SURVEY SUKAMAKMUR 9 JULI 2020 PART 1


“Nadya, bisa bantu saya?” Begitu pesan WA dari Pak Abang, rekan kerja dari pekerjaan saya yang terakhir. Tanpa pikir panjang, saya pun langsung mengiyakan ajakan tersebut. Kali ini, saya diminta bantuan untuk mengambil foto-foto Situ Rawa Gede di Bogor dan beberapa tempat di sekitarnya.

Setelah deal semua urusan teknis dan non teknis, saya pun segera menghubungi Ujang. Singkatnya, saya dan Ujang siap berangkat ke Bogor lusa. Motoran tentunya.

KAMIS, 9 JULI 2020

Pada hari keberangkatan, sekitar pukul 09.00 WIB, saya dan Ujang sampai di meeting point. Hampir satu jam menunggu, barulah saya mendapat kabar kalau motor Pak Abang mengalami masalah. Saya dan Ujang diminta jalan duluan saja pelan-pelan menuju satu tempat makan di Cianjur kota sana.Aga sedikit aneh, kenapa harus ke Cianjur Kota? Padahal jalur tercepat menuju daerah tujuan yaitu yang lewat Cikalongkulon lalu Cariu. Akhirnya saya dan Ujang memutuskan untuk menunggu di daerah Sukaluyu saja, di SPBU tidak jauh dari pertigaan jalan menuju arah Jonggol.

Kami tiba di SPBU di daerah Sukaluyu sekitar 10.30 WIB. Cuaca cerah, matahari bersinar terik, udara pun cukup gerah. Sepanjang jalan dari rumah hingga Situ Ciburuy sangat ramai. Situ Ciburuy hingga Sukaluyu pun tak kalah ramainya. Kami berdua cukup kewalahan karena semalam kurang tidur.Setelah Solat Dzuhur, saya kembali mendapat WA dari Pak Abang, yang mengabarkan kalau Pak Abang dan temannya sudah di tempat makan di Cianjur Kota. Sesuai tebakan saya dan Ujang, jalur yang diambil yang lewat Puncak. Makin lemeslah ini badan.Sebetulnya, saya kurang suka lewat jalur Cianjur Kota – Puncak, karena jalurnya ramai. Alasan saya dan Ujang memilih jalur Cariu karena sudah pasti jalurnya sangat sepi, sehingga meskipun sedikit memutar, tapi tenaga tidak dua kali terkuras karena macet.

Kami pun tiba di tempat makan. Sudah ada Pak Abang, menyusul tidak lama kemudian temannya Pak Abang datang. Sebut saja Pak Irwan. Setelah makan, kami pun berembug dulu melihat lokasi-lokasi mana saja yang akan didatangi.Tujuan utama adalah Situ Rawa Gede. Pa Irwan dan Pak Abang ternyata sudah ditunggu oleh Bumdes dan Sekda Sirnajaya. Jadi, dapat dipastikan, tujuan pertama kami adalah Situ Rawa Gede.Kami baru bisa berangkat sekitar pukul 15.00 WIB. Saya dan Ujang jalan duluan, karena Pak Abang dan Pak Irwan masih harus mampir ke mini market membeli keperluan motor. Jalur yang akan kami lewati yaitu yang menuju Kota Bunga. Seperti yang sudah kami predikis, sebelum Istana Cipanas dan selepas Istana Cipanas, jalan sangat padat.

Saya dan Ujang memutuskan untuk berhenti dulu menunggu Pak Abang ketika sudah berbelok menuju arah Kota Bunga. Ternyata, ada pesan WA dan telepon dari Pak Abang yang mengabarkan kalau motornya bermasalah lagi dan sedang di bengkel. Letak bengkelnya masih tidak terlalu jauh dari Cianjur Kota yang otomatis sangat jauh dari posisi kami saat ini. Mini market adalah tujuan saya dan Ujang. Lokasi mini market yang kami pilih memang sedikit jauh dari pertigaan dengan jalan raya Puncak, jadi lumayanlah seenganya bisa menghemat jarak. Saya dan Ujang sudah cukup kewalahan karena badan lemas kurang tidur.

