan terus menanjak. Aga khawatir juga kalau-kalau nanti di atas jalannya berbatu. Jalur yang ditunjukan Gmaps hanya tinggal lurus sampai mentok di atas. Sesampainya di ujung jalur, barulah sedikit membingungkan.
Ada banyak percabangan dan diantaranya jalan tanah setapak. Kalau sampai salah ambil jalan, bisa-bisa kami hanya buang waktu di sini. Kami pun bertanya sama bapak-bapak. Sayangnya dijawab pakai Bahasa Jawa campur Bahasa Indonesia, jadi kami kurang paham. Hanya ngerti bahwa kami harus putar arah, belokannya kelewat.
Setelah belok ke jalur yang ditunjuk bapak tadi, kembali kami menemui perempatan. Untungnya ada ibu-ibu yang bisa kami tanya. Menurutnya, kami harus ambil jalan di depan kami. Jalan dengan medan turunan panjang dan lumayan curam dengan semen yang sudah menghilang di beberapa bagian.
Setelah turunan, kami bertemu ibu-ibu lagi. Kami pun tanya jalur lagi. Di depan, katanya, kami belok kanan, ikuti jalan yang jelek sampai ke Ranu Darungan. Beloklah kami ke jalan tanah. Untungnya sebagian sudah sedikit kering, jadi tidak terlalu licin. Beberapa ratus meter dari persimpangan jalan tanah tadi, kami melewati gapura penanda bahwa kami sudah memasuki area Ranu Darungan.
Semakin mendekati Ranu Darungan, jalan tanah berganti menjadi paving block. Di sisi kiri terdapat semacam tempat penelitian untuk beberapa jenis tumbuhan. Saat kami datang ada beberapa mahasiswa yang sedang melakukan penelitian (kemungkinan mencari Anggrek Hutan) dengan seorang pemandu yang sepertinya warga setempat.
Pinggiran Ranu Darungan sudah diberi beton dan di sampingnya ada jalan setapak tanah untuk mengelilingi danau sekaligus trek untuk masuk ke hutan. Ranu Darungan berada di lereng Gunung Semeru bagian Selatan. Ranu Darungan memang tidak setenar Ranu Kumbolo, Ranu Pane, ataupun Ranu Regulo yang posisinya sama-sama di lereng Gunung Semeru.
Buat saya pribadi, Ranu Darungan ini tempat yang cukup menarik. Suasana di area Ranu Darungan cukup syahdu. Lokasinya yang masih dikelilingi hutan lebat, tidak terlalu dekat permukiman penduduk, dan masih sangat alami. Ukuran danaunya pun cukup luas. Ranu Darungan juga cukup unik. Ketika kebanyakan danau akan terisi penuh ketika musim hujan, Ranu Darungan memiliki kondisi yang kebalikannya.
Ranu Darungan justru akan terisi air sepenuhnya ketika musim kemarau tiba. Tepatnya sekitar bulan Mei baru mulai akan terisi, dan hingga adalah bulan Oktober kondisi air di danau masih penuh. November sudah mulai menusut. Januari menyusut total. Seperti kondisi yang kami lihat saat tiba di Ranu Darungan.
Sebagian besar area danau mengering dan berubah menjadi hamparan lapangan. Bahkan motor pun bisa leluasa masuk ke area yang biasanya tergenang air. Hanya ada sedikit air di bagian terdalam dari danau ini. Itupun sangat keruh dan tidak sepenuhnya mengisi area danau. Masih ada beberapa warga yang memancing di sisa genangan Ranu Darungan.
Karena tidak banyak yang bisa dilakukan, kami istirahat sebentar di saung di sisi danau. Ketika akan pulang, kami bertemu pemandu yang tadi memberikan pengarahan kepada mahasiswa. Ranu Darungan sebenarnya memiliki nama asli Ranu Lingga Rekisi. Lingga diambil dari sebutan tempat untuk duduk/bersantai. Rekisi adalah nama sejenis kayu yang ukurannya sangat besar yang banyak ditemui di sekitar danau.
Perihal nama Darungan, diambil dari nama lokasi danau ini berada, yaitu Desa Darungan. Pemandu tadi membenarkan kalau bulan Mei nanti air di danau ini biasanya sudah mulai terisi. Sudah dari dulu siklusnya seperti itu katanya. Makanya, dia pun menganggap danau ini cukup unik.
Saya pun menanyakan keberadaan Candi Jawar Ombo dan rute paling enak untuk dilewati. Pemandu tadi malah bertanya balik, Candi Jawar yang mana? Nah loh. Setelah saya jelaskan candi yang dimaksud, pemandu tadi malah memberikan informasi yang baru saya tahu dan belum pernah saya baca di litelatur.
