Libur Natal kali ini, saya dan suami akan mengunjungi beberapa air terjun di daerah Pangrumasan dan Cihurip, Kab. Garut. Air terjun yang rencananya akan kami kunjungi yaitu Curug Batu Nyusun di Kec. Peundeuy dan Curug Nyogong di Kec. Cihurip. Sebenarnya ada Curug Koncrang yang juga berlokasi di Kec. Peundeuy, tapi akhirnya pilihan jatuh pada Curug Batu Nyusun di Kec. Peundeuy. Karena rencana pergi ini dadakan, jadi kami hanya pergi berdua saja. Kalau libur panjang begini, mencari teman yang bisa diajak dadakan sangat sangat susah.
Ketika ga sengaja sedang chating dengan Mitra, ternyata posisinya sekarang ada di Singajaya. Langsung saja saya ajak untuk ke Pangrumasan. Sekedar informasi, jalan menuju Pangrumasan pasti akan melewati Singajaya. Saya pun segera tanya info-info tentang Desa Pangrumasan. Kondisi jalan menuju Pangrumasan, jalur yang harus dilewatin, jalur tembus dari Pangrumasan ke Cihurip, dan ga ketinggalan, siapa tau ada info tambahan dri warga tentang curug-curug yg akan kami cari.
Info dari Mitra pun datang. Menurut warga di Singajaya, jalan menuju Peundeuy searah dari Singajaya. Benar-benar tinggal ikuti jalan utama Singajaya. Kondisi jalan sampai Kec. Singajaya sudahbaspal mulus, tapi selepas Singajay sampai ke Pangrumasan jalannya jelek. Ada yang bilang jeleknya hanya aspal desa yang mengelupas, ada juga yang bilang jalan batu. Sudah bisa ditebak daerah Selatan memang tidak bisa dipisahkan dari jalan batu. Mengenai jalan tembus ke Cihurip dari Pangrumasan, kata warga, tetap harus balik lagi ke Singajaya baru ke Cihurip.
25 DESEMBER 2015
Seperti biasa, rencana berangkat subuh jadinya kesiangan. Kami baru keluar rumah sekitar pukul 06.00 WIB. Untungnya, jalur yang kami lewati kali ini bukan termasuk jalur yang ramai meskipun long weekend. Jalur yang kami lewati adalah Sapan – Majalaya – Ibun – Lingkar Monteng – Kamojang – Samarang, lalu tembus ke jalur utama Garut – Cikajang. Di Cikajang, jalur yang kami ambil adalah yang mengarah ke Banjarwangi – Singajaya – Peundeuy – Desa Pangrumasan.
Jalanan baru ramai setelah kami masuk Samarang. Kami berhenti sejenak di mini market di daerah Samarang. Baru juga jalan kurang dari dua jam, tapi rasanya sudah mulai ngantuk lagi. Akhirnya kami berhenti agak lama disini. Sekitar pukul 08.00 WIB, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Perjalanan kami cukup lancar sampai memasuki Pasar Cikajang. Di Pasar Cikajang, arus lalu lintas sedikit terhambat.
Selepas Pasar Cikajang, jalan kembali sepi. Kami bahkan tidak perlu waktu lama untuk masuk ke jalur Banjarwangi – Singajaya. Kondisi jalan yang kami lewati sangat mulus dan kebetulan cuaca sedang cerah. Puncak-puncak bukit dan jurang dalam yang tepat berada di sisi jalan terlihat jelas. Jurang di sisi kiri kami ini cukup dalam. Di dasar jurang mengalir sebuah aliran sungai besar bernama Ci Udian. Sungai ini nantinya akan bersatu dengan aliran sungai utama yang bermuara tepat di sisi luar Cagar Alam Leuweung Sancang.
