EKSPLORE BONDOWOSO


Tulisan ini pernah dipublikasikan di Website Travelnatic Magazine. Bondowoso merupakan satu kota kecil yang berada di Jawa Timur. Kota ini berbatasan langsung dengan Jember, Banyuwangi, Situbondo, dan Besuki. Kabupaten Bondowoso merupakan salah satu kabupaten yang tidak memiliki wilayah laut (terkurung daratan) dan terletak di wilayah Tapal Kuda, Jawa Timur.

Sebelum bercerita mengenai lokasi yang dikunjungi, ada baiknya kita sedikit berkenalan dengan perjalanan kemunculan objek-objek wisata di Kabupaten Bondowoso. Meskipun berbatasan dengan Kabupaten Banyuwangi yang sudah cukup dikenal sebagai tujuan wisata utama di Timur Pulau Jawa, namun, tidak halnya dengan Bondowoso. Jangankan sebaran dan nama-nama objek wisata di Bondowoso, letak Bondowoso pun masih banyak yang tidak tahu. Padahal, kenyataannya, Kabupaten Bondowoso memiliki objek wisata yang cukup lengkap dan tersebar di seluruh wilayahnya.

Setahun kebelakang, tepatnya 2017, mulai muncul Kawah Wurung yang turut meramaikan daftar objek wisata yang wajib di kunjungi di Indonesia. Hal ini secara langsung mengangkat nama Bondowoso di kalangan para traveler. Padahal, jauh sebelum hitsnya Kawah Wurung, sudah ada Air Terjun Belawan dan Niagara Mini yang pertama kali muncul sekitar tahun 2011 (atau bahkan sebelum itu). Satu-satunya andalan dan icon wisata sebelum Kawah Wurung yaitu Pegunungan Hyang dengan Gunung Argopuro dan Danau Taman Hidupnya.  Kemunculan objek wisata Kawah Wurung dan Kawah Ilalang inilah yang pada akhirnya mendorong salah satu admin Travelnatic untuk berkunjung ke Bondowoso.

Tepat akhir Februari 2018, perjalanan menuju Bondowoso pun dimulai. Perjalanan berawal dari Bandung menggunakan kereta api tujuan Jember dengan sebelumnya transit dulu di Surabaya. Dari Jember, perjalanan menuju Bondowoso akan ditempuh dengan sepeda motor selama satu jam. Sebelum berangkat, informasi mengenai rute, letak objek wisata sudah dikumpulkan terlebih dahulu. Sampai akhirnya mendapatan kontak R-Jek nya Relawan Muda Bondowoso. Rekan dari R-Jek inilah yang akan menemani saya selama dua hari keliling Bondowoso. Mas Zen namanya. Tepat pukul 13.00 WIB, sudah siap menjemput di Stasiun Jember. Perjalanan lalu dilanjutkan menuju Bondowoso selama satu jam.

Untuk berkunjung ke Bondowoso, terdapat beberapa pilihan rute, diantaranya melalui pesawat dari Bandung menuju Jember dengan transit di Surabaya. Pilihan kedua menggunakan kereta api menuju Surabaya, lalu dilanjutkan menuju Jember. Pilihan ketiga menggunakan kereta api hingga Surabaya, lalu bus menuju Jember Pilihan keempat, menggunakan bus menuju Surabaya, lalu ganti bus jurusan Jember di Surabaya. Untuk menuju Bondowoso dari Jember, kita dapat menggunakan bus antar kota dari Terminal Jember menuju Terminal Bondowoso. Atau, jika tidak ingin repot, bisa langsung menyewa ELF dari Surabaya atau Jember langsung menuju lokasi tujuan.

Jika menyewa ELF dari Surabaya atau Jember, sebaiknya perjalanan dilakukan secara rombongan agar pembagian biaya bisa lebih ringan. kitapun bisa juga menggunakan jasa R-Jek dari Komunitas Relawan Muda Bondowoso jika tidak ingin repot atau hanya bepergian sendiri/dalam jumlah rombongan sedikit.

