CURUG CIBAKOM & CIWATIN 14 FEBRUARI 2015


 

Berhubung ada temen yang ngajak jalan weekend sekarang, ya udah kayanya dijadiin aja ke Curug Koja, Curug Cibakom, sama Curug Ciwatin. Entah kebeneran atau gimana, temen yang kali ini jadi partner motoran itu orang yang sama yang udah 2x eksplore ke daerah Tasikmalaya Selatan. Karena udah biasa dan udah tau jarak dan kondisi jalan ke arah yang kami tujum maka kami mutusin buat pergi nyubuh dari Bandung, meeting point jam 05.00.

 

Sabtu, 14 Februari 2015

Rencana pergi jam 05.00 WIB jadi pergi jam 05.30 WIB dan kali ini saya yang telat. Sekali-sekali lah ya ditungguin, daripada nungguin terus heu heu. Rute yang kami ambil, seperti biasa lewat Garut – Cilawu – Salawu –Singaparna. Jalur ini kami mabil selain lalu lintasnya lebih sepi, pemandangan sama medan jalannya juga asik, ga bikin ngatuk dan ga rempong sama bus antar kota. Jalur ini jalur yang sama juga kalau mau mendaki Gunung Cikuray. Perjalanan Bandung-Garut lumayan lancar, cuman di Kadungora-Cipanas aga sedikit rame. Maklum kami nyampe jalur ini sekitar jam 07.00 WIB dan masih jamnya anak-anak sekolah berangkat, jadi sedikit riweuh ama anak sekolah jalannya. Masuk Garut, jalannya lumayan sepi lagi. Masuk ke daerah Cilawu, lalu lintas makin sepi.

Langitnya sedikit berawan, tapi deretan Gunung Talagaboas jelas banget keliatan di sisi kiri jalur. Cikuray di sisi kanan jalan sedikit ketutup kabut di lerengnya, adem liatnya. Jalur Cilawu – Salawu yang kmai lewatin ini jalur yang sama menuju jalur pendakian Gunung Cikuray via Kebun teh Dayeuhmanggung sekaligus jalan lintas Kabupaten Garut – Kabupaten Tasikmalaya. Jalur ini juga jadi jalur alternatif waktu mudik Lebaran. Kalau lewat jalur ini, mau weekend atau hari kerja, lalu lintasnya masih bisa dibilang sepi. Kebanyakan yang lewat sini mobil pribadi jenis sedan dan mini bus, bus AKAP ukuran besar, truk pengangkut ternak, kayu, dan sepeda motor dalam volume yang kecil. Ketika musim Lebaran, jalur ini bisa juga loh macet total.

Waktu tempuh nomal Bandung – Singaparna (patokan awal) patokan awalm kira-kira sekitar dua jam perjalanan non stop dan arus lalin normal, tapi kalau pas mudik Lebaran, bisa lima jam juga nyampe Singaparna. Kami masuk jalur Cilawu sekitar jam 07.30 WIB dan tumben sedikit rame dengan mobil pribadi ke arah Tasikmalaya. Suasana pagi masih sangat segar, dengan matahari yang baru benar-benar mucul, areal sawah di sisi jalan yang hijau segar, dan suhu yang sedikit dingin. Cikuray cuman muncul sebentar, setelah kami lewat pertigaan menuju jalur pendakian, Cikuraynya sembunyi lagi di balik awan. Kendaraan yang lewat jalur ini sedikit lebih banyak dari biasanya, apa kalau pagi memang serame ini?

Kami berhenti sarapan di SPBU Salawu sekitar jam 07.45 WIB, lumayan sekalian istirahat soalnya udah dua jam kami di atas motor. Beres sarapan, kami terusin jalan sekitar jam 08.00 WIB. Cuaca masih bersahabat. Ternyata dari SPBU ini, Cikuray masih keliatan dan sisi Cikuray yang keliatan dari SPBU Salawu cerah tanpa awan. Beda dengan sisi Cikuray yang kami lihat dari Cilawu. 

Lalu lintas mulai ramai ketika masuk Kecamatan Mangunreja. Kecamatan Mangunreja ini sudah hampir masuk ke Singaparna, ibukota Kabupaten Tasikmalaya, jadi wajar kalau jalan sudah sedikit rame dan mulai banyak bangunan. Beberapa meter dari Polsek Singaprna (kalau ga salah sih Polsek), ternyata lagi ada gerak jalan anggota polisi yang lumayan bikin jalan sedikit macet. Kloter gerak jalan pertama berhasil disusul, begitu sampe deket bunderan Singaparna, jalanan makin macet, ternyata ada satu kloter gerak jalan lagi, dan kali ini ada bus gede di depan kami.

