CURUG CIASTANA 4 JUNI 2016


Tujuan kami kali ini adalah mencari Curug Ciastana di Cianjur. Lokasi tepatnya berada di Desa Bojongkasih, Kecamatan Kadupandak, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Nama kampung dan patokan jalan yang saya tahu masih sebatas sampai kantor Desa Sukasari di Kecamatan Kadupandak, Kabupaten Cianjur. Seperti biasa, berangkat nyubuh pun tinggal wacana. Kami baru berangkat dari Bandung sekitar pukul 06.00 WIB. Rute yang kami ambil dari Bandung adalah melalui Ciwidey, Gununghalu, Sukanagara, Kadupandak.

Rute Ciwidey – Gununghalu menurut informasi dari teman, kondisinya kini makin parah, terlebih akibat musim hujan beberapa bulan ke belakang. Rute ini terakhir saya lewati sekitar pertengahan September 2013 dengan waktu tempuh dari Ciwidey sampai pertigaan Rongga hanya dua jam. Waktu tempuh dari Rongga hingga Sukanagara pun dua jam dengan kondisi jalan yang tidak terlalu parah.

Kami berhenti untuk sarapan di Alun-alun Ciwidey sampai jam 08.00 WIB. Tidak jauh dari alun-alun akan ditemui pertigaan dengan papan penunjuk jalan menuju Desa Wisata Lebak Muncang ke arah kanan, Ambil jalur tersebut. Patokan kami adalah hutan pinus yang sekaligus menjadi perbatasan antara Kabupaten Bandung Barat dengan Kabupaten Bandung. Kondisi jalan sampai masuk hutan pinus sudah beton. Setelah hampir keluar hutan pinus, beton berubah menjadi aspal rusak dengan lubang disana-sini.

Kami berhenti sebentar sebelum keluar dari hutan pinus. Pemandangan di pagi yang cerah ini rasanya sayang untuk dilewatkan. Jejeran gunung dan bukit di Utara Bandung, kota Bandung dan Ciwidey di kejauhan dengan kabut tipis yang masih melayang cukup membuat mata kami sedikit segar kembali. Setelah puas berfoto, kami pun jalan lagi. Jalan yang harus kami lewati masih cukup panjang. Kondisi jalan langsung berubah. Lapisan aspal sudah menghilang seluruhnya hingga keluar dari desa pertama, Desa Mekarwangi yang sudah masuk dalam wilayah Kabupaten Bandung Barat ini.

Karena sudah cukup lama dari terakhir saya melintas di jalur ini, saya sedikit ragu ketika bertemu persimpangan di jalan desa. Patokan kami adalah Desa Tangsijaya kemudian Desa Bunijaya. Desa Bunijaya adalah desa terakhir di jalur ini sebelum memasuki pusat kecamatan Gununghalu. Selepas Desa Mekarwangi, kondisi jalan semakin buruk. Permukiman diganti dengan lahan sawah dan ladang. Setelah benar-benar keluar dari permukiman, jalur kembali bertemu dengan area perkebunan teh dengan kondisi jalan makadam yang jauh lebih buruk.

Kami bertemu pertigaan cukup besar dan jalur yang harus kami ambil menuju Desa Tangsijaya adalah yang ke arah kiri. Kondisi jalan yang harus kami lewati semakin parah dan menyempit. Medan yang kami lalui pun sudah tidak datar lagi. Kondisi jalan akan sedikit membaik ketika memasuki Desa Tangsijaya. Kondisi jalan hanya cukup baik sampai di pasar Desa Tangsijaya. Setelah tanjakan pasar, kondisi jalan makadam semakin buruk.

