BANDUNG – SALEM 22 JULI 2017


Berawal dari ga sengaja cari jalur alternatif menghindari ganasnya kemacetan arus balik Lebaran beberapa tahun silam, akhirnya ketemulah sebuah jalur antar provinsi di Kuningan. Saat itu, saya hanya ngeh sebuah nama daerah ‘Cibingbin’ di Kabupaten Kuningan sebagai wilayah administrasi terakhir di Jawa Barat sebelum memasuki wilayah administratif Jawa Tengah. Untuk wilayah pertama di Jawa Tengah setelah Cibingbin, tidak terlalu saya perhatikan. Hanya Waduk Malahayu saja yang berhasil menarik perhatian saya.

Selang satu tahun kemudian, masih dalam suasana mudik Lebaran, tidak sengaja, saya melihat salah seorang teman saya memposting tentang wilayah bernama Salem. Salem merupakan satu dari sekian jalur ‘alternatif’ yang dipilihnya dari Cikarang hingga Yogyakarta. Setelah membaca tulisannya yang cukup menarik dan mencocokan di peta, ternyata Salem merupakan salah satu wilayah di Jawa Tengah yang masih berada di kawasan garis perbatasan Jawa Barat dengan Jawa Tengah.

Juli 2017, tepatnya 22 Juli 2017 saya putuskan untuk mencoba menyusur jalur Salem dan Cibingbin. Beberapa hari sebelumnya, saya pun tidak lupa memplot jalur yang kira-kira bisa kami lewati dan informasi tentang jalur Salem sendiri tentunya. Referensi jalur Salem yang saya dapat kebanyakan tentang jalannya yang berliku, tikungan tajam, tanjakan berat, hutan sangat lebat, sepi, bahkan sampai berita longsor. Makin penasaranlah saya.

SABTU, 22 JULI 2017

Bandung – Malangbong

Setelah ngaret 1,5 jam, akhirnya kami pergi sekitar pukul 06.30 WIB dari rumah saya. Jalur Bandung – Cibiru – Nagreg lancar. Beruntung kami tidak terjebak kemacetan di depan beberapa pabrik di Rancaekek. Setiba di wilayah Limbangan, jalan mulai terlihat ramai. Beberapa kali kami harus menyalip bus dan mobil pribadi agar perjalanan sedikit cepat. Ada yang aneh dengan motor teman saya kali ini. Ko seperti tidak ada tenaganya ya? Dan kayanya nyalip kendaraan pun ga seperti biasanya, sedikit ragu-ragu rasanya.

Berhubung jalanan monoton dan matahari baru mulai benar-benar bersinar, kami putuskan untuk istirahat sejenak di spbu sebelum Gentong. Benar saja, ternyata karbu motor teman saya kurang cocok, akhirnya bongkar motor sebentar untuk menukar karbu. Lumayahlah setelah dua jam di motor bisa istirahat dulu. Sambil istirahat, saya kembali cek jalur yang akan kami lewati menuju Kuningan.

Ternyata, jika dihitung waktunya, jika kami ke Kuningan dulu, kemungkinan kami masuk jalur Salem sudah lebih sore dari target hitungan. Akhirnya, saya mengusulkan untuk merubah plan awal menuju Kuningan lalu Salem menjadi sebaliknya. Setidaknya jika kami kemalaman di jalur Kuningan, toh tinggal jalur pulang yang sudah tidak asing lagi bagi kami. Tapi kalau kemalaman di jalur Salem, kami tidak mau ambil resiko.

Sepakat, kami akan menuju Salem terlebih dahulu, artinya, tujuan kami berikutnya yaitu Majenang. Jalur awal yang akan kami ambil tadinya melalui Pagerageung – Panjalu – Panawangan – Cikijing – Darma – Kota Kuningan – Luragung – Cibingbin pun kami ganti menjadi mengikuti jalur utama (Jalan Provinsi) menuju Majenang. Artinya kami akan melewati Ciamis, Banjar, Wangon, lalu Majenang. Tidak apa-apalah lewat jalan yang rame dulu sebelum nyungsep di gunung.

Malangbong – Majenang

Sekitar satu jam kami berhenti di SPBU, kami memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan. Rencananya kami akan berhenti lagi untuk mencari sarapan. Entah kenapa, pagi itu saya pengen banget mie goreng. Berhubung begitu keluar SPBU ada warung-warung kecil dan jualan mie instan, kami pun berhenti lagi. Sekitar tiga puluh menit, kami melanjutkan perjalanan. Urusan ke Atm, bensin, otak-atik motor, kamar mandi, dan sarapan sudah beres jadi kali ini kami akan jalan non stop hingga sampai di Majenang.

Jalur yang berikutnya kami lewati yaitu Gentong. Kali ini Gentong sangat sepi, hanya ada motor kami dan dua motor warga saja yang melaju menuju arah Timur. Langit di atas kami mulai mendung, tapi di kejauhan di arah Timur nampaknya cerah. Memasuki Kadipaten, arus lalu-lintas kembali ramai. Sesekali kami kembali harus menyusul bus di sepanjang Ciawi hingga memasuki Rajapolah. Di Rajapolah, kami belok menuju Cihaurbeuti, jalan lingkar luar menuju Ciamis tanpa harus melewati Kota Tasikmalaya.

