PENDAKIAN GUNUNG TAMBORA 27-29 MEI 2014


Tulisan ini sebelumnya sudah pernah dipublikasikan di https://travelnatic.com/catatan-pendakian-gunung-tambora/

Setelah perjalanan tiga hari empat malam dari Bandung ke Basecamp Pancasila via darat, tepat Selasa, 27 Mei 2014 tepatnya sekitar pukul 03.00 WITA kami tiba di tujuan. Basecamp Pancasila merupakan satu dari dua jalur pendakian Gunung Tambora, tepatnya di Desa Pancasila, Kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat. Langit subuh di Desa Pancasila ketika kami datang benar-benar bersih, bahkan kami bisa melihat milkyway dengan sangat jelas.

Sekitar pukul 06.00 WITA, kami semua sudah terbangun dan langsung memisahkan barang yang akan dibawa selama pendakian dengan barang yang akan disimpan di basecamp. Kondisi fisik saya drop di perjalanan hari ketiga. Demam dan sedikit gejala maag membuat saya memilih untuk tinggal di basecamp dan membatalkan pendakian. Setelah cukup istirahat, demam sedikit turun dan setelah dipertimbangkan lagi, akhirnya saya pun memutuskan untuk tetap ikut dalam pendakian, hanya saja dengan menyewa satu orang porter lagi, selain dua porter yang memang sudah sengaja dipersiapkan. Jadi, total rombongan kami adalah sepuluh orang tim dari Petualang 24 dan tiga orang porter.

SELASA, 27 MEI 2014

Tepat pukul 08.00 WITA, kami memulai pendakian. Jalur pendakian sesungguhnya masih lebih dari 1 Km lagi dari basecamp, oleh karena itu, kami pun menyewa ojek. Sebenarnya jika berjalan kaki pun tidak masalah, hanya saja kami memang menghemat waktu dan tenaga. Kondisi jalan yang dilalui oleh ojek merupakan jalan tanah di tengah perkebunan kopi. Kondisi jalan tanah yang masih basah karena hujan semalam, menjadikan trek ojek kami penuh dengan lumpur dan genangan cukup dalam. Kami tiba di pintu hutan sekitar satu jam kemudian. Setelah packing ulang dan mengatur urutan rombongan, pendakian pun dimulai.

Kondisi trek masih bersahabat meskipun terus menanjak. Kondisi hutan di sekeliling kami masih cukup terbuka dari pepohonan besar, hanya saja semak belukar memang menutup jalur pendakian di beberapa tempat. Sekitar satu jam perjalanan, kondisi trek terus menanjak namun masih sangat bersahabat, bahkan untuk saya yang masih dalam kondisi sedikit demam dan sakit di kepala yang cukup lumayan mengganggu konsentrasi. Lokasi berhenti kami adalah pos 1 yang masih sekitar dua jam lagi. Kami memang berniat untuk mendaki Tambora dengan ritme pendakian santai. Kami berencana menginap dua malam, yaitu di Pos 3 dan di Pos 5.

Perjalanan dari pintu hutan ke pos 1 memakan waktu kurang lebih tiga jam. Sekitar pukul 12.00 WITA kami tiba di Pos 1. Sudah ada beberapa pendaki yang sedang beristirahat di Pos 1 dan hanya rombongan kami yang mengarah ke Pos 2. Kami istirahat makan siang dan solat di Pos 1. Sekitar pukul 13.30 WITA kami memulai kembali pendakian. Kali ini perjalanan menuju Pos 2 kami tempuh dengan melewati hutan yang lebih lebat dengan kondisi trek yang sebagian besar tertutup semak belukar. Kali ini tanjakan sedikit lebih curam namun masih cukup bersahabat.