Pasar, alun-alun, ada gerak jalan, ada bis gede, dua arah padet, PR banget deh nyusulnya. Berhasil nyusul Bus sama kloter gerak jalan, bukan berarti perjalanan kami lancar jaya. Justru di daerah ini, daerah pinggiran Kota Tasikmalaya arus lalu lintas lumayan padet. Perjalanan kami lumayan tersendat sepanjang Singaparna – Kawalu. Sebenernya ada jalan pintas lewat Tanjungjaya – Cibalanarik – Sukaraja, cuman kalau masuk dari Mangunreja aga ga hafal, jadi daripada perjalanan makin kehambat, kayanya lewat jalur biasa aja. 

Dari Singaparna, jalur yang harus diambil yaitu yang mengarah ke Kawalu, kemudian ambil jalur yang menuju Karangnunggal – Cipatujah. Jalan mulai lancar selepas Kawalu, tepatnya begitu masuk Desa Urug. Di Desa Urug, jalan mulai berkelok-kelok dan di kanan kiri jalan sudah mulai hutan, tidak ada lagi pkl dan tempat komersil yang berpotensi bikin macet jalan. Jalur Urug sampai Sukaraja sudah mulus, jadi perjalanan bisa lebih cepet. Ada dua percabangan dengan papan penunjuk jalan menuju Cikatomas, tapi kami ambil yang kedua. Percabangan kedua yang kami ambil ini berada setelah alun-alun Sukaraja, di sebelah kiri jalan. Patokannya adalah ada papan penunjuk arah menuju Danau Lemona dan juga papan penunjuk jalan menuju Salopa dan Cikalong.

Ambil jalur ini. Jika jalur Urug – Sukaraja sudah bisa dibilang sepi maka jalur Sukaraja – Cikatomas ini sedikit lebih sepi lagi. Jalur yang kami lewati ini merupakan jalur yang biasa digunakan bus jurusan Cikatomas, Tawang, Salopa, Buniasih, jadi setidaknya ada patokan selain papan penunjuk arah yang memang ga akan ditemuin di sepanjang jalur Sukaraja – Cikatomas. Jalannya akan kembali berkelok-kelok, masih bisa dibilang mulus, arus lalu lintas yang sepi, tapi masih banyak melewati permukiman di sepanjang jalan.

Untuk menuju Cikatomas, pertama-tama jalur akan melewati Kecamatan Jatiwaras, kemudian masuk Kecamatan Salopa yang sedikit lebih ramai. Selepas Kecamatan Salopa, jalur akan melewati percabangan dengan jalur menuju Perkebunan Bagjanagara serta kebun karet sebelum memasuki Kecamatan Cikatomas. Jalan akan sedikit rusak selepas Salopa, tepatnya ketika masuk areal perkebunan karet. Di jalur ini juga akan ada pertigaan menuju Manonjaya. 

Kami sempat istirahat lagi di sebuah rumah makan dan sebenernya hanya numpang ke kamar mandi. Saya sempatkan buat nanya-nanya sama ibu yang punya tempat makan. Kata ibu ini, jalur kami udah bener kalau mau ke Cikatomas, dan posisi kami sekarang ada di Kecamatan Salopa. Jalan sampai ke Cikatomas udah bagus, ada sih jeleknya sedikit. Ketika saya ditanya mau ke mana dan saya jawab Desa Linggalaksana, ternyata ada bapak-bapak yang tau dan kasih sedikit informasi, kalau jalan ke Desa Linggalaksana juga udah bagus. Nanti di Desa Linggalaksana ada jembatan gede di atas Sungai Ciwulan. Berarti jalur yang saya trekking sama lokasi yang benernya sama. Lumayanlah ga terlalu nyasar. Sekitar jam 09.00 WIB kami jalan lagi ke arah Cikatomas.

Bener juga ternyata jalan di sekitar kebun karet lumayan rusak tapi ga parah dan ga terlalu banyak. Ga sampe 1 jam, kami sampe di alun-alun Cikatomas. Sebenernya kami berdua pernah lewat jalur ini. Pertama kalinya kami lewat jalur ini pas Januari 2013 ke Curug Dengdeng, tapi berhubung waktu itu bener-bener ga kenal daerah dan ga hafal jalan, jadi sedikit ada yang lupa jalurnya ke Curug Dengdeng.

Sepintas, jalan kecil di kiri jalan sebelum Alun-alun Cikatomas mirip sama jalan kami ke arah Desa Cogreg, padahal seingat kami, jalan masuk kami dulu udah hampir deket Desa Tawang, Kecamatan Pancatengah. Ah, emang jalur ke Curug Dengdeng itu sedikit membingunkan di dalamnya. Karena sudah masuk Kecamatan Cikatomas, maka kami pun nanya jalan ke arah Linggalaksana. Petugas Dishub yang kami tanya nunjukin jalan kecil di sebelah kanan, tepat di samping alun-alun Cikatomas, kami pun masuk jalan tersebut. 