Jalur Ciahurbeuti yang dominan lurus dan sedang sepi-sepinya membuat motor dipacu hingga kecepatan 100 Km (mungkin lebih). Tidak terasa, kami pun keluar dari jalur Cihaurbeuti dan masuk daerah Cikoneng, Ciamis. Kami sepakat untuk lewat jalur lingkar luar Ciamis agar lebih sepi. Arah yang kami ambil menuju jalur lingkar luar Ciamis sama dengan jalur yang menuju area Taman Makam Pahlawan di Ciamis. Ada yang menarik di sepanjang jalan di Ciamis. Di dekat sekolah-sekolah, akan ditemui papan rambu jalan bertuliskan E=MC2 milik Einstein.

Saking kami ga ngerti apa maksud rambu jalan tadi dipasang di dekat area sekolah, kami sampai berhenti dulu untuk mengambil fotonya. Kembali ke jalur lingkar luar Ciamis. Tidak jauh dari Taman Makam Pahlawan Ciamis, akan ditemui persimpangan menuju Jembatan Cirahong. Jalur lingkar luar Ciamis ini cukup lebar, malah jauh lebih lebar dari jalur utama Ciamis melalui kota, tapi sayang kondisinya kurang bagus. Lalu lintasnya sangat sepi, malah lebih mirip jalan di komplek-komplek perumahan di Bandung saking sepinya. Sesekali hanya truk dan sepeda motor warga saja yang melintas disini.

Sekitar pukul 11.00 WIB kami keluar dari jalur lingkar luar Ciamis. Cuaca sudah kembali berubah dari mendung dan berangin menjadi cerah dan terik ketika memasuki Cikoneng. Otomatis, sekarang saya merasa ngantuk. Kami melipir sebentar di SPBU untuk isi angin kemudian kembali melanjutkan perjalanan menuju Majenang. Arus lalu lintas kembali ramai. Kali ini ramai oleh sepeda motor yang kebanyakan menuju arah Pangandaran.

Memasuki Banjar, arus lalu lintas kembali sepi, kami bisa sedikit tancap gas lagi. Kami berhenti sebentar di tugu perbatasan Jawa Barat – Jawa Tengah untuk foto-foto. Bagi kami berdua yang tiap tahun dari kami masih kecil mudik ke arah Timur, sebenarnya sudah tidak terhitung berapa kali melewati tugu ini, tapi baru tahun 2017 ini kami bisa berhenti dan foto-foto di tugu perbatasan.

Tidak berlama-lama, kami segera melanjutkan perjalanan menuju Majenang. Jalur yang kami lewati cukup mulus, sepi, dan berkelok. Kanan dan kiri jalan didominasi hutan karet. Hilang sudah ngantuk saya. Motor sedikit dipacu lebih cepat. Beberapa kali kami menyusul mobil pribadi dan motor warga. Sekitar pukul 11.30 WIB kami sudah tiba di Majenang.

Majenang – Salem

Kami memutuskan untuk berhenti lagi di Masjid Agung Majenang untuk solat dan mengatur ulang rute yang akan kami lewati. Pukul 12.15 WIB setelah semua urusan beres, kami melanjutkan perjalanan. Kali ini gps sudah di set menuju Kalibaya, Salem sebagai tempat berhenti kami berikutnya. Tujuan kami memang menyusur jalur Salem dan memang berencana untuk banyak berhenti mengambil foto jika ada spot yang menarik di sepanjang jalur Salem. Itulah mengapa saya kepikiran untuk membalik rute dari rencana awal.

Kami masuk ke jalan menuju Salem. Baru beberapa meter kami keluar dari jalan raya utama, jalan di depan kami sudah merupakan tanjakan panjang yang cukup curam. Setelah itu, yang kami temui hanya tanjakan, tanjakan, dan tanjakan. Tidak lupa sesekali jalur yang kami lewati memasuki hutan pinus dan sawah. Jalannya pun tidak lurus, tetapi sudah mulai berkelok-kelok.

Setelah melewati jembatan cukup lebar, jalan yang kami lewati makin mengecil dan masuk ke dalam hutan pinus. Disini, tanjakan dan tikungan yang cukup tajam langsung menyambut kami. Bahkan ada beberapa longsor kecil di beberapa tanjakan yang kami lalui. Cuaca pun langsung berubah total. Sinar matahari sudah tidak dapat kami rasakan lagi, meskipun langit tidak mendung. Pohon pinus cukup rapat, ditambah angin yang membawa awan hujan dari arah pantai (Selatan) ke arah utara (lokasi kami saat ini).

Jalan masih monoton tikungan tajam dan tanjakan panjang sampai akhirnya kami tiba di depan gapura perbatasan Kabupaten Cilacap dengan Kabupaten Brebes. Lah, berarti jalur yang tadi kami lewati itu bukan Salem. Saya kira, sudah masuk Salem semenjak masuk hutan pinus. Kami berhenti dulu untuk mengambil foto gapura perbatasan. Tidak sengaja, saya melihat jalan kecil di kanan kami, masuk ke hutan pinus. Jalannya kecil, tapi cukup bagus.

Kami akhirnya tegoda untuk belok kanan ke arah jalan kecil menuju hutan pinus. Mungkin kalau ini alur cerita di film-film horror atau thriller, ini adalah awal mula masalah. Untungnya bukan. Malahan, kondisi jalan semakin ke dalam hutan masih tetap baik. Aspal sekelas jalan desa sesekali berlubang kecil dan berserakan pasir kami temui ketika sedikit keluar dari hutan pinus. Namun, ketika kembali memasuki hutan pinus, kondisi jalan kembali membaik.