Trek mulai berganti dari jalan setapak yang hanya tertutup semak belukar dengan trek akar pohon. Kondisi hutan sudah mulai tertutup, bahkan di beberapa titik kami harus menghindari batang pohon yang cukup rendah. Jalur pendakian Gunung Tambora dari Pos 1 sampai menjelang Pos 3 sudah sangat terkenal akan pacetnya, terutama jika kondisi trek basah seperti sekarang ini. Oleh karena itu, kami meminimalisir berhenti terlalu lama.  

Ritme perjalanan dari Pos 1 menuju Pos 2 menjadi lebih cepat. Selain karena malas tertempel pacet, cuaca mulai mendung dan jarak kami ke Pos 3 masih cukup jauh, sementara hari sudah semakin sore. Meskipun ritme pendakian kami santai, tapi sebisa mungkin selain untuk summit, kami tidak jalan malam. Semakin mendekati Pos 2, jalur pendakian menjadi lebih berat lagi dan makin tertutup. Bahkan, porter yang berjalan paling depan pun beberapa kali menebas ilalang/semak belukar dan ranting yang menutup jalur pendakian.

Kami tiba di Pos 2 tepat pukul 16.00 WITA atau 2,5 jam dari Pos 1. Terbilang cukup lama memang, karena jika pendakian dilakukan dengan ritme cepat, rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke Pos 2 dari Pos 1 adalah 1 jam 40 menit sampai dua jam. Berhubung kami memang jalan santai, jadi 2,5 jam sudah cukup wajar setidaknya. Kami berhenti di sebuah shelter/pos kecil di Pos 2. Serangan pacet masih belum berhenti, apalagi lokasi Pos 2 ini sangat dekat dengan aliran sungai. Beberapa teman mengambil air untuk mengisi ulang air di aliran sungai.

Kami berhenti tiga puluh menit di Pos 2. Tepat pukul 16.30 WITA kami mulai kembali pendakian. Jalur dari Pos 2 menuju Pos 3 pertama-tama harus turun hingga sungai, lalu menyeberangi aliran sungai, kemudian kembali menanjak. Setelah trek mulai menanjak, hutan di sekeliling jalur pendakian menjadi semakin rapat oleh pepohonan besar. Pada beberapa titik, kami mulai menemukan batang pohon yang tumbang. Semakin jauh menuju Pos 3, batang pohon tumbang semakin banyak kami temui. Kami pun harus melewati batang pohon tersebut dengan sedikit memanjat, atau menunduk melewati bagian bawah batang pohon.

Serangan pacet semakin menjadi, terutama dengan banyaknya batang pohon tumbang yang sangat lembab yang harus kami lalui. Hutan semakin rapat dan tumbuhan pakis semakin banyak kami temui. Lumut-lumut di batang pohon yang masih tegak maupun di batang pohon tumbang pun cukup banyak. Kami lumayan banyak berhenti untuk minum atau sekedar mengatur nafas kembali. Di tengah perjalanan, gerimis turun. Kami pun berhenti sejenak untuk memakai jas hujan/jaket. Menjelang Magrib, gerimis mulai reda, namun perjalanan kami menuju Pos 3 ternyata masih cukup jauh.

Begitu gerimis berhenti, kami berhenti lagi sejenak untuk mempersiapkan headlamp sembari beristirahat sejenak. Kali ini, kami sudah berada di lokasi yang terbilang jarang pacet. Kami berhenti tidak terlalu lama dan ritme jalan kami dipercepat karena sudah lebih dari waktu yang direncanakan. Kami tiba di Pos 3 tepat pukul 20.00 WITA. Total perajalanan kami dari Pos 2 ke Pos 3 adalah 3,3 jam. Perjalanan kami menjadi cukup lama karena selain ritme perjalanan kami yang terbilang sangat santai, beberapa kali kami berhenti cukup lama, terutama Magrib. Selain itu, medan menanjak dan cuaca gerimis cukup melambatkan kami.