Permukiman penduduk pun mulai jarang dan digantikan dengan lahan sawah serta aliran sungai yang nantinya bergabung menjadi aliran Ci Beber dan Ci Sokan. Sungai Cisokan merupakan anak Sungai Citarum yang juga menjadi batas geografis antara Kabupaten Bandung Barat dengan Kabupaten Cianjur yang akan kami lalui nanti. Kondisi jalan yang berupa makadam dan lumpur cukup memperlambat perjalanan kami. Patokan kami berikutnya adalah Situ Rancabolang yang pagi ini hanya kamu lalui karena menghemat waktu.

Setelah Situ Rancabolang, jalur akan memasuki hutan yang masih cukup rimbun dan alami. Setelah Situ Rancabolang hingga keluar dari hutan sudah tidak akan ditemui lagi permukiman warga. Semakin masuk ke dalam hutan, kondisi jalan semakin parah. Makadam berubah menjadi kubangan lumpur yang sangat licin. Kami sempat papasan dengan pick up. Kondisi jalan yang cukup sempit ditambah harus memilih-milih jalan agar tidak terperosok lumpur sudah cukup menyulitkan, ditambah jika harus papasan dengan mobil.

Setelah keluar dari hutan, kondisi jalan kembali menjadi makadam dan lumpur. Medan jalan dari Situ Rancabolang hingga keluar dari hutan sudah datar, tidak lagi ditemui tanjakan dan turunan yang menyulitkan. Patokan kami berikutnya adalah sebuah camping grond  dan SDN Tangsijaya. Pemandangan sepanjang jalur ditambah cuaca yang cukup cerah menjadi pelepas lelah dan sakit badan akibat kondisi jalan makadam yang parah. Setelah melewati camping ground, pemandangan kembali berubah menjadi ladang, sawah yang berbatasan langsung dengan hutan serta gunung  yang saya perkirakan berada di sekitar Pasir Jambu atau Ciwidey.

Kami tiba di Desa Bunijaya dan kondisi jalan baru berubah kembali menjadi aspal ketika memasuki pusat Kecamatan Gununghalu. Kami belok menuju arah Kecamatan Rongga. Patokan kami berikutnya adalah pertigaan menuju Cilangari dengan menuju Curug Malela. Sepanjang jalan dari pabrik teh hingga pertigaan Curug Malela sedang dilakukan perbaikan dan pembetonan. Kami sempat terhenti karena harus gantian dengan kendaraan dari arah berlawanan. Selepas pusat Desa Bunihayu, lalu lintas menjadi sangat sepi. Kondisi jalan cukup baik. Masih aspal hanya banyak lubang kecil dan dalam yang tersebar di permukaan jalan.

Kondisi jalan membaik ketika mulai memasuki area perkebunan teh Montaya. Medan jalan mulai terus menanjak sedari perkebunan teh Montaya hingga keluar dari hutan pinus. Selepas hutan pinus, jalur memasuki wilayah Desa Cilangari. Kondisi jalan sudah sangat mulus. Berbeda jauh ketika 2013 lalu keluar dari hutan pinus, kondisi jalan berubah dari aspal, menjadi jalan tanpa lapisan aspal paling atas serta batuan lepas. Medan jalan dari Desa Cilangari akan terus turun hingga jembatan perbatasan Kabupaten Bandung Barat dengan Kabupaten Cianjur.

Kondisi jalan yang cukup mulus sepanjang Desa Bunijaya hingga perbatasan Kecamatan Campakawarna cukup mempersingkat waktu tempuh. Selepas jembatan perbatasan, konidisi jalan di Kecmatan Campakawarna sedikit memburuk. Ada beberapa tanjakan dan turunan yang masih makadam dan lumpur, namun tidak panjang dan tidak terlalu parah. Kondisi jalan mulai membaik ketika memasuki pusat Kecamatan Campakawarna. Medan jalan mulai kembali terus menurun menandakan jalur sudah hampir keluar dari Kecamatan Campakawarna dan masuk ke dalam wilayah Kecamatan Sukanagara.

