TALAGA DENUH JEJAK SEJARAH YANG TERPUTUS


Situ Denuh dalam Gambaran Wilayah Kabupaten Tasikmalaya

Nama Situ (Danau) Denuh yang berada di Selatan Kabupaten Tasikmalaya mungkin masih sangat asing terdengar di telinga, tidak seperti Situ Cibeureum dan Situ Gede yang mungkin sudah akrab dan identik dengan objek tujuan wisata di Tasikmalaya. Situ Denuh merupakan danau sebuah cekungan yang cukup luas yang berada di puncak jejeran perbukitan di Selatan Kabupaten Tasikmalaya, tepatnya berbatasan dengan Kecamatan Cipatujah. Perihal terbentuknya Situ Denuh ini masih belum diketahui secara pasti, apakah terbentuk secara alami akibat letusan gunungapi, jumlah mata air yang ada, berapa sungai yang menjadi sumber aliran masuk atau sungai yang alirannya berasal dari danau ini dan sebagainya. Tidak diketahui juga tanggal pembuatan, tujuan pembuatan, hingga dokumen lainnya yang menyebutkan bahwa Situ Denuh merupakan sebuah danau buatan.

Situ Denuh secara administrasi berada di Kampung Daracana, Desa Cikuya, Kecamatan Culamega, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat dengan koordinat 7036’06.8” S 107059’16.2” E dan terletak pada ketinggian 430 maml. Kecamatan Culamega merupakan ksalah satu kecamatan yang berada di Selatan dan berbatasan langsung dengan kecamatan Cipatujah yang sudah merupakan daerah pesisir Selatan Kabupaten Tasikmalaya. Lingkungan di sekitar Situ Denuh berupa areal yang berada di tengah-tengah perbukitan terjal dengan jurang yang cukup dalam. Situ Denuh termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Culamega, tetapi ada juga yang menyebutkan sebagai bagian dari Kecamatan Bojonggambir. Posisi Situ Denuh berada pada perbatasan antara Kecamatan Bojonggambir dengan Kecamatan Culamega yang dibatasi secara alami oleh aliran Ci Patujah. Letak Situ Denuh yang hanya berjarak kurang lebih 16-20 Km dari pesisir Selatan Tasikmalaya menajdikan udara di sini sedikit lebih hangat dibandingkan dengan udara di Kecamatan Bojonggambir yang masih berupa dataran tinggi dan cukup dingin. Kondsi geografis Situ Denuh berada pada daerah perbatasan dataran tinggi dan pesisir.

Terdapat sungai yang mengalir di kaki bukit disekitar Situ Denuh yaitu Sungai Cisenggong, yang kemudian akan menyatu dengan aliran Sungai Cipalu disekitar Darawati dan akhirnya menjadi satu aliran Sungai Cipatujah yang bermuara di Pantai Cipatujah di pesisir Selatan Kabupaten Tasikmalaya. Penduduk disekitar Daracana lebih sering menyebut aliran Sungai Cisenggong sebagai aliran Sungai Cipatujah. Hulu Sungai Cisenggong berada disekitar Pasir Karang, salah satu bukit yang mengelilingi Talaga Denuh. Talaga Denuh sendiri dikelilingi oleh perbukitan lainnya, seperti Pasir Gunungputri di sebelah Barat dan Pasir Cikudakeling di sebelah Timur serta areal pesawahan Kampung Daracana dan Sungai Cisenggong di sebelah Selatan.

Aksesibilitas

Rute Menuju Situ Denuh

Perjalanan menuju Situ Denuh dari Kota Bandung akan memakan waktu selama 6 jam perjalanan dan dapat ditempuh melalui dua pilihan rute untuk menuju Kota Tasikmalaya. Rute pertama yaitu melalui Malangbong, Ciawi, Kota Tasikmalaya dan rute kedua yaitu melalui Garut, Cilawu, Salawu, dan Singaparna. Berikut uraian pilihan rute menuju Kota Tasikmalaya:

  1. Bandung-Nagreg-Malangbong-Limbangan-Ciawi-Kota Tasikmalaya
  2. Bandung-Nagreg-Cipanas-Garut-Cilawu-Salawu-Singaparna-Kota Tasikmalaya

