Setelah ditunda-tunda, akhirnya jadi juga berkunjung ke Curug Bugbrug. Kami berangkat pukul 10.00 pagi dari rumah berhubung jaraknya tidak terlalu jauh, kondisi jalan yang sangat baik, serta patokannya yang tidak terlalu sulit. Baru saja jalan, ga lama gerimis pun turun. Berhubung lokasi dan medannya yang sebagian besar infonya sudah kami pelajari, hujan pun sepertinya ga masalah. Sekiar dua hari yang lalu ada teman yang datang ke Curug Bugbrug dan sedikit surut, padalah empat hari sebelumnya, ada juga teman yang datang ke Curug Bugbrug dan cukup deras. Kami sih berharap semoga saja lagi bagus airnya. Jalanan cukup lancar, sampai di dekat Parongpong ternyata langitnya tambah gelap dan mulai gerimis lagi. Berhubung motor kami hampir abis bensin, jadi kami mampir dulu ke SPBU. Dari SPBU kami mapir ke mini market untuk beli cemilan, berhubung kali ini perjalanan kami ga terlalu jauh dari rumah. Tepat sehabis beli cemilan, ujan deres. Seneng sih, soalnya airnya bakalan gede, tapi aga males juga kalau belum sampe udah basah-basahan duluan. Akhirnya kami nunggu dulu sampai ujannya sedikit reda.
Ternyata ujannya ga lama, pas masih gerimis, kami pun jalan lagi. Berhubung patokan pertama sudah cukup jelas, ga lama, kami pun tiba di perbatasan Kecamatan Parongpong dengan Kecamatan Cisarua. Berhubung sedikit ragu, akhirnya kami belok ke arah CIC. Sedikit aga ga yakin sih, soalnya kalau di patokan yang saya baca, kayanya ga sampe masuk ke jalan kecil lagi, tapi ya sudahlah. Setelah lewat beberapa tanjakan, akhirnya kami berhenti dan nanya warga. Dari dua warga yang kami tanya, mereka bilang jalan masuknya ke lewat. Jalan masuknya ada di samping pos yang ga kepake. Nah, ini makin beda, kalau di sumber yang saya baca malah patokannya adalah pager hitam. Kami pun balik arah dan di rumah pertama yang kami temui, kami nanya lagi. Bapa ini ga begitu ngeh, malah bilangnya kalau mau gampang mah masuknya dari bawah, bapa itu pun pamit. Karna ga ada lagi yang bisa ditanya, kami pun masuk ke rumah di tempat kami berhenti.
Kami langsung ketemu sama pemiliknya, dan yang dibilang sama bapa ini ga jauh beda sama bapa yang sebelumnya, hanya lebih informatif. Bapa ini bilang, jalan ke Curug Bugbrug ada di samping pos tepat setelah rumahnya. Jalannya kecil, licin, dan turun terus sampe jembatan. Jalan kedua, dari bawah, yang dari pinggir jalan. Akhirnya daripada penasaran kami pun cek jalan yang dari samping pos. Berhubung feeling kalau ini jalan bakal tembus dari bagian atas curug dan kalau mentok harus balik dengan nanjak, jadi saya mutusin buat nunggu ajah. Ternyata setelah di cek, bener aja, ini jalan yang dari arah atas dan sedikit susah, soalnya harus nyebrang jembatan dan kalau mau pulang jaraknya jauh dan nanjak. Akhirnya kami pun balik lagi ke rumah, ambil motor. Jelas, ini beda jauh dari beberapa sumber yang saya baca. Ya sudah akhirnya kami balik lagi ke jalan raya dan nerusin jalan ke arah Cisarua. Ga jauh dari jalan kami, ternyata di sisi kanan jalan ada gerbang hitam persis kaya yang saya liat di sumber yang saya baca. Kami pun putar arah lagi. Setelah diperhatiin, ga jauh dari sini ada tugu perbatasan Kecamatan Prongpong dengan Kecamatan Cisarua yang bisa jadi patokan kedua, setelah pertigaan CIC. Patokan ketiga adalah Curug Cimahi yang berada ga jauh dari lokasi gerbang ini. Jadi, kalau udah liat Curug Cimahi, berarti jalan masuknya kelewat.
