- BLITAR – MALANG – DAMPIT – LUMAJANG – JEMBER – BANYUWANGI 27 – 28 DESEMBER 2012
Kami sedikit kesulitan mencari jalur keluar dari Kabupaten Malang menuju jalur Dampit. Selain saya masih gaptek menggunakan maps di Tab, ini juga pertama kalinya saya berkeliaran di jalanan Kabupaten Malang, jadi masih sedikit asing dengan nama-nama daerahnya. Jalur yang sedang dan akan kami lewati ini sebenarnya seharusnya kami lewati ketika masih siang, tetapi karena sedikit berpetualang dulu di Desa Serang, Blitar, jadilah menjelang tengah malam kami baru lewati di jalur ini. Belum jauh kami melewati perbatasan Blitar-Wlingi, jalan yang kami lalui sedikit menanjak, membelah perbukitan dan kabut pun lumayan tebal. Sedikit membuat saya khawatir dengan kondisi jalur Dampit nanti. Untungnya jalur berkelok, menanjak, dan berkabut hanya sedikit, setelah itu, jalurnya kembali datar. Sebenarnya pemandangan di sepanjang jalur ini sangat bagus, kami akan melewati “jalan kembar” sebutan untuk percabangan dua buah ruas jalan yang sama persis sebelum bendungan yang juga menjadi pertanda bahwa kami sudah tiba di Kabupaten Malang, pemandangan Waduk Karangkates dan sunsetnya yang katanya cukup keren, hingga pemandangan utama kami yaitu sisi lain Semeru dari jalur Dampit – Lumajang, hingga landscape pemandangan Kota Lumajang dari jalur Dampit.
Sebenarnya tidak disarankan untuk lewat di jalur Dampit di atas jam 17.00, katanya jalannya sepi dan melewati jalur pegunungan, tapi dasar bandel, dibilang gitu, yang ada malah penasaran dan kali ini bukannya saya sengaja lewat sini malem-malem, tetapi memang karena tidak ada pilihan lagi. Perhitungan kami, jika malam ini kami menginap lagi, maka kami akan kehilangan satu hari dan beberapa objek wisata yang sebelumnya sudah kami rencanakan, ditambah lagi, bisa saja kemungkinan kami sampai Bandung pun bisa molor satu hari. Alasan lain mengambil jalur Dampit karena, kami memang menghindari Kota Malang dan Kota Batu yang memiliki banyak sekali racun yang bisa menghambat perjalanan kami. Jalur Dampit ini bisa dibilang jalur Selatannya Malang, dan karena kebetulan tujuan kami pun sisi Selatan Banyuwangi, jadi tidak ada salahnya kalau dari awal kami sudah mengambil jalur Selatan. Kami sempat melewati jalur menuju pendakian Gunung Kawi di daerah Kepanjen, jalur menuju Pantai Sendang Biru, Goa China, Balekambang, dan beberapa lainnya yang saya lupa namanya. Padahal kalau kami lewat di jalur ini masih sedikit siang, sepertinya kami akan mampir ke beberapa atau satu pantai saja secara acak pastinya pilihannya. Dengan sedikit pengarahan dari teman saya yang menyetir sekaligus yang punya Tab, saya pun jadi sedikit mahir untuk membaca peta, mencari jalur, dan melacak posisi kami saat ini jadi navigator yang sedikit lebih membantu lagi. Sampailah kami di daerah terakhir sebelum memasuki Dampit, Turen.