Perjalanan dari Kota Tasikmalaya kemudian dilanjutkan dengan mengambil jalur ke arah Selatan, jalur yang sama dengan yang menuju Kecamatan Cipatujah dengan patokan pertama yaitu pertigaan Desa Darawati. Di pertigaan Darawati, ambil jalur menuju Desa Cikuya hingga patokan kedua, yaitu pertigaan Genteng. Perjalanan menuju Genteng tidak akan terlalu sulit, hanya tinggal mengikuti jalur utama dan sangat jarang ditemukan persimpangan jalan. Setibanya di Genteng, yang merupakan pangkalan ojek, ambil jalan yang berada di sebelah kiri dengan kondisi yang cukup rusak. Ikuti terus jalur tersebut hingga melewati kantor Desa Cikuya. Tidak jauh dari Kantor Desa Cikuya, tepatnya di depan SD, ambil jalan kecil yang menanjak di sebelah kiri jalan. Ikuti terus jalan yang menanjak hingga tepat di atas bukit. Jalur ini sudah masuk ke dalam wilayah Kampung Daracana. Patokan terakhir yaitu SDN Denuh, lokasi terakhir yang bisa ditempuh dengan menggunakan kendaraan bermotor. Secara keseluruhan, rute menuju Situ Denuh dari Kota Tasikmalaya dapat diuraikan sebagai berikut:

Kota Tasikmalaya – Kawalu – Urug – Sukaraja – Janggala – Singajaya – Cibalong – Parung – Eureunpalay – Cikukulu – Karangnunggal – Bantarkalong – Darawati – Culamega – Cikuya – Nangelasari – Genteng – Bojongsari – Daracana – Situ Denuh

Berdasarkan RTRW Kabupaten Tasikmalaya 2004-2014 versi revisi, seharusnya aksesibilitas menuju Situ Denuh di Kecamatan Culamega sudah bisa mengalami peningkatan, terutama dalam kondisi prasaran jalan dan juga pilihan jalur. Jalur utama menuju Kecamatan Culamega melewati Darawati termasuk ke dalam rencana peningkatan kualitas jalan Utara-Selatan yang dimulai dari Kecamatan Singaparna di Utara dan Kecamatan Cipatujah di Selatan yang juga merupakan bagian dari jalur Lingkar Pesisir Selatan Jawa Barat. Jalur lainnya yaitu melalui Kecamatan Taraju-Kecamatan Bojonggambir, dalam RTRW Kabupaten Tasikmalaya 2004-2014 versi revisi termasuk ke dalam rencana pembentukan kalur “Trans Tasikmalaya” yang dimulai dari Kecamatan Singaparna di Utara dan berakhir di Kecamatan Cipatujah di Selatan melalui Kecamatan Taraju – Kecamatan Bojonggambir – Kecamatan Pedangkamulyan – Kecamatan Culamega – Desa Cintabodas – Desa Cikuya.

Ruas jalan Tasikmalaya-Cipatujah secara keseluruhan merupakan ruas Jalan Provinsi, dan di dalamnya terdapat fungsi Jalan Kolektor Primer II yang dimulai dari Kecamatan Sukapura – Kecamatan Cibalong – Kecamatan Bantarkalong – Kecamatan Cipatujah. Sedangkan yang sesuai dengan rute jalur menuju Situ Denuh melalui Darawati, memiliki wewenang Jalan Kabupaten dengan fungsi Kolektor Sekunder sepanjang Desa Darawati – Kecamatan Culamega. Ruas jalan Genteng hingga Daracana memiliki wewenang sebagai Jalan Desa dengan fungsi Kolektor Primer III. Ruas jalan Darawati hingga Daracana sudah mengalami peningkatan kualitas jalan. Pada awal tahun 2014, sudah dilakukan pengaspalan jalan yang dimulai dari Darawati hingga ke Simpang Genteng dan perbaikan dan perubahan perkerasan kualitas jalan sepanjang Desa Cikuya hingga Kampung Daracana.