Kami sempat berpapasan dengan beberapa motor warga. Kalau tidak salah, di gapura tempat kami berhenti ada papan penunjuk jalan dan ada kampung di arah yang sedang kami tuju ini. Entah sudah berapa kilo kami masuk menyusuri jalan di tengah hutan pinus ini, yang pasti kami sudah tidak pernah lagi berpapasan dengan warga. Kami pun berhenti untuk mengambil foto. Begitu kami turun dan melepas helm, nyamuk langsung menyerbu kami. Nyamuk disini ganas-ganas.

Kami jalan lagi beberapa meter kemudian berhenti lagi. Kali ini di sisi kiri jalan, ada area yang sedikit datar dan cocok untuk hammockan. Kami memang niat untuk foto-foto dan hammockan di jalur ini. Baru juga teman saya selesai parkir motor, ada dua orang bapak jalan dari arah yang berlawanan dengan kami. Begitu kedua bapak ini mendekat, ternyata warga setempat yang sedang ngangon kerbau.

Setidaknya ada tujuh kerbau yang sedang diangon dan langsung berhenti di tempat yang semula akan kami jadikan lokasi hammockan. Untung belum pasang hammock, bisa-bisa diseruduk rombongan kerbau. Melihat awan diatas kami semakin mendung, kami pun membatalkan niat untuk membuka hammock. Kami pun pamitan dan kembali ke arah gapura lalu menuju Salem.

Salem, Kabupupaten Brebes, Jawa Tengah

Tidak lama setelah kami melewati perbatasan Kabupaten Cilacap – Kabupaten Brebes, jalan didepan kami berubah dari aspal menjadi aspal yang dilapisi pasir dan kerikil. Ditambah lagi ada dua truk logistik miliki sebuah mini market yang harus banget kami susul. Di belakang truk ini sama saja cari masalah, debunya ga nahan. Dari titik ini, kondisi jalan terus menurun. Meskipun tidak terlalu terlihat, tapi sebenarnya jalur ini merupakan turunan sangat panjang dan cukup curam.

Jalanan terus turun sampai keluar dari hutan dan masuk ke sebuah desa. Inilah yang namanya Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Kota kecamatan yang sore ini nampak sejuk. Sekeliling kota kecamatan ini dibentengi oleh jejeran pegunungan. Pegunungan yang entah apa namanya yang baru saja kami lewati dan Pegunungan Pasir Panjang di depan sana yang akan menjadi jalur kami nanti.

Sedari memasuki Majenang, kami udah niat makan bakso kampung, sayangnya belum nemu yang cocok. Kami pun mencari tukang bakso di Salem sini. Setelah gagal di warung bakso pertama, kamipun berhasil menemukan warung bakso yang lumayan rekomen. Bakso yang dijual ada bakso ikan, bakso ayam, dan bako daging. Ada juga mie ayam. Sudah pasti kami memesan bakso.

Meskipun sedang berada di pusat kota kecamatan, tapi suasananya mirip-mirip di pinggiran kota Bandung. Adem, sepi, rumah tertata rapih, masih bergaya ala perumahan non real eastate maupun cluster, jalannya pun cukup baik meskipun kecil dan masih tetap menurun. Cuaca sore ini di Salem benar-benar bikin kami mager.

Tidak lupa kami cek posisi dan jalur. Ternyata, jalur yang kata orang-orang bikin jantungan itu, belum kami lewati. Kami baru sampai di Salem, sementara jalur tersebut merupakan jalur perbatasan antara Kecamatan Salem dengan Kecamatan Banjarharjo. Kalibaya tempat yang akan kami kunjungi pun ternyata masih jauh. Tepat pukul 15.00 WIB kami melanjutkan perjalanan.

Salem – Puncak Gunung Lio

Tidak jauh dari tempat kami makan bakso, kami menemui persimpangan cukup besar. Bila ke arah kanan, jalur akan tembus ke Bumiayu, sementara yang lurus adalah yang menuju Banjarharjo. Setelah persimpangan, kami melewati sebuah jembatan cukup lebar. Jembatan ini cukup familiar. Beberapa hari yang lalu, saya sempat dikirimi foto jembatan ini oleh salah satu teman yang pernah melintas di jalur Salem.

Kami pun melintasi jembatan dan kembali bertemu dengan persimpangan. Kami pun mengambil jalan ke kiri. Jalan langsung menanjak dan tidak jauh, kami kembali bertemu persimpangan. Sebenarnya, di persimpangan kedua ini ada papan penunjuk jalan. Berhubung semua namanya asing, jadi kami lurus saja terus. Jalan terus menanjak. Panjang dan curam. Untungnya kondisi jalan sangat baik. Aspal mulus meskipun ada di desa. Iseng, saya pun mengecek jalur. Ternyata kami salah jalan.

Sebenarnya kalau kami terusin, nanti pun kami akan bertemu lagi persimpangan dengan jalur yang harusnya kami lalui. Tapi karena biar ga buang waktu, jadi kami memilih putar balik. Jalur yang kami ambil ini merupakan jalur menuju objek wisata Ranto Canyon, Bukit Panenjoan, dan Bukit Bintang yang berada tepat di perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kalau saja waktu kami masih banyak, sepertinya semua tempat tadi akan kami datangi. Kami pun putar balik.