Kami sempat berhenti di SPBU Turen tepat pukul 23.00. Kami sedikit ragu untuk meneruskan perjalanan, karena melihat maps, jalan yang akan kami lewati ini melalui kaki gunung dengan medan yang cukup terjal, ditambah lagi belum ada satupun dari kami ber-5 yang pernah lewat jalur ini. Teman saya sempat bertanya kepada mobil ber-plat N, ternyata mereka pun akan menuju Lumajang tetapi akan berhenti di SPBU ini menunggu hingga besok pagi. Petugas SPBU pun menyarankan agar kami beristirahat dulu di SPBU di daerah Turen ini hingga pukul 03.00 karena jalur Dampit-Pasirian yang sangat rawan kecelakaan dan sepi, tetapi bila pukul 03.00, sudah banyak truk penambang pasir yang mulai beroperasi. Di SPBU ini pun mulai berdatangan setidaknya tiga truk pengangkut pasir dari arah Malang. Setelah berdiskusi, akhirnya karena teman saya yang nyetir pun masih sanggup jadilah kami meneruskan perjalanan tengah malam melewati jalur Dampit.
Setelah isi bensin, ke toilet, cek mesin dan kaki-kaki mobil, dan semuanya, jalanlah kami tepat pukul 23.30. Jalan yang kami tempuh masih cukup besar, saya sendiri cukup deg-degan seperti apa sih jalur Dampit ini? Kenapa hampir semua orang nyaranin buat ga jalan malem? Pertanyaan saya pun segera terjawab. Ga jauh dari SPBU Turen, jalan yang kmi lewati mulai menanjak dan sedikit menyempit, di kanan dan kiri mulai ga ada bangunan, berganti pepohonan yang entah apa di baliknya dan yang pasti, ternyata letak Dampit itu sangat dekat dengan Turen, saya kira masih beberapa kilometer lagi. Secara lokasi, memang daerah Dampit ini sudah lebih berbukit-bukit dan sangat sepi tentunya. Kalau liat di peta, di sekitar Dampit ini banyak puncak-puncak bukit, meskipun tidak terlalu tinggi.
Desa Tangsi merupakan daerah pertama yang merupakan bagian dari kaki Gunung Semeru bagian Selatan. Memang, bagian Gunung Semeru bagian Selatan ini tidak terlalu terkenal sebagai wisata pendakian, bagian Selatan ini lebih dikenal sebagai areal tambang galian pasir karena aliran sungainya merupakan jalur utama bagi material Gunung Semeru, atau kalau di berita lebih kita kenal sebaga “banjir lahar dingin” (meskipun istilah sebenarnya yang tepat bukanlah lahar).
Jalan yang kami lewati terus menanjak dan sangaat sepi, tapi kami beruntung karena tidak ada kabut, mendekati pukul 00.00. Yang kami khawatirkan adalah kabut, karena ini pertama kalinya kami lewat sini hanya berbekal nasehat untuk ga lewat sini malam hari yang kami langgar. Desa Tirtomato, Kecamatan Ampelgading adalah desa terakhir sebelum kami memasuki Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang. Saya, selain ikut melihat sekeliling jalan, takut-takut ada binatang yang nyebrang atau ada yang ‘lain’ di pinggir jalan, saya bisa kasih tau ke temen yang nyetir. Suasanya bener-bener lumayan bikin melek. Sepi, nanjak, tikungannya tajam, ga ada penerangan, jarak rumah-rumah cukup berjauhan, sampai sekarang sih masih jarang papasan sama kendaraan apapun. Ga lupa juga liat-liat peta di tab temen saya, buat antisipasi kalau-kalau ternyata kami harus tiba-tiba belok. Sekilas, saya liat nama-nama desa dan kecamatan yang bakal kami lewatin, namanya lumayan aga bikin ngerutin dahi juga ya. Pronojiwo, Candipuro, Taman Ayu, Kajar Kuning, Senduro, Sumberrowo, Rowo Baung, dll.
