Minggu, 16 Desember 2012
Jam 05.00 WIB saya dan dua temen lainnya udah bangun (termasuk sepupu saya), rencananya kami pergi dari Pameungpeuk sepagi mungkin setelah sarapan, jadi ga ada acara main di pantai sama sekali. Jam 05.30 WIB kami semua sarapan dan ga lama langsung packing dan pergi. Sekitar 06.00 WIB kami check out tapi tetep ga lupa buat foto-foto di spot yang lumayan bagus di gerbang keluar Pantai Santolo. Ga lama, kami pun udah di jalur Pameungpeuk-Ciakajang lagi. Awan putih kaya kapas di kejauhan, deretan pegunungan yang bersih dari kabut dan awan, sinar matahari yang lumayan terik kayanya sayang kalau landscape di sepanjang jalan ga di foto.
Perjalanan ke arah Cisompet lumayan cepet, belum banyak motor atau ELF yang seliweran. Sekitar jam 07.30 WIB kami udah sampe di tempat tambal ban. Setelah parkir, kami pun ketemu sama bapak yang punya tambal ban sekaligus Pa RW setempat. Begitu tau kami mau ke Curug Tujuh Neglasari, bapa tadi langsung manggil temennya untuk nganter kami, soalnya kalau ga dianter takut nyasar di kebun tehnya. Begitu kami tanya berapa lama trekking sampe air terjunnya, jawabannya tetep sama kaya tiga minggu yang lalu, satu jam sekali jalan kalau cerah dan ga ada kabut. Setelah nunggu lima belas menit, datenglah temennya yang katanya mau nganter. Perlengkapannya lumayan, golok, baju lapangan, sepatu boot, topi, mencurigakan, jangan-jangan jalannya ga segampang yang saya bayangin.
Pertama-tama kami jalan nanjak bukit di tengah kebun teh. Bener aja baru juga sebentar, jalannya udah lumayan bikin bingung. Sebagai informasi, akses ke Curug Tujuh Neglasari ini emang belum dibuka, jadi wajar aja kalau ga tau jalannya ke mana dan ga nemu papan penunjuk jalan. Sambil jalan, bapa ini cerita jalur menuju Curug Tujuh Neglasari dan cerita-ceritanya. Kata Bapa ini, jalur ke Curug Tujuh Neglasari ada dua, pertama yang bakal kita lewatin yaitu yang ke atas aliran curug, alias ke Sungai Limbung yang ada di puncak Gunung Limbung, artinya sekarang kami bakal sedikit hiking. Jalan setapak berbatu di kebun teh sekarang ganti jadi pematang sawah mengarah ke jalan setapak yang jauh lebih kecil dan lebih teduh tepat di pinggir tebing Gunung Limbung. Cukup mudah, soalnya tanah sawahnya udah kering, berikutnya kami harus sedikit usaha untuk trek berikutnya.
Jangan bayangkan jalan setapak layaknya jalur pendakian pada umumnya. Jalan setapak yang satu ini bener-bener jauh dari layak untuk jadi jalur pendakian. Jalannya keciiiiil, liciiiin, banyak daun-daun basah nutupin tanah merah yang juga masih basah, ga ada pegangan, hanya ada rumput-rumput sama akar rapuh di sepanjang dinding tebing di sisi kanan. Di sisi kiri, jurang cukup besar dengan permukaan kaya perosotan lengkap dengan pipa besi super besar di pinggirnya, dan namanya juga mendaki, medannya langsung nanjak tanpa bonus Bapak ini cerita, katanya pipa besi besar di dasar jurang itu asalnya dari sungai di puncak Gunung Limbung untuk keperluan pabrik yang ada di bawah (keliatan dari jalur).