Kami tiba di Sukanagara sekitar pukul 10.30 WIB. Kami memutuskan untuk istirahat dulu. Akhirnya pilihan kami jatuh di warung bakso dan hasilnya, kami berempat pun sukses ngemil bakso setelah sarapan di Ciwidey tiga jam yang lalu. Kami mulai jalan lagi menuju Kecamatan Kadupandak. Jalan masuk kami ambil dari arah Terminal Sukanagara karena rute tersebut sudah pernah saya lalui. Setidaknya bisa sedikit mempersingkat waktu tempuh. Sebenarnya ada jalan masuk lain dari Tanggeung dan Cijati, namun karena belum terlalu ngeh jalurnya lewat mana, jadi diputuskan masuk dari Sukanagara.

Kondisi jalan dari Terminal Sukanagara sampai memasuki Perkebunan Cimapag cukup membuat pegal. Jalan dengan lapisan aspal yang sudah menghilang ditambah arus kendaraan yang cukup padat cukup memperlambat kami. Belum lagi, ngantuk yang mulai datang karena kondisi jalan yang cukup monoton dan lambat. Ketika memasuki kebun Pasir Nangka, kondisi jalan berubah menjadi sangat mulus. Kondisi jalan berbeda jauh ketika terakhir saya lewat sini Juli 2015 lalu. Kondisinya masih aspal rusak dan sangat berdebu.

Kondisi jalan hanya bagus sampai area pabrik Kebun Pasir Nangka. Setelah keluar dari area pabrik, kondisi jalan kembali memburuk. Aspal rusak dengan lubang yang cukup lebar dan dalam harus kami lewati. Beberapa kali motor menghantam lubang, bahkan charger motor Aria pun sampai terlempar dari motor dan akhirnya rusak. Patokan berikutnya adalah Situ Ciasmay. Berdasarkan waktu tempuh ketika saya melintas disini satu tahun yang lalu, dari pabrik Kebun Pasir Nangka sampai kantor Desa Sukasari kurang lebih satu jam dengan kondisi jalan yang sama persis.

Dengan menahan pegal, ngantuk, dan gerah, akhirnya tepat jam 12.00 WIB kami tiba di depan Kantor Desa Sukasari. Kami bertanya kembali jalur menuju Desa Bojongkasih. Ternyata berdasarkan saran dari warga, jalur yang sebaiknya kami lewati berbeda jauh dari jalur yang ditunjukan oleh Gmaps. Jalur yang kami ambil terus mengikuti jalan utama menuju Selatan. Warga tersebut bilang, di turunan panjang kami akan menemukan pertigaan. Kami harus mengambil jalan ke bawah di turunan tersebut.

Kondisi jalan dari kantor Desa Sukasari hingga turunan yang dimaksud masih sama buruknya, bahkan lebih parah. Medan yang kami lalui dominan turunan meskipun terlihat datar. Di sisi kanan dan kiri jalur yang kami lewati sudah bukan lagi permukiman penduduk, tetapi area hutan produksi dan kebun-kebun yang cukup lebat. Akhirnya kami tiba di turunan yang dimaksud.

Ternyata, jalur yang kami ambil di turunan ini adalah jalur yang sama dengan yang saya lewati ketika Juli 2015 lalu. Jalur yang sedang kami lewati ini adalah salah satu jalur utama pengubung antar kabupaten. Tepatnya antara Kecamatan Kadupandak, Kabupaten Cianjur dengan Kecamatan Curugkembar, Kabupaten Sukabumi. Di jalur ini kami mulai banyak bertanya pada warga rute menuju Desa Bojongkasih sekaligus lokasi Curug Ciastana.

Warga yang pertama kami tanya, menyebutkan rute menuju Desa Bojongkasih, tetapi tidak mengetahui tentang Curug Ciastana. Warga tadi malah menyebutkan lokasi Curug Cijengkol yang belokannya tidak jauh dari lokasi kami saat ini. Kondisi jalan masih sama rusaknya, bahkan cenderung berubah menjadi makadam. Untungnya kondisi jalan di jalur ini sangat kering, jadi kami lebih mudah melewatinya. Tidak puas dengan jawaban warga pertama, kami pun kembali bertanya.