Awalnya, pemandangan dan udara segar di kaki Gunung Cikuray ini sukses mengusir kantuk saya, tapi karena udaranya dingin dan lebih segar, saya pun mengantuk lagi. Jalan dari Cikajang hingga Singajaya memang berkelok-kelok dan sempit, tapi karena jalannya sudah aspal mulus, malah jadi cepet ngantuk. Lain ceritanya kalau leway di jalur tepat selepas pukul 18.00 sampai pukul 21.00 WIB, dijamin ngantuk pun hilang. Jalur ini berada di kaki Gunung Cikuray, jadi, selepas pukul 18.00 WIB terkadang kabut sangat tebal mulai turun. Jarak pandang pun bisa kurang dari 1 m.
Ini kali ketiga saya lewat jalur ini, dan ini pertama kalinya saya lewat ketika masih ada matahari. Rasanya sudah jalan lama tapi kami ga sampai-sampai juga di Singajaya. Kakau lihat waktu tempuh pun, baru dua jam dari Samarang, waktu standar. Kami sempat istirahat lagi di Banjarwangi. Padahal saya kira kami sudah sampai di Singajaya. Karena perjalanan kami masih sangat sangat jauh, jadi kami tidak berhenti lama disini.
Kami janjian dengan Mitra tepat di perbatasan Kec. Singajaya dengan Kec. Peundeuy. Memasuki Kecamatan Peundeuy, jalan lebih banyak didominasi turunan. Turunan panjang dan curam harus kami lewati. Akhirnya kami sampai di tempat janjian dengan Mitra. Tidak ada siapa-siapa. Berhubung cuaca terik dan mulai ngantuk lagi, setelah memberi kabar kami sudah sampai, kami pun melipir di saung pinggir jalan. Menurut info yang saya dapat dari sosmed, jalan menuju Pangrumasan batu-batu. Treking menuju curug pun sekitar satu jam.
Curug Batu Nyusun yang akan kami datangi berada di Kp. Cikuda, Desa Pangrumasan, Kecamatan Peundeuy, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Nama Kecamatan Peundeuy sendiri baru saya dengar ketika melihat postingan Curug Batu Nyusun ini. Ternyata Mitra datang bersama tantenya. Berhubung tantenya balik ke arah Cikajang, jadi kami menunggu ELF jurusan ke Cikajang lewat dulu. Sambil menunggu sambil iseng bertanya ke tukang ojek.Jawaban yang kami dapat beragam. Untuk masalah jalur menuju Pangrumasan, kami sudah ada di jalur yang benar. Mengenai Curug Batu Nyusunlah yang menjadi perdebatan. Ada beberapa tukang ojek yang bilang kalau di Pangrumasan sama sekali tidak ada curug. Ada juga yang bilang, kalau curug yang di Pangrumasan bukan Curug Batu Nyusun. Yang lainnya bilang pernah dengar nama Curug Batu Nyusun di Pangrumasan. Tante teman saya pun bahkan bilang di Pangrumasan tidak ada curug, yang ada jalannya hancur lebur.
Saya sendiri lebih percaya feeling kalau postingan teman saya itu tidak salah lokasi. Teman saya itu benar-benar datang sendiri ke Curug Batu Nyusun, dan teman saya itu sama seperti saya, mengumpulkan informasi tentang objek wisata dengan lokasi yang selengkap-lengkapnya dan sebenar-benarnya. Bagi kami, cara untuk meluruskan informasi mengenai suatu objek wisata di suatu wilayah dengan cara datang langsung ke objek wisata tersebut.
Karena malas berdebar panjang mengenai lokasi yang saya saja belum terlalu kenal, jadi ya hanya senyum-senyum saja. Satu informasi lagi, kalau mau ke Cihurip, kami harus balik ke Singajaya. Tidak ada jalan tembus dari Pangrumasan ke Cihurip. Pangrumasan itu istilahnya seperti ‘jalan buntu’, mentok disitu. Elf jurusan Cikajang pun datang. Kami pun langsung meluncur menuju Pangrumasan. Jalan di depan kami sudah merupakan jalan tak beraspal. Aspal yang ada pun hanya tinggal sisa-sisa, selebihnya, lubang dan batuan lepas.