Setelah repot riding di turunan yang ga ada selow-selownya ini, kami pun langsung belok kiri. Sebelumnya, masih sempat kami berhenti untuk foto. Setelah belok, ternyata di kiri jalan terpampang besar peta wisata Kecamatan Salem. Yang kaya gini ga boleh sampai kelewat didokumtasikan. Kami pun jalan lagi. Ga seberapa jauh kami jalan, kami pun tergoda oleh pemandangan di sisi kanan kami.

Hamparan sawah yang saat itu sedang berwarna hijau cerah dengan pematang yang sedikit berbentuk, dan jejeran pegunungan yang tampak berlapis sebagai latarnya sukses membuat kami berhenti untuk foto-foto lagi. Untungnya, di sisi kiri jalan merupakan toko yang saat itu sedang tutup, jadi saya bisa ikut mengambil posisi untuk mengambil gambar dari situ. Karena, kalau posisi mengambil gambarnya tepat di pinggir jalan, kurang greget hasilnya.

Puas mengambil beberapa gambar, kami pun jalan lagi. Inilah jalur Salem yang sebenarnya. Yang cukup tenar dengan banyak ‘katanya’. Meninggalkan pusat Desa Bentar, kami kembali disambut oleh hutan, tanjakan panjang dan tikungan tajam. Kondisi jalan kembali sepi, hanya ada motor kami saja. Langit kembali menjadi berwarna kelabu. Untung hanya kabut.

Ternyata benar kata orang-orang tentang referensi Jalur Salem ini. Tikungannya sadis, hutannya masih rapet banget, dan sangat sepi. Tanjakan demi tanjakan dan tikungan-tikungan sadis kami lewati. Saya sudah tidak bisa lagi merekam dan mengambil foto jalur yang kami lalui karena cukup susah kalau satu tangan pegang hp, satu tangan pegangan ke motor. Kami pun tiba di tujuan terakhir kami di Salem, Objek Wisata Kalibaya.

Objek Wisata Kalibaya, Puncak Gunung Lio, Pasirpanjang, Salem

Kami langsung merapat ke parkiran yang berada di kanan jalan. Ternyata, parkiran ini untuk mobil, sedangkan untuk motor disediakan di sisi kiri jalan, artinya kami harus menyeberang lagi. Objek wisata Kalibaya ini berada tepat di Puncak Gunung Lio. Objek wisata ini berkonsep semi outbond, lengkap dengan ayunan raksasa mirip seperti yang ada di The Lodge Maribaya.

Kami tiba sekitar pukul 16.00 WIB. Cuaca kembali cerah, kabut mulai pergi tertiup angin. Setelah membayar Rp 10.000,00 kami pun segera mencari ayunan raksasa yang sebelumnya kami lihat di internet. Jalan yang kami lewati merupakan jalur treking sedikit menanjak tetapi sudah dibenahi oleh tangga dan paving block. Di ujung tanjakan, terdapat sebuah toilet umum dan saung untuk duduk-duduk.

Kami berbelok ke kiri mengikuti jalan setapak. Berikutnya, di sisi kanan jalan kami melihat area yang cukup rimbun dan dijadikan tempat untuk hammockan. Sudah disediakan hammock jaring di beberapa pohon oleh pengelola. Pengunjung yang datang hanya tinggal memilih hammock lalu duduk manis. Tidak perlu repot mencari spot dan menalikan tali hammock terlebih dahulu seperti yang biasa kami lakukan.

Di samping area hammock, ada jalan setapak tanah kecil yang menuju ke jalur treking hutan pinus. Sudah ada papan penunjuk jalannya. Karena sedang malas treking dan sudah puas foto-foto di hutan pinus di Cilacap. Jadi area ini kami skip. Kami langsung mengarah ke area outbond di sisi kiri kami. Ada rumah pohon, dan beberapa wahan lainnya yang saat ini sangat sepi. Kami masuk ke jalan setapak menuju area ayunan raksasa. Di area outbond ada satu kios yang menjual berbagai minuman dan makanan ringan.

Sayangnya, ketika kami tiba, ayunan raksasa sudah diikat rapih diatas pohon. Operatornya pun tidak ada. Mungkin ini sudah sore dan hari Sabtu, makanya sudah sangat sepi. Ada tiga orang pengunjung lainnya selain saya dan teman saya. Kami memutuskan untuk foto di papan bambu yang dibentuk bintang dan di cat warna-warni. Setelah itu, kami gantian mengambil foto di sebuah beranda terbuat dari bambu di ujung tebing dengan pemandangan terbuka luas ke arah Waduk Malahayu.

Pemandangan di bawah kami didominasi oleh pepohonan dan bukit-bukit kecil yang tersebar acak membatasi luasnya areal sawah dan permukiman. Sayangnya, pemandangan ke arah Waduk Malahayu sore ini tidak terlalu bagus untuk diabadikan dalam foto. Cahaya matahari terlalu terang. Maklumlah, saya hanya pakai kamera dan lensa standar, jadi hasil foto landscapenya kurang greget. Tapi kalau pemandangannya dinikmati langsung, lebih juara. Sangat cukup membayar cape karena hampir tujuh jam di atas motor.

Sinar matahari kali ini sudah tidak malu-malu lagi muncul seperti siang tadi. Cukup terik, jadi pemandangannya benar-benar terlihat jelas. Puas mengambil foto di teras bambu, kami membuka hammock di area outbond. Sebenarnya tidak ada lahan untuk membuka hammock, tapi berhubung sudah sangat sepi, kami bisa memanfaatkan pilar-pilar kayu dari salah satu wahana dan sebatang pohon. Selagi kami hammockan, pangunjung lainnya datang. Kali ini rombongan keluarga.