Sebagai informasi, Gunung Limbung ini ga tinggi-tinggi amat dan merupakan rangkaian dari pegunungan dan perbukitan di Gunung Gelap, jadi sebagian besar area di puncak Gunung Limbung ini masih berupa hutan alami. Mungkin baru setengah jam kami jalan, tapi saya udah cukup cape. Medan tanjakan tanpa ampun ditambah tanah merah licin dan ga ada pegangan, bahkan sering bapa ini harus nebasin ranting dan buang kayu-kayu di sepanjang jalur biar kami bisa nanjak. Saya sama satu temen dan bapa guide ini ada di paling belakang, tiga orang lainnya ada di depan buka jalan juga. Akhirnya saya pun mutusin buat istirahat dan berhenti sebentar sama bapa guide sambil nunggu temen saya yang lain buka jalur.
Sambil istirahat, bapak guide nanya, ko bisa kami sampai di sini? Akhirnya saya pun cerita, awalnya hanya iseng nayri artikel untuk satu air tejun yang ada di Sukabumi, tapi ga sengaja malah keluar artikel tentang Curug Tujuh Neglasari yang ada di Gunung Limbung. Liat fotonya, bagus banget sayang ga ada info jalur. Bekel penasaran ama nama desa dan kecamatan, didatenginlah Curug Tujuh Neglasari ini. Bapa itu pun manggut-manggut dan masih tetep heran, ada ya orang yang kaya begini. Akhirnya bapa itu pun cerita. Bapa ini warga asli Garut, dulunya pegawai suatu perusahaan swasta di daerah sini. Kata bapa ini, satu-satunya orang asing (turis/wisatawan) yang pernah beliau anter ke Puncak Gunung Limbung ini dua orang Perancis sekitar dua tahun yang lalu (2010). Bedanya dengan kami yang nekat dateng karena penasaran dan untuk rekreasi, dua orang Perancis ini dateng ke sini untuk penelitian.
Menurut mereka ada kandungan emas di aliran Sungai Limbung (sebut saja demikian). Hasil penelitiannya ga pernah dipublish, tapi dampaknya adalah kawasan di sekitar Gunung Limbung jadi rebutan dua perusahaan tambang swasta besar di Indonesia. Karena satu dan lain hal, bapak kurang setuju sama kebijakan perusahaan ini, dan akhirnya resign. Itulah kenapa ga aa info tentang air terjun ini, karena kalau dikembangkan jadi wisata, ternyata sebelumnya sudah jadi rebutan dan perhatian khusus dua buah perusahaan tambang, jadi sementara biar saja informasinya hanya apa adanya kaya yang ada sekarang. Bapa ini pun bingung, kalau dibuka jadi wisata, sayang juga karena ga yakin pengunjung bisa menjaga kebersihan lingkungan, apalagi aliran sungai ama area di atas masih bener-bener alami dan bener-bener dimanfaatin untuk keperluan warga, kalau tercemar, nanti warga juga yang repot.
Begitu saya cerita kemarin kami dari mana, menurut bapa itu, Curug Nyogong yang tadinya bakal kami kunjungi juga ada emasnya, bahkan ada beberapa lokasi di sepanjang alirannya yang sudah ditambang secara tradisonal oleh warga. Nah, peralatan berat sama besi-besi besar ga jelas bentuknya yang kemarin kami lihat di Cihurip itu untuk keperluan pembangunan dan perbaikan prasarana dan sarana perusahaan pengelola tambang. Kata bapa guide ini juga, kades di tempat Curug Nyogong ini ade kandungnya.
Dari bapa ini juga, saya jadi tau ada beberapa air terjun lagi di daerah sana yang belum banyak orang tau, berhubung aksesnya yang emang susah dan masih banyak cerita-cerita setempat, katanyaaaa. Apapun yang ada di puncak Gunung Limbung atau bener apa ngganya Curug Nyogong ada penambangan emasnya, sampe saat ini saya belum dapet informasi akurat lagi. Hanya sebatas beberapa penelitian di skripsi di beberapa kampus di Indonsia yang memang meneliti tentang potensi/dugaan kandungan emas di jalur pegunungan Selatan Jawa Barat (Garut, Sukabumi) seperti yang ada di Cineam, Kabupaten Tasikmalaya.