Kali ini kami bertanya pada warga sekaligus pemilik bengkel. Menurut warga ini, jalur yang kami ambil sudah benar. Berikutnya, kami harus mengambil jalur ke arah kanan di tugu batas desa. Menurut warga ini, Curug Ciastana yang kami cari memiliki sebutan lain dan masih ada tiga air terjun lainnya di sekitar Curug Ciastana. Warga tersebut juga memberitahu kami bahwa jalan masuk menuju Curug Ciastana berada di Kampung Sinarmuda, Desa Bojongkasih.

Setelah mendapat cukup informasi, kami pun melanjutkan perjalanan. Pertama, kami mencari patokan sebuah jembatan dan persimpangan. Ternyata ada dua buah jembatan yang kami lewati dan jembatan kedualah yang dimaksud warga di bengkel tadi. Setelah melewati jembatan yang dimaksud, kami pun mencari patokan berikutnya, yaitu tugu batas desa. Kondisi jalan masih tetap aspal rusak parah dan di kanan kiri kami masih didominasi hamparan sawah yang cukup luas.

Teman saya di motor lain menemukan tugu batas desa yang dimaksud sekaligus persimpangannya. Setelah belok kanan di persimpangan tersebut, kondisi jalan semakin mengecil dan semakin berubah menjadi makadam. Saya pun ragu ini jalan yang benar menuju Kampung Sinarmuda. Akhirnya kami putuskan untuk bertanya kembali ketika bertemu warga. Akhirnya kami bertemu warga yang kebetulan sedang berkumpul.

Menurut warga, jalur kami sudah benar jika akan menuju Kampung Sinarmuda, hanya saja informasi mengenai Curug Ciastana kembali simpang siur. Satu warga menyebutkan air terjun yang kami perlihatkan fotonya adalah benar Curug Ciastana, hanya saja memang memiliki nama lain. Warga lainnya, menganggap, Curug Ciastana bukanlah foto air terjun yang kami perlihatkan. Satu warga lainnya bahkan mengatakan jika air terjun di foto yang kami maksud bukan ke arah ini jalannya, tapi masih di depan, melewati tugu batas desa.

Dari sini pun kami memperoleh informasi mengenai nama Ciastana. Salah satu warga menyebutkan bahwa Ciastana merupakan nama perusahaan perkebunan yang memiliki lahan di sekitar air terjun. Oleh karena itu, air terjun yang akan kami kunjungi ini memiliki dua nama, salah satunya yaitu Curug Ciastana. Kami pun memutuskan untuk menuju Kampung Sinarmuda terlebih dahulu, terlepas dari benar atau tidaknya jalur yang kami ambil menuju Curug Ciastana.

Kondisi jalan didominasi tanjakan dengan lebar jalan yang cukup sempit dan berupa makadam. Kami mengambil arah kiri ketika bertemu persimpangan, sesuai petunjuk dari warga. Jalan yang kami lalui semakin mengecil dan akhirnya mentok di depan sebuah masjid. Setelah masjid, jalan bukan lagi seperti jalan desa, melainkan jalan setapak atau lebih mirip dengan pematang sawah. Kami pun memutuskan untuk beristirahat dulu di masjid, berhubung memang sudah waktu Dzuhur, sudah mulai lapar dan ngantuk, dan matahari yang semakin terik tentunya.

Terdapat rumah warga tepat di depan masjid. Kami pun dipersilahkan untuk mampir dan beristirahat sejenak oleh ibu pemilik rumah yang sangat ramah. Setelah sedikit bercerita kenapa kami berempat bisa sampai disini, ibu tersebut pun bilang, kalau jalur kami sudah benar menuju Kampung Sinarmuda. Kami hanya perlu mengikuti jalan setapak tepat di depan masjid yang menurut kami lebih mirip pematang sawah tadi. Syukurlah ternyata kami tidak salah jalan. Tenaga sudah setengahnya habis hanya untuk mencari jalur yang benar ke Kampung Sinarmuda.