Setelah lewat pusat Kecamatan Ampelgading dan Desa Tirtomato yang sebenernya kalau terang, tempatnya cukup menarik untuk sekedar jalan-jalan menikmati sisi lain lereng Gunung Semeru. Kecamatan Ampelgading berada di ketinggian sekitar 500 atas atas muka laut, sedangkat Desa Sumberrowo, Kecamatan Pronojiwo berada di ketinggian sekitar 600 meter atas muka laut, menandakan posisi kami semakin tinggi dan semakin mendekati lereng gunung tertinggi di Pulau Jawa ini. Jika sebelumnya jalan yang kami lewati dari Dampit sampai Amplegading sudah cukup bikin melek gara-gara suasananya dan medan jalannya, ternyata ada yang hampir membuat mobil kami tambah melambatkan lajunya untuk pertama kali.
Medan jalan yang berkelok-kelok, menanjak, tikungan tajam dan patah yang rawan kecelakaan hingga ke Kecamatan Ampelgading sudah cukup membuat saya, teman saya yang nyetir, dan temen saya yang duduk di paling belakang cukup waspada masih belum ada apa-apanya dibandingkan dengan titik yang merupakan perbatasan Desa Tirtomato, Kecamatan Ampelgading dengan Desa Sumerrowo, Kecamatan Pronojiwo yang juga sekaligus pembatas antara Kabupaten Malang dengan Kabupaten Lumajang. Jalan yang kami lewati memang sudah dari tadinya sempit, ditambah, setelah tikungan terakhir kami langsung dihadapkan dengan jembatan yang cukup panjang, sangat gelap, cukup sempit dan samar-samar keliatan tulisan di gapura “Selamat jalan Kabupaten Malang”. Memang, setelah cek di peta, di depan kami sungainya memang cukup besar, tapi entah cuman saya aja atau gimana, mendadak feeling ga enak pas mau nyebrang jembatan perbatasan. Di ujung jembatan, sama sekali ga keliatan apa-apa, saking gelapnya, bahkan jalannya mengarah ke kanan, kiri atau lurus terus pun ga keliatan. Tiba-tiba, pas kami hampir sampai di ujung jembatan, mobil kami ternyata mendekati tulisan yang cukup besar dengan cat warna merah dan pinggiran kuning “Selamat Datang Kecamatan Pronojiwo”. Entah gimana, tapi liat tulisan dengan model kaya gitu tepat jam 00.30 dengan kondisi di luar gelap gulita kayanya serem banget. Baru sadar, kalau kami mendekati tulisan yang dibuat di dinding tebing, mobil kami pun langsung berbelok ke kanan. Untungnya, jalan di titik ini cukup lebar, jadi mobil kami setidaknya tidak harus ‘kenalan’ dengan dinding tebing di gerbang Kecamatan Pronojiwo ini. Fiuh!
Jalan di Desa Sumberrowo ini masih sama seperti sebelumnya, menanjak, sepi, dan sempit, tapi seengganya jarak antar rumahnya udah ga terlalu jauh dan ternyata kalau diliat di peta dan di jalan, banyak percabangan jalan ke desa-desa dan kondisinya cukup bagus, tapi ga tau juga setelah 5 Km sih. Desa Sumberrowo merupakan desa pertama yang sudah berada di areal lereng Gunung Semeru. Sebenarnya kalau lihat peta dan kondisi di sekitar jalan sepanjang Dampit-Sumberrowo, kalau masih terang, mungkin suasananya ga se-mencekam ini dan kayanya udah cukup rame. Ada beberapa pasar yang kami lewati, toko grosiran, bahkan jalan masuk ke desa-desanya pun pakai gapura dan ada keterangannya, sama seperti di sepanjang Wlingi-Malang. Hanya, memang sudah karakteristik daerah di lereng gunung ya seperti ini, lewat pukul 17.00 kehidupan makin lama makin ilang. Pantes aja banyak yang nyaranin jangan lewat sini malem-malem, mau apa-apa susah!