Pagernya ditutup, hanya pager kecil di pojok kanan yang dibuka. Sebenernya sih ini buat akses pejalan kaki kalau liat dari ukuran gerbangnya. Kami masuk dan kebeneran ada bapa yang lagi motong rumput. Kami pun nanya-nanya. Kalau kata bapa ini sih, kami sebenernya ga boleh masuk sini, kalaupun mau masuk, motornya disimpen di luar gerbang. Ya elah, risikonya gede banget, di tinggal di pinggir jalan trus sepi gini. Akhirnya kami pun bingung. Bapa ini akhirnya bilang, simpen aja motornya di sini dan nanti kalau di depan ada yang kerja bilang aja ijin nitip motor. Bapa ini juga bilang kalau lahan ini lahan pribadi, makanya di pager dan ga bisa sembarang masuk, tapi berhubung lagi sepi banget, ya udah simpen dan masuk aja. Kami pun mulai trekking. Ga jauh dari tempat kami nyimpen motor, singkapan lava dari Gunung Sunda pun muncul. Niatnya sih mau foto tepat di bawah batunya, tapi ternyata di bawah batu itu udah banyak banget pupuk kandang. Berkarung-karung pupuk kandang siap diangkut mejeng cantik dan akhirnya kami pun ambil foto dari jauh aja.
Kalau liat dari jalan masuk, sekeliling medan trekking, ini kayanya cocok sama sumber yang saya baca, artinya kami hanya nyasar sedikit aja. Ga jauh dari tempat singkapan lava tadi, ada kolam buatan yang sekaligus di bendung di sisi kanan jalan setapak, lengkap sama pengendali aliran air yang nantinya bergabung ke aliran sungai alami di sisi kiri jalan setapak. Di samping jalan setapak udah ditanem pepohonan yang emang sengaja ditanem dan ditata seemikian rupa, ada pager bambu pendek pembatas jalan setapak dengan aliran sungai dan kebun di sisi kiri. Pokonya keliatan banget deh buatannya. Setelah ambil foto sebentar, mata kami tertuju sama gazebo di ujung kolam. Wah, ternyata udah dibuatin fasilitas juga, lumayan buat istirahat. Gazebonya kosong, hanya ada barang-barang dari pekerja. Kolam di kanan kami langsung dibatasi sama dinding yang batuannya ampir sama kaya singkapan lava yang sebelumnya kami lihat. Kami ga mampir ke gazebo karena pengen cepet-cepet sampe di Curug Bugbrug. Ga jauh dari kolam tadi, jalan setapaknya sedikit nanjak, dan pas di ujung tanjakan, ada lagi saung kecil di sisi kiri.
Pemandangan dari saung ini jauh lebih kebuka. Di kanan jalan setapak, tebing yang sedikit longsor dan di sisi kiri terhampar luas hijau kebun penduduk sampai ke puncak bukit. Jalan setapak ini ada diantara dua tebing, tepat di dasarnya. Langit yang mendung, angin sepoi-sepoi, suasana yang sepi, pemandangan yang bikin seger mata bikin jadi sedikit ngantuk saking segernya. Ternyata, kunci motor masih ngegantung di motor, akhirnya saya nunggu dulu di sini. Ga lama, kami pun nerusin jalan. Medannya bersahabat banget, meskipun masih tanah dan kecil, tapi medannya kebanyakan datar. Dari gerbang sampai ke depan Curug Bugbrug pun ga terlalu laam, hanya butuh waktu sekitar 15 menit untuk trekking kalau ga banyak berhenti. Ga jauh dari tanjakan tadi, jalan kembali datar dan akhirnya keliatanlah Curug Bugbrug dari kejauhan. Segeeerr.
Sebelum sampai di depan Curug Bugbrug, kami ngelewatin kolam buatan lengkap sama jembatan bambunya. Ga disia-siain kami pun ambil foto lumayan banyak di sini. Setelah itu kami pun pindah ke Curug Bugbrug dan foto-foto lagi sampe mati gaya. Pengunjung Curug Bugbrug hari ini hanya kami berdua, jadi leluasa banget ambil foto dari berbagai angel. Akhirnya kami mutusin untuk istirahat dulu buka cemilan, dan ada yang nyamperin kami. Kami pun mau bilang, minta ijin untuk titip motor di depan, soalnya ga ada orang. Siapa sangka, setelah kami bayar retribusi, kami pun ngobrol seru di saung yang udah ga terawat sambil nunggu ujan berenti.