Setelah tenaga sedikit pulih dan sudah cukup banyak merampok kue kacang ibu pemilik rumah, kami pun pamit tepat pukul 13.30 WIB. Matahari masih bersinar cukup terik. Rasanya membayangkan harus treking ke Curug Ciastana malas sekali. Ternyata jarak dari masjid tempat kami berhenti dengan SD yang dimaksud warga untuk menitipkan motor jika akan ke Curug Ciastana tidak terlalu jauh. Hanya saja kondisi jalan yang sangat mirip pematang sawah ini yang memperlambat kami.

Jalan yang kami lewati masuk ke sebuah gang lalu tembus di halaman musola kecil, lalu kembai masuk gang dan barulah kembali ke pematang sawah. Di pematang sawah inilah SD yang dimaksud. Kami pun memarkirkan motor di SD. Tidak ada siapapun di SD kecuali beberapa anak kecil. Kami pun bertanya ke anak kecil jalur menuju Curug Ciastana. Mereka pun tampak ragu-ragu. Akhirnya ada warga yang menghampiri. Menurut warga, jika ingin ke Curug Ciastana, masih harus berjalan kaki lagi dari SD ini. Biasanya pengunjung yang akan ke Curug Ciastana menitipkan motor di SD, bahkan sampai ada yang menumpang menginap di rumah warga.

Ada seorang warga yang akhirnya meminta anaknya untuk mengantar kami sampai ke jalur sawah miliknya, karena jalur menuju Curug Ciastana masih tidak jelas dan kebetulan melewati area sawah miliknya. Kami pun memulai treking tepat pukul 14.00 WIB. Mula-mula jalan yang kami lalui masih berupa jalan setapak makadam. Jalur ini sebenarnya masih merupakan jalur motor warga, karena masih ada satu kampung lagi tepat sebelum jalur treking menuju Curug Ciastana. Medan jalan selepas SD masih datar kemudian menurun cukup curam hingga sampai di sebuah jembatan bambu.

Turunan yang baru saja kami lewati cukup lumayan juga untuk jalur pulang, karena artinya kami harus menanjak cukup panjang. Setelah jembatan bambu, jalan langsung menanjak. Tanjakannya sangat panjang dan semakin ke atas semakin curam. Batuan yang kami pijak pun semakin berlumut dan sangat licin. Tanjakan ditambah kemiringan yang cukup curam, dilengkapi batu besar berlumut sudah pasti cukup menguras tenaga. Kalau pakai motor pun sebenarnya masih bisa, tapi lumayan ngeri juga.

Setelah tiba di ujung tanjakan, saya mengambil nafas dulu, maklum jarang olahraga. Ternyata benar, masih ada rumah warga di atas bukit ini. Jalur yang kami ambil adalah yang terus menuju pematang sawah setelah rumah terakhir yang kami lewati. Pematang sawah pun cukup sempit dan beberapa ada yang masih becek. Bahkan beberapa titik, pematang sawah menghilang karena longsor, jadi kami harus sedikit ke tengah sawah. Untung saja, seabgian besar sawah disini sudah selesai panen dan belum ditanami kembali. Jadi kami sedikit lega harus menginjak bagian tengah sawah.

Pematang sawah yang kami lalui tidaklah datar. Pematang sawah yang harus kami lewati ternyata mengarah ke puncak bukit, artinya, selain pematang sawahnya sempit, kami juga harus menanjak dengan jarak antar pematang yang cukup tinggi. Saya? Sudah pasti kewalahan. Kami tiba di sebuah persimpangan di tengah pematang sawah. Beberapa anak kecil yang mengantar kami berhenti dan sedikit berdebat jalur mana yang harus diambil. Ternyata, sawah yang dimaksud ibu tadi adalah lokasi kami sekarang. Nah, berhubung sudah sampai di lokasi sawah, makanya anak-anak yang mengantar kami bingung.