Menurutnya, Candi Jawar ada dua. Candi Jawar yang pertama, yaitu yang akan saya kunjungi katanya bukan candi aslinya. Menurutnya, Candi Jawar yang terkenal ini dibangun di atas lahan pribadi, candinya pun buatan dengan teknik yang lebih modern. Tidak seperti teknik pembuatan candi pada masa sejarah dulu. Di sekeliling candi pun tidak ada apa-apa, hanya lapangan kosong di tepi jurang, katanya.
Sedangkan Candi Jawar yang asli, bagi warga di sekitar daerah sana, lebih mengenal candi tersebut dengan sebutan Candi Purbakala. Menurutnya, di lokasi Candi Purbakala ini, selain terdapat candi, terdapat juga semacam petilasan dan beberapa bangunan/benda-benda jaman sejarah. Lokasinya pun lebih tinggi dibanding Candi Jawar. Menurutnya, Candi Jawar Purbakala ini kalah tenar dengan Candi Jawar.
Lokasinya yang lebih tinggi, lebih jauh, dan mungkin dari segi landscapenya mungkin menjadi faktor kurangnya informasi mengenai Candi Jawar Purbakala ini. Pantas saja, jika kita mencari Candi Jawar/Candi Samudro akan ditemui dua titik lokasi yang berbeda. Pada awalnya, saya mengira salah satu titik tersebut hanya orang yang salah menyimpan tanda lokasi. Ternyata, memang ada dua candi dengan nama yang sama.
Kami sempat ditawari untuk dikenalkan dengan temannya yang rumahnya tidak jauh dari Candi Jawar Purbakala. Entah kenapa saya tolak. Pada saat itu saya berfikir memang dari awal penasaran dengan landscape Candi Jawar. Dari foto-foto yang banyak di bagikan di Gmaps, pemandangan di belakang Candi Jawar ini langsung lereng Gunung Semeru.
Pertimbangan lainnya adalah kondisi medan dan keadaan jalannya. Meskipun kata mas pemandu ini jalan ke Candi Jawar Purbakala sudah bagus, sudah di semen hanya sedikit jalan tanah dan batunya di area candi, tetap saja saya ragu. Mengingat waktu juga sudah semakin sore, takutnya kami kemalaman di jalan desanya. Padahal, kalau saja waktu itu saya terima tawarannya, mungkin sekarang saya punya informasi dan bukti visual tentang keberadaan Candi Jawar Purbakala.
Sekitar jam 14.00 WIB, kami pun pamit. Setiba di jalan raya utama, kami mengambil arah ke Kecamatan Ampelgading. Jalur yang akan kami ambil adalah yang dari Desa Tirtomarto. Jalur ini pun searah dengan jalur yang menuju Pos Pengamatan Gunung Api Semeru. Setidaknya kondisi jalannya tidak akan rusak parah. Mengingat kami menuju area di lereng gunung.
Begitu kami masuk ke jalan desa, di dalamnya ternyata cukup banyak persimpangan. Penggunaan Gmaps cukup membantu, namun, jika masih bingung terus saja ikuti jalan utama menuju PPGA Semeru. Karena di satu titik, Gmaps mengarahkan jalan melewati jalan potong yang medannya sangat sulit. Kami sempat berhenti untuk memakai jas hujan, karena di atas sudah sangat gelap.
Tepat ketika kami tiba di depan lokasi PPGA Semeru, jalan aspal habis. Sebelumnya pun akan ditemui jalan desa yang aspal bagian atasnya sudah hilang, tapi masih termasuk mudah untuk dilewati, bahkan untuk mobil sekalipun. Untuk menuju Candi Jawar, kita harus mengambil jalan gravel menuju puncak bukit.
Di sini, jalan hanya tinggal satu jalur. Cukup ikuti jalan gravel. Pertama-tama melewati area kebun hingga area kebunnya habis. Setelah itu, jalan akan kembali menjadi jalan aspal. Pada titik inilah, terdapat gapura yang merupakan batas kepemilikan lahan yang katanya milik pribadi, lokasi Candi Jawar berada. Lahan ini merupakan lahan perkebunan dengan beberapa tanaman yang dibudidayakan serta beberapa pendopo dan bangunan villa.
Sebetulnya areanya cukup bagus. Bangunan-bangunannya pun masih kokoh, hanya tidak terawat. Padahal, kalau dirawat dan dibuka untuk tempat wisata dan disewakan, mungkin kesannya tidak akan sesuram ini. Langit masih mendung, ditambah kabut yang tebal. Kami terus mengikuti jalan utama hingga ujung jalan merupakan percabangan. Ambil cabang jalan yang ke arah bawah.