Untuk masalah akomodasi di Bondowoso, terdapat beberapa pilihan. Pertama dengan menginap di hotel-hotel yang ada di Bondowoso. Namun, karena belum seramai kota lainnya, maka ketersediaan hotel di beberapa situs penyedia jasa pemesanan online cukup terbatas. Sebaiknya mencari setiba di lokasi agar lebih banyak pilihan harga. Kedua, langsung menyewa homestay/guesthouse di Sempol. Jika mengambil pilihan kedua, berarti, setiba di Jember sudah harus langsung mencarter mobil atau akomodasi lainnya hingga ke Sempol. Waktu tempuh antara Kota Jember – Kota Bondowoso – Kecamatan Sempol kurang lebih tiga jam. Pilihan ketiga, bisa dengan menumpang di Basecamp milik Komunitas Relawan Muda Bondowoso yang berlokasi sedikit di pinggiran kota Bondowoso, dan yang terpenting, gratis.

Kembali ke cerita perjalanan. Setiba di Bondowoso, kami berdua langsung menuju base camp. Sore ini, base camp sepi karena hampir semua anggota memang sedang ada keperluan masing-masing. Bahkan. Kedatangan saya bertepatan dengan persiapan Mubes Komunitas Relawan Muda Bondowoso di tempat lain. Sore ini, saya hanya bertemu dengan bapak dan ibu nya Komunitas RMB, dan satu orang teman RMB. Berhubung sudah sore dan ada satu tempat yang ingin langsung saya kunjungi. Saya dan mas Zen pun tidak berlama-lama di basecamp. Kami pun pamitan dengan ibu. Tujuan kami di sore yang mendung ini adalah Tancak Kembar yang berada di salah satu kaki Pegunungan Hyang.

Tancak Jomblo dan Tancak Kembar

Perjalanan dari basecamp menuju Tancak Kembar hanya membutuhkan waktu satu jam saja untuk jarak 23 Km. Perjalanan cukup lancar, kurang dari satu jam kami sudah tiba di Tancak Jomblo. Meskipun hari Minggu, namun sepanjang perjalanan menuju Tancak Jomblo dan di lokasi Tancak Jomblo pun tidak ada pengunjung lain yang kami temui. Jalan yang harus dilalui akan memasuki area milik perkebunan. Jalan di perkebunan inilah yang tersulit. Jalan desa Andungsari yang berbatu dan terus menanjak akan berakhir di gapura milik PTPN.

Dari sini, jalan yang harus dilalui hanya disarankan untuk sepeda motor saja, Jalan merupakan jalan tanah kurang lebih sepanjang 2,5 Km yang hanya cukup untuk dua sepeda motor berpapasan. Sisi kanan jalan merupakan tebing yang rawan longsor, sedangkan di sisi kiri jalan merupakan jurang yang sangat dalam. Bila musim hujan, jalan akan dipenuhi oleh lumpur dan rumput basah, sangat licin. Meskipun kondisi jalan relatif datar, tetapi jalur akan terus menyusuri tepian jurang.

Tancak Jomblo berada tepat di sisi jalan, sehingga kita tidak perlu susah payah treking. Tancak Jomblo ini merupakan air terjun non permanen, artinya pada musim kemarau akan kering total. Perjalanan kami lanjutkan menuju Tancak Kembar yang hanya tinggal 1 Km lagi dari lokasi Tancak Jomblo. Ujung jalan yang kami lalui merupakan area parkir objek wisata Tancak Kembar. Sudah ada pos penjagaan dan semacan toilet yang saat kami datang dalam keadaan terkunci. Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar kurang lebih 500 meter. Jalan menuju lokasi Tancak Kembar sudah dikelola, jadi pengunjung hanya tinggal mengikuti jalan setapak dari area pakir