Medan jalan mulai dari Pronojiwo sampai Pasirian merupakan medan jalan yang tersulit. Kalau liat peta topografi, lokasi ini ada di punak perbukitan dengan kontur yang cukup curam. Yang saya khawatirkan ya tetap satu, kabut! Memasuki daerah Desa Taman Ayu, kami mulai liat beberapa truk pasir, ada yang mulai jalan, ada juga yang siap-siap jalan. Kalau truk pengangkut pasir sampai di Dampit jam 03.00 kemungkinan sekarang antara sekitar pukul 01.00 -02.00. Desa Supiturang adalah desa terakhir di Kecamatan Pronojiwo yang berbatasan dengan Kecamatan Candipuro. Jalan yang harus kami mulai waspadai ada di Kecamatan Candipuro, karena konturnya benar-benar sempit, menandakan jalannya sangat curam dan kemungkinan kami berada di lereng Gunung Semeru.
Di Kecamatan Candipuro ini juga saya melihat akses menuju Kecamatan Senduro, yang kalau saya tidak salah merupakan jalur pendakian Gunung Semeru dari sisi Selatan (Lumajang) yang tidak terlalu populer dan merupakan jalur evakuasi, lalu ada Desa Oro-oro Ombo, dan beberapa nama yang cukup familiar dengan nama-nama pos di jalur pendakian Gunung Semeru dari sisi Utara (Malang, Tumpang). Saya sempet mikir, jangan-jangan jalan-jalan desa yang ada di sisi Utara ini nanti bisa nyambung dan tembus ke jalur pendakian dan keluar di Oro-oro Ombo? Saya akui, jalur di sepanjang Candipuro ini yang paling bikin waspada. Dari jalur ini juga kami bisa melihat kerucut gunung tertinggi di Jawa Barat dengan sangat jelas, karena kami measuki titik tertinggi di sepanjang jalur ini (ketinggian 800 meter atas muka laut) tepat pukul 01.00 dengan kondisi sangat cerah dan ada bulan yang hampir purnama. Senang rasanya bisa lihat lagi puncak kerucut Mahameru dan pertama kalinya dari sisi Selatan meskipun dari dalam mobil dan hanya dari ketinggian 800 maml. Inilah bonus dari perjalanan nekat kami lewat jalur ini.
Setelah kerucut Mahameru menghilang di balik perbukitan, kami kembali waspada, karena kami masih berada di medan terberat di jalur ini. Setelah pemandangan kerucut Mahameru dan sedikit savana terlihat dari jalur kami, pemandangan berubah menjadi deretan pepohonan di kanan dan kiri jalan. Jalan kembali menanjak dan berkelok-kelok, dan kali ini mulai banyak truk pengangkut pasir yang berpapasan dengan kami. Sesekali kami harus memelankan laju mobil karena entah kenapa hampir semua truk pasir yang papasan dengan kami kayanya ga ada remnya, semuanya terkesan buru-buru, padahal dengan kondisi lalu lintas yang kosong begini tanpa harus kebut-kebutan pun sebelum jam 04.00 udah bisa sampai di Dampit, apalagi yang sudah hafal betul medan. Gara-gara seringnya papasan sama truk pasir yang pada ga punya rem, mobil kami pun beberapa kali tekor di tikungan. Hampir tepat pukul 01.30, di salah satu tikungan yang sepi dengan pohon pisang setinggi orang di ujungnya, ga sengaja saya liat ‘yang lain’ di sana. Yah, entah deh mata saya siwer atau memang bener, tapi yang pasti memang sepanjang Dampit-Candipuro ini suasananya ga enak banget. Apalagi setelah ke-siweran- mata saya, ada satu titik di mana jalannya bener-bener ketutup batang pohon bambu.