Sedikit cerita mengenai jalur terakhir menuju Curug Bugbrug, pemasangan pagar tanpa penunjuk arah bukan tanpa maksud tertentu. Menurut pemaparan Ujang, pemuda yang biasa menarik retribusi sebesar Rp 7.500,00 per orang, Rp 2.000,00 untuk sepeda motor dan Rp 5.000,00 untuk mobil, area sekitar Curug Bugbrug ini sudah dibeli oleh pihak swasta. “Orang Cina” begitu Ujang menyebutnya. Meski terengar sedikit rasis, tetapi setidaknya sebutan inilah yang melekat pada warga karena mindset terdahulu. Singkat cerita, lahan di sekitar Curug Bugbrug dari pinggir Jalan Raya Parongpong-Cisarua, bahkan sampai lahan kebun warga di lereng sebelah kiri (yang merupakan lereng dari jalur masuk Dusun Bambu) sudah dibeli dan rencananya akan segera dibangun. Sedangkan keluarga Ujang, sudah turun temurun merupakan pemilik lahan di sekitar Curug Bugbrug yang persis berada di dekat air terjun. Menurut Ujang, lahan milik keluarganyalah satu-satunya yang bertahan belum menjadi hak milik pengembang. Rencananya dari pagar di pinggir Jalan Raya Parongpong-Cisarua ini akan dibuat lahan parkir yang bahkan akan muat untuk Bus, cafe, serta beberapa fasilitas bermain anak. Memang, dari jalan setapak ini sudah mulai ada pemugaran kolam yang aslinya adalah cekungan tempat menampung jatuhan air dari tebing yang juga merupakan air buangan dari permukiman di atasnya. Air dari kolam ini kemudian dibendung dan dibuatkan katup untuk mengalir ke saluran air alami yang lebih jernih di samping lahan kebun penduduk. Rencananya lahan parkir akan sampai di sini.
Setelah kolam, akan ada saung di kiri jalan setapak yang menurut Ujang akan dibangun Cafe dan beberapa fasilitas lainnya. Tepat di pinggir kolam pun sudah ada gazebo yang cukup besar. Lahan kebun warga yang berada di lereng sebelah kiri jalan setapak ini pun tidak luput dari rencana pembangunan, bahkan sampai ke puncak tebingnya pun sudah menjadi hak milik pengembang. Kembali ke jalan setapak, tepat setelah gazebo kedua yang berada di sisi kiri jalur akan ditemukan kolam buatan yang menampung air dari kolam Curug Bugbrug lengkap dengan jembatan bambu. Nampak di sisi kirinya, di atas lahan yang sedikit lebih tinggi akan ada beberapa saung yang kondisinya sudah tidak terawat yang dulu digunakan sebagai tempat berjualan. Sekarang, jarang sekali penjual, kecuali pada Sabtu dan Minggu, itupun tidak seramai di Curug Cimahi. Selain itu, ada toilet yang sudah tidak dapat digunakan dan saung kecil tempat untuk beribadah yang kondisinya sama tidak terawatnya. Dari batas kolam hingga lahan kebun di puncak bukit, di sebelah Masjid yang masih menjadi miliki Ujang dan keluarganya. Menurut Ujang, keluarganya tidak akan menjual tanah, kecuali hak sewa pakai, sehingga Ujang dan keluarganya masih mendapat keuntungan langsung dari rencana dikembangkannya Curug Bugbrug oleh pihak swasta. Sebenarnya ada kekhawatiran Ujang, yaitu penutupan akses oleh pihak pengembang yang sebenarnya malah akan merugian pengembang sendiri. Kepemilikan lahan Ujang dan keluarganya yang berada dekat dengan lokasi Curug Bugbrug dapat dimanfaatkan dengan penarikan retribusi yang berbeda dengan yang diberlakukan pengelola yang berakses dari pinggir jalan raya Parongpong – Cisarua. Penetapan retribusinya bisa saja berada jauh di bawah harga pengembang karena tidak ada fasilitas apapun hanya jasa untuk menitipkan dan menjaga kendaraan.