Padahal, sebelom berangkat, saya dan Ujang udah hitung-hitungan waktu, seharusnya sih satu hari juga bisa selesai kalau hanya ambil foto. Ternyata memang harus nginep karena ada janjian dengan orang desa setempat. Syukurlah kalau gitu, jadi kami bisa istirahatin badan dulu.Jam 16.00 WIB, Pak Abang dan Pak Irwan sampai, kami pun langsung tancap gas lagi. Tidak jauh dari mini market ada percabangan jalan, kami memilih yang kanan karena jalannya tidak terlalu terjal dan tidak terlalu banyak kelokan. Jalur yang kami ambil yang mengarah ke Puncak Dua. Jalan cukup ramai, sampai akhirnya lama-lama lalu lintas sepi.

Kondisi jalan cukup bagus, malah terbilang mulus. Pemandangan di sepanjang jalan pun cukup menyegarkan mata. Kalau begini sih, bisa sampai Situ Rawa Gede sebelum Magrib.Sampailah kami di objek wisata atau villa yang bernama Puncak Kana. Di sini juga saya baru tau kalau jalur/daerah yang sedang kami lewati ini namanya Puncak Dua. Selepas Puncak Kana inilah, perkiraan waktu kami meleset jauh. Jalan yang sedari tadi mulus, sekarang berubah menjadi aspal rusak. Pemandangan di sekeliling pun berubah menjadi kebun dan tebing. Semakin lama, jalan semakin menurun dan semakin jelek. Cek di Gmaps, kami masih di jalur yang ditunjukan Gmaps. Siapa sangka jalan mulusnya hanya sampai di Puncak Kana saja.

Semakin lama, jalan semakin jelek dan semakin kecil. Malahan, Gmaps mengarahkan kami ke jalan yang jauh lebih kecil, malah lebih mirip pekarangan rumah warga. Sesampai di rumah terakhir, saya pun menanyakan jalur menuju Situ Rawa Gede. Kata warga, jalannya benar, ikuti saja jalannya. Jalan yang dimaksud adalah jalan jelek menanjak ke puncak bukit. Semakin lama, jalan semakin jelek, dan berubahlah menjadi makadam. Ada beberapa persimpangan yang kami lewati. Semakin ke atas bukit semakin ragu dengan jalur yang ditunjukkan Gmaps, jangan-jangan ada jalur yang lebih mudah di antara persimpangan yang sedari tadi kami lewati.

Kami pun memutuskan untuk berhenti di tengah jalur. Mau tanya warga pun tidak ada yang lewat. Permukiman warga jauh di bawah. Saya dan Ujang memutuskan balik lagi ke persimpangan terakhir yang kami lewati untuk cek jalur. Karena sepertinya jalur di seberang kami lebih manusiawi. Belum sampai ke persimpangan terakhir, kami papasan dengan warga. Kami diberi tahu kalau jalan yang kami lewati sekarang ini sudah benar mengarah ke Situ Rawa Gede. Warga tadi pun lengkap memberi petunjuk arah simpangan-simpangan mana yang harus kami ambil nanti di atas.

Info tambahan lagi, jalan di seberang kami, yang terlihat mulus, malah kata warga jauh lebih memutar dan jauh lebih jelek jalannya. Setelah mendapat pencerahan dari warga, kami pun kembali lagi. Kami pun meneruskan perjalanan menuju puncak bukit. Jalan makadam ini tidak lama lagi akan bertemu dengan jalan aspal. Nah, jalan aspal inilah yang akan kami lewati menuju Situ Rawa Gede. Sebenernya, kami tidak salah jalur, hanya saja kami salah pilih jalur. Jalur yang kami pilih ini cocok untuk penyuka offroad dan anti jalan ramai. Karena, jalur satunya lagi yang dari awal tidak kami pilih (Jalur Ciseureuh) merupakan jalur yang lebih ramai karena medannya lebih mudah dan kondisi jalannya lebih bagus.

Tidak lama, kami sudah tiba di puncak bukit. Kali ini kami tinggal menyusuri punggungannya untuk tiba di persimpangan menuju jalan utama. Tanjakan di jalur yang kami lewati ini panjang-panjang ditambah lagi jalurnya yang berupa makadam. Sudah dapat dipastikan kalau mau lewat jalur ini memang yang sudah biasa bertemu medan yang jauh dari kata aspal mulus. Benar saja, setiba di persimpangan terkahir, kami bertemu dengan jalan yang cukup lebar, dengan kondisi yang jauh lebih baik. Meskipun perkerasannya bukan aspal mulus, tapi setidaknya rata. Kami hanya tinggal mengikuti jalan ini sampai tiba di Curug Arca.