Seperti biasa, kalau ke daerah Selatan dan sudah keluar dari jalan utama, biasanya harus siap-siap ketemu aneka macem kondisi jalan dan harus siap. Begitu juga kami sekarang, ngarep banget ga ketemu jalan batu. Doa kami ternyata terkabul. Jalan kecil yang kami lewatin ini makin sedikit menanjak trus turun terus sampai ke Desa Linggalaksana dan jalannya muluuuus banget. Jalan mulus mempersingkat waktu tempuh kami. Sekitar jam 10.30 WIB kami sudah masuk Desa Linggalaksana dan keliatanlah icon desanya, yaitu jembatan lumayan panjang di atas aliran Sungai Ciwulan. Kami berhenti pas di depan kantor Desa Linggalaksana, tempat yang saya jadiin patokan pas trekking jalur dari Bandung. Kata ibu- yang kami tanya, jalan ke Curug Koja udah kelewat.

Curug Koja sengaja saya ambil, karena air terjun ini yang paling tinggi, jadi mungkin masyarakat sini lebih kenal Curug Koja dibanding dua air terjun lainnya. Sebelum kantor desa ini, jalan dari arah alun-alun Cikatomas mentok di pertigaan pas di tanjakan. Nah, untuk ke arah kantor desa, ambil jalan utama yang arahnya ke kanan, tapi untuk ke Curug Koja ambil jalan kecil yang ke arah kiri.

Kondisi jalan ke arah Curug Koja emang ga semulus jalur utama Cikatomas-Linggalaksana, tapi seengganya hanya permukaan aspal paling atasnya aja yang ilang. Medannya sedikit menanjak. Ikutin jalannya sampe lewatin gapura. Untuk ke Curug Koja, setelah gapura ambil jalan yang ke kiri. Jalan yang semula aspal yang udah ilang lama kelamaan bakalan berubah jadi jalan yang hanya di semen pas bagian jalur bannya aja dan di tengahnya tetep tumbuh ilalang. Medannya makin menanjak dan jalannya makin kecil. 

Kami nanya jalan ke Curug Koja dua kali ke warga di sana, dan semuanya ngarahin untuk terus ikutin jalan, ya udah kami ikutin. Pertanyaannya, sampe mana kami harus ngikutin jalan? Akhirnya ada warga yang ngasih tau, kami ikutin jalannya sampe nemu desa berikutnya, ada gardunya, tanya lagi jalan ke Curug Koja. Gardu di pikiran saya awalnya gardu PLN, tapi setelah dipikir-pikir kayanya pos ronda deh kayanya. Jadi, sepanjang jalan yang kanan dan kirinya berubah jadi kebun, saya nyari desa yang ada pos rondanya.

Seengganya, pasti pos rondanya aga gede, sampe dijadiin patokan. Begitu kami nemu desa lagi, ada pos ronda yang lumayan gede di kiri jalan, tapi kami jalan terus. Di kiri sama kanan jalan kembali lagi jadi kebun sampe akhirnya nemu lagi satu kampung. Dari kampung yang ada pos rondanya ada satu belokan di kanan jalan. Jalannya kecil dan nanjaknya lumayan terjal, di ujung tanjakan areal pemakaman dan jalannya nikung pake nanjak ke arah kanan lagi, ke balik bukit. 

Dari kampung kedua, kami masih jalan terus, soalnya dari terakhir kami nanya jalur, ga ada lagi warga yang bisa ditanya, kampung-kampungnya sepiiiii banget. Akhirnya berhubung jalannya ga ancur-ancur amat, kami pun jalan terus. Setelah kampung ke-2, ada satu jalan di kiri yang arahnya ke bawah, ngedeketin aliran sungai, tapi kami jalan terus. Di sekeliling kami udah mulai kebun, entah kebun karet, entah kebun apa, tapi yang pasti makin sepi. Akhirnya jalan bagusnya abis dan didepan kami ada tanjakan yang berlumpur. Setelah tanjakan, jalannya batu-batu yang udah tumbuh rumput-rumput sedikit dan lumpur, pokonya licin dan bikin males buat ngelewat. Akhirnya kami puter arah. Tujuan pertama adalah jalan turunan panjang ke kampung yang arahnya ke aliran sungai.