Setiba di Pos 3, kami langsung mendirikan tenda, Hanya ada rombongan kami yang camp di Pos 3 malam ini. Kebanyakan rombongan yang akan mendaki baru akan tiba lusa dan hampir semua rombongan yang mendaki Gunung Tambora sebelum kami sudah turun menuju Basecamp. Setelah tenda berdiri semua, kami merapihkan barang dan segera menyiapkan makan malam. Berhubung kami mendaki santai, jadi besok pun kami tidak harus terburu-buru sepagi mungkin untuk melanjutkan perjalanan. Kami benar-benar butuh tidur setelah empat hari perjalanan darat menuju Desa Pancasila dan sehari penuh mendaki Gunung Tambora. Sekitar pukul 22.00 WITA kami semua sudah terlelap.

RABU, 28 MEI 2014.

Pukul 08.00 WITA, kami semua sudah bangun dengan kondisi badan yang lebih segar dibanding hari kemarin. Beberapa mulai menyiapkan sarapan, beberapa lagi mengisi persediaan air. Pos 3 ini merupakan suatu lahan datar yang cukup terbuka dan cukup luas. Di Pos 3 juga terdapat sumber air dan area yang cukup bebas dari pacet, meskipun kami sempat menemukan beberapa di dekat tenda. Setelah sarapan, sebagian kami bebersih alat masak dan tempat makan, sebagian mengisi kembali persediaan air untuk dibawa ke Pos 5, dan sebagian lagi packing ulang.

Perjalanan kami hari ini terbilang cukup singkat. Kami akan kembali bermalam di Pos 5 sekaligus menjadi titik awal summit. Medan dari Pos 3 ke Pos 5 pun tidak sejauh perjalanan kemarin. Jadi, kami meskipun dengan ritme pendakian super santai, menargetkan sebelum jam 17.00 WITA sudah tiba bahkan buka tenda di Pos 5. Setelah semua siap, kami tidak lupa berfoto sebelum memulai pendakian. Jalur yang kami tempuh kali ini terkenal penuh dengan tumbuhan jelatang. Sarung tangan, gaiter, buff untuk menutup kepala dan muka pun dipakai karena rasanya malas juga merasakan sensasi terkena jelatang.

Perjalan kami mulai dengan memasuki hutan yang jauh lebih tertutup dari sebelumnya. Tumbuhan pakis, semak belukar, ranting pohon banyak menutup jalur pendakian. Porter yang berada di depan pun harus berkali-kali menebas ranting dan semak belukar untuk membuka jalur. Medan pendakian terbilang cukup bersahabat meskipun terus menanjak. Tidak lama kami berjalan, dari rombongan paling depan mulai terdengar seruan-seruan ‘awas jelatang’.

Meskipun sudah berusaha untuk tidak mengenai daun jelatang, tapi tetap saja beberapa dari kami merasakan ‘sengatan’ jelatang, termasuk saya. Beruntung, saya terkena jelatang di lengan atas, rasanya jadi seperti sedang disuntik dengan efek panas dan gatal yang tidak hilang selama satu jam kedepan. Di pertengahan jalur Pos 3 menuju Pos 4, rombongan kami mulai terpisah. Saya sendiri berada di rombongan paling belakang bersama empat orang lainnya. Tidak ada porter di rombongan kami.

Sesekali kami berhenti mengatur nafas, bahkan berhenti untuk memakan makanan ringan. Trek di depan kami dipersulit dengan masih banyaknya batang pohon tumbang yang menutup jalur pendakian. Bahkan, ada satu jalur yang merupakan batang pohon tumbang sekaligus jembatan diantara jurang-jurang tanaman jelatang. Tinggi jelatang di titik ini mungkin diperkirakan hingga 2 m. View di sepanjang jembatan batang pohon ini seluruhnya tertutup tumbuhan jelatang. Selain menjadi titik yang paling lama kami lalui karena jelatangnya, lokasi ini juga menjadi spot foto yang tidak boleh dilewatkan.

