KEMBALI KE MAJALENGKA


Tulisan ini sudah pernah dipublikasikan sebelumnya di Travelnatic Magazine https://travelnatic.com/ada-apa-sih-di-majalengka/

Rencana traveling ke luar Pulau Jawa long weekend Mei kali ini lagi-lagi tidak terlakasana. Sebagai gantinya, saya dan teman saya, Aria memutuskan untuk kembali ke Majalengka. Kali ini, kami hanya akan mengunjungi beberapa tempat yang memang sudah cukup lama kami cari. Berhubung hari ini adalah hari pertama libur panjang selama empat hari, kami memutuskan untuk berangkat dari Bandung lebih pagi.

KAMIS. 5 MEI 2016

Pukul 06.00 WIB kami sudah terjebak macet di Cileunyi. Kendaraan dari arah tol sudah memadati jalan. Keadaan diperparah dengan beberapa mobil dan truk yang mogok di ruas jalan Rancaekek. Selepas jalan lingkar Rancaekek – Nagreg, jalanan baru kembali lancar. Kali ini kami sengaja memilih jalur Selatan untuk menuju Majalengka.

Jalur yang akan kami lalui adalah Nagreg – Limbangan – Malangbong – Wado – Lemahsugih.  Tujuan kami adalah Situ Cikuda di Kecamatan Sindangwangi, Kabupaten Majalengka. Perjalanan kami hanya lancar sampai Nagreg. Memasuki Limbangan, perjalanan kami terhambatoleh macet. Macet kali ini bukan karena antrian dari Pasar Limbangan, tapi benar-benar macet karena volume kendaraan yang bertambah drastis.

Suasana long weekend benar-benar terasa, meskipun masih sepagi ini. Kami berhenti sejenak di SPBU untuk mengisi bahan bakar. Kami sengaja tidak memilih jalur Sumedang, karena ingin mencoba jalur Selatan. Kemacetan sepertinya belum akan terurai sampai selepas Pasar Limbangan. Akhirnya kami mencari jalur alternatif. Jalur yang menjadi pilihan kami adalah jalur Pasar Limbangan – Cibugel – Wado. Jalur Wado kami pilih karena kami memutuskan untuk masuk Majalengka melalui Lemahsugih.

Jalan masuknya berada tepat di Pasar Limbangan. Jalur yang kami lalui memang jalur untuk penduduk lokal, namun cukup ramai. Kondisi jalan cukup bagus, meskipun banyak lubang besar dan dalam di beberapa titik. Medan jalannya juga berbukit-bukit. Di sepanjang jalur ini akan banyak melewati permukiman warga. Selain itu, bensin hanya akan dijumpai dijual secara eceran. Pemandangan pagi ini cukup cerah. Gunung Cakrabuana dan Limbangan terlihat jelas dari jalur yang kami lalui.

Lama kelamaan, karena jalurnya monoton dan cukup ramai, saya pun mulai mengantuk. Perjalanan mulai terasa sangat lama. Sampai akhirnya kami tiba di satu tempat datar dan sudah cukup tinggi. Pemandangan di sisi kiri kami mulai terbuka. Terlihat Waduk Jatigede di kejauhan. Meskipun dari pinggir jalan dan lokasi kami cukup jauh dari Waduk Jatigede, tapi masih dapat tertangkap oleh lensa kamera standar saya. Kami memutuskan untuk beristirahat sebentar. Hanya ada dua warung yang pagi ini sudah buka.

Setelah puas mengambil gambar dan istirahat, kami pun melanjutkan perjalanan. Kali ini, jalan yang kami lalui jauh lebih sepi dan kondisi jalannya jauh lebih bagus. Tidak lama, medan jalan yang kami lalui langsung berubah menjadi turunan panjang. Kami mulai turun bukit. Turunan ini benar-benar panjang sampai di bawah bukit, tidak ada medan yang datar sama sekali. Untung pagi ini kami hanya sesekali papasan dengan pick up. Setibanya di bawah bukit, kami langsung bertemu dengan jalur utama Malangbong – Wado. Kondisi jalan yang masih dalam tahap pembangunan ditambah long weekend menjadikan jalur ini cukup ramai. Bahkan, jalur menuju Malangbong macet. Kami masuk ke jalur menuju Terminal Wado.