Lumayan serem juga dengan modal jalan yang cuman di semen. Untungnya ga jauh dari turunan itu ada dua rumah dan ada ibu-ibu yang lagi jemur baju. Setelah nanya jalur ke Curug Koja, ibu itu bilang jalannya ke kampung yang di bawah, tanya lagi aja, kami pun puter arah dan lumayan susah. Setelah nyampe di kampung yang pertama kami temuin, lagi-lagi ga ada orang yang bisa ditanya. Asli di sini sepiiii banget. Yang lewat sih ada beberapa, tapi berhubung medannya juga berat, dan kebanyakan yang lewat itu pada bawa hasil kebun, jadi ga enak juga buat nyegatnya.

Di belakang kami ada ibu-ibu yang dari kebun, kami pun nyegat. Kami tanya jalur ke Curug Koja, ibu itu bilang, jalannya di bawah, di depan kami. Jalannya ga bisa pake motor, jadi harus jalan kaki soalnya licin banget. Seinget saya, ibu ini nunjukin jalan setapak di sebelah rumah terkahir (yang jaraknya hanya dua rumah dari tempat kami sekarang), tapi berhubung ibunya ngasih infonya aga meragukan, jadi kami pun nyimpulin kalau jalan yang dimaksud ibu ini tuh jalan yang ada makamnya. Kami pun pamit dan turun lagi. 

Kami sampe di pertigaan ke arah makam, tapi lagi-lagi ga ada orang, akhirnya kami mutusin buat ke pos ronda di kampung yang bawah, soalnya emang bapak terakhir yang kami tanya itu nyuruh kami nanya di gardu. Ga jauh kami jalan, ada dua ibu-ibu yang udah berumur pulang dari kebun. Sebenernya ga yakin juga nanya sama ibu ini, tapi daripada ga ada lagi yang bisa ditanya, apa salahnya dicoba. Ternyata semua ibu ini tahu Curug Koja, dan salah satunya bilang kami harus balik lagi ke atas. Pas kami cocokin, jalan kecil yang dimaksud itu yang ke arah makam, ternyata bukan. Makin curigalah saya kalau jalan yang dimaksud ibu ini jalan setapak di sebelah rumah terakhir tempat kami nanya sama ibu-ibu terakhir.

Salah satu dari ibu ini nyaranin kami untuk ke rumah Bapak Haji.. (saya lupa namanya) buat nanya jalan dan siapa tau bisa nganter. Kami pun muter arah lagi dan jauh lebih susah, soalnya pas di turunan. Sampe di rumah terakhir, ternyata udah sepi. Asli ini dusun sepi banget, dari tadi yang kami temuin cuman ibu-ibu, itu pun pada di dalem rumah. Akhirnya temen saya masuk ke salah satu rumah buat nanya jalur. Ternyata ibu yang punya rumah tau jalur ke Curug Koja. Lagi-lagi informasi yang kami dapet itu adalah Curug Koja itu jauh, jalannya licin dan susah, ga bisa pake motor, dan yang paling parah banyak percabangan jalan di dalem kebun. Ibu-ibu yang kami tanya di sini sebelumnya ternyata rumahnya di sebelah rumah yang sedang kami tanya-tanaya ini.

Ibu yang pertama kami tanya nyaranin ke ibu yang satunya biar kami dianter aja biar ga nyasar. Sayangnya, ternyata kalau pagi-pagi ampir semua laki-laki di sini dari yang muda sampe yang tua pada di kebun. Apalagi ini lagu musimnya panen hasil kebun. Berhubung aga bingung juga kalau ke Curug Koja, akhirnya saya tanyain Curug Cibakom sama Curug Ciwatin yang katanya jalurnya ga sesusah Curug Koja.

Ibu ini bilang, kalau jalur ke Curug Koja, biasanya orang-orang pada lewat jalan setapak yang ada di samping rumah ibu ini. Kalau ke Curug Cibakom, jalurnya lewat jalan setapak di sebelah rumah cat hijau (cuman kehalang satu rumah aja). Kalau ke Curug Ciwatin, kita harus keluar dulu ke jalan utama dan ke arah Kantor Desa Linggalaksana, ikutin jalan terus sampe ketemu jembatan. Jalan masuknya dari sana. Jembatan yang dimaksud, bukan jembatan besi yang besar, tapi jembatan di jalan desa. 

Sedikit info, Curug Koja, Curug Cibakom, dan Curug Ciwatin ini ada di satu aliran sungai yang sama, Sungai Ciwatin. Curug Koja adalah air terjun pertama di aliran Ci Watin dan yang tertinggi. Air terjun kedua adalah Curug Cibakom, dan yang ketiga adalah Curug Ciwatin. Akses termudah adalah yang menuju Curug Ciwatin dan yang tersulit adalah yang menuju Curug Koja. Teman saya pun menyarankan kalau ke Curug Koja sebaiknya diantar, sama kaya saran ibu-ibu di dusun ini. Akhirnya kami mutusin untuk ke Curug Cibakom dulu, baru ke Curug Ciwatin. Curug Kojanya sekeburunya aja, berhubung ini udah jam 11.00. Akhirnya kami minta ijin buat nitip motor di rumah ibu ini. Ibunya sedikit ragu, soalnya ga ada yang jaga, tapi kami keukeuh, dan akhirnya dibolehin.