Curug Arca sudah masuk wilayah Kecamatan Sukamakmur, jadi dapat dipastikan kami tidak akan salah jalan lagi. Ternyata jalan yang kami lewati saat ini menyusuri punggungan perbukitan. Sekeliling kami hanya ada jejeran perbukitan dan lembah-lembah yang mulai tertutp kabut. Saya sendiri sudah tidak tahu lagi posisi kami saat ini ada di mana. Sinyal yang sulit, membuat saya tidak bisa sesuka hati melihat Gmaps karena bisa-bisa jalur yang sudah kami trek hilang. Saya pun terpaksa mengurungkan niat untuk mengambil beberapa foto karena sudah semakin mendekati Magrib dan tidak tahu seberapa jauh lagi Situ Rawa Gede Tujuan kami.

Kondisi jalan cukup mulus, tapi cukup banyak pasir di sepanjang jalur, sehingga harus berhati-hati agar tidak tergelincir. Jalur kami pun semakin menyempit dan berakhir di sebuah jembatan kayu. Di sisi kiri kami kini sudah berubah menjadi tebing batu dan sisi kanan kami sudah mulai tertutup kebun. Selepas jembatan kayu ini, jalan menjadi lebih sempit dengan perkerasan aspal mulus. Tidak jauh dari jembatan ini terdapat Curug Arca. Kami pun berhenti sejenak untuk mengambil dokumentasi Curug Arca. Sayangnya, saat ini Curug Arca ditutup permanen karena masalah sengketa pengelolaan. Curug Arca pun masih dikenal cukup mistis dan masih jarang dikunjungi ketika masih dibuka.

Pak Irwan kembali menelepon Pa Agus, yang sudah menunggu kami di Situ Rawa Gede. Tidak lama-lama, kami pun kembali meluncur. Ujung jalan yang kami lewati bercabang lagi. Untuk menuju Rawa Gede, jalur yang diambil adalah yang arah kiri. Sedangkan yang arah kanan bisa mengarah ke Jonggol. Setelah berbelok, barulah kami tiba di kawasan wisata. Objek pertama yang kami lewati adalah persimpangan menuju Curug Cisarua. Jalannya menanjak dan makadam. Kedua adalah area Curug Cipamingkis. Area ini merupakan area untuk villa, kolam renang, outbond lalu area air terjunnya tentunya.

Berikutnya adalah Villa Khayangan yang menyambung dengan Nirvana Valley Resort. Setelah itu, barulah terdapat percabangan jalan lagi. Cabang ke kiri menuju area objek wisata Curug Ciherang. Percabangan ke kanan menuju jalur tembusan dari Bogor dan Jonggol. Di percabangan arah kiri inilah terdapat jalur ke Situ Rawa Gede. Sampai di depan area wisata Curug Cipamingkis, motor kami masih beriringan, tapi, sempat saya lihat Pak Abang dan Pak Irwan berhenti. Mungkin mau ambil foto. Saya dan Ujang tidak ikut berhenti, karena kalau kami jalan terus pun nanti juga bakalan kesusul.

Setelah belok ke arah kanan, jalan akan langung menurun terus. Kondisi jalan masih aspal bagus. Sedang asik-asiknya turun, tiba-tiba kami melihat papan penunjuk arah ke Situ Rawa Gede. Posisinya tidak jauh dari persimpangan Curug Ciherang. Jalan masuknya cukup kecil, hanya cukup dua mobil papasan. Kanan-kiri jalan masuk merupakan kios-kios yang saat itu sudah tutup. Kami pun putar arah dan langsung masuk ke jalan kecil tersebut. Jalannya cukup baik, meskipun kecil dan di kanan-kiri jalan lebih banyak ladang dibandingkan permukiman warga. Di dalam jalur tersebut, banyak persimpangan. Untungnya, di setiap persimpangan sudah terdapat petunjuk arah menuju Situ Rawa Gede. Jarak dari persimpangan di jalan utama desa hingga lokasi Situ Rawa Gede ternyata cukup jauh.

