Kami berhenti sembari menunggu pick up yang sedang menanjak. Dari arah berlawan juga ada pick up yang sedang turun tapi berhenti di tengah turunan. Dengan jalan yang tetap makadam licin, tentunya suami sudah menginstruksikan saya untuk siap-siap turun dari motor. Kalau-kalau nanti ga kuat nanjak. Oke, siap, sudah biasa.
Setelah pick up menanjak, kami pun langsung tancap gas. Saya kira, setelah pick up hilang dari pandangan kami, tanjakan habis, ternyata belum. Jalan masih tetap menanjak. Motor yang sebelumnya sudah lolos di tanjakan pun kembali harus dipacu. Sedikit was-was karena tenaga motor sudah mengkhawatirkan. Ternyata sampai juga kami di ujung tanjakan. Saya pun lolos ga perlu turun dari motor dan jalan kaki karena motor ga kuat nanjak seperti biasanya.
Patokan berikutnya di jalur ini berada tepat di ujung tanjakan. Patokannya yaitu Kantor Desa Girijaya. Kami pun terus jalan hingga area permukiman mulai merenggang. Di depan kami ada pick up sayuran.
Setidaknya, kalau ada pick up, kami bisa ikutin jalan yang relatif lebih mudah. Berhubung jalur kami sudah mendekati Pasar Cimaskara, jadi, setidaknya kalau bertemu persimpangan tidak perlu bingung. Tujuan pick up 80% adalah Pasar Cimaskara.
Jalan di depan kami sedikit menikung ke kiri, tetapi ada percabangan jalan ke arah kanan. Jalur ke arah kanan merupakan jalur pintas tembusan ke Desa Pasirjambu, Kecamatan Tanggeung. Jalur kanan inilah yang tadinya akan kami ambil untuk menuju danau yang berada di Kecamatan Tanggeung sehabis kami mengunjungi danau yang di Pasirkuda.
Pick up pun ternyata berhenti di permukiman di depan kami. Tapi, di depan kami ada lagi pick up pengangkut pupuk. Setidaknya, pasti kali ini mengarah ke Pasar Cimaskara. Melihat kondisi jalur seperti ini, rasanya saya cukupkan saja ke satu danau. Begitu sampai di danau pertama bakalan langsung saya arahkan ke arah pulang. Biarlah danau yang satunya bisa di lain waktu.
Kondisi jalan masih makadam tapi sudah lebih kering dibanding jalur sebelumnya. Tanjakan dan turunan pun sudah tidak banyak yang curam seperti sebelumnya. Hanya ada satu tanjakan yang sukses bikin pick up di depan kami menyerah. Ban pick up slip ketika menanjak. Kami pun dipersilahkan untuk menyusul duluan. Setelah menyalip pick up, ternyata jarak kami dengan Pasar Cimaskara sudah dekat. Hanya tinggal menuruni bukit.
Ujung jalan yang sedang kami lewati ternyata bercabang dua. Satu cabang ke arah kanan dan menanjak. Satu cabang lagi ke arah kiri dan sedikit menurun. Gmaps mengarahkan ke jalan yang kiri. Saya pun sudah malas melihat jalan tembusan dari percabangan jalan yang kanan. Rasanya sudah pengen cepat sampai ke Pasar Cimaskara.
Ada apa di Pasar Cimaskara? Sebenernya tidak ada apa-apa sih. Hanya saja, biasanya yang namanya pasar, jalannya sedikit lebih bagus dan jarak dari pasar ke lokasi tujuan sudah sangat dekat. Setidaknya, kami bisa istirahat sejenak, kalau-kalau kondisi jalan setelah pasar sama atau lebih buruk dari jalur yang sedari tadi kami lewati.
Sebelum mencapai pasar, jalan menikung ke kiri dan kami langsung disuguhi turunan curam dan panjang. Ujung turunan ini adalah Pasar Cimaskara. Akhirnyaaa
Di tengah-tengah turunan, jalan pun berubah menjadi jalan beton. Begitu pun jalan di bawah sana. Beton mulus terhampar luas. Di ujung turunan, kami harus berbelok cukup patah ke arah kanan. Di depan turunan, ada jalan tanah yang pinggirannya sedikit berlumut. Jalan tersebut merupakan jalur yang ditunjukan oleh Gmaps ketika pertama saya mencari jalur dari Curug Citambur ke danau yang akan kami datangi.