Kami tiba di Pos 4 tepat pukul 11.00 WITA. Kali ini, meskipun ritme perjalanan kami masih cukup santai, namun waktu tempuh kami sama dengan waktu tempuh dengan ritme normal. Setiba di Pos 4 yang merupakan lahan terbuka sedikit luas dengan permukaan tanah yang berundak, kabut tebal pun turun. Kami manfaatkan untuk istirahat dan foto-foto. Setelah tiga puluh menit kami berhenti, tepat pukul 11.30 WITA kami melanjutkan pendakian. Trek dari Pos 4 menuju Pos 5 sudah cukup terbebas dari jelatang dan pacet, namun medannya terus menanjak.

Kali ini saya berada di kloter paling depan bersama dua teman lainnya. Porter semua berada di rombongan belakang saya. Kali ini, saya berjalan nonstop. Hanya sesekali berhenti untuk mengatur nafas, itupun tidak selama perjalanan sebelumnya. Kami baru bersitirahat setelah sekitar satu jam berjalan nonstop. Kami beristiahat tidak terlalu lama, hanya untuk minum dan mengecek posisi teman-teman di belakang kami. Setelah ada kloter dua yang berhasil menyusul kami, kami pun mulai jalan lagi.

Medan yang terus menanjak dan cukup tertutup harus terus kami lalui hingga tiba di Pos 5. Seluruh rombongan tiba di Pos 5 pukul 13.00 WITA. Beberapa masih memutuskan untuk beristirahat, beberapa lagi langsung memasang tenda dan menyiapkan makan siang. Kami akan bermalam di Pos 5 dan memulai summit tepat pukul 00.00 WITA nanti. Pendakian hari kedua ini berakhir lebih cepat dari perkiraan kami sebelumnya, yaitu tiba di Pos 5 sekitar puku 15.00 WITA. Setelah makan siang, ada yang langsung kembali tidur, ada juga yang sekedar mengobrol.

Menjelang Magrib, kami semua berkumpul lagi untuk menyiapkan makan malam. Cuaca sedari pagi hingga malam sangat bersahabat, bahkan langit sangat cerah. Pos 5 cukup terkenal dengan babi hutannya, oleh karena itu semua alat masak, sepatu, dan barang-barang yang tidak kami masukan ke tenda, dimasukan ke dalam kantong keresek dan digantung di pohon. Kami semua kembali ke tenda masing-masing sekitar pukul 20.00 WITA.

KAMIS, 29 MEI 2014

Udara malam Tambora cukup menusuk ketika pintu tenda dibuka. Satu persatu keluar dari tenda dan mempersiapkan untuk summit. Setelah ganti sepatu, membawa logistik, packing, dan menggantung tas serta sepatu di pohon, kami pun memulai summit. Perjalanan benar-benar baru kami mulai sekitar pukul 01.00 WITA. Ritme perjalanan kami lebih lambat dibanding tadi siang. Jalur dari Pos 5 menuju batas vegetasi tanjakannya cukup melelahkan.

Entah sudah berapa lama kami mendaki, vegetasi mulai terbuka. Perlahan-lahan langkah kaki kami sedikit tertahan karena pijakan tanah sudah berubah menjadi pasir dan batu berukuran kerikil. Di kanan dan kiri kami sudah sangat terbuka. Tidak ada lagi semak belukar dan ranting pohon yang menghalangi pandangan, tidak ada lagi batang pohon tumbang yang harus kami panjat.  Saya memang cukup kewalahan jika pendakian dilakukan pada malam hari, apalagi ditambah dengan trek berpasir dan terbuka di ketinggian.

Angin dini hari ditambah oksigen yang lebih tipis cukup membuat kami berkali-kali berhenti. Bahkan air minum saya pun sudah hampir habis saking keringnya tenggorokan saya. Hanya tinggal satu botol milik pribadi yang tersisa. Kalau saya tidak segera memperbaiki ritme pendakian saya, bisa-bisa kewalahan sendiri. Hanya langit cerah ditambah taburan bintang, bahkan milkyway yang menjadi penyemangat untuk melewati jalur ini.