Di sisi kiri kami, memang ada aliran sungai dan terdengar seperti ada aliran air terjun, tapi jika terus naik  ke arah bukit pun, ada saluran irigasi. Kami putuskan untuk mencari sendiri jalurnya dari sini. Anak-anak yang mengantar kami pun kembali ke bawah, karena mereka pun bingung kami ini mau kemana (ha ha). Kami memutuskan untuk mencoba jalur yang ke atas bukit. Kondisi pematang sawahnya semakin tinggi jaraknya. Jalur irigasi pun kondisinya tidak begitu baik. Beberapa beton bahkan ada yang hancur, bahkan menghilang.

Setelah beberapa kali kami harus melompati bagian yang runtuh, melipir ke rumput yang penuh lumpur, atau masuk ke saluran irigasi yang lumayan dalam, kami pun tiba di areal Curug Ciastana. Waktu yang kami perlukan untuk sampai ke Curug Ciastana dari SD sekitar empat puluh menit. Area di sekitar Curug Ciastana sangat luas. Curug Ciastana memiliki kolam air terjun yang cukup kecil. Setelah dari kolam air terjun, aliran air kembali masuk ke sistem sungai, hanya saja sungai di bagian atas Curug Ciastana ini masih terbilang sangat dangkal.

Area di sekitar bagian atas Curug Ciastana lebih mirip seperti sebuah hamparan batu yang longsor dan membentuk tingkatan kedua Curug Ciastana sebelum benar-benar kembali menjadi sebuah sistem sungai yang cukup besar. Curug Ciastana memiliki dua tingkatan utama. Tingkatan pertama merupakan bagian paling tinggi dari Curug Ciastana. Sekilas, tingkatan pertama Curug Ciastana mirip dengan Curug Sawer di Kabupaten Tasikmalaya. Yang membedakan adalah sistem sungai setelah aliran jatuhan dan karaktersitik batuan di area air terjun.

Di sekitar tingkatan pertama Curug Ciastana tidak terlalu banyak ditemukan batuan berbentuk bongkahan. Hampir seluruh areanya merupakan hamparan terbuka dengan alas batuan yang masih rata dan tidak licin. Aliran Curug Ciastana ketika kami tiba masih cukup deras, karena beberapa hari kebelakang hujan masih sering turun. Jika kemarau, aliran Curug Ciastana bisa kering total. Meskipun demikian, volume jatuhan Curug Ciastana kali ini bukanlah volume jatuhan terbesarnya.

Pukul 15.30 WIB kami memutuskan untuk kembali, karena perjalanan pulang masih sangat jauh, ditambah, sudah terdengar suara petir. Kami istirahat sebentar setelah masuk kembali ke permukiman warga. Salah satu warga menyapa kami dan mempersilahkan kami untuk singgah di rumanya. Berhubung kami mendapat informasi kalau di sekitar sini masih ada tiga air terjun lagi, kami pun menanyakan informasi tersebut.

Ternyata benar, masih ada satu air terjun lagi di sekitar sini, hanya dua dari air terjun tersebut jalan masuknya bukan dari jalur yang baru kami lewati. Warga tersebut menanyakan apa kami mau sekalian mengunjungi Curug Cipeuteuy yang lokasinya tidak jauh dari posisi kami. Karena saat ini hanya ada saya dan Puput, sementara Ujang dan Aria sudah duluan turun, maka kami pun memutuskan untuk menanyakan dulu ke mereka. Puput menyusul Ujang dan Aria sementara saya menunggu di rumah ibu ini.