Tepat sebelum Adzan Magrib berkumandang, saya dan Ujang sampai di Rawa Gede. Suasana sudah sangat sepi. Hanya ada motor saya dan tiga motor milik pengunjung lainnya. Are parkir Situ Rawa Gede sangat luas, tapi, sekeliling area Situ Rawa Gede masih berupa lapang kosong, jadi suasana di sekeliling cukup gelap. Hanya terdapat satu kedai kopi, satu buah saung (mirip musola tidak terpakai) dan bangunan seperti homestay di sisi kiri agak jauh dari area parkir. Saya pun sedikit mengabadikan suasana sekitar dengan sisa cahaya matahari terakhir hari itu.

Tidak lama, ketiga pengunjung lain pun bersiap untuk pulang. Pak Abang dan Pak Irwan belum juga sampai. Kami sempat mengira tiga pengunjung ini adalah orang-orang yang janjian dengan Pak Irwan, ternyata bukan. Berhubung saya dan Ujang juga tidak tahu mana Pak Agus yang janjian dengan Pak Irwan, kami pun hanya duduk menunggu di gapura tiket. Setelah ketiga pengunjung tadi pulang, Saya dan Ujang mulai heran, kenapa dua rekan kami ga datang juga, padahal dengan CC motor dan kondisi jalan yang baik, harusnya sudah sampai. Saya mengajak Ujang untuk kembali ke area Curug Cipamingkis.

Hal ini karena ada beberapa pertimbangan. Pertama, di area Situ Rawa Gede sama sekali tidak ada sinyal, bahkan untuk menelepon. Kedua, ketika kami di Curug Arca, Pak Irwan sempat menghubungi Pak Agus, yang pada saat itu katanya menunggu di Rawa Gede. Dengan kondisi blank spot seperti ini, jangan-jangan Pak Agus menunggu di tempat lain. Kedua, jika kedai kopi tutup, maka benar-benar hanya saya dan Ujang di lokasi tersebut, jadi lebih baik putar balik. Kami pun segera putar balik tancap gas menuju arah Curug Cipamingkis. Lokasi tersebut memang memungkinkan untuk tempat janjian, karena ada beberapa warung makan. Kami pun bertanya ke beberapa warga yang sedang ngopi di warung-warung sepanjang jalan di area Curug Cipamingkis. Nihil.

Berikutnya, kami bertanya pada penjaga tiket masuk ke Curug Cipamingkis, nihil juga. Menurut bapak penjaga, tidak ada yang masuk ke area wisata. Kami pun mencari lagi ke arah kami datang, siapa tau ada tempat lain yang mungkin bisa dikunjungi. Kami hampir sampai di persimpangan menuju Curug Arca. Rasanya tidak mungkin kalau sampai sejauh ini. Belum puas, kami pun kembali bertanya pada warga yang sedang ngopi di warung kopi lain. Masih nihil. Kami pun memutuskan untuk masuk ke area wisata Curug Cipamingkis. Siapa tau ketemuannya di warung-warung di dalam area wisata Curug Cipamingkis.

Setelah tanya-tanya dengan penjaga villa dan penjaga loket, hasilnya pun masih nihil. Saya heran juga, dengan kondisi jalan dan area wisata yang sepi (karena bukan akhir pekan), seharusnya keberadaan dua motor yang cukup mencolok itu bisa terlihat oleh warga, apalagi dua rekan kami sempat berhenti sebentar untuk mengambil foto di depan area wisata Curug Cipamingkis. Tinggal satu lokasi tersisa, yaitu area Curug Ciherang, tapi rasanya tidak mungkin. Di sinilah baru terpikirkan jangan-jangan nyasar atau ada dua jalur menuju Situ Rawa Gede. Kami pun segera keluar dari area Curug Cipamingkis dan langsung menuju persimpangan Rawa Gede.

Di persimpangan terdpat pos ronda dan kebetulan ada dua warga sedang mengobrol. Kami pun menanyakan apakah mereka melihat dua motor besar warna putih dan abu melintas. Sayangnya, dua warga yang kami tanya pun tidak tahu. Tiba-tiba pemuda yang sedang membuat api unggun di belakang pos ronda bilang, dia sempat lihat motor besar warna putih lewat sekitar Magrib. Akhirnya.