Sekitar pukul 16.30 WIB kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Sebenarnya kami masih betah di Kalibaya, tapi perjalanan pulang kami masih jauh dan masih ada satu spot lagi yang memang jadi tujuan utama kami nyusur jalur kali ini. Kami pun kembali ke parkiran. Selagi kami bersiap-siap di parkiran, dari arah Salem terdengar suara khas mesin-mesin motor ber-cc besar. Benar saja, tidak lama lewatlah motor-motor ber-cc besar macam CB 500, BMW, dan motor-motor dengan merek yang namanya masih asing di telinga saya. Itupun saya dengar dari Aria yang nyebutin satu per satu merek motor yang melintas di depan kami.

Artikel lainnya mengenai Kecamatan Salem, bisa dibaca di link berikut:

http://azistakata.blogspot.co.id/2014/07/asal-muasal-kecamatan-salem-brebes.html

Kalibaya – Banjarharjo – Tugu Kujang

Setelah motor terakhir lewat, kami menunggu jeda beberapa menit. Jalanan setelah parkiran Kalibaya ini langsung menurun tajam, jadi mending sedikit kaga jarak. Benar saja, turunannya sangat panjang dan sangat curam. Ini baru permulaan. Setelahnya turunan panjang ditambah tikungan tajam dengan jarak antar tikungan cukup pendek menjadi trek kami.

Jalur kami kembali masuk hutan. Medan kali ini full turunan yang sukses bikin kami geleng-geleng kepala. Bahkan, kami ngeri sendiri melihat mobil di depan kami melewati turunan + tikungan yang membentuk huruf “S” sempurna. Untungnya tidak ada kendaraan lain dari arah bawah. Bisa repot ceritanya. Memang, kalau hanya membaca deskripi jalur Salem lewat tulisan atau melihat potongan video di jalur ini, rasanya tidak akan terbayang. Tapi kalau mencoba langsung, mungkin akan paham kenapa jalur ini sukses banget bikin saya penasaran.

Beberapa testimoni dari beberapa teman yang juga punya hobi motoran pun ternyata rata-rata bilang kalau jalur ini cocok untuk yang suka dengan jalur yang susah. Bahkan, ada yang pernah lewat ketika kondisi jalan di jalur ini masih belum semulus sekarang. Ada yang lewat dalam kondisi hujan deras dan disambut pohon tumbang. Ada juga yang lewat ketika jalannya masih tanah dan banyak lubang dan batu-batu. Bahkan ada juga yang lewat sambil diiringi suara gamelan ketika melintas pada malam hari. Nah kan.

Setelah turunan terakhir, kami keluar hutan dan kembali bertemu permukiman. Habis sudah jalur Salem – Majenang yang bikin saya penasaran selama bertahun-tahun. Setelah permukiman habis, jalan yang kami lewati lurus dan berada di tengah-tengah area sawah. Saya langsung spontan menyuruh teman saya berhenti. Awalnya hanya mau foto jalan di tengah sawah aja, tetapi ketika motor putar balik (menjadi menghadap ke arah Salem), pemandangannya ga bisa diabaikan untuk diabadikan.

Jejeran pegunungan membentang dari Barat ke Timur dihiasi langit sore yang berwana biru dan sinar matahari sore yang hangat. Dari sisi Barat jalan raya ada Gunung Lio di ujung kanan lalu Gunung Lemahlaki, Gunung Puncakpayung, Gunung Kumbang, Gunung Sagara, dan Gunung Nangkur. Perlu menunggu cukup lama sampai jalanan kosong dan mengambil gambar tanpa kendaraan yang lalu lalang. Maklum, jika masih sore, jalur ini ramai oleh warga yang lalu-lalang, karena setelah Magrib tidak disarankan melintas di jalur ini, jika bukan warga setempat atau yang sudah terbiasa dengan jalur yang sulit.

Pukul 17.30 WIB, kami melanjutkan perjalanan menuju Tugu Kujang. Sayang rasanya sudah sampai sini tapi ga sempat mengambil foto Tugu Kujang. Jalan yang kami lalui berbelok ke kiri. Sementara, jika terus mengikuti jalan akan menuju ke Waduk Malahayu dan bablas ke jalur Pantura. Jalan yang kami lewati masih berada di wilayah administrasi Kecamatan Banjarharjo dan sebenarnya merupakan jalan penghubung antar provinsi.

Kenyataannya, jalan Banjarhajo – Cibingbin ini tidak lebih luas dari jalan di komplek perumahan tempat saya tinggal. Selain kecil, tikungan dan belokannya pun sering bikin jantungan. Belokan patah dan tikungan tajam di jalur sempit di kawasan padat permukiman menjadikan kami harus tetap waspada. Jangan sampai ga sengaja meneyerempet anak-anak kecil yang sedang bermain atau tabrakan dengan warga dari arah berlawanan.

Kering dan gersang. Itulah kesan yang langsung saya dapat ketika melintas di jalur ini. Sawah-sawah yang cukup luas di belakang rumah-rumah warga nampak sangat kering. Debu dan jarangnya pepohonan besar di jalur ini memperjelas kesan kering dan gersang yang saya tangkap. Selepas area padat permukiman, jalur yang kami lalui melintas tegalan dan area tanam pohon jati. Berhubung sudah kemarau, jadi hampir semua pohon jati meranggas.