Deskripsi Perjalanan

Jalur ini melwati ruas jalan Provinsi yang secara keseluruhan kondisinya cukup baik, hanya akan ditemui beberpa ruas jalan yang masih dalam tahap perbaikan karena berlubang, seperti yang terdapat di Kecamatan Sukapura, Kecamatan Cibalong, dan Kecamatan Singajaya. Untuk menuju Kecamatan Culamega, ikuti jalan yang melewati Urug, Karangnunggal, objek wisata Pamijahan, Bantarkalong, hingga tiba di persimpangan Darawati. Sudah terdapat papan penunjuk jalan dan ada pos ojek Darawati sebagai patokan. Dari persimpangan Darawati akan diperukan waktu kurang lebih 30-50 menit untuk tiba di Daracana, desa terakhir sebelum perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Kondisi jalan dari Darawati hingga Desa Cikuya kondisinya sudah sangat baik dengan klasifikasi jalan Kabupaten. Jalur Darawati-Nangelasari-Genteng-Cikuya ini akan melewati permukiman penduduk dan areal perkebunan karet tepat sebelum memasuki Desa Genteng di Kecamatan Culamega. Apabila melintas di jalur ini dari pagi hingga sore hari, lalu lintas akan didominasi oleh sepeda motor, Elf, dan beberapa kendaraan pribadi, tetapi sore menjelang malam, lalu lintas akan didominasi oleh truk angkutan barang, yang kebanyakan mengangkut kayu hasil perkebunan. Apabila kesulitan mencari jalur pada peta, sebaiknya bertanya kepada warga setiap menemukan persimpangan jalan. Kebanyakan warga disekitar sudah mengetahui Situ denuh sehingga tidak akan sulit untuk meminta arahan jalan.

Memasuki Desa Bojongsari, kondisi jalan kembali tidak terlalu baik, dengan lubang disana-sini serta lapisan atas aspal yang sudah menghilang akan terus dilewati hingga persimpangan Kp. Daracana-Desa Bojongsari, bahkan akan ditemui dua titik jembatan yang amblas dan digantikan dengan batang pohon seadanya. Sepanjang jalur Desa Bojongsari ini padat dengan permukian penduduk, pertama-tama jalan akan menurun hingga menyebrang sebuah aliran sungai yang cukup besar didasar bukit dan kemudian jalan akan kembali datar dan menanjak meskipun tidak terlalu curam. Tidak peru khawatir tersesat, karena jalan yang ada hanya 1 dan sebagian besar warga sudah cukup mengenal Situ denuh. Di ruas jalan ini juga cukup banyak truk yang melintas mengangkut hasil kayu ketika menjelang sore hari. Sore hari, truk akan melakukan bongkar muat kayu dan kemudian sebagian besar akan berangkat ketika sudah mulai gelap. Perjalanan malam dilakukan agar tidak menghambat lalu lintas pada siang hari yang lebih banyak didominasi oleh sepeda motor dan Elf meskipun untuk ukuran yang terbiasa dengan lalu lintas di kota besar masih bisa digolongkan cukup sepi.

Jalur Desa Bojongsari ini sejajar dengan aliran sungai yang juga mengalir diantara perbukitan tempat Situ denuh berada. Aliran Sungai Cipatujah di Desa Bojongsari ini memisahkan jalur utama DesaBojongsari-Daracana dengan kampung-kampung lainnya di perbukitan dan areal sawah yang hampir mendominasi sepanjang aliran di dasar perbukitan. Desa Bojongsari bisa dikatakan cukup ramai, ada beberapa tempat peribadatan, warung-warung kecil yang sekaligus rumah, beberapa lokasi untuk menyimpan kayu hasil tebang di hutan-hutan di perbukitan, dan penjual bensin eceran pun cukup mudah ditemui. Untuk menuju Kp. Daracana yang letaknya diatas bukit, ikuti saja jalan Desa Bojongsari sampai didepan SD dan dipenannya sudah merupakan arah menuju ke pinggir sungai, jalan buntu. Didepan SD ini ambil jalan menanjak disebelah kiri, jalurnya akan terus menanjak dan cukup berat dengan kondisi sudah di cor, sebaiknya lebih berhati-hati karena jalurnya lebih sempit, kira-kira hanya selebar 1 buah mobil minibus dengan sisi kanan berupa jurang dan sisi kiri merupakan tebing yang batu-batunya mudah terlepas. Bila hujan, jalannya akan sedikit lebih licin. Tidak berapa lama setelah berbelok dari depan SD, kita akan menemui persimpangan jalan di lokasi yang sedikit datar, ambil yang ke arah kiri, jalan yang terus menanjak hingga pucak bukit, ikuti terus jalur tesebut hingga nantinya jalan akan menurun dan sampai pada sebuah daerah datar yang cukup luas dengan kondisi jalan cor yang mulai habis. Di ujung jalan cor ini, ambil jalan yang kearah bawah disebelah kiri dan berhenti didepan SDN Denuh, tempat untuk menitipkan kendaraan sekaligus titik awal untuk memulai perjalanan dengan berjalan kaki