Tibalah kami di area utama Tancak Kembar. Dua buah air terjun dengan air yang sangat jernih dan dan sangat dingin menyambut kami berdua. Pada saat kami tiba, volume jatuhan kedua aliran Tancak Kembar sedang besar. Jika kemarau, air terjun di sisi kiri akan sangat kecil volume jatuhannya, bahkan kering. Tidak demikian dengan air terjun di sisi kanan. Pada kemarau pun masih tetap ada airnya, meskipun kecil. Sudah tersedia beberapa saung untuk pengunjung di area ini. Saat kami tiba, tidak ada pengunjung lain selain admin dan mas Zen.

Kondisi ketika kami tiba sudah gerimis dari kabut, sehingga cukup sulit mengambil foto tanpa lensa yang berembun. Langit pun sudah sedikit gelap, kelabu oleh awan mendung, sehingga foto-foto yang saya ambil rasanya kurang greget. Berhubung sudah hampir pukul 17.30 WIB, kami berdua memutuskan untuk segera kembali. Jika hujan turun lagi, jalan yang kami lalui tadi akan semakin sulit. Selain itu, kami juga menghindari kemalaman di jalan Perkebunan Andungsari yang berbatas jurang dalam itu.

Tancak Kembar merupakan objek wisata air terjun andalah Bondowoso setelah Air Terjun Belawan yang lebih dulu tenar beberapa tahun lalu. Tancak Kembar yang terletak di lereng Gunung Argopuro pun tidak luput dari cerita Dewi Rengganis. Konon, Tancak Kembar merupakan tempat mandinya Dewi Rengganis. Dari sinilah mitos yang mengatakan jika kita membasuh muka dengan aliran Tancak Kembar akan awet muda.

Aliran Tancak Kembar di sisi kanan berasal dari Danau Taman Hidup di Gunung Argopuro, sedangkan aliran di sisi kiri, memiliki sumber aliran dari sungai-sungai kecil di atas tebing. Inilah salah satu sebabnya mengapa aliran Tancak Kembar sangat dingin dan jernih, juga kenapa hanya satu aliran jatuhan yang akan kering ketika musim kemarau. Berdasarkan salah satu sumber, ketinggian Tancak Kembar kurang lebih 77 M. Hutan yang ada di sekitar Tancak Kembar, merupakan kawasan Hutan Lindung dan berada pada ketinggian 900 mdpl.

Dalam perjalanan pulang, kami menyempatkan mampir sebentar di Tancak Jomblo sebelum kabut tebal menutup total pemandangan di sekitar jalan perkebunan. Kami mulai jalan kembali sekitar pukul 18.19 WIB. Perjalanan pulang terasa lebih cepat. Tidak terasa, kami sudah kembali menjejal jalanan Desa Andungsari yang berbatu. Kemudian berganti menjadi aspal mulus, hingga tiba kembali di persimpangan dengan jalan Raya Situbondo. Kami mampir kembali di basecamp untuk beritirahat dan makan malam.

Rencana hari kedua di Bondowoso, kami akan mengeksplore beberapa wisata andalan Bondowoso di sekitar Pegunungan Ijen. Kurang lebih ada enam lokasi. Perencanaan yang matang pun pada akhirnya harus diolah kembali ketika menghdapi situasi tak terduga. Hujan lebat dengan durasi cukup lama memang sedang sering mengguyur Bondowoso dan sekitarnya. Rupanya, Bondowoso sedang berada pada puncak musim hujan.

Kawah Wurung dan Jabal Kirmit

Rencana kami untuk berangkat pukul 05.00 WIB pun tinggal wacana. Nyatanya, kami baru tiba di basecamp sekitar pukul 06.00 WIB. Kami hanya sebentar di basecamp. Hanya sekedar menitipkan pakaian dan barang-barang yang tidak terlalu perlu dibawa untuk perjalanan kali ini. Kawah Ilalang merupakan tujuan utama kami. Dalam sebuah referensi, disebutkan bahwa diperlukan treking sekitar 45 menit menanjak ke atas bukit dan 30 menit melewati jalan untuk motor yang penuh pasir dan lumpur. Inilah alasan kenapa kami seharusnya sudah berangkat sedari 04.30 WIB. Selain itu, akhir Februari merupakan puncak musim hujan di Bondowoso. Bahkan pagi hari pun sudah turun hujan.