Sekitar dua atau tiga jam perjalanan melewati tanjakan tanpa bonus dengan trek pasir dan batu kerikil yang cukup gembur, jalur mulai sedikit berkurang curamnya. Ada beberapa bagian yang datar, namun tetap didominasi tanjakan. Jauh di seberang kami, terlihat lampu-lampu dari headlamp yang juga mengarah ke puncak. Hanya saja, jalur yang mereka lalui masih sedikit tertutup. Posisi kami sudah hampir mencapai bagian dari bibir kaldera. Jalur pendakian yang sebelumnya cukup sempit, kali ini menjadi mirip sebuah dataran luas tidak rata dan berbatu.

Jalur kami kali ini cukup landai. Batuan berukuran kerikil dan pasir yang cukup gembur kini berganti menjadi pasir dan kerikil yang cukup padat. Angin semakin kencang dan suhu udara benar-benar semakin menurun. Perjalanan di medan ini tidak terlalu menguras tenaga. Sedikit demi sedikit di sisi kiri kami mulai terlihat bagian dari puncak dinding kaldera sekaligus titik puncak Gunung Tambora. Menyusul kemudian, sebuah lubang berwarna hitam pekat yang sangat luas mulai terlihat di sisi kiri kami. Kami sudah tiba tepat di bibir kaldera Tambora. Angin semakin kencang dan suhu udara semakin menurun.

Kami langsung mengambil jalur yang mengarah ke puncak Tambora, titik tertinggi yang berada pada ketinggian 2.850 mdpl. Semakin kami mendekati titik tertitinggi tersebut, angin semakin kencang dan udara dingin semakin menusuk. Kami semua berhasil tiba di Puncak Tambora tepat pukul 04.30 WITA, namun karena masih terlalu gelap untuk mengambil foto, kami lebih memilih mencari tempat untuk berlindung dari angin yang makin kencang. Perjalanan 3,5 jam dari Pos 5 menuju Puncak Tambora pun berhasil kami lewati. Semakin menjelang pagi, angin semakin kencang, bahkan saking dinginnya, untuk bicara pun sulit karena menggigil.

Pukul 05.00 WITA, sedikit demi sedikit mulai terlihat cahaya kemerahan di langit. Kami pun bersiap mengeluarkan kamera dan segala properti untuk mengabadikan sunrise di Puncak Tambora ini. Sedikit demi sedikit mulai terlihat kepulan asap bercampur kabut dan awan tipis dari dalam kaldera Tambora. Sementara langit semakin membiru dan matahari mulai muncul. Pemandangan dari Puncak Tambora pun mulai terlihat. Hamparan Laut Flores lengkap dengan Pulau Satonda dan Pulau Moyo, dinding-dinding kaldera, hutan-hutan yang sudah kami lalui sedari kemarin, Gunung Rinjani di kejauhan, serta tidak ketinggalan kaldera raksasa Tambora yang melegenda terlihat jelas dari posisi kami.

Rombongan lain pun tiba. Ini adalah rombongan yang kami lihat sewaktu perjalanan menuju bibir kaldera. Semuanya adalah warga Pekat. Rombongan kami adalah rombongan satu-satunya yang berada di Puncak Tambora, setelah rombongan dari Pekat memutuskan untuk kembali turun ke Pos 5. Kalau porter kami tidak mengingatkan kami untuk segera turun karena masih ada perjalanan pulang, mungkin kami bisa lebih lama lagi diam di Puncak Tambora. Kami benar-benar meninggalkan Puncak Tambora pukul 07.30 WITA. Kami pun menuruni puncak menuju bibir kaledera.