Cukup lama saya tunggu di rumah warga tersebut, mungkin sekitar dua puluh menit, tapi mereka bertiga belum muncul juga. Sinyal hp disini kurang bersahabat, ditambah, hp kami semua yang lowbat, jadi sudah pasti akan sulit menghubungi mereka bertiga. Saya memutuskan untuk menyusul. Cukup sulit juga berjalan di medan turunan panjang dan curam ditambah batuan yang licin karena lumut. Hasilnya, saya membutuhkan waktu yang sedikit lama untuk tiba di jembatan bambu.

Setiba di jembatan bambu, barulah tiga teman saya lainnya muncul. Benar saja dugaan saya dan Puput, ternyata Ujang dan Aria sudah sampai di SD. Kami bergegas kembali ke rumah warga tadi. Lumayan menguras tenaga juga bolak-balik di jalan desa ini dengan berjalan kaki. Setibanya di rumah warga, kami tidah berlama-lama diam dan segera treking menuju Curug Cipeuteuy. Menurut warga, jarak ke Curug Cipeuteuy lebih pendek dibandingkan ke Curug Ciastana.

Jalur treking kembali menuju pematang sawah. Kali ini, meksipun menuju ke arah bukit, tetapi jarak antar pematang sawah tidak setinggi pematang sawah ke arah Curug Ciastana, jadi kami bisa sedikit menghemat tenaga. Pematang sawah habis dan trek digantikan saluran irigasi. Saluran irigasi kali ini kondisinya sedikit lebih baik dibandingkan dengan ke Curug Ciastana. Ketika Curug Cipeutey mulai terlihat, kondisi saluran irigasi mulai memburuk.

Kami harus melompati beton saluran irigasi yang hancur terbawa longsor, bahkan ada juga beton saluran irigasi yang sudah hancur dan digantikan tanah dengan kondisi basah. Saya pun memutuskan untuk masuk ke saluran irigasi mendekati jalan setapak menuju area Curug Cipeuteuy. Waktu yang kami butuhkan untuk treking hingga tiba tepat di area Curug Cipeuteuy adalah tujuh belas menit.

Area di sekitar Curug Cipeuteuy jauh lebih sempit dibanding Curug Ciastana. Kami harus melewati bebatuan berukuran bongkahan untuk bisa melihat Curug Cipeuteuy dari dekat. Seluruh area Curug Cipeuteuy dipenuhi bongkahan batu, bahkan kami pun beristirahat di atas bongkahan batu yang cukup datar. Cukup sulit mengeksplore seluruh area Curug Cipeuteuy. Kami memutuskan turun ke SD karena waktu sudah menunjukan pukul 16.30 WIB. Setiba di rumah warga, kami isitrahat sejenak kemudian pamit kembali ke SD. Sebelum melanjutkan perjalanan pulang, kami ganti baju dan cek kondisi motor terlebih dahulu.

Kami tiba di masjid tempat kami berhenti tadi siang tepat ketika Adzan Magrib. Sudah dapat dipastikan kami akan sampai di Bandung tengah malam. Kami berhasil sampai ke jalan raya utama Kadupandak – Cijati sebelum benar-benar gelap. Hari mulai benar-benar gelap ketika jalur mulai memasuki area hutan produksi milik Perhutani. Berhubung lampu motor Ujang kurang terang, jadi kami tidak bisa jalan terlalu cepat. Sekitar lima belas menit kami di jalur menuju pusat kecamatan Kadupandak, Aria mulai sadar kalau di belakang motor Ujang, ada satu motor lagi yang mengikuti tanpa lampu sama sekali.

Sempat was-was juga karena di jalur ini hanya ada kami berempat dan di tengah area hutan. Kondisi jalan dan motor pun tidak memungkinkan jika harus tancap gas. Ketika jalur kembali masuk ke permukiman, kami sedikit lega. Motor yang mengikuti kami hanya sampai di Desa Sukasari. Jalur berikutnya yang harus kami lalui masih melalui tengah hutan. Kali ini, hanya benar-benar kami berempat yang melintas di jalur ini. Kami tidak papasan dengan kendaraan lain hingga sampai di area pabrik Kebun Pasir Nangka. Niat kami untuk mampir di Situ Ciasmay ketika pulang pun harus dibatalkan.