Pohon bambu di daerah ini gede-gede dan batangnya bahkan ada yang sampai merunduk mirip kanopi, nah kali ini di sisi kanan dan kiri jalan, batang pohon bambunya menyerupai kanopi dan lebat. Jadi, mobil kami semacam masuk ke terowongan pohon bambu. Udah dari tadi memang kondisi di luar gelap banget ga ada lampu penerangan jalan, ditambah sama kanopi pohon-pohon bambu yang ini. Lumayan panjang, dan pas ada di tengah-tengahnya, kami ga sengaja kompakan liat ke sisi kanan jalan dan ada gapura dari batu dengan tulisan “Makam waga, Kecamatan Candipuro”, gitu kira-kira kalau ga salah tulisannya. Ya sudahlah yaaaa…. kami senyum masam dan sedikit tancap gas.
Kami masuk jalur yang kalau di peta, topografinya udah kaya karpet dilipet-lipet alias jalannya curam. Jalan ini masih masuk Kecamatan Candipuro, tapi kali ini kami melipir pinggir tebing, nanjak, dan tikungannya jauh lebih patah dan curam. Di sisi lain jalan ini jurang yang sangat dalam dan mulai dari titik ini sudah tidak ada lagi permukiman. Ini bener-bener hutan di lereng Gunung Semeru. Yang harus kami benar-benar waspadai di sini selain kabut (yang untungnya kali ini tidak ada) adalah truk pengangkut pasir. Semua truk yang papasan dengan kami bener-bener ga ada yang mau ngalah dan kayanya ga ada yang injek rem sama sekali. Jadi, di jalur ini kami akhirnya kami bunyiin klakson dan main lampu. Sebelum-sebelumnya kami hanya main lampu, karena takut mengganggu kalau bunyiin klakson, maklum masih banyak permukiman warga meskipun jaraknya berjauhan antara rumah yang satu sama yang lainnya. Memang, dari arah Barat (Lumajang) tidak ada mobil lain selain mobil kami, mungkin itu salah satu faktor kenapa truk pasir di sini ga ada yang injek rem semua, kedua, mungkin mereka ga mau berlama-lama lewat di jalur Candipuro-Pronojiwo ini.
Setelah aga lama lewat jalur yang kanan jurang, kiri tebing ama hutan ini, mulai keliatan gubug-gubug kecil sama saung-saung di kanan jalan dan sedikit kelap-kelip lampu Kota Lumajang. Sambil curi-curi pandang ke pemandangan di sisi kanan jalan yang emang masih ketutup, sambil cek jalur di peta dan sambil cek kondisi jalan. Di sini pun kami masih sering tekor gara-gara papasan ama truk, tapi sedikit bisa nafas karena kalau tekor pun paling nyerempet dinding tebing bukan lagi jurang dalem kaya di jalur sebelumnya. Mungkin kalau minggu atau libur, selepas Magrib banyak kali yang pacaran ke tempat ini, dan ga akan aneh kalau liat motor tapi orangnya entah kemana, tapi kalau jam setengah tiga subuh ga sengaja lampu mobil nyorot ke dalem salah satu gubug yang pintunya kebuka dan samar-sama ada bayangan di dalemnya, dan ga ada motor di deket situ, males juga yaaa.
Ga lama, pemandangan pun sedikit keliatan dan akhirnya kami pun keluar dari jalur lereng Gunung Semeru dan tibalah kami di Jalan Raya Candipuro-Pasirian di Kabupaten Lumajang dengan medan jalan yang dominan turunan. Akhirnya jalan pun sedikit melebar lagi dan sudah ga akan tekor lagi kalau papasan sama truk. Begitu sampai di Pasirian, jalan dominan lurus, lebar, tapi masih tetep jelek, malah lebih jelek daripada jalan di lereng Semeru tadi. Mungkin tanah di sini lebih ga stabil dan kayanya truk jauh lebih banyak ngelintas di jalur ini daripada di jalur lereng Semeru. Banyak percabangan jalan ke areal penambangan pasir, yang kebanyakan di sepanjang sungai. Percabangan jalan ini, kalau diterusin, bisa sampai di pesisir Selatan Kabupaten Lumajang yang pantainya terkenal dengan pasirnya yang hitam, salah satu produk dari letusan Semeru.