Makin lama, jalannya makin sepi. Makin jauh dari permukiman, sungai besar di sisi kiri jalan pun menghilang, diganti dengan kebun-kebun. Jalan yangkami lewati semakin hancur dan akhirnya menjadi makadam. Medan jalan terus menurun meskipun tidak curam. Tanjakan hanya sesekali kami temui. Cuaca sangat cerah. Malah kami merasa cukup kepanasan. Makin lama, jalan makin sepi dan ga meyakinkan. Kamipun beberapa kali bertanya ke warga yang susah sekali ditemui di jalan ini saking sepinya. Dan ternyata sudah benar jalur kami ini.
Hanya ada satu informasi dari warga yang bisa sedikit meyakinkan. “Kalau nanti sudah ketemu turunan panjang, nanti belok kanan setelah turunan. Setelah itu, nanjak aja terus, sampe di Desa Pangrumasan. Masih jauh.” Begitu kira-kira patokan kami berikutnya. Berhubung kami ga tau maksudnya turunan panjang itu seperti apa, jadi setiap jalannya menurun, kami pasti celingukan dulu.
Akhirnya kami ngerti maksudnya turunan panjang itu apa. Jalan yang kami lewati ini sampai di punggungan bukit. Kanan dan kiri kami jurang yang sangat dalam. Jalan satu-satunya yang harus kami lewati yaitu yang menuju jurang di sisi kanan kami. Di kejauhan, tepatnya di bukit di seberang kanan kami terlihat permukiman yang cukup ramai. Dari lokasi ini, jalan sudah makadam sangat amat jelek sekali.
Selepas lokasi saya bertemu Mitra, arus lali lintas semakin sepi. Kami sangat jarang papasan atau bareng dengan kendaraan lainnya. Sampai di punggungan ini pun, hanya motor kami bertiga yang melintas. Di sisi jalan setidaknya ada dua sampai tiga warung yang menjual minuman dan cemilan. Sudah ada lima motor warga yang sedang beristirahat di dalam warung. Mitra pun bertanya jalur menuju Pangrumasan ke salah satu warung tersebut.
Rumah-rumah di bawah di seberang kanan tempat kamilah Desa Pangrumasan. Artinya, kami harus melewati turunan panjang dan curam. Lokasi warung ini ada di puncak bukit, tepatnya di punggungan dan Desa Pangrumasan ada di dasar bukit ini. Bukit tempat kami bertanya di warung ini termasuk cukup tinggi, meskipun saya tidak bisa mengira-ngira berapa ketinggiannya. Susah payah kami lalui turunan makadam yang curam, panjang, dan batuannya sebagian banyak yang lepas dan hilang ini.
Sampai juga kami di dasar bukit. Hanya ada beberapa rumah di ujung turunan yang baru saja kami lewati, tapi ini sudah masuk wilayah administrasi Desa Pangrumasan. Jalan di depan kami masih makadam tapi sedikit menanjak. Sedikit demi sedikit kami masuk ke wilayah permukiman. Meskipun ini masih jam 11.30 WIB, tapi sangat sangat sangat sepi. Kami tiba di persimpangan. Ada papan penunjuk jalan sederhana dari kayu seadanya yang menunjukan jalan di kiri kami adalah yang menuju Toblong, Maroko dan berujung di Perkebunan Miramareu. Perkebunan Miramareu sendiri sudah termasuk wilayah pesisir dan perbatasan antara Kabupaten Garut dengan Kabupaten Tasikmalaya.
Sesuai petunjuk salah satu warga yang kami tanya tadi, jalan yang kami ambil setelah turunan panjang adalah jalan yang menanjak ke kanan. Jalan di depan kami ini sama sulitnya dengan turunan panjang yang baru saja kami lewati. Bedanya, kali ini tanjakan sangat panjang dengan jalan makadam yang sangat sangat hancur. Susah payah motor saya naik, karena saya dan suami berboncengan. Kali ini, MX saya sukses nanjak sampai habis tanpa nurunin paksa boncengers.