Seperti biasanya, ibunya nanya-nanya kami dari mana dan berapa orang. Begitu tau kami dari Bandung dan cuman berdua ibu itu pun kaget, ngapain ni orang berdua jauh-jauh ke sini. Ibunya cerita kalau bulan lalu ada yang KKN di sini dan ke Curug Koja, dianter sama suaminya. Sayangnya suaminya sekarang lagi di kebun. Saya juga bilang aja tau tempat ini dari temen yang KKN di sini kemaren (padahal mah siapa coba hahaha). Beres packing, kami pun pamit sama ibu dan menuju Curug Cibakom. Ibu yang satu lagi nganter kami sampe ke jalan setapak. Kata ibu ini di kebun, ambil jalan ke arah kiri, terus turuuuun terus sampe ke kebun trus ke sungai. Baru juga beberapa langkah, langsung disambut ama tanah liat yang licin. Kami masuk kebun. Jalannya makin licin dan curam banget.

Lumayan aga ngesot-ngesot juga turunnya. Baru juga beberapa langkah turun, kaki udah gemeteran. Akhirnya kami sampe ke jalur yang turunannya ga terlalu curam, seengganya ga harus sampe ngesot banget. Di tempat yang aga datar, sama-samar kaya ada suara yang nebang pohon, tapi ga ada orang satupun. Padahal kami ngarep ada warga di sini yang bisa kami minta tolong anter ke Curug Cibakom ama Curug Koja.

Kami pun dapet batang kayu buat pegangan. Lumayan banget ini batang kayu, berguna banget. Di tengah-tengah jalur, di kejauhan kami liat air terjun yang lumayan tinggi dan lebar. Kami pikir itu pasti Curug Cibakom, tapi jaraknya jauuuuh banget dan kayanya ada di seberang sungai dan dibalik bukit. Ah, hajar deh, semangat pokonya mah. Ternyata jalur yang kami lewatin aga melipir ke sebelah kiri, sementara curug yang kami liat aga di sebelah kanan jalur. 

Sampailah kami di ujung jalan kebun dan kali ini jalan yang harus kami lewatin adalah pematang sawah. Kalu inget-inget posisi kami sekarang sama curug yang kami liat tadi, kami harusnya nyusur sungai, geser sedikit ke arah kanan. Daripada bingung, kami pun nanya jalur sama warga yang lagi istirahat makan siang di saung. Akhirnya kami ketemu warga. Niatnya sih mau nyulik satu warga buat nganterin kami sampe ke Curug Koja, tapi pas liat baru mau makan banget, ya udahlah, cukup nanya aja. Kata bapa ini kalau kami mau ke Curug Koja, jalannya harusnya ga ke sini. Kami pun cerita dari awal kami dateng sampe akhirnya kami sampe di sini. Kata bapak ini, kalau ke Curug Cibakom sih bisa lewat sini, tapi sekilas saya denger ada ibu yang bilang kenapa ga lewat jalur yang satunya, lewat sini mah aga susah katanya.

Ah, saya pun bingung. Setelah berkali-kali nyerna arah ke Curug Cibakom yang ditunjukin bapa ini dan gagal, akhirnya bapak ini nganterin sampe ke sungai. Jadi, dari tempat kami nanya ini, jalurnya turun terus ke sungai, trus nyebrang dulu, jalan ngelawan arus sungai sedikit, trus nyebrang lagi ke jalan setapak di kebun kelapa. Kalau mau lewat darat terus, susah. Abis dari jalan setapak di kebun kelapa, kami sampe ke Curug Cibakom. Kalau mau lebih deket lagi, kami harus nyebrang sungai 1x lagi. Kalo urusan nyebrang sungai, apalagi di tempat kaya gini, saya udah feeling ga enak aja. Jangan-jangan kami harus nyebrang kaya pas ke Situ Denuh.

Ternyata bener aja, pas saya tanya ada jembatan, bapaknya malah ketawa dan bilang “Ya ga adalah Neng, emangnya di kota.” Jleb! Akhirnya bapak yg baik hati ini nganterin kami sampe di tepi sungai. Berikutnya kami harus nyebrang sungai. Jaraknya ga terlalu jauh dan arusnya ge sederes Ci Patujah pas kami ke Situ Denuh. Kebeneran ada warga dari arah berlawanan yang bawa rumput, kami pun nunggu sampe bapak ini nyampe. Ternyata dalemnya sebetis bapa tadi dan nyebrangnya kayanya gampang banget. Okelah dicoba. Ternyata emang arusnya lebih tenang, batuan di dasar sungainya juga lebih stabil, banyaknya ukuran kerikil sama kerakal, jarang yang bentuknya bongkahan.