Setelah melewati Terminal Wado, kami berhenti kembali. Kali ini kami berhenti di mini market untuk membeli minuman dan makanan ringan. Tujuan pun kami rubah kembali. Kami yang asalnya akan masuk Majalengka melalui Ciamis dan mencari dua danau di sekitar jalur itu, akhirnya harus mengganti tujuan. Curug Kapakuda pun menjadi pilihan. Sebenarnya, saya sedang tidak mood untuk trekking, tapi berhubung lagi lewat jalur ini, kapan lagi ke Curug Kapakuda. Curug Kapakuda sendiri sudah ingin saya datangi dari tahun kemarin, hanya saja, belum ada waktu yang pas.

Setelah fix Curug Kapakuda yang menjadi tujuan pertama, jalur pun kami setting menuju Desa Sadawangi, Kecamatan Lemahsugih. Setibanya di Terminal Lemahsugih, kami langsung belok kanan ke arah terminal. Menurut patokan, dari Terminal Lemahsugih, tinggal ikuti jalan dan nanti akan tiba di parkiran Curug Kapakuda. Sampai diujung tanjakan, kami tidak menemukan patokan jalan menuju Curug Kapakuda. Malahan, kami kembali ke jalan raya utama. Kami pun kebingungan dan akhirnya memutuskan untuk mengikuti jalan raya. Sampai pada akhirnya, saya pun sadar kalau ini sudah jalur menuju Bantarujeg, artinya, belokan ke Curug Kapakuda sudah terlewat. Kami balik arah lagi.

Setibanya kami di persimpangan jalan raya dengan jalur menuju Terminal Lemahsugih, kami bertanya pada warga. Ternyata jalan yang harus kami ambil menuju Curug Kapakuda adalah jalan yang menanjak bukan yang menuju jalan raya bila dari arah Terminal Lemahsugih. Kami pun segera ke jalan yang dimaksud. Tidak ada penunjuk arah menuju Curug Kapakuda, jadi wajar saja jalan yang dimaksud warga pun sulit ditemukan. Jalan yang harus dilalui merupakan tanjakan panjang dan cukup curam. Di ujung tanjakan akan ditemui pos penjagaan lengkap dengan portalnya. Kendaraan hanya bisa sampai di lokasi setelah portal.

Belum ada area parkir khusus untuk ke Curug Kapakuda., jadi kami hanya menyusuri jalan sampai tiba di jembatan. Melihat jalan di depan kami semakin jelek, kami pun berhenti dan memutuskan untuk balik arah. Kami berhenti di rumah pertama dan satu-satunya di jalan ini. Kami pun bertanya pada warga yang kebetulan sedang beristirahat di rumah tersebut.

Menurut warga tersebut, kami sudah sampai di lokasi Curug Kapakuda. Biasanya, motor pengunjugn dititpkan di rumah ini. Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri pematang sawah. Menurut keterangan warga, kami hanya perlu berjalan kaki kurang lebih liam belas menit untuk tiba di Curug Kapakuda. Saya yang memang sedang malas untuk treking –apalagi yang jauh dan susah- sebenarnya sedikit malas, tapi berhubung sudah sampai sini dan kapan lagi bisa kesini, jadi ya, dilawan saja rasa malasnya.

Awalnya kami berjalan menyusuri aliran irigasi yang dimulai tepat dari pematang sawah di seberang kami. Medan jalan masih dominan datar. Jalur pematang sawah disamping aliran irigasi akhirnya berubah menjadi jalan setapak dan mulai menyempit. Di tengah jalan kami berbarengan dengan bapak-bapak yang sudah cukup tua memanggul beberapa batang bambu dan pipa paralon ukuran kecil. Tujuan bapak ini sama dengan kami, Curug Kapakuda. Kami mempersilahkan bapak tersebut mendahului kami, karena meskipun sudah tua dan membawa beban cukup berat, jalan bapaknya lebih cepat daripada kami berdua.

Setelah keluar dari jalan setapak, disinilah kami mulai bingung. Di depan kami semua jalan merupakan pamtang sawah dan saluran irigasi yang sedari tadi di sebelah jalur kami menghilang. Setelah naik sedikit (konturnya semakin menuju puncak bukit), barulah terlihat Curug Kapakuda di sisi kiri kami. Dari lokasi kami berdiri, Curug Kapakuda terlihat cukup jelas, jadi kami hanya tinggal mencari pematang sawah yang mengarah ke bukit di sisi kiri kami.