Setelah tiba di atas tanjakan, jalan di depan kami malah makin membingungkan. Sama sekali tidak ada permukiman dan hanya ada kebun di sisi kanan kami, jurang di sisi kiri kami. Kami jalan pelan-pelan dan kami langsung berhenti ketika mendapat jalan yang sedikit datar. Kami berhenti tepat di samping jalan setapak menuju kebun. Di tanjakan yang baru saja kami lewati, saya tidak sengaja melihat satu buah air terjun yang cukup besar. Dan kalau mengira-ngira posisinya, jalur masuk menuju air terjun tadi adalah jalan setapak di sebelah kami.
Ragu antara coba cek jalur menuju air terjun yang baru saja kami temui atau menoba jalan terus sampai bertemu warga yang bisa kami tanya. Kami mendengar suara motor. Akhirnya ada juga orang yang bisa kami tanya. Dua orang warga yang usianya jauh lebih muda dari kami memberi informasi kalau mereka tidak tahu curug tujuan kami, tapi kalau Curug Koncrang masih di depan. Kalau saya tidak salah, lokasi Curug Koncrang itu berdekatan dengan Curug Batu Nyusun yang kami cari, jadi kami sudah ada di jalur yang tepat.
Saya dan Mitra menunggu di pinggir jalan sementara suami mengecek jalan setapak. Cukup lama juga jalannya, berarti antara jalannya jauh atau memang bukan ini jalannya. Setelah hampir tiga puluh menit, suami pun kembali. Menurutnya, jalan ini bisa menuju ke air terjun yang tadi saya lihat di tanjakan, hanya saja jalan ini tembus di bagian atas curug, jadi, masih harus turun lagi lewat pematang sawah. Curug yang terlihat dari jalan setapak ini hanya dua tingkatan, tapi kemungkinan lebih dari dua tingkatan.
Ga banyak buang waktu, kami pun lanjutin jalan. Sisi kiri jalan yang kami lewati ini adalah jurang yang cukup dalam. Di seberang jurang, terlihat permukiman penduduk yang cukup ramai. Jalan yang kami lalui semakin rusak dan jelek. Medannya terus turun. Meskipun turunannya tidak panjang dan tidak curam, tapi batu-batunya yang besar sempat membuat ban belakang beberapa kali tersangkut. Jalan semakin menyempit dan akhirnya melewati kebun lagi. Masih tidak ada warga yang bisa kami tanya disini.
Bahan bakar motor saya sudah hampir habis. Berhubung kami belum tahu sejauh mana lagi tujuan kami, makan begitu kami masuk kawasan permukiman, kami langsung cari penjual bensin eceran. Agak khawatir juga soalnya dari tadi kami belum memasuki area permukiman lagi. Posisi kami cukup jauh dari permukiman warga sebelumnya, di dekat pertigaan menuju Maroko.
Untunglah ada satu rumah yang menjual bensin eceran. Kami pun berhenti. Sambil mengisi bahan bakar sambil bertanya lokasi Curug Batu Nyusun. Awalnya kami hanya bertanya ke ibu penjual bensin, tapi akhirnya malah jadi satu kampung yang ikut nimbrung. Tetangga ibu penjual bensin ternyata tau curug yang kami maksud dan menunjukan jalannya. Menurut ibu ini ada dua jalan, yang satu dari dekat lokasi kami sekarang, dan yang satu lagi dari kebun di bukit di seberang lokasi kami.
Semakin lama, semakin banyak warga yang nimbrung dan masing-masing sepertinya merasa tau curug yang saya maksud. Tapi, sayangnya tidak ada yang kompak. Saat obrolan denagan ibu-ibu warga sini, hanya saya yang mengerti apa yang diucapkan ibu-ibu ini, sementara suami dan Mitra tidak ngerti, karena berasal dari luar Jawa Barat. Karena makin banyak yang nimbrung dan ga ada satupun informasi yang bisa ditangkap, akhirnya ibu yang jual bensin pun memanggil salah satu warga yang masih terbilang muda.