Bapa ini juga ngasih tau kalau di puncak Gunung Limbung ini masih banyak hewan liarnya, termasuk kucing besar. Kalau ular atau serangga-serangga lain sih udah ga usah ditanya. Bapa ini pernah liat ular yang ukurannya cukup gede di sekitar aliran sungai. Untuk kucing besar, kata bapa ini biasanya kalau kabut turun, mereka juga keluar. Aliran sungai di puncak gunung ini jadi tempat minumnya.
Di sekitar sungai, tanahnya datar dan cukup luas untuk ngebangun tenda, hanya ya harus hati-hati dengan masih adanya beberapa binatang yang emang lebih dulu tinggal di sana. Ga heran sih, hutan ini kalau diliat di peta, cukup luas dan masih sangat alami. Yang dimanfaatin masih hanya bagian yang deket sama jalan dan permukiman penduduk, selebihnya, ga ada yang pernah ngusik. Selama kami ngobol, ternyata teman yang jalan duluan pun jaraknya masih cukup dekat dengan saya dan menurut bapa ini dengan kondisi kaya sekarang, seengganya masih diperluin waktu satu jam lagi sampai di puncak.
Satu jam dengan cuaca yang udah berubah jadi mendung dan kabut juga udah tebel di atas sana membuat kami harus balik arah dan turun ke kebun teh. Bapa ini pun ga menyarankan kami untuk nerusin perjalanan. Kali ini plan B, kami coba jalur yang ngarah ke bawah air terjun. Seperti yang disebutkan di beberapa sumber dan sesuai dengan namanya, Curug Tujuh Neglasari merupakan air terjun yang aliran jatuhannya bertingkat-tingkat dari puncak gunung sampai ke pinggir jalan, nah, kami sekarang menuju salah satu tingkatannya yang kata bapa ini ada kolam kecilnya dan masih di tengah hutan tentunya.
Kami pun turun dengan susah payah. Setibanya di kebun teh, tiba-tiba bapa ini dapet telepon dari rumahnya. Beberapa hari yang lalu, adiknya jadi korban tabrak lari di Cisompet dan pelakunya baru ketangkep. Sekarang, polisi ada di rumah bapa ini dan minta untuk segera pulang. Kami pun ga bisa apa-apa dan hasilnya kami hanya dikasih sedikit petunjuk jalan yang harus kami ambil sama goloknya untuk buka jalur. Entah bener atau ngga, tapi kayanya bener ngeliat raut muka sama gelagatnya yang berubah drastis. Setelah pamitan, tinggalah kami berlima yang celingukan.
Tanggung udah nyampe sini, kami pun jalan sendiri. Kali ini ke arah yang bverlawanan dari arah pertama kami masuk kebun teh. Jalan yang kami tempuh kali ini melipir tebing sisi lain dari Gunung Limbung. Jalannya sedikit lebih mudah dan lebih jelas. Jalan setapak yang juga berlumpur jadi medan utama. Sekitar lima belas menit kami jalan melipir tebing, kami ketemu aliran sungai dan kolam yang lumayan kecil sebelu akhirnya jatuh lagi. Kami curiga ini bagian dari aliran Curug Tujuh Neglasari. Kami terus jalan. Kali ini kami masuk hutan lagi dan jalan setapaknya mulai ilang. Ternyata disini banyak botol minuman gambar bintang sama bungkus rokok.
Di tempat kaya gini masih ada juga warga yang kelakuannya kaya sampah. Di tengah hutan, kami nemu lagi aliran sungai dan disini juga jalannya bercabang. Satu yang makin ke kanan dan masuk ke hutan, ngejauhin areal kebun teh Neglasari, yang satu yang ke arah puncak gunung. Saya, sepupu, dan satu temen nunggu di pinggir aliran sungai, sementara yang dua ngecek masing-masing jalur. Lumayan juga kami nunggu di sini, akhirnya kami kumpul lagi. Jalan ke arah hutan kayanya ga memungkinkan, tapi jalan yang kearah gunung mungkin jalannya, hanya mentok.