Pas lewat arus yang sedikit kenceng, jadi ga terlalu susah, soalnya pijakannya udah enak, beda banget sama pas nyebrang Sungai Cipatujah di Desa Cikuya. Sampe di ujung, kami nerusin lagi ke pematang sawah. Sesuai arahan bapa yg tadi, kami jalan sampe ke ujung pematang sawah. Dari sini baru keliatan jalan yang dimaksud bapak tadi di tengah kebun kelapa. Kami harus nyebrang 1x lagi. Ternyata bapak yang tadi ikut nyebrang juga, mastiin kami ga salah ambil jalur. Kami pun nyebrang lagi buat yang kedua kalinya. Kali ini tingginya hanya di atas mata kaki sedikit, sebelumnya tingginya sampe betis. Arusnya juga lumayan lebih kenceng yang sekarang. Setelah nyampe di seberang, kami pun ikutin jalan setapak sampe ke ujung. Akhirnya yang kami cari ketemu juga, Curug Cibakom.

Lumayan tinggi juga, katanya sih sekitar 50m. Airnya ga terlalu gede, tpi seengganya ga kering banget. Langitnya juga mendukung, awan putihnya makin lama makin ilang, jadi dapet langit birunya. Kami jalan sekitar 15 menit, dan sekarang ampir tengah hari. Sesungguhnya, ambil foto landscape siang bolong ini risiko gagalnya itu 98% dan emang bener, susah banget mau foto ada orangnya. Ya sudahlah, berhubung ga ada waktu lagi, maksa-maksain dikit aja deh.

Kami mutusin untuk nyimpen tas dan istirahat di bawah pohon di deket pematang sawah, yang artinya, kami harus nyebang sungainya 1x lagi. Hampir di seberang, ketinggian airnya jadi sebetis lagi dengan arus yang lumayan kenceng, pokonya harus hati-hati banget. Sebenernya aliran sungai yang kami lewatin kali ini aliran yang sama kaya yang dua kali kami sebrangin sebelumnya. Berhubung ga ada jalan setapak sama jembatan, jadi kesannya kaya yang muter jauh.

Berhubung area untuk foto-fotonya ga terlalu luas, udah silau banget, panas, terik, haus, cape, ngantuk dan lain-lainnya, kami di sini hanya sebentar. Sekitar jam 12.00 WIB kami mutusin buat balik ke rumah ibu, ambil motor terus ke Curug Ciwatin. Pas kami mau pulang, ternyata ada dua orang yang baru dateng. Kami kira mereka sama, mau main ke Cibakom, ternyata mereka mah warga sekitar. Kesempatan nanya-nanya ke Curug Koja. Ternyata mereka abis dari Curug Koja, tapi ga nyampe. Lagi-lagi mereka nnjukin arah ke Curug Koja dari jalan setapak di samping rumah tempat kami nitip motor. Kalau dari Curug Cibakom juga bisa ke Curug Koja, sedikit manjat ke jalan setapak aliran sungau kecil samping Curug Cibakom. Kalau kami pergi sekarang, kemungkinan bakal balik ke rumah ibunya sore banget.

Dua orang yang lagi kami tanya-tanya ini tadinya mau ke Curug Koja, tapi balik lagi soalnya ga sanggup dan jalannya susah. Lagian, kalau diterusin pun, pas balik dari Curug Kojanya, kemungkinan air sungainya udah ngeluap. Katanyaaaa siih. Berhubung udah ga mood buat trekking nebak-nebak jalur, jadi Curug Koja kami pending lain waktu. Kami pun pamit. 

Trekking pulang lancar jaya, malah sempet foto-foto dulu. Yang lumayan repot sih pas di kebun soalnya jalurnya full tanjakan dan licin abis. Kami sempet berenti lagi buat moto air terjun yang sampe sekarang masih ngebingungin, sebenernya itu curug apa. Dibilang Curug Cibakom, tapi ko arahnya beda, Curug Ciwatin, bentuknya beda, Curug Koja lebih ga mungkin lagi, tapi penampakannya paling mendekati Curug Cibakom. Ah, emang harus revisit kayanya. Begitu sampe di deket rumah tempat kami nitip motor, ternyata warga yang laki-lakinya udah pada beres dari kebun dan ngumpul semua. Sebenernya sih bisa aja minta tolong anter ke Curug Koja, tapi kayanya sama-sama capek. Akhirnya kami pun istirahat sebentar sambil ngobrol-ngobrol sama suami ibu yang tadi.