Artikel mengenai Tugu Kujang di Kabupaten Kuningan dapat dibaca di artikel berikut:

http://humaskuningan.blogspot.co.id/2010/10/senjata-kujang-jadi-tugu-perbatasan.html

Tugu Kujang, Kecamatan Cibingbin, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat

17.45 WIB kami tiba di Tugu Kujang. Sisi kiri jalan di Tugu Kujang sudah penuh oleh rombongan moge yang melewati kami di Kalibaya tadi. Kami piker, meraka akan mengambil jalur Malahayu lalu masuk jalur Pantura, ternyata ikut belok. Kami melipir di sisi kanan jalan. Ada lahan cukup luas yang merupakan bagian taman dari Tugu Kujang yang bisa kami gunakan untuk parkir.

Tugu Kujang merupakan tugu perbatasan Provinsi Jawa Barat dengan Jawa Tengah yang berada di jalur yang paling jarang dilalui. Tugu Kujang dibangun cukup megah untuk kondisi jalan dan wilayah yang cukup berbeda dengan jalur di Pantura dan di Selatan. Uniknya, hanya ada satu tugu yang melambangkan Jawa Barat, tetapi tidak ada atau belum ada tugu/monument yang melambangkan Jawa Tengah seperti lazimnya sebuah perbatasan dua wilayah administrasi.

Setelah memarkirkan motor, kami pun mengambil beberapa foto. Selagi kami berfoto, ada satu orang dari rombongan moge tadi yang menghampiri kami. Aria langsung mengbrol dengan orang tadi. Saya pikir mungkin itu temannya Aria, maklum saja, memang lebih banyak kenalan Aria di komunitas-komunitas motor jika dibandingkan dengan saya.

Ternyata rombongan ini dari Silver Hawk Jakarta yang baru pulang dari Guci dan akan melanjutkan perjalanan ke Kuningan, baru besoknya lanjut jalan pulang menuju Jakarta. Cukup nekat juga mereka mengambil jalur tembusan Bumiayu – Salem lalu Salem – Malahayu yang tekenal dengan tikungannya yang tanpa ampun. Tapi kalau motornya seperti mereka sih ya kayanya enak-enak aja sih.

Tugu Kujang – Luragung – Kuningan

Berhubung sudah hampir Magrib, kami pamit terlebih dahulu, karena jarak tempuh kami masih cukup jauh. Tidak lama dari Tugu Kujang, rasanya pemandangan di jalur ini lagi-lagi tidak bisa diabaikan untuk diabadikan. Sisi kiri jalan, kami bisa melihat jelas jejeran pegunungan Pasir Panjang tempat Gunung Lio, Gunung Sagara, dan Gunung Kumbang berdiri tegak.

Puncak-puncak pegunungan tadi tertutup awan dan disinari matahari sore. Sementara di sisi kanan jalan, hamparan area ladang dan hutan jati yang kering meranggas ditambah sunset yang bulat merah sempurna semakin menambah cantik sore ini. Segera kami melipir untuk mengambil beberapa foto. Cukup puas, kami pun jalan lagi.

Baru beberapa meter, tiba-tiba motor belok ke kanan dan masuk ke jalan setapak menuju kebun warga. Berhubung sedang kering, jadi jalan setapak tanah dengan batuan lepas bisa dengan cukup mudah kami lalui. Ternyata, view sunset di titik ini jauh lebih jelas dibandingkan dari pinggir jalan. Matahari sore dari lokasi kami benar-benar tidak terhalang pohon dan bukit. Di jalan utama, terdengar rombongan Silver Hawk melintas. Ada beberapa yang berhenti untuk sekedar mengambil foto sunset.

Kami pun bergegas kembali ke jalan raya karena sudah semakin gelap. Jalanan pun sudah tidak seramai sore tadi. Kondisi jalan sangat mulus, masih jarang permukiman dan masih didominasi pohon jati. Jalan masih di medan datar. Setelah bertemu permukiman pertama, barulah jalan kembali sedikit berbelok-belok. Bahkan jalan kembali masuk ke medan perbukitan yang cukup rimbun.

Kami hanya tertinggal beberapa meter saja dari rombongan Silver Hawk, jadi setidaknya tidak hanya kami berdua yang melintas di jalur ini menjelang Magrib. Di tengah perjalanan, hampir kami salah belok. Berhubung jalan di sisi kiri kami nampak lebih lebar, lebih datar dan lebih bagus, jadi kami kira itulah jalan menuju Luragung yang sudah tidak jauh lagi.

Ternyata setelah cek di Gmaps, jalur tadi bukan jalur yang di trek menuju Luragung. Malahan, jalur yang hampir kami ambil ini menuju ke perbukitan dan mentok. Baru-baru ini, saya tahu kalau jalan yang hampir kami ambil ini adalah akses menuju pembangunan Waduk Cileuweung yang pengerjaannya sudah dimulai dari 2012 lalu. Dan saya baru tau 2017. Sebelumnya, kami pun menemukan jalan yang baru dibuka, jika membaca artikel mengenai Waduk Cileuweung, bisa jadi, jalur yang satunya merupakan akses masuk menuju lokasi relokasi permukiman warga yang terkena dampak pembangunan Waduk Cileuwung.