Warga ini kebeneran tahu lokasi Curug Batu Nyusun. Ibu penjual bensin pun meminta tolong warga ini untuk mengantar kami. Kami disuruh lewat jalur di dekat rumah sala satu warga (saya lupa namanya). Pemuda ini pun setuju dan akhirnya kami melanjutkan perjalanan menuju jalur yang benar. Jalan di depan kami benar-benar makin mengecil dan langsung turunan panjang dengan batuan lepas. Kira-kira 2 meter ke depan, jalan kami melintasi aliran sungai yang cukup besar namun aliranya tidak terlalu deras.
Jalan kemudian sedikit membaik kondisinya. Kami melewati Kantor Desa Pangrumasan. Ternyata, jalan dan bangunan-bangunan yang sedang kami lalui ini adalah permukiman yang kami lihat sewaktu kami berhenti untuk mengecek jalan ke air terjun. Setelah lewat kantor desa, kami baru memasuki area permukiman warga yang paling ramai. Tepat di rumah terakhir setelah pertigaan, pemuda yang mengantar kami berhenti. Ternyata ini adalah rumah warga yang dimaksud ibu penjual bensin tadi.
Pemuda tadi menjelaskan maksud kedatangan kami ke pemilik rumah. Pemilik rumah adalah bapa-bapak umurnya sekitar 30-40an yang cukup ramah. Meskipun ramah, tapi penampakannya lumayan sangar. Bapak ini memberi informasi kalau jalan ke Curug Batu Nyusun ditempuh dengan berjalan kaki kurang lebih satu jam. Saya dan suami menyusun ulang barang bawaan di dalam tas. Barang-barang yang bisa ditinggal seperti baju ganti, sandal gunung, dan beberapa benda lainnya kami titipkan ke ibu pemilik rumah.
Tidak disangka, akhirnya bapak pemilik rumah ini mau mengantar kami ke Curug Batu Nyusun. Alasannya, karena ada sebagian trek yang cukup membingungkan bagi selain warga disini. Perjalanan pun dimulai. Pertama-tama kami masih menyusuri jalan desa yang berupa turunan. Kemudian setelah turunan, jalan desa kembali menanjak, namun di sisi kiri jalan ada jalan menuju pematang sawah. Jalan menuju pematang sawah inilah trek kami.
Awalnya, jalan berupa pematang sawah yang masih datar-datar, namun ada sebagian yang basah. Maklum, sudah musim hujan, sinar matahari jarang muncul lama di daerah sini, tutur bapak yang mengantar kami. Selain bapak pemilik rumah, ada dua orang pemuda lainnya yang ikut menemani, termasuk pemuda yang disuruh mengantar kami oleh ibu penjual bensin. Pematang sawah yang kami lalui semakin lama semakin mengarah ke aliran sungai. Benar saja, kami harus menyeberangi saluran irigasi tanpa jembatan, alias harus nyemplung.
Setelah nyemplung, trek kami kembali menanjak. Trek kami hampir semuanya merupakan pematang sawah. Jadi, baik medannya menanjak atau menurun, bentuknya tetap pematang sawah. Pematang sawah yang kami lalui ini jauh lebih kecil dari pematang-pematang sawah yang biasa ditemui di kota. Tanahnya pun tidak sepenuhnya kering. Jarak antar pematang sawah yang lebih tinggi dengan yang di bawahnya pun lumayan jauh. Saya yang baru blusukan lagi seperti ini lumayan kesulitan berjalan. Jadi, saya dan suami sedikit tertinggal dari yang lainnya.
Rombongan depan nampak menuju kebun dan tidak lagi menyusuri pematang sawah. Kami pun mencari pematang sawah mana yang mengarah ke kebun tersebut. Di kebun ini, kam istirahat sejenak. Ada saung kecil dengan kondisi seadanya. Hanya bisa dua sampai tiga orang yang duduk di saung, itupun hanya di bagian luarnya saja. Kebun tempat kami saat ini dipenuhi ilalang. Tinggi ilalang di tempat kami semuanya lebih tinggi dari kami. Warga yang ikut mengantar kami menebas ilalang yang menghalangi perjalanan kami.