Bapaknya yang dulu nganter anak-anak KKN ke Curug Koja, dan kayanya sih medannya lumayan berat dan jaraknya jauh juga. Sementara ibunya ternyata lagi nyolder buat mukena. Baru tahu saya. Setelah numpang ganti baju dan Solat, kami pun pamit ke Curug Ciwatin sekalian pulang. Pas kami lagi beres-beres, bapaknya tiba-tiba naik ke pohon rambutan di depan rumah. Kami pun dibekelin dua batang rambutan. Waduh, ada yang aneh ini, padahal kami yang ngerepotin sampe nitipin motor, malah kami juga yang dibekelin rambutan, Bener-bener ngerepotin banget kayanya ini. Nanti ya Pa, Bu, kalau saya balik lagi, ngajakin temen-temen yg laen, sekalian maen ke rumah ibu sama bapak. 

Kami pun jalan lagi ke Curug Ciwatin. Kalau dari yang saya tangkep, jalan yang dimaksud ibu tu jalan yang ngelewatin kantor Desa Linggalaksana yang tadi pagi kami datengin, tapi temenn saya kayanya ga ngeh. Di Gapura deket pertigaan jalan utama Cikatomas – Linggalaksana, kami nanya sama warga, katanya jalannya ke jalan kecil di pertigaan depan. Kami pun puter arah. Jalannya lebih sempit dan lebih jelek, tapi ga sampe batu. Medannya sedikit nanjak, dan rumah-rumahnya lebih sederhana dibanding dari jalan ke arah jalur trekking Curug Cibakom. Kalau dari patokan yang dikasih warga, nanti di jalan ini ada jembatan trus tinggal ambil jalan ke kiri. Kami pun nemu jembatan, tapi ternyata cuman sawah aja, bukan sungai. Kami jalan lagi. Jalannya makin lama makin rusak.

Sampe akhirnya kami nemu pertigaan. Jalan di kanan kami lebih kecil lagi dan turunan curam banget. Jalannya cuman di semen seadanya biar motor bisa lewat, tapi ada sedikit lumut-lumutnya jadi tetep aga licin sebenernya. Kami nanya lagi di sini. Kali ini yang kami tanya ampir seumuran. Katanya, ikutin terus jalannya sampe rumah yang di pojok trus belok kiri. Parkir aja di situ. Sampe di ujung jalan, ternyata langsung pematang sawah lagi dan cuman ada satu rumah di kiri kami. Di samping kanan rumah itu, ada jalan setapak kecil ke arah hutan, kami ragu ini jalannya apa bukan. 

Kami parkir motor, tapi kayanya rumahnya kosong. Untung ada warga yang lewat, kami tanya lagi jalan ke arah Curug Ciwatin. Kata Bapak ini, kami harusnya ke jalan kecil di kiri jalan (kalau dari arah kami dateng), nah dari jalan kecil itu ikutin terus jalannya sampe nemu jembatan, nyampe deh. Kalau lewat jalan setapak ini mah nantinya masuk hutan. Kami pun puter arah. Berhubung turunannya curam banget dan panjang, jadi saya pun muttusin buat turun aja. Sampe di jalan yang aga datar saya baru naik lagi. Sayangnya, pas di jalan datar, kami papasan sama motor yang bawanya cewe boncengan, nah, rempong deh. Setelah dorong-dorong motor ampe mepet banget ke pinggir sawah, saya bisa naik motor lagi dan nerusin jalan ke Curug Ciwatin.

Ujung jalan kecil ini ketemu sama jalan yang lebih lebar dan di depan kami langsung Sungai Ciwulan yang debitnya lagi gede dan lebar banget sungainya. Kami ikut feeling ambil ke arah kiri di pertigaan (searah arus sungai). Ternyata ga jauh dari pertigaan, pas sebelum tanjakan, ada jembatan yang dimaksud. Di pinggir-pinggir jembatan udah banyak motor parkir. Kayanya ini jalur ke Curug Ciwatin. Beres parkir, berhubung di pinggir jalan banget dan sepi, jadi harus hati-hati banget kalau parkir di sini. Kami pun langsung nyusurin jalan setapak lewatin kebun sedikit dan langsung disuguhin pematang sawah lagi. Dari pematang ini mulai keliatan aliran Sungai Ciwatin, dan di kejauhan samar-samar keliatan air terjun. Kami ambil jalan ke bawah di pematang sawah ini.