Artikel mengenai Waduk Cileuweung dapat dibaca di artikel berikut:

http://www.pikiran-rakyat.com/serial-konten/proyek-waduk-cileuweung-kuningan

http://www.radarcirebon.com/140842.html

Setelah melwati persimpangan dengan jalur menuju proyek pembangunan Waduk Cileweung, jalan kembali menanjak. Pepohonan lebih rimbun sehingga jalanan menjadi lebih gelap, ditambah sudah hampir pukul 18.15 WIB. Ada yang menarik di jalur ini. Di tengah hutan, kami menemukan persimpangan dan di papan penunjuk jalan tertulis arah Lurangung (lurus) dan Cimahi (kanan), sedangkan tempat kami berada saat ini adalah Desa Cibeureum. Kalau begini, kami sudah merasa dekat dengan dengan rumah.

Jalan yang kami lewati akhirnya kembai datar dan masuk ke kota kecamatan Luragung. Disini kami beberapa kali barengan dengan rombongan paling belakang Silver Hawk. Di Luragung, kami pisah jalur. Kami mengambil jalur yang mungkin bisa dibilang lingkar luar Luragung. Kami belok menuju Jalan Garawangi. Kami sempat berhenti untuk Solat Magrib dulu sekalian istirahat.

Sekitar pukul 18.45 WIB kami melanjutkan perjalanan. Sebelum bablas ke jalur pulang, kami mampir di ATM dan mini market. Jalur pulang yang kami ambil merupakan jalur semula menjadi jalur pergi kami. Kami istirahat lagi di mini market di Kota Kuningan karena setelah ini kami akan langsung non stop sampai ke Kadipaten, Kabupaten Tasikmalaya.

Kuningang – Cikijing – Kawali – Panjalu – Kadipaten

Kami lanjutkan perjalanan menuju Darma lalu mengarah ke Cikijing. Pusat kota Kuningan mala mini cukup ramai karena sedang ada kegiatan nonton bareng Persib Vs Persija di salah satu café. Untungnya tidak sampai semrawut seperti di Bandung. Ini pertama kalinya kami berdua melintas di jalur Kuningan – Darma, sementara jalur Darma hingga ke arah Barat merupakan jalur yang sudah cukup sering kami lewati.

Gelap dan dingin. Begitulah kondisi jalur Kuningan – Darma – Cikijing. Kondisi jalan sudah sangat baik, dan meskipun baru pukul 19.00 WIB jalanan sudah sangat sepi. Motor pun dipacu sedikit cepat. Jalur Darma – Cikijing merupakan jalur berkelok dan lebih banyak melintas hutan. Jika dari arah Darma, medan akan menuruni bukit hingga tiba di Kecamatan Cikijing, Kabupaten Majalengka.

Kami tiba di Cikijing sekitar pukul 19.30 WIB. Di persimpangan Cikijing menuju Talaga dan Panawangan kami berhenti sebentar untuk cek rute. Aga ragu juga lewat Panawangan karena sudah malam, tapi lewat Talaga tembus ke Wado pun bukan pilihan yang pas. Sedangkan kalau memutar ke Majalengka kota lalu lewat jalur utama Cirebon – Bandung malah jadi lebih jauh dan males kena macet di Cadas Pangeran sampai Jatinangornya nanti.

Akhirnya kami putuskan lewat Panawangan. Hanya saja jika kami tiba di persimpangan Kawali – Panjalu sudah pukul 21.00 WIB, terpaksa kami bablakan ke arah alun-alun Ciamis dan mengambil jalur utama Ciamis – Bandung. Jalur yang sama dengan jalur pergi kami tadi pagi. Memasuki jalur Cikijing – Panawangan, lalu lintas menjadi lebih sepi lagi. Motor pun kembali dipacu cukup kencang.

Perjalanan adem ayem saja, sampai tiba di dekat persimpangan dengan jalur menuju Situ Wangi, tidak sengaja kami berdua melihat sesosok perempuan berbaju serba hitam kusam dengan rambut dan muka lusuh dan bermata putih. Karena di depan kami ada mobil dan lampunya tepat menyorot ke sosok tadi, kami berdualah yang paling jelas melihat sosok tadi.

Sempat kaget, karena jalur ini memang sepi, masih banyak hutan dan kebun, dan kebeneran malam ini sepi yang melintas. Oke, positif saja tadi orang kurang waras.. Selang dua minggu dari ini, saya kembali melintas di jalur ini dan masih siang. Ternyata kembali bertemu dengan sosok hitam ini. sosok yang kami lihat itu memang benar manusia. Perempuan yang kurang waras dengan pakaian serba hitam dan membawa karung. Lumayan bikin mata melek kembali setelah menahan ngantuk gara-gara udara Panawangan yang dingin.

Setelah melewati persimpangan dengan jalur menuju Situ Wangi, di tengah jalan yang sepi, saya mendengar seperti ada sesuatu yang diemparkan ke arah kami, jatuh dan pecah di belakang. Aria pun denger dan segera menepikan motor. Karena penasaran dan memastikan tidak ada apa-apa, kami sampai putar balik. Benar saja tidak ada apa-apa. Di kanan jalan merupakan lahan kebun yang posisinya lebih tinggi dari jalan. Sisi kiri jalan ada dua rumah atau semacam bengkel semi permanen tapi tertutup rapat dan tidak ada tanda-tanda warga di sekitar lokasi ini.