Jalur berikutnya sudah bukan pematang sawah lagi, tapi jalan setapak di kebun. Jangan bayangkan jalan setapak ini seperti yang ada di Tahura atau jalur-jalur pendakian resmi. Jalan setapaknya benar-benar tertutup ilalang yang lebih tinggi dari kami. Bahkan, ada beberapa lubang dalam di jalan setapak menurun. Lubang-lubang ini tertutup rapat oleh ilalang. Selain itu, batuan pijakan di medan turunan ini adalah batuan lepas. Tidak ada batang pohon besar yang bisa dijadikan pegangan. Jadi, antara sedikit berperosotan atau minta bantuan untuk dipegangi selama turun.
Curug Batu Nyusun yang kami cari belum juga terlihat, padahal kami berjalan sudah hampir satu jam lamanya. Jalan setapak kami mencapai ujungnya. Di depan kami mengalir sungai yang cukup lebar dengan air yang sangat jernih. Alirannya tidak terlalu deras. Untuk menuju sungai, kami harus sedikit ngesot. Posisi kami jauh lebih tinggi dibandingkan batas sungai. Karena ini sungai yang masih alami, jadi tanah di samping sungai merupakan tanah basah dan lumpur. Salah memijakan kaki, bisa-bisa masuk ke lumpur.
Setelah susah payah mencapai batas sungai, terlihatlah Curug Batu Nyusun yang kami cari. Posisi Curug Batu Nyusun berada di kanan kami. Volume jatuhannya cukup deras. Jarak cipratan airnya cukup jauh, jadi sepertinya tidak bisa mengambil foto terlalu dekat dengan air terjun. Dari posisi kami saat ini, masih harus berjalan ke hulu dengan cara memanjat batu kali yang jauh lebih besar dari ukuran badan kami. Meskipun terlihat gampang, tapi hampir mayoritas batu-batu kali ini basah dan berlumut. Kurang hati-hati sedikit saja, bisa-bisa terpeleset dan jatuh ke sungai.
Air Curug Batu Nyusun dan aliran sungainya cukup jernih, karena masih termasuk di daerah hulu sungai. Suhu airnya pun sangat sangat dingin. Baju kami yang sudah basah karena keringat, kali ini ditambah oleh cipratan air Curug Batu Nyusun, Yang kami khawatirkan adalah hujan yang turun tiba-tiba. Karena sedari kami treking, cuaca perlahan-lahan berubah, dari cerah menjadi mendung. Bapak pemilik rumah dan tiga warga lainnya pamitan sebentar. Tinggalah kami dengan pemuda yang mengantar kami dari tempat penjual bensin.
Pemuda ini membenarkan kalau Curug Batu Nyusun ini akan kering total ketika kemarau. Masih belum banyak pengunjung ke Curug Batu Nyusun. Kalaupun ada, hanya warga sekitar. Paling jauh pun hanya dari Garut kota. Meskipun area untuk pengunjung sebagian besar berada di aliran sungai, tapi area di sekitar Curug Batu Nyusun ini relatif aman dibandingkan dengan diair terjun yang kami lihat di tanjakan tadi. Kami sebelumnya bertanya mengenai keberadaan air terjun yang terlihat di tanjakan ketika akan masuk Desa Pangrumasan.
Pemuda ini memberi tahu kami nama curug sekaligus tanjakannya, tapi sayang, saya lupa namanya apa. Pemuda ini bercerita, sudah beberapa warga terbawa hanyut di air terjun tersebut ketika sedang mencari ikan. Banyak warga setempat yang mencari ikan di aliran-aliran sungai di Desa Pangrumasan ini. Singkat cerita, warga yang terbawa hanyut tersebut ditemukan di aliran utama sungai besar yang berhulu di Banjarwangi.
Suami dan Mitra memutuskan untuk mencoba berenang di kolam Curug Batu Nyusun. Air kolamnya sangat sangat dingin. Saya pun tidak ketinggalan masih berusaha mengambil foto Curug Batu Nyusun dari jarak yang lebih dekat. Cipratan air Curug Batu Nyusun tergantung tiupan angin. Ketika tiupan anginnya tidak mengarah ke lokasi kami, saya pun segera mengambil foto. Tetap saja gagal. Akhirnya hanya bisa mengambil foto seadanya dari kamera hp.