Sampailah kami di Candi Jawar. Sudah banyak pengunjung yang semuanya remaja. Saya kira, kalau hari kerja begini bakalan sepi. Ternyata, rame juga. Kami tiba sekitar pukul 16.00 WIB. Sudah dapat dipastikan Semerunya tertutup kabut. Apalagi musim hujan seeprti ini, tertutup awan hujan juga.
Akhirnya kami hanya duduk di depan Candi sambil beristirahat dan mengisi perut. Sedari pagi kami belum makan lagi. Pantas saja badan rasanya lemas dan tidak bersemangat. Sambil menunggu kabut hilang, saya mengambil beberapa foto. Saya tidak mendekat ke Candi karena ramai orang yang foto-foto. Percuma, frame foto pun pasti akan bocor.
Sempat kepikiran untuk mendatangi Candi Jawar Purbakala. Setelah di trek, ternyata perlu waktu satu jam. Mungkin untuk kami lebih, karena belum hafal medannya. Sudah pasti akan kesorean di jalan turun. Target kami adalah masuk jalan raya utama sebelum Magrib. Yah, mungkin lain waktu saja kami ke Candi Purbakala, mungkin sekalian ke Ranu Darungan kalau sudah terisi airnya.
Perjalanan turun jauh lebih cepat. Sebenarnya, ada satu jalur lagi, yang melewati Desa Tirtoyudo, tapi sepertinya lebih banyak simpangan dan medannya masih lebih naik-turun bukti. Kami sempat berhenti untuk isi bahan bakar di SPBU Desa Tirtoyudo.
Tujuan kami berikutnya adalah rumah Mamang Abi. Teman saya dari jaman ketika masih seneng naik gunung. Mungkin sekitar tahun 2013-an. Hebatnya lagi, dari 2013 sampai sekarang, ini adalah kali pertama kami ketemu secara langsung. Rumah mamang Abi ada di daerah Pakisaji. Lumayanlah, daerah yang masih saya kenal jalannya, jadi ga pake acara nyasar-nyasar dulu.
Sedari turun dari Ranu Darungan sampai di Desa Tirtoyudo, cuaca kembali mendung. Untungnya tidak ada hujan. Kami sampai di rumah Mamang Abi sekitar pukul 19.00 WIB. Akhirnya ketemu juga sama Mamang Abi. Sungkem. Tidak lama setelah kami sampai, datang dua teman Mamang Abi. Kami ngobrol-ngobrol santai dan makan Nasi Padang. Akhirnya makan yang bener juga yak. Selain Nasi Padang, kami pun ngicip Sempol.
Sempol ini bahaya buat saya. Soalnya, begitu nyobain, langsung ketagihan banget. Ini tipe makanan yang saya suka. Kalau itu bukan suguhan dari Mamang Abi, kayanya bisa abis sama saya semua. Untungnya, sampai sekarang di Bandung saya belom nemu Sempol lagi. Kalo nemu, diborong deh kayanya. Selain itu ada teh herbal juga. Saya lupa apa aja campurannya.
Sebagai penikmat teh, ini juga tehnya enak bangeeet. Dan ternyata tehnya beli di Bandung. Jauh-jauh ke Malang, ternyata tehnya dari Bandung juga. Oke Sip! Jam 20.30 WIB kami pamit pulang. Mata ama badan udah ga bisa diajak kompromi. Oh, ya sebelum pulang, kami dapet info tempat kuliner dari A-Z dari temennya Mamang Abi & Teh Nita (istrinya Mamang Abi).
Mulai dari tempat makan hits ampe warung pinggir jalan yang enak banget. Ternyata selain pada jago banget larinya (iya, mereka semua runners strong dooonk), ternyata jago juga hunting kulinernya. Perut kenyang, info tempat makan pun sudah dikantong, saatnya pulang. Terimakasih banyak Mamang Abi & Teh Nita. Kapan-kapan kami maen lagi ah ke sana klo dah musim panen buah & sayurnya hehehe.
Perjalanan pulang seperti biasa, sedikit tersendat ketika hampir memasuki Kota Malang. Kali ini, kami tidak pakai Gmaps. Sudah hafal jalur masuk ke Kota Malang yang enakeun sampai tiba di depan tempat kami nginep. Kami sampai sekitar jam 21.00 WIB. Selesai sudah tempat yang masuk list utama di perjalanan kali ini.