Kami berhenti lagi tepat di bibir kaldera. Kurang lengkap rasanya kalau belum mengabadikan kaldera Tambora yang sangat terkenal di dunia. Cuaca cukup cerah, sehingga dasar kaldera bisa kami lihat dengan jelas. Puas mengabadikan kaldera Tambora, kami pun melanjutkan perjalanan. Jalur turun kami kali ini berbeda dengan jalur summit kami. Kali ini kami menggunakan jalur yang digunakan rombongan dari Pekat, yaitu melalui Cemara Tunggal. Medan dari bibir kaldera hingga sebuah in memoriam cukup sulit. Turunan panjang dengan trek pasir dan batuan kerikil yang cukup gembur harus kami lalui. Angin kencang tidak jarang menerbangkan pasir dan batuan halus ke arah kami dan masuk ke dalam mata.

Setelah sedikit susah payah dan berperosotan ria di pasir, kami tiba di lokasi yang cukup datar, dimana terdapat sebuah in memoriam. Dari lokasi ini, trek masih berpasir tapi tidak segembur sebelumnya. Tumbuhan cemara pun sudah mulai terlihat. Tumbuhan cemara akan terus ditemui hingga tiba di aliran sungai sekaligus sumber air di dekat pos 5. Kami berhenti sejenak di aliran sungai ini sebelum melanjutkan perjalanan ke Pos 5 dengan medan berupa tanjakan. Kami semua tiba di Pos 5 kembali tepat pukul 10.00 WITA.

Sembari istirahat, sebagian dari kami ada yang langsung packing, ada yang menyiapkan makan siang, ada juga yang masih menghilangkan pegal. Sekitar pukul 11.00 WITA kami makan siang dan langsung membereskan semua barang bawaan kami. Hari ini kami akan melanjutkan perjalanan turun langsung menuju basecamp. Sekitar pukul 12.30 WITA kami memulai perjalanan. Baru juga mininggalkan Pos 5, hujan turun. Kami pun bergegas memakai jaket/jas hujan dan melanjutkan perjalanan. Kami mulai terbagi ke dalam dua rombongan. Saya sendiri di bagian depan rombongan kedua bersama dua teman saya.

Kali ini kami benar-benar melakukan perjalanan dengan ritme cepat. Rombongan di depan saya pun bahkan tidak berhenti di Pos 4. Selain karena masih hujan, jarak dari Pos 5 ke Pos 4 terbilang pendek, jadi langsung saja bablas menuju Pos 3. Rombongan kloter saya pun demikian Saya cukup kewalahan juga menghindari jelatang di sepanjang Pos 4 menuju Pos 3, terlebih batang pohon tumbang yang harus kami lalui menjadi lebih licin terkena air hujan. Rombongan kloter saya tiba di Pos 3 hanya dalam waktu satu jam dari Pos 5, yaitu pukul 13.30 WITA.

Ketika rombongan kloter saya tiba di Pos 3, sebagian dari kloter pertama bahkan sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Saya dan dua teman saya memutuskan untuk mengejar rombongan pertama dan tidak berhenti di Pos 3. Saya bersama satu teman lainnya mengejar rombongan pertama. Kami berdua benar-benar berjalan sangat cepat dari Pos 3 menuju Pos 2, bahkan setengah berlari. Kami sama sekali tidak berhenti, kecuali untuk memanjat batang pohon tumbang yang harus kami lalui. Kami berdua tiba di Pos 2 pukul 15.30 WITA (dua jam perjalanan dari Pos 3).

Di Pos 2, kami bertemu beberapa teman dari rombongan pertama yang sedang beristirahat. Sementara tiga teman lainnya terus turun menuju Pos 1. Dengan demikian, kami terbagi ke dalam empat rombongan. Beberapa teman memutuskan untuk kembali meneruskan perjalanan. Saya sendiri memilih untuk istirahat selama tiga puluh menit di Pos 2. Perjalanan menuju Pos 2 kali ini saya bareng dengan dua teman dan satu porter. Kami tetap berjalan dengan ritme cepat dan sangat jarang berhenti. Kami tiba di Pos 1 pukul 17.30 WITA (1,5 jam perjalanan). Di Pos 1 kami bertemu rombongan yang baru akan naik.  Sementara teman kami di depan kami sudah tiga puluh menit yang lalu melewati Pos 1.