Setelah puas berenang dan foto-foto, kami kembali ke jalur masuk dari kebun. Ternyata bapak pemilik rumah dan dua warga yang pamit tadi mengambil kelapa dan diberikan pada kami. Wah, habis jauh-jau naik motor di jalan makadam hancur lebur, hampir putus asa karena nyasar, treking yang ga nyampe-nyampe,d an ternyata kami belum makan siang, eehh dapet kelapa gratisan, segaar rasanya. Sambil menikmati kelapa, kami pun bertanya tentang daerah sekitar Pangrumasan.
Menurut pemuda yang mengantar kami, sebenarnya ada jalan tembus ke Cisompet, bukan Cihurip, hanya saja melewati gunung. Jika dilihat di peta, posisi Kecamatan Cihurip berada tepat di balik bukit di hadapan kami. Tepat dibalik bukit ini adalah Desa Cisangkal, Kecamatan Cihurip. Lokasi yang sama dengan lokasi Curug Cibadak yang pernah saya kunjungi akhir 2012 lalu. Memang, dulu sewaktu ke Curug Cibadak, ketika bertanya pada warga mengarah kemana jalan di depan Curug Cibadak ini, jawabannya adalah jalan buntu ke arah gunung. Kali ini, saya sedang berada di baliknya.
Jalan yang dimaksud adalah jalan setapak mendaki ke puncak gunung, kemudian tembus ke Cisompet. Sebenarnya kami malas kalau harus balik lagi ke jalan yang tadi kami lewati, tapi setelah dipikir-pikir, warga pun jarang yang pakai jalur ini dan sudah sore juga, kami pun memutuskan mengambil jalan awal kami datang. Kelapa habis, kami pun siap-siap kembali ke desa.
Sepanjang perjalanan pulang, kami diberitahu kenapa dinamakan Batu Nyusun. Selain karena dinding air terjun yang berupa Columnar Joint, ada juga batuan tebing di dekat Curug Batu Nyusun yang bentuknya seperti batu lonjong yang disusun-susun hingga ke puncak bukit. Sebagian warga disini lebih mengenal Curug Batu Nyusun dengan nama Curug Cisarua. Diatas Curug Batu Nyusun yang kami datangi, ada Curug Tengah. Curug Tengah merupakan tingkatan kedua dari tiga tingkatan utama Curug Cisarua / Curug Batu Nyusun.
Ketika kami sedang treking di pematang sawah, warga menunjukan air terjun yang sangat tinggi di tebing yang cukup jauh. Air terjun tersebut masih berada di daerah Pangrumasan, hanya saja jalan desa dan medan trekkingnya jauh lebih sulit. Setidaknya harus dari pagi sudah mulai trekking. Perjalanan pulang terasa lebih lama. Ketika tenaga sudah cukup terkuras, saya masih harus melewati satu tanjakan lagi, yaitu pematang sawah di dekat jalan desa.
Sekitar pukul 15.30 WIB kami sudah kembali ke rumah warga. Saya langsung meminta ijin untuk ikut ganti baju. Tidak berlama-lama, kami packing ulang dan siap-siap kembali ke Cikajang. Kami khawatir kalau keburu turun hujan, jalan pulang kami menjadi lebih sulit. Setelah berterimakasih, kami pun pamit. Sebenarnya kami ditawari untuk menginap saja, tapi karena kami tidak mempersiapkan untuk menginap, kali ini kami menolaknya.
Perjalanan pulang tersasa lebih cepat, tau-tau kami sudah tiba di tempat kami isi bensin. Ibu-ibu yang tadi siang kami tanya-tanya hanya ada sebagian saja yang terlihat. Kami pun berpamitan dengan pemuda yang mengantar kami. Kami sempat berhenti lagi untuk mengambil foto Curug Batu Nyusun dari kejauhan. Sepanjang perjalanan kami dari tempat kami isi bensin sampai ke tempat tadi siang kami berhenti, setidaknya kami tiga kali papasan dengan motor yang pengendaranya seperti dari luar Pangrumasan.