Kami segera melipir di warung penjual minuman sekaligus Pertamini. Kami hanya numpang duduk bersitirahat dan mengatur ulang rute kami. Meskipun jalan beton terpampang di depan kami, tapi kami tidak merasa senang. Karena, takutnya seperti yang sebelum-sebelumnya, jalan beton hanya sampai batas akhir permukiman. Atau hanya ketika ada tanjakan/turunan yang cukup curam.
Jalan beton di depan kami ini hanya sampai di Pasar Cimaskara. Bahkan, jalan yang tepat ada di depan area kios-kios pedagang hanya aspal desa. Setelah pasar akan ditemui Kantor Desa Cimaskara. Setelah Kantor Desa Cimaskara, jalan akan kembali bertemu hutan pinus. Jika diteruskan, jalur ini pun akan bertemu jalur Babakan Sirna dan tembus di Rawa Getok.
Jam 11.00 WIB kami lanjutkan kembali perjalanan menuju danau. Patokan kami berikutnya adalah SDN Cimaskara (-7.274084, 107.188312). Kami harus melewati jalan di sebelah kanan SD. Sementara jalur yang di kiri SD merupakan jalur yang saya lewati lima tahun lalu ke Desa Cisaranten.
Sampai lewat SDN Cimaskara, kondisi jalan masih beton. Sedikit senang dan lebih banyak harap-harap cemas sebetulnya. Sampailah kami di SMPN 7 Cibinong (-7.281015, 107.184986). Jalan masih beton halus.
Dan tidak terasa, sampailah kami di patokan terakhir menuju jalan masuk menuju danau. Patokannya adalah sebuah rumah. Tepatnya satu-satunya rumah di samping jalan setapak menuju danau (-7.278758, 107.174922). Sampai di rumah ini, kondisi jalan masih beton.
Kami pun memutuskan untuk menitipkan motor di rumah ini. Kondisi jalan menuju danau adalah single track tanah merah. Daripada susah-susah, lebih baik motor dititipkan saja. Toh, jalan kaki juga tidak terlalu jauh dan medannya sangat mudah.
Saya pun mengetok pintu rumahnya. Lama tidak ada jawaban. Padahal sebelumnya, saya melihat pemilik rumah mengintip dari jendela depan. Ketika itu, saya sedang koordinasi dengan suami yang mengecek jalan setapak. Setelah dicek dan diputuskan untuk menitipkan motor, saya pun kembali mengetuk pintu rumah tersebut.
Setelah lama, akhirya pintu rumah dibukakan. Ibu pemilik rumah ternyata sedang bersiap-siap untuk Solat. Saya pun baru sadar kalau sudah jam 11.20 WIB, hampir mendekati waktu Dzuhur. Setelah izin dan mengatakan maksud kami, ibu tadi pun mempersilahkan kami memarkirkan motor di halaman rumahnya. Sekaligus kami pun menitipkan helm. Tidak lupa saya pun menanyakan nama danau yang ada di belakang rumah ibu ini.
Menurut ibu pemilik rumah, danau yang kami cari ini namanya Talaga Biru dan merupakan danau alami. Setelah selesai beres-beres, kami pun pamit menuju danau.
Jalan setapak menuju danau memang licin. Beberapa titik jalurnya ‘keramik’. Medannya sebenarnya sedikit menurun, hanya saja landai, jadi tidak terlalu terasa. Tidak lama, kami pun akhirnya sampai di danau yang kami cari.
Talaga Biru yang kali ini airnya sedang berwarna hijau lumut. Kami pun segera mencari spot untuk menyimpan tas dan memasang hammock. Hanya ada kami berdua serta empat atau lima orang warga yang sedang memancing. Kebetulan di dekat tempat kami ada seorang warga yang sedang memindahkan keramba.