Pematang sawah yang kami lewati tanahnya masih basah, selain itu jarak antara pematang sawah yang satu dengan yang lainnya cukup tinggi, jalurnya pun sangat sempit. Salah langkah sedikit bisa-bisa jatuh ke sawah. Saya cukup kesulitan melangkah, ditambah, semakin ke arah bukit, tanahnya semakin basah. Jalur pun akhirnya bertemu dengan jalan setapak. Jalan setapak kali ini jauh lebih sempit dibandingkan sebelumnya. Selain sempit, jalannya juga menanjak terus. Kami melewati gubug kecil, mungkin tempat untuk menyimpan gabah. Kami masih kesulitan mencari jalur mana yang paling cepat sampai ke ujung pematang sawah, karena kami semakin menjauhi jalur menuju Curug Kapakuda.

Setelah naik-turun pematang sawah, akhirnya kami menyusuri pematang sawah yang langsung mengarah ke jalur masuk Curug Kapakuda. Jalur masuk menuju Curug Kapakuda kembali menyusuri salurna irigasi. Jalur setelah pematang sawah jauh lebih mudah, karena lebih datar dan luas. Hanya tinggal mengikuti saluran irigasi, sampailah kami tepat di hadapan Curug Kapakuda.

Curug Kapakuda atau memiliki nama lain Curug Citerus, merupakan air terjun non permanen. Airnya hanya aka nada ketika musim hujan, sedangkan musim kemarau akan kering total. Curug Kapakuda/Curug Citerus berada di Desa Sadawangi, Kecamatan Lemahsugih, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Curug Kapakuda mulai ramai dikunjungi, terutama oleh wisatawan dari sekitar Majalengka sekitar awal tahun 2015 hingga saat ini (awal 2016).

Teman saya yang berjalan didepan terdengar sedang mengobrol, mungkin dengan bapak yang tadi menyusul kami. Ternyata, yang sedang mengobrol dengan teman saya adalah Adi dan (mungkin) pacarnya. Biasanya, kalau mau main ke Majalengka, saya selalu menghubungi Adi dan teman lainnya di Majalengka, karena kali ini perginya dadakan, jadi kami tidak menghubungi siapa-siapa. Siapa sangka, malah ketemu di Curug Kapakuda.

Kalau kata Adi, area di sekitar Curug Kapakuda dari terakhir kesini sama sekarang beda jauh. Menurut info dari warga, sekitar dua hari yang lalu Curug Kapakuda ini longsor. Pantas saja banyak berserakan batang-batang pohon bambu (karena di bagian atas Curug Kapakuda banyak pohon bambu). Selain itu, batu besar yang ada di tengah-tengah tingkatan kedua sudah tidak ada. Jatuh terbawa longsor. Area di sekitar Curug Kapakuda memang sempit. Jurang cukup dalam langsung terlihat dari lokasi kami berdiri saat ini.

Sebenarnya saya sedikit pesimis ketika memutuskan untuk singgah di Curug Kapakuda, karena curah hujan sudah mulai berkurang. Siapa sangka, ternyata di sekitar kaki Gunung Cakrabuana curah hujannya masih lumayan tinggi. Terbukti dari masih derasnya aliran Curug Kapakuda, bahkan sampai longsor besar dua hari yang lalu.

Setelah puas mengambil foto Curug Kapakuda, kami memutuskan untuk jalan bareng saja dengan Adi. Lokasi berikutnya yang akan didatangi adalah Jembatan Merah di Kecamatan Bantarujeg. Lokasi ini juga salah satu yang ingin saya datangi, hanya saja masih belum mencari jalurnya ke arah mana. Berhubung Adi sudah pernah, jadi ya sekalian saja, toh tujuan kami juga sebenarnya sedikit absurd. Setelah pamitan dengan ibu yang kami titipkan motor, kami langsung menuju Bantarujeg.

Setibanya di Kecamatan Bantarujeg, ternyata sedang ada pembetonan jalan, kami diajak Adi untuk memotong jalur lewat Gununglarang. Di Desa Gununglarang ini sebenarnya ada satu air terjun. Curug Gununglarang namanya. Air terjun ini memang terlihat dari pinggir jalan, tapi untuk mendekati curug, harus treking sekitar lima belas menit. Karena saya sedang malas untuk trekking, jadi, cukuplah melihat Curug Gununglarang dari pinggir jalan. Jalan yang kami lalui berada di kaki bukit. Turunan panjang dan curam harus kami lewati.