Turunan curam berhasil kami lewati dengan lancar, tinggal tanjakan panjang ke atas bukit. Rasanya sudah malas kalau harus turun gara-gara motornya ga kuat nanjak. Ternyata, MX berhasil sampai di ujung tanjakan dan saya pun tidak diturunkan paksa. Hanya, begitu lewat warung di atas bukit, motornya malah ga kuat nanjak. Saya pun akhirnya turun. Sambil treking, tidak lupa untuk mengambil foto kondisi jalan dan pemandangan sekitar. Untunglah masih bisa dapat oleh kamera hp seadanya karena sudah mendung dan gelap.
Kami langsung tancap gas nonstop. Setidaknya kalaupun hujan, target kami sudah ada di Singajaya. Sesampainya di Singajaya, rasanya tanggung kalau berhenti untuk makan di Singajaya. Kami hanya berhenti untuk membeli cemilan kemudian jalan lagi. Kami akan berhenti makan di Banjarwangi. Sesampainya di Banjarwangi, sekitar pukul 17.00 WIB, yang kami cari adalah warung nasi. Kami selesai makan sekitar pukul 18.00 WIB. Waktu tempuh dari Pangrumasan sampai Banjarwangi ternyata hanya dua jam, tapi tadi siang rasanya lebih dari dua jam.
Yang saya khawatirkan sekarang adalah kabut di sepanjang jalur Banjarwangi hingga Cikajang. Jalur ini terkenal dengan kabutnya yang sangat tebal. Pertama kali lewat di jalur ini, saya langsung disuguhi kabut tebal. Benar saja, kabut sudah keburu turun. Jam yang sama dengan pertama kali saya lewat jalur ini. Kali ini kami tidak sendiri, ada beberapa motor dan tiga mobil yang sama-sama melintas. Satu persatu mobil kami susul sampai akhirnya kami hanya bareng dengan motor. Jarak pandang benar-benar terbatas.
Kabut disini, menurut saya jauh lebih tebal dibandingkan kabut di Balegede, Kab. Cianjur. Motor Mitra yang ada di depan kami pun akhirnya menghilang dari jarak pandang karena kabut. Jangan tanya seberapa tebal kabutnya. Ini adalah kabut paling tebal yang saya lewati. Bahkan marka jalan pun tidak nyaris tidak keliahatan. Jalur yang tertutup kabut ini berada tepat di sisi lain kaki Gunung Cikuray. Sisi Gunung Cikuray di daerah Banjarwangi ini bukan sisi populer seperti sisi Cilawu, Salawu, dan Cikajang.
Angin yang bertiup cukup kencang, setidaknya membantu kabut cepat lewat dan terbawa ke bawah lereng. Begitu kami bisa melihat hamparan ladang penduduk karena kabutnya sudah menipis, lega rasanya. Ini artinya kami sudah dekat dengan pertigaan dengan Jalan Raya Cikajang. Mitra sudah menunggu di gapura pertigaan. Disini kami baru bisa tertawa lagi karena sepanjang kabut tadi suasana sangat tegang. Konsetrasi tidak boleh buyar. Salah-salah malah masuk jurang atau tertabrak/terserempet kendaraan lain.
Kami berpisah di Cisurupan. Mitra akan menginap semalam lagi di rumah saudaranya, sementara kami langsung meluncur ke Bandung. Perjalanan cukup lancar. Kami masuk daerah Cipanas sekitar pukul 21.00 WIB. Arus lalu-lntas sudah mulai lancar. Belakangan ini, begitu keluar dari Cipanas sampai lewat alun-alun Leles adalah daerah rawan macet. Bahkan, kalau long weekend seperti ini, bukan tidak mungkin macet total. Sekitar pukul 23.00 WIB kami sudah sampai di rumah. Akhirnya rasa penasaran saya dengan Curug Batu Nyusun ini terbayar juga.