JUMAT, 30 OKTOBER 2015
Rencana kami di hari terakhir ini adalalah bagian Timur Pulau Bunguran hingga ke Utara, Pantai Tanjung Datuk. Rencana kami akan pergi sekitar jam 08.00. Sayangnya, kali ini cucaca tidak sebagus kemarin. Sampai jam 09.00 Bang Naen belum juga sampai ke hotel. Di daerah rumah Bang Naen masih hujan (daerah rumah Bang Naen termasuk daerah yang akan kami lewati hari ini). Sedikit was-was rencana hari terakhir kami akan berantakan. Ternyata sekitar jam 11.00, Bang Naen sampai di hotel. Kami pun segera jalan meskipun masih sedikit gerimis. Kami pertama-tama keliling untuk cari ATM yang tidak rusak, lalu baru jalan ke arah Utara. Tanpa sengaja, saya melihat pantai penuh batu granit yang kami lihat pada hari pertama kami di Ranai. Ketika itu, kami jalan sore, jadi air lautnya sudah pasang. Kali ini, pantainya masih surut cukup jauh. Saya pun spontan meminta untuk berhenti dulu dan mampir di pantai yang bernama Tanjung Sulai dan Pasak Tinggi ini. Kami tiba sekitar pukul 12.30 dan menurut info dari Bang Naen, air biasanya mulai pasang kembali sekitar pukul 14.00. Tanpa pikir panjang, kami pun parkir motor di lahan kosong pinggir pantai. Akhirnya, di hari terakhir ini saya bisa mendekat ke bongkahan-bongkahan granit (meskipun hari ini memang jadwal kami ke Alif Stone dan Batu Sindu).
Tanpa buang waktu, kami langsung menuju ke bongkahan granit yang terjauh, mumpung masih surut. Kami berjalan di atas batuan karang yang jika siang hingga besok pagi tertutup air, jadi, banyak sekali lumut dan ikan-ikan serta kepiting kecil. Harus berhati-hati memilih pijakan agar tidak terpeleset. Pada kelompok bongkahan batu yang pertama kami datangi, di bagian paling ujung nampak seperti dinding batu buatan manusia. Menurut info dari Bang Naen, tadinya wilayah di sekitar sini pun akan dibuat semacam tanggul-tanggul tetapi tidak jadi. Sebenarnya bongkahan batu yang pertama kami datangi ini bukan yang terjauh, masih ada sekelompok bongkahan batu granit yang posisi penempatannya cukup menarik, sayang air lautnya sudah mulai menggenangi jalan menuju bongkahan tersebut. Pulau Senoa pun terlihat cukup jelas dari bibir pantai ini, jadi lumayan menambah spot dan frame untuk foto landscape. Selain Pulau Senoa, ternyata bila membelakangi pantai, akan terlihat Gunung Ranai. Sayangnya, ketika kami disini, mendung, jadi puncak Gunung Ranainya tertutup awan, hanya bagian bawahnya saja yang terlihat jelas, tapi masih tetap bagus untuk sekedar frame foto landscape sederhana.
Batu granit yang berada di sekitaran pantai ini bagian atasnya berwarna hitam pekat (mungkin karena basah atau memang warnanya seperti itu karena faktor cuaca), bagian tengahnya berwarna terang (cokelat), dan bagian paling bawah abu kehitaman (bagian paling atas masih jauh lebih hitam dibandingkan bagian paling bawah). Bahkan, beberapa batu, di bagian paling bawahnya berwarna hijau. Pada sekelompok bongkahan granit terdapat batu-batu yang gradasi warnanya cukup jelas dan bagian berwarna terangnya terdapat sedikit warna merah bata. Aliran muara sungai yang masih surut pun menampakan lekukan alur-alur pasir halus akibat gerakan air dan ombak. Meskipun saat kami datang ke sini kondisi masih gerimis dan langit ditutupi awan kelabu, tetapi beberapa spot dan objek menarik untuk foto tidak menghilang begitu saja hanya karena tidak ada perpaduan awan biru, sinar terik matahari, dan air laut yang berwarna tosca seperti gambaran foto landscape pantai pada umumnya. Dari spot pertama, kami diajak oleh Bang Naen ke spot yang sebenarnya masih bagian dari Alif Stone hanya saja bukan spot umum seperti yang ditampilkan di foto-foto kebanyakan. Bagian yang ini masih alami, saking alaminya kami harus melewati semacam terowongan dari bongkahan raksasa batu granit. Ya, celah diantara bebatuan ini juga sudah menjadi tempat tinggal bagi kelelawar. Pada beberapa bagian juga ada tetesan air dari batuan di atas celah. Kelompok bongkahan batu granit di sini juga memiliki empat warna gradasi. Paling atas berwarna hitam pekat, lapisan kedua berwarna cokelat terang, lapisan ketiga berwarna merah bata (merupakan komposisi warna yang paling sedikit dalam gradasi) dan tidak semua bongkahan granit memiliki warna merah bata, dan yang paling bawah berwarna hijau terang. Karena saya bukan ahli bebatuan, jadi mungkin saja warna-warna tersebut muncul karena efek air hujan dan air laut. Mungkin saja bila musim kemarau, warnanya menjadi putih keabuan dan hitam, seperti granit-granit yang biasa dilihat.
Berhubung sudah cukup lama kami di sini dan air juga sudah mulai pasang, sekitar 13.30 kami meneruskan perjalanan menuju Tanjung Datuk. Gerimis sudah reda, tetapi awan mendung tetap tidak menghilang, nampaknya hari ini kami tidak akan bertemu sinar matahari seperti kemarin. Kami melewati jalan yang sama seperti yang dilalui pada hari pertama datang ke Natuna (menuju Pantai Sahi). Kami meneruskan perjalanan hingga ke Tanjung Datuk tanpa mampir-mampir, padahal sebenarnya cukup banyak objek yang bisa kami datangi seperti Masjid Agung Natuna, Alif Stone, Batu bersantai (Teluk Baruk), Tanjung, Pantai Pulau Kambing (Pantai Sengiap), Pantai Pulai Sahi, Pantai Migit, Pantai Pengadah, Pantai Semitan dan lain-lain karena perjalanan kami menuju Pantai Tanjung Datuk masih cukup jauh. Pantai Pulau Kambing (Sengiap) yang batal kami kunjungi merupakan pantai di pulau kecil yang berada di antara muara sungai yang cukup besar dan laut lepas. Pasir di pulau ini akan mengeluarkan bunyi ketika diinjak. Toponimi Pulau Kambing sendiri kami belum menemukan informasi jelasnya, dugaan dari warga disini adalah mungkin pulau kecil itu dulu banyak kambing yang berkeliaran. Akses menuju Pulau Kambing cukup sulit, terutama musim hujan seperti sekarang ini. Inilah alasan lain kami harus dengan terpaksa melewatkan Pulau Kambing, sama seperti Pantai Teluk Depeh di Bunguran Selatan yang sepertinya memiliki aksesibilitas tersulit diantara semua objek wisata non gunung. Mungkin mirip seperti akses ke Cicaladi di Surade ketika puncak musim hujan dalam bayangan saya.