Saya pun iseng menanyakan nama tempat ini. Siapa tau ada jawaban lain. Ternyata warga yang saya tanya hanya tau lokasi ini dengan sebutan ‘Talaga’. Ketika saya tanya namanya talaga apa, warga tersebut tidak tahu. Okelah, sementara kita simpan saja informasi nama danau ini dari ibu pemilik rumah.
Meskipun kami tiba di danau tepat jam 12.00 WIB, tapi terik mataharinya tidak terlalu menyengat. Bahkan, pencahayaannya pun masih cukup baik. Tidak terlalu terang seperti ketika mengambil foto tengah hari.
Sekeliling danau merupakan kebun dan hutan. Masih banyak terdapat pohon kayu yang sudah tua. Hutannya pun masih cukup lebat. Sisi danau sudah hampir semuanya dibeton.
Kemungkinan fungsinya sebagai area tangkapan air untuk sumber air warga dan kebun. Sebenarnya jika kemarau, motor pun bisa sampai ke pinggir danau. Hampir semua warga yang sedang memancing, motornya disimpan di pinggir danau.
Saya pun berkeliling sampai ujung danau. Jika diteruskan sampai ke seberangnya, jalannya masih setapak dan sangat tertutup semak-semak. Meskipun warga yang sedang memancing adanya di seberang. Tapi, rasanya cukup dulu dari sisi Baratnya saja.
Berhubung dari tadi sudah menahan lapar, setelah mengambil sedikit foto, sayapun memutuskan untuk makan siang dulu. Bekal Bakmi Ayam Original dan Pecel Batagor jadi menu siang ini.
Perut kenyang, ngantuk pun datang. Kami yang memang kurang tidur semalaman ditambah angin sepoi-sepoi dan udara yang sejuk menjadikan rasa kantuk ini semakin menjadi. Kami pun naik ke hammock masing-masing. Tidak butuh waktu lama untuk kami terlelap. Kami berencana sampai jam 14.00 WIB di danau ini agar tidak kesorean di jalur keluar. Danau satunya, biarlah kalau tidak keburu bisa di lain waktu.
Baru sebentar terlelap, saya pun terbangun karena hawa dingin. Ternyata, angin sepoi-sepoi tadi sudah berubah menjadi angin yang cukup kencang. Langit pun sudah berubah warna dari biru terang menjadi putih. Wah, anginnya bawa awan hujan dan mengarah ke danau.
Angin bertiup dari arah Timur dan Tenggara danau. Motor warga yang memancing pun sebagian sudah tidak ada. Hanya sisa tiga orang warga yang memancing dan satu orang warga yang sedang mencari rumput.
Karena belum jam 14.00 WIB dan suami pun masih tidur pulas, jadi saya putuskan untuk santai-santai di hammock saja. Rencananya tadi saya mau keliling lagi untuk ambil foto. Apa daya, suasanya benar-benar bikin mager.
Jam 14.00 WIB saya pun membangunkan suami saya untuk bersiap-siap pulang. Belum juga kami beres-beres, gerimis pun turun. Jadilah kami pasang fly sheet dulu sembari merapihkan hammock dan peralatan makan. Makin lama, hujan semakin deras, disusul dengan kabut tebal yang turun. Warga yang memancing di seberang pun sudah tidak terlihat lagi karena tertutup kabut.
Kalau sampai jam 15.00 WIB hujan belum reda juga, kami memutuskan untuk tetap naik menggunakan fly sheet sebagai penutup kepala. Setidaknya, kami bisa menumpang ganti baju dan berteduh dulu di rumah ibu tadi dibandingkan kedinginan di pinggir danau.
Tepat pukul 15.00 WIB, hujan mereda dan kemudian berhenti. Tepat sesuai rencana. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, termasuk sampah botol dan plastik bekas kami makan, kami pun kembali ke rumah warga.
Kabut tebal masih belum menghilang. Sudah cukup lama rasanya tidak berada di area yang berkabut tebal seperti ini. Rasanya malas pulang. Ditambah lagi kami masih belum tahu bagaimana kondisi jalan pulang nanti.