Menurut informasi Ujang, pihak Dusun Bambu pun tidak mau kalah dengan berencana untuk membuat akses sendiri langsung dari dalam Dusun Bambu. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap penarikan retribusi. Pemasukan pihak Dusun Bambu akan bertambah dengan dibukanya akses tertutup khusus bagi pengunjung Dusun Bambu. Hal yang menjadi pikiran Ujang adalah, warga yang juga tetangganya yang sudah semua lahan mereka yang berada tepat di bawah rumah mereka kepada pihak swasta. Kebun tersebut merupakan salah satu sumber pendapatan tambahan dan juga sebagai pemenuhan pangan tambahan yang kini akan segera beralih fungsi. Sebenarnya, pengembang yang akan merubah area Curug Bugbrug ini masih bersaudara dengan pemilik Dusun Bambu, sehingga kedepannya tidak dapat diprediksi akan ada berapa akses masuk lagi yang akan dibuka.
Yang juga menjadi perhatian adalah batuan di tebing tepat di dekat gerbang masuk di jalur Jalan Raya Parongpong-Cisarua yang merupakan batuan tua. Batuan tersebut masih merupakan lava beku hasil letusan Gunung Sunda. Apakah akan sepenuhnya tertutup oleh bangunan hasil pengembangan atau tetap ada ditempatnya semula tanpa tersentuh pengembangan, atau bahkan menjadi perhatian tersendiri dari pihak pengembang. Memang, saat ini akan sulit mendapat ijin masuk melalui gerbang di pinggir jalan Raya Parongpong – Cisarua, oleh karena itu disarankan untuk mengambil jalur masuk dari Masjid sebelum gerbang masuk Dusun Bambu.
Setelah hujan sedikit reda, saya mutusin untuk nunggu Ujang dan partner saya naik ke atas tebing karena penasaran sama akses yang dari deket Dusun Bambu. Ternyata lama juga, hampir satu jam dan malah sampai ujannya berenti belum balik juga. Akhirnya partner saya dateng, tapi ga bareng Ujang, katanya masih ada kerjaan di kebun. Kami pun foto-foto lagi sebentar dan siap-siap untuk pulang. Pas lagi siap-siap ada bapak yang abis kerja dan mau pulang, bilang kalau gerbang depan digembok jam 16.00. Dan sekarang jam 15.00, lumayan mepet juga. Kami pun ke tempat motor diparkir. Tempat ini bener-bener udah sepi, ga ada orang lagi selain kami berdua dan seorang pekerja yang juga udah siap mau pulang. Kebanyakan warga pulang lewat jalur yang tadi ditunjuk sama Ujang, jarang warga yang lewat gerbang ini.
Gerbang masuk di pojok tadi pun udah ketutup. Sedikit cemas, saya pun cek. Ternyata masih belum digembok. Baru sadar kalau ternyata ada portal lagi tepat di pinggir jalan dan udah ditutup dan digembok. Panik. Gimana bisa pulang kalau digembok gini. Sempet mikir gimana caranya biar motor bisa keluar. Dari mulai naikin motor ke kebun warga trus cari jalan keluar dari sisi kanan atau nurunin motor ke aliran sungai di sisi kiri. Di sisi kiri area ini ada jalan setapak kecil tapi beda tingginya lumayan jauh. Sampe kepikiran buat ngegelosorin motor ke bawah portal. Udah panik, kaya orang bingung di pinggir jalan raya. Akhirnya partner saya pun nanya ke pekerja yang tinggal satu orang ini. Sayangnya, orang yang pegang gembok udah pulang dari jam 14.30 dan rumahnya jauh. Nah loh! Entah gimana, saya spontan aja jalan ke arah portal dan ngotak-ngatik rante, ternyata ga digembok! Jadi rante emang dililit-lilit, tapi gembok cuman dicatelin aja, ga dikunci. Akhirnya, cepet-cepet kami keluarin motor dan pulang.