Jalur yang kami ambil ini salah satu spot buat ambil foto Curug Ciwatin dari kejauhan. Sambil ambil foto beberapa, sambil istirahat, sambil nunggu anak-anak yang lagi pada mandi selesai. Ga nanggung bener-bener mandi, wangi samponya kecium sampe ke tempat kami istirahat, seger banget kayanya. Curug Ciwatin ini termasuk curug yang lebar juga, tapi ga terlalu tinggi kaya Curug Cibakom. Kolam di bawah Curug Ciwatin arusnya lebih tenang dibandingin sama kolam di Curug Cibakom, dan warnanya lebih Tosca terang. Kamipun jalan ke deket Curug Ciwatin. Di Curug Ciwatin ini lebih banyak tempat datar dan kebuka dibandingin di Curug Cibakom, jadi kami berdua ga usah repot-repot rebutan lapak buat nyimpen tas. 

Ngeliat anak-anak di sini pada berenang, temen saya pun jadi tergoda, dan akhirnya nyebur juga. Kami di Curug Ciwatin sampe jam 15.00 WIB berhubung ngejar nyampe ke Bandungnya ga terlalu malem. Kali ini kami ngikutin terus jalan utama, jadi pas di pertigaan, kami ga balik lagi ke jalan kecil yang kami papasan sama motor. Kalau ngikutin jalan utama, berarti ngelawan arus Sungai Ciwulan. Ternyata ujung jalan yang disemen ini tembus ke depan kantor Desa Linggalaksana, tempat tadi pagi kami puter arah setelah tau jalan ke Curug Cibakom kelewat. Jalan ini juga yang direkomendasiin ama ibu yang rumahnya kami titipin motor. Lumayan, jadi tau beberapa jalur masuk. Sebelum pulang, kami foto-foto lagi di jembatan yang saya lupa liat namanya apa.

Jembatan yang ada diatas aliran Sungai Ciwulan ini lumayan panjang dan sepi. Ga ada anak muda nongkrong-nongkrong di pinggir jembatan, apalagi Sabtu sore gini kaya di sekitaran pinggiran Bandung. Kami pun leluasa foto-foto di sini, malah masih sempet kami foto di tengah jalan beberapa kali. Puas foto-foto, kami mutusin buat pulang, berhubung langitnya mulai gelap. Begitu keluar dari kebun karet dan masuk Salopa, mulai gerimis dan lama-lama makin deres.

Kami sempet isi bensin sambil nunggu ujannya sedikit reda, ternyata ujanna beneran reda, tinggal gerimis. Ujannya dari arah Utara, dan begitu masuk ke kota Kecamatan Salopa, ujannya udah berenti, tinggal gerimis aja. Perjalanan pulang lumayan lancar, jalan jadi sedikit lebih licin, apalagi di kebun karet yang jalannya lumayan rusak dan ada beberapa lubang yang gede dan dalem. 

Di deket Kampung Gintung, Kecamatan Jatiwaras, ada pemandangan yang ga biasa saya liat kalau jalan ke jalur kaya gini, razia! Iya, razia kendaraan bermotor, ada lumayan banyak polisi berentiin mobil sama motor. Banyak juga yang kena tilang, maklum jalan dan daerah kaya gini kan yang penting punya motor dan bisa jalan, urusan kelengkapan kendaraan bermotor mah nomer sekian kayanya. Pemandangan yang ga biasa. Perjalanan lancar sampe ke Sukaraja. Di Sukaraja, akhirnya saya mutusin buat nyoba jalan potong lewat Cibalanarik biar ga usah macet-macetan di Kawalu dan Singaparna. Lumayan sih jalannya sepi, tapi begitu masuk Cibalanarik, jalannya lumayan ancur dan medannya nanjak, jadi aga ga cepet juga.

Seengganya ga harus riweuh nyusulin motor, mobil, truk ama bus kaya kalo lewat Singaparna – Kawalu. Kami masuk Mangunreja sekitar jam 17.00 WIB. Langka banget, biasanya kami masuk jalur sini diatas jam 20.00 WIB, kali ini masih bisa liat matahari. Perjalanan dari Salebu ke Cilawu lumayan lancar. Jam 18.00 kami udah duduh manis nunggu pesenan makanan kami dateng di tempat makan di Tarogong, Garut. Kami nerusin jalan ke Bandung sekitar jam 20.00 WIB. Lumayan sambil istirahat, sambil nunggu ujan reda, dan nunggu jalan kosong. Perjalanan Garut-Bandung pun lancar, ga kena macet sampe ke rumah. Sesuai rencana, jam 22.00 WIB udah bisa leha-leha di kasur. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


About Dya Iganov

Penyuka traveling, tidak hanya mendaki gunung, tapi juga touring, rafting, explore, city tour, kemping ceria, susur pantai, dll

Leave a comment