MALEM MINGGUAN


Malam Minggu, untuk kota-kota metropolitan, megapolitan, kota satelit & kota besar biasanya identik dengan waktunya keluar rumah, mau sama temen, keluarga, pacar, gebetan dll. Untuk saya yang tinggal di Kota Bandung, semenjak 2-3 tahun ke belakang Sabtu-Minggu di Kota Bandung itu identik sama yang namanya macet dimana-mana dari siang sampe malem. Macetnya sih ga se-parah & se-merata Jakarta, hanya ada di pusat-pusat perbelanjaan, kuliner, dan beberapa jalan yang jadi akses masuk ke kawasan tadi dari berbagai wilayah di Kota Bandung. Buat saya sendiri sebagai warga Bandung semenjak belum nongol didunia aga males juga kalau harus ber-macet-macetan ga jelas cuman buat sekedar ‘tawaf’ di mall atau makan & ngobrol-ngobrol di tempat makan kalau memang ga ada acara khusus. Malahan weekend saya, termasuk “malem mingguan” -waktunya sejuta umat buat dandan abis dan keluar dari rumah- saya habiskan kebanyakan diluar Bandung. Semenjak saya kenal dengan dunia travelling, kebanyakan weekend saya, memang saya manfaatkan untuk ikutan berbagai jenis trip, mulai dari pendakian, kemping di pulau, rame-rame blusukan ke pantai, touring ke air terjun, atau cuman sekedar tes jalur. Rata-rata perginya kalau ga Jumat malam/sore untuk tujuan yang jauh, ya Sabtu subuh/pagi untuk tujuan yang dekat ataupun yang 1 hari pergi. Semenjak 1 tahun ini, Jumat sore pun sudah jadi langganan macet dimana-mana. Singkatnya, semenjak Bandung mulai macet parah dimana-mana & sejak saya kenal travelling weekend saya kebanyakan saya habiskan diluar Bandung. Kalaupun lagi ga ada kegiatan travelling kemana-mana, yaaaa lebih baik diem dirumah aja atau sekedar makan ke tempat-tempat yang deket rumah, bukan masuk mall atau nonton bioskop atau makan malem kulineran di cafe-cafe yg makin kesini makin kreatif.

Baru-baru ini Pemerintah Kota Bandung ngeluarin kebijakan pengaturan jam operasional tempat-tempat hiburan malam dan ini sudah pernah saya dengar ceritanya secara langsung dari teman saya. Ceritanya, teman saya itu sedang nongkrong sama teman-temannya di salah satu -sebutlah- cafe didaerah dekat salah mall di Jalan Merdeka. Tepat pukul 00.00 sang DJ pun mengumumkan kalau pertunjukan dia hanya sampai disitu sekaligus juga memberitahukan bahwa tempat tersebut pun akan tutup mengikuti peraturan pemerintah yang baru. Nah, kalau mbandel? konsekuensinya dibubar paksa oleh petugas kepolisian, yang ternyata memang benar saja, diluar tempat temen saya tadi sudah ada sekitar 6 mobil polisi lengkap dengan petugasnya yang udah siap-siap kaya pager betis di pintu keluar tempat hiburan (bukan tempat hiburan dengan konotasi negatif ya) tadi. Dan itu ga hanya kejadian di tempat temen saya kebeneran makan, tapi disemua tempat-tempat yang jadi pusat keramaian, bahkan yang ngumpul di pinggir jalan ataupun mini market pun bakalan diusir oleh petugas diatas jam 00.00. Kalau saya pribadi sih yaa setuju-setuju aja toh saya pribadi memang bukan tipe yang nongkrong sampe tengah malem di cafe apalagi yg modelnya kaya di mini market gitu -ya gimana mau suka sih, tiap weekend nyangkut di hutan atau di tengah laut mulu zzzzz-.

Selalu ada pihak yang pro dan kontra terhadap sesuatu, termasuk kebijakan pemerintah yang satu ini, yang saya nilai cukup berani juga ‘mematikan’ salah satu ciri dari kota metropolitan versi saya (yaitu aktifitas kotanya yang terus ada selama 24 jam, aktifitas apapun) apalagi Kota Bandung sendiri sudah dikenal seperti ‘adiknya’ Jakarta yang memiliki sarana hiburan sampai larut malam, menyuguhkan keramaian bahkan hingga menjelang matahariterbit, tiba-tiba seperti mendapat serangan mendadak bak perang Gerilya semua itu harus dihentikan tepat pukul 00.00 dan sebagian lagi pukul 03.00. Sebagian orang ada yang menghela nafas lega -sebagian yang masih memegang tradisi yang dianggap ‘kolot’ anak perempuan tidak baik keluar rumah sampai diatas jam 20.00- atas diberlakukannya aturan ini, sebagian pihak ada yang mengeluh, protes, menganggap konyol dll, bahkan ada pihak yang -oh, ya sudah, Oke deh Pa Walkot- tanpa ambil pusing mengenai berlakunya aturan ini termasuk saya.

Lalu, bagaimana suasana Kota Bandung yang terkenal gemerlap di malam minggu ini kini, sepi kaya kota mati? sepi kaya Kota Bandung di Senin malam? tidak ada ‘kehidupan’? mati gaya bagi mereka-mereka yang terbiasa baru muncul diatas jam 21.00 ketika malam minggu yang protes sampai manyun-manyun, dan kenapa pula bisa muncul peraturan ajaib ini? Sepengetahuan saya, aturan ini sebagai salah satu dampak yang ditimbulkan dari berbagai tindakan kriminal di Kota Bandung yang rata-rata terjadi diatas jam 23.00 dan yang tertinggi selalu terjadi pada saat weekend, terutama Sabtu malam. Selain sebagai dampak/akibat, aturan ini juga sebagai ‘pencegahan’ dan upaya menurunkan tingkat kejadian tindak kriminal dan jumlah korban dari tindak kriminal tersebut. Kita ambil contoh yang sudah jadi tindak kriminal turun temurun yaitu yang disebabkan oleh geng motor, disusul oleh pertikaian kecil bahkan sampai memakan korban di tempat-tempat hiburan karena masalah sepele dan dibawah pengaruh minuman beralkohol, sisanya kejahatan yang sudah umum terjadi seperti penjambretan, kecelakaan lalu lintas, balap liar dan lain-lain.

Sederhananya, kalau tidak aa pusat keramaian hingga larut malam, tidak akan ada warga yang hilir mudik dijalanan hingga larut malam, maka para pelaku tindak kriminal setidaknya akan kekurangan lahan & kesempatan untuk melakukan aksinya, singkatnya lagi kalau Kota Bandung diibaratkan padang savana & pusat hiburan itu adalah satu-satunya mata air bagi semua penghuni savana, bila mata air itu ditiadakan, makan sang predator tertinggi akan kehilangan makanannya karena tidak ada lagi yang berkumpul di sekitar mata air itu. Masih ga ngerti? ah sudahlah saya juga ga ngerti ngetik apa, namanya juga ngoceh.


About Dya Iganov

Penyuka traveling, tidak hanya mendaki gunung, tapi juga touring, rafting, explore, city tour, kemping ceria, susur pantai, dll

Leave a comment