Percaya atau tidak, ternyata jalur yang kami trek sepanjang Dampit-Pasirian dan jalur yang kami lewati ada perbedaan jarak. Jalur yang kami lewati masih ada di garis yang sama dengan indeks peta jalan Raya Dampit-Lumajang, sedangkan jalur yang kami trek sebelumnya sedikit begeser ke Utara jalur yang pada kenyataannya di jalan tadi, ga ada jalur lain yang horizontal lintas Kabupaten selain jalan raya utama. Untung saja kami ga ngikutin hasil trekkingnya, bisa-bisa kami bener-bener nyangkut di jalur pendakian Semeru via Senduro. Jalan di Pasirian ini sedikit membingungkan, maklum sudah masuk dataran yang aga rendah, banyak percabangan jalan, yang pertama di daerah Tempeh. Persimpangan ini ada yang mengarah langsung ke pusat Kota Lumajang, kami ambil ke arah yang satunya lagi, yang menuju Grenden-Yosowilangun via Jalan Sukorejo-Krajan, Desa Krai. Persimpangan berikutnya adalah yang menuju Rambipuji dan jalur pesisir Selatan Jawa Timur. Sebenarnya menggoda banget jalur pesisir Selatan Jawa Timur, karena kami kira, jalan yang kami lewati ini udah paling Selatan. Tapi, berhubung sudah pukul 02.30, kami pun mutusin untuk ambil jalan yang ke arah Rambipuji untuk masuk ke Kota Jember.
Jalur sepanjang Rambipuji-Jember yang dominan lurus dan pemandangan yang hampir semuanya kali dan tegalan cukup sukses bikin saya ngantuk, apalagi ini hampir jam tiga subuh, batas saya bisa begadang, dan kayanya saya ketiduran, begitu bangun ternyata kami sedang melintas di jalan utama Jember-Banyuwangi, tapi masih di Kota Jember. Akhirnya mengunjungi Jember lagi setelah April 2010 pertama kalinya saya berkunjung ke Jember, Pantai Papuma. Tidak lama melihat gemerlap Kota Jember di subuh buta, saya pun ketiduran lagi, karena tugas navigasi untuk masuk ke jalur Jember-Banyuwangi sudah ada ahlinya, salah satu teman saya yang memang asli Jember.
Saya kembali bangun sekitar jam 04.00 kurang lebih dan sedikit merasa kedinginan. Ternyata kami sudah ada di jalur utama Jember-Banyuwangi, tepatnya di Gunung Gumitir, kaki Gunung Raung. Kali ini, meskipun lewat jalan di kaki gunung lagi kondisinya berbeda. Berhubung ini sudah jalur utama dari arah Selatan untuk ke Banyuwangi dan akhir tahun, maka arus lalu lintasnya padat, bahkan macet. Perjalanan kami sampai di Kalibaru yang seharusnya bisa kurang dari satu jam, jadi sedikit terhambat, aplagi jalan akan cukup berkelok-kelok dan kali ini sedikit berkabut sampai di Glenmore.
Begitu tiba di Glenmore, hampir pukul 04.30, saya pun menghubungi teman saya yang memang asli Banyuwangi, sekaligus yang akan mengantar kami selama di Banyuwangi. Teman saya pun kaget, karena menurut rencana awal, kami tiba di Banyuwangi seharusnya nanti sore. Setelah dijelaskan kami nekat jalan malam, akhirnya teman saya menyuruh kami untuk berhenti di Genteng dan tunggu sampai dia jemput. Lama perjalanan Glenmore-Genteng ga sampai 30 menit dan berhubung ini sudah sedikit ke Timur, jadi jam 05.00 pun langit sudah terang. Kami mecuri waktu istirahat dan tidur sejenak sebelum teman saya datang dan memulai perjalanan kami di tempat tujuan utama perjalanan panjang dari Bandung ini di Banyuwangi.