Setelah hari pertama kami mengeksplore di sekitar Pegunungan Hyang, hari kedua ini, kami menuju arah Pegunungan Ijen. Tanpa sarapan dan tanpa perbekalan logistik, kami pun melintasi Jalan Kawah Ijen. Senin pagi, hanya ada motor yang kami kendarai di jalan aspal mulus yang membelah ladang tebu. Cuaca cukup cerah, dari basecamp terlihat jelas Pegunungan Hyang di Barat dan Pegunugan di daerah Kecamatan Kretek di Utara. Tepat di persimpangan dengan jalur menuju Sumber Wringin, salah satu jalur pendakian Gunung Raung, kami berhenti sejenak membeli makanan ringan dan minuman. Satu jam kemudian, kami memasuki area perkebunan. Kami hampir sampai di Sempol.

Rencana kami untuk sarapan di Sempol pun kami urungkan. Berhubung kami sudah terlambat, kami memutuskan untuk memakan makanan ringan yang kami beli sebelumnya di lokasi saja. Siang nanti baru kami akan makan makanan berat. Setelah beberapa pertimbangan, akhirnya kami memutuskan untuk langsung menuju Kawah Wurung. Kawah Ilalang yang menjadi tujuan utama pun kini hanya menjadi cadangan. Sebenarnya, dari segi pemandangan, Kawah Ilalang lebih direkomendasikan. Terlebih, Kawah Ilalang letaknya lebih tinggi dari Kawah Wurung dan belum komersil, masih alami.

Langit biru dengan sedikit saja awan putih menyambut kami di Kawah Wurung. Pemandangan ke arah Situbondo dari celah-celah tebing pegunungan pun nampak jelas. Gunung Ranti terlihat jelas, sementara di sisi kirinya, puncak Gunung Ijen dan Merapi mulai tertutup awan. Di sisi lainnya, puncak Gunung Suket dan Gunung Raung tetap murung tertutup awan hujan. Kami memutuskan untuk ke sisi Tenggara Kawah Wurung. Spot disini lebih sempit, tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan bukit yang memiliki tulisan “Kawah Wurung”.

Tidak ada pengunjung lain selain saya dan mas Zen. Kami cukup beruntung kata mas Zen, karena ketika kami tiba di Kawah Wurung ini pada pukul 10.12 WIB, langit masih biru dan hanya ada sedikit awan putih. Berbeda dengan beberapa hari lalu yang ketika mas Zen tiba di Kawah Wurung dengan waktu yang sama, hujan lebat sudah turun. Puas mengambil foto, mas Zen menawarkan untuk turun ke savana di bawah kami, namun segera tawaran tersebut saya tolak. Akhirnya mas Zen mengajak ke Bukit Jabal Kirimit, salah satu objek wisata dari enam objek wisata di area Kawah Wurung.

Jalan yang kami ambil pertama-tama berada di pinggiran jurang dan hanya selebar ban motor. Salah manuver sedikit, bisa-bisa kami meluncur bebas ke savana di bawah kami. Untungnya, hanya sekitar 500 m, kami kembali ke jalan utama yang menghubungkan area utama Kawah Wurung dengan Jampit. Jalan yang kami harus lewati sekarang pun cukup sulit. Pasir lepas dan lubang besar yang menganga akibat gerusan air hujan harus kami lalui. Tepat jam 11.00 WIB kami tiba di Bukit Jabal Kirmit.