Kondisi jalan pun tidak terlalu bagus. Terkadang ketika jalan menurun curam dan panjang, kami harus menghantam lubang yang cukup dalam juga. Setidaknya, jalannya masih beraspal, tidak makadam. Kami sempat berhenti di sebuah pertigaan karena sedikit lupa jalur menuju Jembatan Merah. Setelah menemukan jalan yang dimaksud, kami pun tiba di Jembatan Merah.

Jembatan Merah sebenarnya hanya sebutan populer saja. Dinamakan Jembatan Merah karena memang seluruh jembatan ini di cat merah. Sebelumnya, jembatan ini seluruhnya di cat kuning. Perubahan warna dilakukan setelah pemilihan kades (atau camat, lupa). Jembatan Merah ini merupakan jembatan gantung yang melintang di atas aliran Ci Lutung yang saat ini sedang surut.

Sungai Cilutung merupakan salah satu sungai besar yang mengalir di wilayah Kabupaten Majalengka dan merupakan salah satu anak dari Ci Manuk. Aliran Ci Lutung akan bergabung dengan aliran sungai utama (Ci Manuk) di sekitar Kadipaten. Sungai Cilutung ini juga merupakan aliran sungai yang sama dengan Curug Cilutung di Kecamatan Talaga, Kabupaten Majalengka.

Ketika kami tiba, sudah ada banyak orang yang juga berfoto-foto di jembatan ini. Selain itu, jembatan ini merupakan lintasan utama warga untuk mengangkut hasil kebun dan merupakan jembatan penghubung antar desa Jadi, sedikit sulit untuk mengambil foto tanpa harsu menunggu warga lain melintas di jembatan ini. Karena kondisi di sekitar jembatan sedang ramai-ramainya, kami singgah di Jembatan Merah jauh lebih lama disbanding di Curug Kapakuda.

Niat kami ke Situ Cikuda pun kami urungkan, karena jalurnya memutar jauh. Lagipula, jalan yang akan kami ambil untuk pulang adalah melewati Kawali, jadi kalau ke Situ Cikuda, akan banyak membuang waktu. Sekitar pukul 15.00 WIB, kami pun kembali ke Bantarujeg. Kami berpisah dengan Adi, karena arah rumahnya berlawan dengan jalur kami. Berhubung masih banyak waktu, saya pun spontan menjadikan Waduk Darma sebagai tujuan berikutnya.

Jalur penghubung antara Cikijing – Waduk Darma sempat terputus longsor dan sudah hampir selesai diperbaiki. Selama proses perbaikan, rute mobil dan motor dibedakan. Kami memilih untuk melewati rute motor, yaitu jalan raya utama Cikijing – Waduk Darma. Waduk Darma sendiri sudah berada di Kabupaten Kuningan. Ini pertama kalinya saya melintas di jalur ini.

Ketika memasuki perbatasan Kab. Majalengka – Kab. Kuningan, langit tiba-tiba berubah menjadi mendung. Setibanya di Waduk Darma, entah kenapa jalannya diportal. Berhubung sudah gerimis dan kabut, kami memutuskan untuk kembali ke Cikijing. Setidaknya sudah tidak terlalu penasaran sama jalur ke Waduk Darma. Perjalanan pulang ke Cikijing kami putuskan untuk lewat jalur mobil.

Jalur mobil diputar ke arah Desa Cipulus. Jalurnya tepat di kaki perbukitan. Jalannya hanya cukup untuk dua mobil mini bus – sedan – jeep papasan dan tanjakannya panjang. Awal perjalanan masih melewati permukiman padat, semakin ke atas bukit, permukiman beganti dengan kebun. Semakin ke atas bukit, kebun yang didominasi tumbuhan besar berganti menjadi lading. Pemandangan sangat terbuka, terutama di sekitar Semplo dan Ciinjuk, dua dusun yang berada di Desa Ciinjuk.

Sebenarnya, pemandangan dari atas bukit ini sangat bagus. Waduk Darma dan jejeran perbukitan serta Cikijing akan terlihat jelas tanpa halangan. Sayangnya, ketika kami lewat, kabut dan gerimis. Setelah sampai di titik tertinggi, jalan kembali turun. Ketika jalan mulai memasuki permukiman padat, hampir setiap tikungan dijaga oleh warga dan tidak lupa kotak sumbangan.