Satu-satunya rute teraman adalah mengambil rute menuju jalur utama Cianjur – Sindangbarang. Setelah saya cek di Gmaps, ternyata jalur tembusan dari jalan Pasar Cimaskara adalah pertigaan sebelum Polsek Cibinong. Tepatnya pas sebelum sebuah minimarket. Jarak dari danau hingga ke persimpangan jalan raya utama kurang lebih 11,7 Km.
Ketika kami sampai di rumah warga, sudah ada bapak pemilik rumah. Saya pun memastikan lagi jalur yang akan kami lewati. Siang tadi, ibu sudah bilang kalau jalannya akan terus beton mulus sampai di Angkola. Berhubung saya cari-cari nama daerah Angkola dan tidak ketemu, saya jadi ragu, apa benar jalan ini beton mulus sampai jalan raya utama? (Nama daerah Angkola baru saya temukan ketika sedang bikin tulisan ini).
Saya pun pakai patokan lain yang lebih jelas, yaitu Polsek Cibinong. Menurut bapak, benar, jalan ini sudah dibeton mulus sampai ke Polsek Cibinong. Setelah klop antara info dari warga dan patokan saya, saya pun bisa sedikit tenang. Menurut hitungan bapak, dari rumah bapak sampai ke persimpangan jalan raya utama hanya butuh dua puluh menit saja.
Setelah beres, kami pun pamitan. Kondisi cuaca masih berangin dan kabut masih tebal. Bener-bener bikin mager dan syahdu. Saatnya pembuktian, apakah benar jalannya sudah beton mulus sampai jalan raya utama atau hanya sampai titik tertentu saja seperti jalur sebelumnya.
Sedikit optimis sih, karena sedari siang banyak truk kayu dan truk logistik ukuran cukup besar seliweran di depan rumah dari arah bawah. Siang tadi saya sempat tanya sama ibu ke mana tujuan dari truk-truk ini. Menurut ibu, tujuannya adalah pabrik kayu di dekat Pasar Cimaskara (yang saya ga liat sewaktu datang tadi, mungkin terlewat).
Setelah rumah bapak warga tadi, masih ada satu-dua rumah selebihnya hanya kebun-kebun. Posisi jalan kami dan rumah bapak berada di ketinggian kontur 700 mdpl dan terletak tepat di ujung tebing. Cukup tinggi dan tepat di sisi kanan kami adalah puncakan bukit di ketinggian kontur 800 mdpl. Pantas saja kabutnya tebal dan lama hilangnya.
Setelah melewati permukiman terakhir, kondisi jalan masih beton mulus. Tanjakan dan turunan di jalur ini lumayan panjang tapi tidak terlalu curam. Setelah melewati hutan-hutan (dengan jalan yang masih beton mulus), kami bertemu permukiman warga lagi. Permukiman ini berada di Kampung Dago, Desa Sukamekar, Kecamatan Cibnong. Persis seperti patok penunjuk jarak yang sedari tadi saya lihat. Patok jalan tersebut menunjukan arah suatu daerah bernama ‘Dago’ dengan jarak tiga kilometer.
Setelah rumah terakhir di Kampung Dago, jalan kembai memasuki hutan pinus dan kebun-kebun warga. Jika melihat di maps, jalur hutan ini cukup panjang dan tidak akan menemui permukiman hingga tiba di Kampung Angkola. Kampung Angkola merupakan ujung jalur dan berbatasan langsung dengan jalan raya utama.
Memasuki jalur hutan pinus, jalan masih tetap beton. Sepertinya benar apa yang dibilang bapak tadi kalau jalurnya sudah beton mulus sampai jalan raya utama. Jalur setelah Kampugn Dago didominasi oleh hutan pinus dan kebun pisang di kanan-kirinya. Pemandangan di jalur ini cukup terbuka. Jika cerah mungkin saja garis pantai Selatan Cianjur bisa terlihat. Begitu juga pemandangan perbukitan dan tebing-tebing perbukitan di sisi Utara.