Karena keterbatasan waktu, kami tidak sampai mendaki ke puncak Bukit Jabal Kirimit. Menurut Mas Zen, puncak Jabal Kirmit akan ramai oleh pengunjung yang melaksanakan upacara 17-an. Selain itu, di balik Bukit Jabal Kirmit, terdapat satu rumah mewah milik sesepuh yang membuka area ini. Uniknya rumah yang bisa dibilang mewah ini sudah kosong berpuluh-puluh tahun. Tidak ada yang berani menempati. Para ahli warisnya pun tidak diceritakan. Kami berjalan sedikit ke area yang lebih terbuka untuk beristirahat dan memakan makanan ringan kami. Perut mulai terasa lapar.

Kami berhenti di sebuah area terbuka yang dibatasi oleh jalan utama yang masih berupa jalan pasir dan Bukit Jabal Kirmit di seberang kami. Jika kami terus mengikuti jalan utama yang berpasir ini kami akan tiba di Jampit yang terkenal akan Guest House yang sudah ada sejak 1928 dan masih digunakan hingga saat ini. Kalau saja, Gunung Suket dan Gunung Raung tidak tertutup awan hujan yang makin menghitam, kami mungkin akan nekat terus jalan hingga Jampit. Namun, posisi Gunung Raung dan Gunung Suket yang sebenarnya tepat berada di hadapan kami makin menghilang oleh awan hujan yang semakin menghitam.

Hanya satu jam kami duduk sambil mengobrol dan menikmati makanan ringan kami di Jabal Kirmit ini. Kami memutuskan untuk kembali ke Sempol karena mendung semakin mendekat ke arah kami. Beberapa rencana awal pun kembali berubah. Berhubung jalur menuju Air Terjun Gentongan cukup sulit dan dikhawatirkan hujan deras turun selepas siang, maka Air Terjun Gentongan pun kami ganti dengan Air Terjun Belawan. Air Terjun dari Bondowoso yang paling pertama populer. Curah Penai dan Bukit Apet-Lepet yang tadinya ingin saya kunjungi pun terpaksa ditunda untuk lain kali.

Kami mulai melahap kembali jalanan berpasir dan berlubang dalam dimana-mana ini, berharap hujan tidak segera turun. Kami sempat berhenti sebentar untuk mengambil foto di area parkir utama Kawah Wurung. Kali ini, hanya terlihat pucak Kawah Ilalang yang mulai tertutup kabut tebal. Pemandangan lainnya yang saya lihat jelas tadi pagi, kini semuanya putih tertutup kabut tebal.

 AIR TERJUN BELAWAN DAN NIAGARA MINI

Kami melanjutkan perjalanan menuju Air Terjun Belawan dan Niagara Mini di sisi lain Kecamatan Sempol. Perjalanan cukup lancar hingga tiba tepat di hadapan Air Terjun Belawan, Sebelum tiba di lokasi Air Terjun Belawan, akan terlebih dahulu melewati Air Terjun Niagara Mini yang letaknya tepat di pinggir jalan utama. Lagi-lagi tidak ada pengunjung lain selain kami berdua.

Suasana di sekitar lokasi utama Air Terjun Belawan cukup membuat saya sedikit tidak nyaman. Entah karena awan mendung yang makin menghitam, suara petir di kejauhan yang tidak berhenti, tebing-tebing dengan tetesan air yang suram, atau air terjun Belawan sendiri yang kala itu volume airnya sangat-sangat besar. Sampai sedikit pusing jika terus-terusan melihat ke arah jatuhan airnya. Sesekali, cuaca menjadi cerah, namun kembali mendung, hingga akhirnya kali ini sama sekali tidak ada sinar matahari lagi. Kami memutuskan untuk kembali ke parkiran motor. Untuk sampai di parkiran motor, pengunjung harus berjalan kaki menanjak melewati anak tangga. Waktu yang diperlukan cukup 5-10 menit saja.