Memang sih, keberadaan warga yang menjaga dan mengatur arus lalu lintas ini berguna. Jalan di area permukiman banyak sekali percabangannya, selain itu jalannya sempit. Bila yang pertama kali melintas disini mungkin akan sedikit kesulitan. Dengan adanya warga yang berjaga jadi bisa sedikit terbantu, tapi kalau setiap tikungan harus mengeluarkan uang, meskipun receh, jika dijumlah hingga bertemu Jalan Raya Cikijing, bisa sampai 50.000 Rupiah juga!

Setiba di Cikijing, kami mencari tempat makan dan istirahat dulu. Cuaca di Cikijing cerah, berbeda ketika kami di Desa Cipulus tadi, gerimis dan kabut. Sekitar pukul 16.30 WIB kami melanjutkan perjalanan. Kali ini, kami langsung menuju rute pulang yaitu melalui Kawali kemudian Ciamis. Kondisi lalu lintas dari Cingambul hingga masuk Panawangan sangat sepi dan kondisi jalannya cukup bagus. Motor pun dipacu cukup kencang. Pemandangan di sekitar Panawangan cukup bagus. View ke arah Cikijing dan perbukitan di kaki Ceremai, bahkan Gunung Ceremai pun terlihat jelas jika tidak ada kabut.

Memasuki pusat Kecamatan Panawangan, arus lalu lintas sedikit ramai, terutama di pertigaan Kawali – Cingambul – Selajambe. Selepas Panawangan, jalan cukup ramai. Beberapa truk pengangkut kayu dari arah Ciamis mulai kami temui. Di jalur ini ada satu danau yang sudah ingin saya datangi sejak April lalu. Situ Wangi, nama danaunya. Saking bagus dan enaknya jalur yang kami lalui, kami kebablasan. Tau-tau kami sudah ada di persimpangan Panjalu – Kawali.

Danau satu lagi, ternyata berbeda jalur dan harus masuk lewat jalur Jahim. Situ Cibubuhan namanya. Kami pun memutuskan untuk ke Situ Cibubuhan. Setelah dilihat lagi di peta, ternyata dari lokasi kami saat ini, jaraknya lebih jauh. Sedangkan jika ke Situ Wangi, memang harus balik lagi, tapi jaraknya tidak terlalu jauh. Pilihan pun jatuh ke Situ Wangi. Putar arah kemudian tancap gas langsung ke Situ Wangi. Untungnya, lalu lintas ke arah Situ Wangi cukup sepi, kami pun hanya perlu waktu sebentar untuk sampai di pertigaan menuju Situ Wangi.

Pertigaan menuju Situ Wangi berada tepat di tikungan, jadi harus cukup jeli dan hati-hati, terutama jika datang dari arah Panawangan. Situ Wangi berada di Desa Winduraja, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Jalan menuju Situ Wangi sudah bagus. Bahkan, kami baru ngeh kalau sudah ada gapura yang menandakan jalur menuju Situ Wangi. Hanya saja, gapura ini akan terlihat jika dari arah Kota Ciamis dan Kawali.

Kami tiba di Situ Wangi bertepatan dengan Adzan Magrib, otomatis, cahaya untuk mengambil foto pun sudah sangat minim. Segera saya ambil foto dengan sisa-sisa sinar matahari yang ada. Berpindah dari satu sisi ke sisi lainnya kami lakuakn dengan cepat, karena tidak ingin kehilangan moment untuk mengambil foto. Setelah benar-benar tidak bisa lagi mengambil foto, kami pun mengobrol dengan warga.

Lokasi Situ Wangi sangat dekat dengan permukiman penduduk. Warga yang kami temui pun rumahnya berada tepat di depan Situ Wangi. Menurut warga, Situ Wangi merupakan danau alami. Sisi seberang Situ Wangi masih merupakan kebun warga, tapi menurut kabar, akan dibangun area wisata. Tidak dijelaskan area wisata yang seperti apa. Situ Wangi belum memiliki fasilitas umum seperti toilet dan warung. Terlihat adanya beberapa ‘bilik’ di pinggir danau.