Ciri-ciri motor yang disebutkan cocok dengan motor Pak Abang. Anehnya, motor Pak Abang melaju terus mengikuti jalan desa. Ternyata, setelah dikonfirmasi, memang ada dua jalur masuk menuju Situ Rawa Gede, tapi jalur yang satu cukup jauh jaraknya dari lokasi kami saat ini. Kami disarankan untuk mengejar dan mencegat rekan kami di jalur lama. Jalur masuknya ada di persimpangan di bawah kami. Setelah petunjuk lokasi persimpangan sudah kami pahami, kami pun diberi informasi, kalau di daerah ini sinyal hanya bagus di sekitaran kantor desa. Kami pun pamit dan segera menuju kantor desa terlebih dahulu untuk mengecek hp.

Benar dugaan Ujang, kalau dua rekan kami tidak tahu jalan menuju Situ Rawa Gede yang kami lewati, malahan, menurut Ujang, jalur satunya pun (jalur Kebon Nanas) belum tentu tahu. Kami pun tancap gas. Untungnya jalannya sepi, namun kondisinya semakin ke bawah semakin rusak. Lubang dan turunan panjang menikung kami libas demi tiba secepatnya di kantor desa. Namun, ada yang mengganjal, warga tadi bilang, kantor desa yang kami tuju adalah kantor Desa Wargajaya. Bukannya kami harusnya berada di Desa Sirnajaya? Ah, beginilah kalau kurang cek informasi dan mempelajari lokasi sekitar dari Google Maps sebelum berangkat.

Begitu ada pesan WA masuk ke hp, saya pun segera membukanya. Benar saja, Pa Abang menanyakan posisi saya di mana, kira-kira pas Magrib. Tidak pakai lama, saya meminta Ujang untuk menepi, karena saya akan menelepon Pak Abang. Semoga saja Pak Abang masih di lokasi yang ada sinyalnya. Telepon nyambung tapi tidak diangkat. Akhirnya, setelah beberapa kali berhenti untuk cek sinyal, cek wa, dan masih mencoba menelepon, kami pun tancap gas ke kantor Desa Wargajaya. Siapa sangka, jarak kantor desa dengan persimpangan menuju Rawa Gede cukup jauh. Jalannya pun menurun terus dengan medan yang cukup terjal, ditambah jalanan yang gelap dan lubang-lubang dalam di sepanjang jalur.

Kami tiba di kantor Desa Wargajaya sekitar pukul 19.00 WIB. Nihil. Hanya ada beberapa warga yang sedang mencari sinyal juga. Segera saya hubungi Pak Abang lagi. Kali ini telepon tidak tersambung, menandakan Pak Abang sedang berada di lokasi yang tidak bersinyal. Ujang mendapatkan informasi dari warga bahwa memang benar ada jalan masuk lain menuju Situ Rawa Gede. Kalau memang dua rekan kami babalas sampai bawah, kemungkinan nanti jika bertanya jalur, oleh warga di bawah akan diarahkan menuju jalur Kebon Nanas.

Sekitar 10-15 menit kami menunggu sambil istirahat sejenak, barulah ada WA masuk dari Pak Abang yang mengabarkan bahwa sudah sampai di Rawa Gede. Kami pun pamit dan balik arah lagi menuju Situ Rawa Gede. Karena sudah tahu posisi kedua rekan kami, jalur yang kami pilih pun tidak lagi yang tembus ke jalur Kebon Nanas melainkan jalur yang tadi Magrib kami lewati. Warga yang kami tanyai terakhir sudah tidak ada. Kami pun tiba di Situ Rawa Gede sekitar pukul 19.30 WIB.

Ternyata, Pak Agus dan warga desa yang janjian dengan Pak Abang, sedari sore sudah ada di kedai kopi di area Situ Rawa Gede. Ketika tadi Magrib kami sampai pun sebenarnya Pak Agus dan yang lainnya ada di dalam Kedai Kopi Situ Rawa Gede. Yah, emang harus sedikit penyegaran otak dulu sih berhubung kondisi fisik dan mata saya dan Ujang udah ga bisa diajak kompromi. Mie kuah dan kopi segera saya pesan karena perut sudah mulai perih. Ujang memesan kopi hitam. Area Situ Rawa Gede memang blank spot, tetapi pengunjung bisa membeli voucher untuk wifi ke Pak Agus selaku BUMDES Rawa Gede yang juga ikut mengembankan area Situ Rawa Gede.