Kami berempat memutuskan berhenti dulu di Pos 1 karena sudah menjelang Magrib. Sekitar pukul 18.00 WITA, kami melanjutkan perjalanan ke Pintu Rimba karena tidak ingin terlalu lama berjalan malam di tengah hutan. Rasanya trek dari Pos 1 ke Pintu Rimba menjadi berbeda dibanding kami lewat dua hari yang lalu. Kami sempat ragu, karena jalurnya benar-benar sangat tertutup, rumputnya pun melebihi tinggi kami, padahal ketika kami pertama melakukan pendakian, rumput dan jalurnya tidak terlalu tertutup. Porter yang bareng dengan kami meyakinkan kalau jalur kami ini sudah benar.

Dengan sisa tenaga ditambah medan yang cukup terututup, perjalanan kami berempat kali ini sedikit terhambat. Di belakang kami hanya tinggal Mbak Evi dan dua porter lainnya, sementara enam teman kami lainnya sudah ada di depan. Suasana sepanjang Pos 1 menuju Pintu Rimba cukup membuat merinding. Pukul 19.30 WITA kami berempat sudah tiba di Pintu Rimba dan ojek yang kami pesan sudah menunggu. Menurut ojek yang menunggu kami, mereka tidak bertemu enam teman kami yang sudah duluan. Malah mereka kira, kamilah yang pertama sampai. Setelah curiga enam teman kami masuk ke jalur perkebunan kopi, beberapa ojek segera menyusul.

Perjalanan belum selesai. Kami bertiga masih harus melewati jalur kebun kopi yang medannya jauh lebih parah dibanding dua hari sebelumnya. Lumpur semakin tebal, bahkan genangan air sudah berubah menjadi kubangan setinggi jok motor. Untungnya motor kami tidak ada yang mogok. Setelah satu jam melewati jalur penuh lumpur dengan ojek, sampailah kami di basecamp. Enam teman kami yang di depan sudah tiba dengan selamat. Mbak Evi yang berada di paling belakang pun tidak lama bergabung dengan kami di basecamp.

Setelah bersih-bersih, sambil makan malam, masing-masing rombongan menceritakan pengalaman masing-masing. Tiga teman kami yang berjalan paling depan, menjelang Magrib sudah hampir tiba di basecamp dengan jalur yang sama dengan jalur pergi. Karena belum ada ojek yang stand by di pintu rimba, mereka bertiga berjalan kaki dari Pintu Rimba sampai ke basecamp.

Tiga teman kami lainnya di rombongan kedua salah mengambil jalur menuju Pintu Rimba di tengah hutan. Mereka tiba di area perkebunan kopi di luar jalur pendakian tepat pada saat Magrib. Setelah mendapat sinyal dan keluar dari hutan, salah satu teman menelepon ke basecamp dan meminta dijemput ojek. Karena di luar jalur pendakian, ada satu atau dua babi hutan yang mendekat ke arah tiga teman kami, untungnya teman kami cepat masuk ke dalam pos penjagaan yang posisinya cukup tinggi dari jalan.

Beda lagi dengan rombongan saya yang sepanjang Pos 1 hingga Pintu Rimba seperti diikuti dan diawasi serta ragu salah jalan karena jalurnya sangat tertutup. Rombongan Mbak Evi bahkan harus mundur dulu ketika bertemu ular yang sedang diam di tengah jalur pendakian. Terpencarnya kami jadi empat rombongan ternyata membawa kesan dan cerita tersendiri tentang pendakian Tambora. Malam ini merupakan malam terakhir kami di Desa Pancasila. Pendakian Tambora sudah selesai kami lewati, saatnya memulihkan tenaga untuk perjalanan kami berikutnya di Nusa Tenggara Barat.


About Dya Iganov

Penyuka traveling, tidak hanya mendaki gunung, tapi juga touring, rafting, explore, city tour, kemping ceria, susur pantai, dll