Setelah keluar dari area pabrik Kebun Pasir Nangka, barulah beberapa kali kami papasan dengan kendaraan lain. Kami tidak membutuhkan waktu lama untuk tiba di area kebun Cimapag, artinya kami sudah hampir sampai di Terminal Sukanagara. Kami tiba di Terminal Sukanagara sekitar pukul 20.00 WIB dan berhenti sebentar untuk makan. Pukul 21.00 WIB kami melanjutkan perjalanan. Jalur yang kami ambil merupakan jalur yang sama dengan jalur datang, yaitu jalur Gununghalu.

Saya sendiri belum pernah lewat di jalur Gununghalu lebih dari jam 17.00 WIB, jadi bisa dibilang sedikit nekat kami ambil jalur ini malam-malam. Kami mampir dulu di SPBU barulah langsung tancap gas. Kondisi jalan di sekitar Sukanagara masih basah. Rupanya tadi sore disini turun hujan, sementara di Curug Ciastana dan Curug Cipeuteuy hanya kebagian mendungnya saja. Baru masuk jalur menuju Kecamatan Campakawarna, jalan sudah sangat sepi ditambah kabut yang cukup tebal. Udara malam yang dingin menjadi semakin dingin karena hujan baru selesai di daerah sini.

Ada dua motor lainnya yang juga mengarah ke Gununghalu serta satu mobil. Beberapa kali kami papasan dengan kendaraan pribadi, selebihnya hanya motor kami berempat saja yang ada di jalur ini. Kami berhenti di mini market di Campakawarna untuk membeli minum dan makanan ringan. Ada dua mobil yang juga berhenti serta beberapa motor warga. Dari sekian kendaraan yang berhenti, hanya kami berempat saja yang tujuannya sampai ke Gununghalu.

Kami memacu motor sedikit cepat, karena selain tenaga yang semakin berkurang, kondisi jalur ini malam hari cukup menyeramnkan juga. Kami kesulitan menyusul satu mobil, mungkin kami dikira begal, makanya kami tidak diberi jalan untuk menyusul. Setelah berhasil menyusul kendaraan tersebut dengan susah payah, kami terus tancap gas hingga masuk kembali ke hutan pinus. Di hutan pinus, kali ini kami bertemu pick up ke arah Gununghalu. Lumayan ada teman seperjalanan lagi.

Berhubung jalan sepanjang Rongga – Gununghalu sedang dibeton, jadi kami dua kali harus berhenti menunggu giliran lewat. Kami tiba di pertigaan Gununghalu – Bunijaya arah Ciwidey tepat pukul 23.00 WIB. Badan sudah mulai pegal-pegal, masuk angin, dan ngantuk pastinya. Rute kami kali ini ke arah Cililin, Cimahi, baru masuk Bandung. Perjalanan masih panjang. Kondisi jalan Gununghalu – Cililin sudah sangat mulus. Kami hanya perlu waktu satu jam untuk sampai di Cililin. Dengan kondisi jalan yang sudah mulus dan sangat sepi, kami bisa tancap gas terus.

Masuk Cililin, jalan sedikit ramai. Berhubung ini malam Minggu, jadi masih banyak komunitas-komunitas motor yang baru akan bubar dari alun-alun Cililin. Arus lalu lintas Cililin – Batujajar masih cukup ramai kami lalui dengan sisa tenaga dan rasa kantuk yang makin menjadi. Kami tiba kembali di Bandung pukul 01.30 WIB dengan seluruh badan pegal-pegal dan rasa ngantuk yang luar biasa.


About Dya Iganov

Penyuka traveling, tidak hanya mendaki gunung, tapi juga touring, rafting, explore, city tour, kemping ceria, susur pantai, dll