Tepat di pintu masuk hanya ada sebuah masjid, area parkir, dan pos retribusi. Situ Wangi banyak dimanfaatkan oleh warga sebagai lokasi memancing. Ikan di Situ Wangi cukup banyak, bahkan kabarnya, musim kemarau pun ikannya masih berlimpah karena air danaunya tidak surut. Sekitar pukul 18.00 WIB, kami pun pamit karena takut kemalaman sampai di Bandung.

Jalur pulang yang kami lewati berubah. Awalnya kami akan meneruskan jalur ke Kawali dan tembus di dekat alun-alun Kota Ciamis, namun, kami putuskan untuk mengambil jalur Panjalu – Pagerageung dan tembus di Ciawi, Kab. Tasikmalaya. Jalur yang kami lalui ini akan melewati Situ Lengkong dan Curug Tujuh Ciamis. Sayangnya, sudah dipastikan ketika kami melintas sudah malam.

Setelah melewati pertigaan Kawali – Panjalu – Panawangan, jalan kembali kosong. Bahkan, seekor ular yang cukup besar dengan santai melintas di depan kami. Untung motor kami dan motor warga di sebelah kami bisa menghindar. Jalur Kawali – Panjalu sangat sepi meksipun baru jam 18.00 WIB. Jalur yang awalnya melewati permukiman mulai memasuki area kebun dan hutan. Kondisi jalan pun berubah dari aspal mulus menjadi jalan berlubang. Tidak ada penerangan sepanjang jalan.

Mendekati Situ Lengkong, barulah mulai ramai. Siapa sangka Situ Lengkong malam mini sangat ramai. Banyak bus pariwisata berukuran besar dan kendaraan kecil lainnya memadati parkiran Situ Lengkong, padahal ini sudah pukul 19.00 WIB. Umumnya, tempat-tempat wisata sudah mulai sepi menjelang malam. Kami pun melewati keramaian Situ Lengkong dan kembali memasuki jalur di pinggir hutan.

Lalu lintas sedikit lebih ramai. Kondisi jalan masih sama, berlubang dan masih melipir perbukitan. Jalur dari Panjalu hingga Ciawi ini memang masih berada di tengan perbukitan. Sisi Selatan Jalaur Kawali – Panjalu dibatasi oleh Gunung Sawal, sedangkan sisi Utaranya jejeran perbukitan hingga perbatasan dengan Kabupaten Majalengka. Patokan kami berikutnya adalah persimpangan Ponpes Suryalaya.

Di persimpangan Ponpes Suryalaya, sebenarnya kami bisa saja turun ke arah Cihaurbeuti dan masuk ke Jalan Nasional, tapi berhubung kami beruda belum pernah lewat jalur tengah, kami memutuskan untuk meneruskan jalan ke arah Ciawi lewat Pagerageung, meskipun tidak banyak yang bisa dilihat karena sudah malam. Sempat khawatir juga gimana kalau ternyata jalur di depan kami makadam parah, sepi dan gelap. Kalau motor bermasalah bisa berabe. Tapi, memang dasar sudah penasaran, jadi ya dijabanin aja.

Ternyata jalannya cukup bagus, permukiman dan area pertokoan masih sering kami temui. Karena memang kawasan pondok pesantren, banyak masjid dan ponpes yang kami lewati, setidaknya tidak sesepi jalur Kawali – Panjalu yang didominasi kebun dan hutan. Mendekati Ciawi, jalan semakin ramai oleh pertokoan. Jalur kami keluar tepat di belakang Pasar Ciawi. Dari sini, kami masuk ke Jalan Nasional. Berhubung masih belum terlalu malam, sepanjang Gentong hingga Malangbong cukup lancar. Kendaraan yang menuju arah Timur masih sangat padat.

Perjalanan cukup lancar, tapi memasuki Limbangan hingga memasuki Lingkar Nagreg, kami terkena macet. Macet cukup parah, baik dari arah Timur (arah kami) maupun dari arah Barat. Maklum, masih hari pertama libur panjang. Meksipun kami sempat kena macet cukup panjang, tapi setidaknya dari Rancaekek hingga Cibiru, jalanan lancar. Kami pun masuk Bandung pukul 21.00 WIB.


About Dya Iganov

Penyuka traveling, tidak hanya mendaki gunung, tapi juga touring, rafting, explore, city tour, kemping ceria, susur pantai, dll