Temen saya naik sampe jalannya bener-bener mentok dan harus sedikit buka jalur. Jalur berikutnya malah sedikit memutar dan ngejauhin aliran sungai. Dari tempat dia terakhir, puncak aliran Curug Tujuh Neglasari masih jauuuuh dan kalau diterusin ngikutin jalur yang seadanya, malah ngejauhin dan makin ga keliatan, karena ragu, akhirnya turun lagi. Setelah dipikir-pikir, akhirnya kami pun mutusin untuk balik ke Desa Neglasari. Ga jelas juga jalannya yang mana, siapa tahu semuanya bukan jalur yang sebenernya. Yah, maklum namanya juga ditinggalin sama guidenya. Kami pun balik arah.
Sampai di sungai yang pnya kolam cukup luas, dua temen saya penasaran untuk jalan ke arah atasnya, yang lainnya termasuk saya nunggu. Selama nunggu, cuaca berubah lagi, kali ini mataharinya keluar dari awan. Beda jauh sama pas tadi kami naik ke Gunung Limbung. Satu orang temen saya balik ke tempat kami nunggu, katanya mereka nemu gua, woow. Kami pun ke arah gua yang dimaksud. Ternyata gua yang dimaksud itu aliran air di atas sungai tempat saya nunggu. Jadi aliran sungainya masuk ke dalam bongkahan batu-batu yang besar dan ngebentuk ruangan sempit di sekitar aliran air.
Pintu masuknya berupa celah sempit diantara dua batu yang gede banget dan ga jauh dari celah itu jalan udah kegenang air. Makin ke dalem ruangan dari tumpukan batu-batu gede ini, genangan airnya makin tinggi. Tepat diujung paling dalem di gua ini ada aliran air yang lumayan deres, malah sebenernya ini air terjun. Kata dua temen saya yang deketin air terjun ini, di balik air terjunnya ada jalan dan aga nanjak, jadi semacem gua dalam gua. Air terjun di dalam gua ini ga terlalu tinggi dan landai, jadi kalau jalan ngelawan arus air terjun, mungkin bisa aja keluar dari gua dan sampe di tingkatan atas dari curug di gua ini. Seingat saya, selama masih ada bapa guide, beliau ga nyebut-nyebut ada gua atau air terjun di bawah bongkahan batu gede. Lumayanlah nyasar yang menghasilkan.
Hampir satu jam kami di dalem gua ini, tepat jam 11.00 WIB kami keluar dan mutusin buat turun dan pulang ke Bandung. Perjalanan pulang sedikit lebih lama karena sendal sepupu saya yang copot karena keganasan trek Gunung Limbung tadi diperparah dengan trek ke Curug Tujuh Neglasari dari sisi lainnya. Siapa sangka dengan copot totalnya sendal sepupu saya, kami nemu spot untuk ambil foto Curug Tujuh Neglasari sedikit lebih deket daripada spot yang ada di pinggir jalan. Bener-bener nyasar yang menghasilkan.
Kami jalan turun sekitar tiga puluh sampai satu jam dengan cuaca yang berubah-rubah. Ketika kami masuk ke gua masih ada terik sinar matahari, begitu keluar gua dan sampai di batas kebun teh Neglasari mendung. Sampai di rumah Pa RW, ternyata Pa RW udah tau kalau bapak yang guide kami pulang duluan. Setelah semua ganti baju dan beres-beres, kami pamit dan langsung menuju Bandung. Kayanya Curug Nyogong lain kali aja kami datengin. Sepanjang jalan mulai dari rumah Pa RW sampai masuk perkebunan teh Cikajang mendung, bahkan sempet gerimis. Di perbatasan kebun teh sama Cikajang ujan deres, bahkan jalan pun sampe ga keliatan. Keluar Cikajang, tepatnya selepas Cisurupan ujan reda dan mendung sampai Cicalengka. Sekitar jam 16.00 WIB kami sudah sampai di Bandung dan sepupu saya pun selamat dari ketinggalan travel ke Jakarta.