Tanpa pikir panjang, saya pun meminta untuk didaftarkan agar bisa menggunakan wifi. Obrolan mengenai rencana pengembangan Situ Rawa Gede pun masih terus berlanjut. Info-info mengenai lokasi objek wisata air terjun di sekitaran Situ Rawa Gede lengkap dengan foto objek dan medan trekking serta estimasi waktu trekking pun kami dapatkan. Dari sekian banyak air terjun, saya paling tertarik dengan Curug Cibeureum. Maka, sudah dapat dipastikan besok Curug Cibeureum akan masuk list. Berhubung jalur trekking menuju Curug Cibeureum sejalur dengan Curug Cidulang, maka Curug Cidulang pun masuk list untuk besok.

Pukul 22.00 WIB, mata dan badan sudah semakin tidak bisa diajak kompromi, akhirnya saya dan Ujang dipersilahkan untuk istirahat. Kami sudah disediakan dua bungalow yang ada di sisi Timur kedai kopi. Berhubung saya hanya perempuan sendiri, jadi saya mendapatkan satu bungalow/homestay sendiri. Homestay yang saya tempati berada di sisi paling Timur dan berbatasan dengan tanah kosong cukup luas, sedangkan yang ditempati para bapak-bapak bersebalahan dengan homestay saya dan area parkir Situ Rawa Gede. Secara teknis, homestay para bapak-bapak lebih dekat dengan kedai kopi.

Homestay berkonsep rumah panggung dengan lantai kayu dan dinding dari anyaman bambu. Penyangganya pun menggunakan bambu-bambu kokoh yang diikat dengan serat seperti ijuk. Atapnya pun dari serabut/ijuk. Benar-benar khas rumah tradisonal dengan material yang modern tentunya. Satu-satunya bangunan yang menggunakan batu bata/dinding tembok adalah kamar mandi. Atap kamar mandi menyatu dengan atap homestay, jadi tidak sepenuhnya tertutup. Homestay masih terbilang sangat baru dan belum dipasarkan untuk umum, jadi masih ada bagian yang belum dibenahi, salah satunya adalah tidak adanya tirai/gorden di setiap jendela.

Jika lampu menyala, seisi homestay dapat terlihat dengan jelas dari luar. Untungnya posisi kamar mandi cukup bagus sehingga tidak langsung menghadap ke arah jendela luar. Seprai dan kasur tambahan pun masih dibungkus dengan rapi dalam plastik. Seprai pun masih kaku, tanda masih sangat baru. Sebenarnya, aga takut juga sendiri di homestay yang tidak sepenuhnya tertutup begini, apalagi tepat di depan homestay kami adalah bagian dari danau yang paling bala. Ilalang setinggi atap homestay menghalangi homestay dengan sisi seberang danau. Ditambah, area tanah kosong di sebelah homestay yang saya tempati. Takut tiba-tiba kalau malam ada binatang yang masuk.

Sempat terpikirkan untuk tukeran homestay agar posisi saya lebih dekat dengan kedai kopi dan area parkir yang lebih bersih, tapi karena sudah dirapihkan dan warga yang merapihkannya sudah kembali ke kedai kopi, jadi, apa boleh buat. Saya menyarankan Ujang untuk minta didaftarkan juga wifi nya, jadi kalau nanti ada apa-apa saya bisa gampang menghubungi Ujang. Setelah urusan sinyal dan homestay beres, saatnya istirahat.

Sebelum istirahat, saya bebersih dulu. Cuci tangan, cuci muka, ganti semua baju dan tidak lupa solat dulu. Udara dingin tetap menusuk karena kisi-kisi jendela yang cukup lebar tidak tertutup. Saya pun tidur menggunakan jaket dan selimut. Itupun dinginnya masih terasa menusuk. Mungkin sekitar jam 23.00 WIB saya ketiduran, tapi tidak lama, sekitar pukul 23.30 atau menjelang tengah malam, Pak Abang dan yang lainnya datang ke homestay. Rupanya baru selesai ngobrol. Suasan di luar menjadi ramai oleh orang dan motor yang diparkirkan.


About Dya Iganov

Penyuka traveling, tidak hanya mendaki gunung, tapi juga touring, rafting, explore, city tour, kemping ceria, susur pantai, dll