Tujuan terakhir kami di Sempol adalah Niagara Mini. Berhubung hanya perlu waktu lima menit berjalan kaki saja, kali ini mas Zen tidak ikut menemani. Mas Zen menjaga motor yang diparkirkan di pinggir jalan desa. Dari lokasi menyimpan motor pun, air terjunnya sudah terlihat. Tetapi, spot yang cocok untuk mengambil gambar Air terjun Niagara Mini ini memang harus sedikit ke bawah lagi. Saya tidak berlama-lama disini karena gerimis sudah mulai turun. Segera kami memakai jas hujan karena diperkirakan di pusat kota Kecamatan Sempol hujan deras sudah turun.

Benar saja, tidak lama setelah melewati persimpangan ke arah Kawah Wurung, hujan deras turun tanpa basa-basi. Kami berhenti di satu rumah makan di Sempol. Saya memesan nasi goreng dan mas Zen memesan nasi pecel. Akhirnya kami mengisi perut juga dengan makanan berat ditemani hujan deras. Kami cukup beruntung karena sudah semua tempat yang ingin kami datangi sudah berhasil didatangi tanpa terpotong hujan. Hujan deras cukup lama, bahkan tidak terasa sudah hampir pukul 15.00 WIB. Mas Zen mengajak untuk menerobos hujan, karena hujan disini biasanya baru reda malam hari.

Sebenarnya masih terpikirkan untuk mengunjungi Batu Solor sore ini. Namun, tidak memaksa, karena lokasinya yang berada jauh di Utara Bondowoso. Hujan baru benar-benar reda ketika kami tiba di persimpangan dengan arah ke Sumber Wringin. Batu Solor pun menjadi tujuan berikutnya. Meskipun sudah terlalu sore, tetapi masih berharap sempat menikmati sunset disana. Batu Solor memang terkenal sebagai salah satu spot sunset terbaik di Bondowoso. Sekitar pukul 16.30 WIB, kami tiba di persimpangan dengan jalan utama Bondowoso – Situbondo. Mas Zen menelepon temannya yang rumahnya berada di dekat Batu Solor.

Sayangnya, memang kali ini belum berkesempatan mengunjungi Batu Solor, ternyata disana sedan hujan deras, bahkan lengkap dengan petir dan angin sedari siang tadi. Sambil mencari lagi kira-kira tempat mana yang bisa dikunjungi sesore ini, mulai dari Bendungan Sampean sampai yang kearah Barat Bondowoso. Tetap tidak terkejar, ditambah sepertinya hujan dimana-mana. Akhirnya kami mengakhiri jalan-jalan kali ini di Bondowoso karena malam nanti harus segera kembali ke Jember dan meneruskan perjalanan pulang. Kami pun melaju menuju basecamp dengan basah kuyup.

Barulah malam hari, admin melihat sebuah buku katalog untuk wisatawan yang ingin berkunjung ke Bondowoso dengan menggunakan jasa R-Jek. Katalognya cukup lengkap, mulai dari wisata buatan, wisata keluarga, wisata sejarah, wisata minat khusus, wisata alam yang sedikit harus blusukan, wisata budaya, bahkan beberapa peninggalan megalitikum yang masih luput dari sorotan dunia pariwisata nasional. Dari beberapa tempat wisata yang ada di buku katalog, admin merekomendasikan Bendungan Sampean 2, Tancak Sulaiman, Batu Solor, Situs Pekauman, Goa Arak-arak, Situs Beto Labeng, Situs Goa Buto Cermee, dan Situs Goa Buto Sumber Wringin. Oh ya, buku katalog ini milik teman-teman RMB dan disimpan di basecamp RMB. Jadi, kalau penasaran, sebaiknya segera rencanakan perjalanan untuk mengeksplore Bondowoso dan sekitarnya. Atau bisa juga cari referensi dulu disini.

 


About Dya Iganov

Penyuka traveling, tidak hanya mendaki gunung, tapi juga touring, rafting, explore, city tour, kemping ceria, susur pantai, dll