Benar saja, dua puluh menit kemudian kami sampai di persimpangan dengan jalan raya utama. Kalau tau begini, dari awal kita ambil jalur Cibonong, mungkin menjelang Magrib gini sudah bisa sampai kembali di Ciwidey. Pertigaan ini tidak asing. Berkali-kali lewat jalur Tanggeng – Sindangbarang selalu penasaran dengan jalur tembusan dari Cibonong ke Rancabali.
Bila dari arah Tanggeung, akan ada papan penunjuk arah yang menginfokan arah kiri adalah Cimaskara dan Rancabali. Sedangkan arah lurus adalah Sindangbarang. Setidaknya, dengan salah ambil jalur begini, rasa penasaran saya secara tidak sengaja terbayarkan.
Kami berhenti sebentar untuk istirahat di SPBU Tanggeung sambil merencakan akan lewat jalur mana untuk pulang. Melihat kondisi cuaca yang sepertinya hujan di arah Utara dan Timur, kami pun memutuskan untuk ambil jalur Cianjur saja. Kalau dari SPBU Tanggeung setidaknya jalannya sudah full aspal dan melewati daerah yang ramai. Kalau lewat Citambur, sudah pasti kemaleman di jalur kebun teh Sinumbra dan juga daerahnya sepi. Sekitar jam 17.30 WIB kami jalan kembali ke arah Tanggeung.
Perjalanan sangat lancar, sampai akhirnya pukul 18.00 WIB kami sampai di Pasar Sukanagara. Kurang lengkap rasanya kalau lewat Sukanagara ga mampir beli Nasi Goreng di Pasar Sukanagara. Entah sudah berapa kali lewat jalur ini pasti mampir beli Nasgor. Kebeneran juga udah masuk jam makan malam.
Cuaca cukup bersahabat. Sedari SPBU Tanggeung memang sudah gerimis, mungkin sisa hujan dari arah Utara. Menurut bapak-bapak yang kami tanya di SPBU Tanggeung, katanya sedari Campaka sampai Pagelaran hujan deras. Untungnya ketika kami lewat, hujannya sudah berhenti. Hanya sisa jalan becek dan kabut tebal yang mulai turun.
Pasar Sukanagara pun tidak luput dari hujan. Jalanan sangat becek dan udara cukup dingin. Meskipun kali ini yang jualan bukan bapak yang biasa, tapi rasa masakannya tetap enak. Mungkin yang jualan istri atau anaknya bapa. Katanya bapaknya istirahat untuk gantian jualan nanti malam.
Pukul 19.30 WIB kami lanjutkan perjalanan. Kondisi jalan masih tetap bergelombang ketika sudah memasuki Kecamatan Cibeber. Lagi-lagi jalan yang kami lewati sepertinya baru selesai diguyur hujan.
Kami tiba di Simpang Monumen Tugu Pramuka Cianjur sekitar pukul 21.00 WIB. Kalau jam segini sih, seharusnya arus lalu-lintas di jalur utama Cianjur – Bandung sudah mulai kosong. Sayangnya, ternyata memasuki Samolo, arus lalu lintas sangat ramai. Bahkan pengendara sepeda motor yang melintas seperti yang tidak punya rem. Kami pun melipir dulu di minimarket di daerah Selajambe.
Sekitar lima belas menit, kami pun mulai jalan lagi. Kali ini arus lalu lintas sudah sangat sepi. Beberapa kendaraan yang tadi melintas ketika kami berhenti di mini market tersusul kembali oleh kami.
Perjalanan kami sangat lancar. Bahkan di Citatah hingga Situ Ciburuy, kami tidak sulit untuk melewati truk-truk besar. Karena tidak terlalu banyak truk besar yang searah juga kendaraan dari arah berlawanan juga sedikit.
Kami tiba kembali di rumah sekitar pukul 23.00 WIB. Meskipun kami kecele ambil jalur, tapi setidaknya kami jadi punya informasi tambahan dan bisa update kondisi jalur di sekitaran Pasirkuda, Tanggeung dan Cibinong.
Satu danau yang belum berhasil kami kunjungi (Rawa Picung) biarlah untuk lain waktu. Kalau sudah tahu jalurnya, bisa jadi lebih cepat dan mungkin bisa sekalian mampir ke danau-danau lainnya di sekitar Pasirkuda.