Setelah memastikan tidak ada yang terlempar dan terjatuh di tengah jalan, dan tidak ada bagian motor yang lepas, kami pun segera tancap gas. Kami tiba di persimpangan Kawali – Panjalu sekitar pukul 20.30 WIB. Berhubung masih dibawah batas waktu yang kami tentukan, jadi kami pun bablas mengambil arah Panjalu.

Ternyata sepanjang jalur hingga masuk Panjalu cukup ramai oleh warga setempat yang baru bubar nonton bareng pertandingan bola. Lumayanlah, kami jadi ada teman di sejalur. Kalau tidak ada yang bubaran nobar, hanya kami berdua yang melintas di jalur ini. Kecamatan Panjalu terletak di area yang cukup tinggi, tidak heran udara disini siang hari saja cukup sejuk, apalagi malam hari seperti sekarang.

Kami berdua sukses melipir dulu di parkiran Situ Lengkong untuk melapis baju kami saking dinginnya. Setelah beres urusan baju, kami pun tancap gas kembali. Sesampainya di Kecamatan Pagerageung, Kabupaten Tasikmalaya, kami memutuskan untuk mencari makan dulu. Kalau sudah masuk jalan raya besar, rasanya sudah malas mau mampir-mampir. Apalagi kalau kami kena macet di Gentong, Malangbong, dan Limbangan. Bawaannya udah pengen cepet-cepet masuk Bandung aja.

Kecamatan Pagerageung sudah merupakan kecamatan yang dekat dengan persimpangan menuju jalan raya utama. Kami melipir di depan Terminal Pagerageung dan memilih Nasi Goreng sebagai menu makan malam. Kami tiba di Pagerageung sekitar pukul Sembilan malam lebih. Nasi Goreng yang kami pesan rasanya enak, penjualnya (mungkin) suami – istri dan sepertinya sudah punya banyak pelanggan tetap. Malam ini saja, hampir semua yang beli kebanyakan nampaknya sudah kenal akrab dengan bapak-ibu penjual nasgor, kecuali kami berdua.

Selesai makan, kami sengaja istirahat dulu karena sehabis ini kami akan kembali non stop sampai Bandung. Kami memang sengaja menargetkan masuk Bandung malam untuk menghindari macetnya weekend di Bandung. 21.50 WIB kami pun melanjutkan kembali perjalanan. Setiba di Kecamatan Kadipaten, kami pun masuk ke jalan raya utama. Jalur setelah ini yang harus kami lewati adalah jalur Gentong. Mudah-mudahan kami tidak terjebak antrian truk dan bus malam di tanjakan Gentong.

Di depan kami hanya ada beberapa mobil pribadi yang dengan cukup mudah kami susul. Memasuki gentong, kami berdua cukup kaget karena jalannya kosong. Bahkan saat itu, hanya kami berdua yang melintas. Sementara dari arah Barat cukup ramai, mulai dari sepeda motor hingga bus malam dan truk besar. Tidak kami sia-siakan, segera saja kami tancap gas sampai di Cipeundeuy.

Kami baru bertemu dengan dua bis malam di jalur kami ketika memasuki Cipeundeuy. Itupun dapat kami susul dengan mudah. Selanjutnya, jalur yang biasanya ramai oleh kendaraan, terutama bis malam adalah Malangbong. Kali ini pun jalur Malangbong – Limbangan sama seperti jalur Gentong, sepi. Hanya beberapa kendaraan pribadi yang kami susul. Selebihnya kosong. Motor pun dipacu cepat tapi tidak ngebut ugal-ugalan.

Dari arah Barat, semakin lama semakin ramai oleh kendaraan yang melintas. Bahkan di Cibatu, kami melihat sekelompok Bobotoh yang sudah nangkring di pinggir jalan. Mungkin baru pulang dari Bandung. Memasuki Cibatu, jalan hanya ramai di persimpangan Cibatu menuju Garut dan yang menuju Limbangan. Memasuki Limbangan pun, jalanan lancar. Bahkan pasar Limbangan pun dapat kami lewati tanpa antrian.

Kami terus bablas menuju Nagreg. Jalanan benar-benar kosong. Sesekali kami menyusul kendaraan pribadi dan sepeda motor dengan mudah. Akhirnya kami masuk Lingkar Nagreg. Arus lalu lintas sedikit ramai dan kami akhirnya bertemu bis malam dan truk, tapi masih termasuk yang tidak padat. Perjalanan kami sangat lancar, bahkan setelah kami jalan santai sepanjang Rancaekek – Cibiru pun, masih dapat dibilang cepat.

Saya tiba di rumah sekitar pukul 23.30 WIB. Rekor baru total lama perjalanan hanya 1,5 jam dari Pagerageung ke rumah. Biasanya bisa 2 sampai 2,5 jam kalau jalan ramai. Kalau kena macet di Gentong sampai Nagreg mungkin bisa lebih dari dua jam. Perjalanan 1 day trip ke Salem Kab. Brebes pun selesai. Akhirnya sudah tidak terlalu penasaran sama jalur Salem. Tapi masih ada PR untuk mengunjungi tempat-tempat wisata lainnya di Salem dan jalur tembusan Salem – Buniayu yang katanya ga kalah serunya. Mungkin lain waktu.

 


About Dya Iganov

Penyuka traveling, tidak hanya mendaki gunung, tapi juga touring, rafting, explore, city tour, kemping ceria, susur pantai, dll