Akses lainnya untuk menuju Kampung Daracana dapat ditempuh melalui Kecamatan Taraju dan merupakan jalur yang lebih pendek dan tidak terlalu memutar jauh seperti jalur pertama melalui Kecamatan Karangnunggal. Jalur melalui Kecamatan Taraju ini lebih cocok bagi mereka yang menyukai petualangan dengan kondisi dan medan jalan yang ekstrim. Sebagian besar jalan, terutama di perbatasan Kecamatan Bojonggambir – Kecamatan pedangkamulyan akan didominasi oleh batu yang cukup besar dan lumpur di punggungan perbukitan. Untuk menuju Kecamtan Taraju, ambil jalan dari arah Kota Garut menuju Timur, menuju perbatasan Kabupaten Garut dengan Kabuaten Tasikmalaya di Kecamatan Cilawu, jalur yang sudah cukup dikenal oleh para pendaki yang akan mendaki Gunung Cikuray yang juga berada tepat di jalur ini. Memasuki Kecamatan Salawu, tepatnya sebelum memaski daerah Serang, kita akan menemui persimpangan di sebelah kanan jalan, menuju Puspahiang, sentra buah Manggis di Kabupaten Tasikmalaya. Ikuti terus jalan tersebut. Jalan akan semakin menyempit dan lebih berkelok-kelok lagi. Pada siang hari, jalur ini akan cukup sepi dan hanya ada beberapa sepeda motor saja yang melintas disini, tetapi pada malam hari, akan cukup banyak truk pengangkut kayu, batu, pasir yang melintas di sini. Kondisi jalan cenderung menurun. Di jalur ini kita akan menemui setidaknya empat persimpangan. Persimpangan pertama berada setelah Kecamatan Puspahiang, di Desa Deudeul, yaitu yang menuju ke Taraju dan yang menuju ke Cikalong. Persimpangan ke-2 yaitu di Desa Cikubang, menuju ke Taraju dan Desa Cikubang, persimpangan ke-3 berada di Desa Singasari, yaitu yang menuju ke Sodonghilir dan Pamijahan serta yang menuju Taraju, persimpangan ke-4 berada di Taraju, yaitu yang menuju Taraju dan yang menuju Sodonghilir. Kondisi jalan akan didominasi tanjakan begitu tiba di Desa Deudeul hingga memasuki Kecamatan Taraju. Areal perkebunan Teh Sambawa di Kecamatan Taraju akan menjadi pemandangan utama. Kondisi jalan dari Cilawu hingga Taraju sangat baik, tetapi memasuki perbatasan Kecamatan Taraju- Kecamatan Bojonggambir, jalan yang berupa aspal yang masih sangat mulus akan langsung berganti menjadi jalan berbatu khas perkebunan teh dengan sedikit menanjak tetapi tidak terlalu berkelok-kelok seperti sebelumnya. Jalur Kecamatan Taraju-Kecamatan Bojonggambir dapat dikatakan jalur yang paling rusak dan juga sangat sepi, karena berada di tengah-tengah areal perkebunan di punggungan bukit dengan sisi kiri dan kanannya berupa jurang yang cukup dalam. Di sini juga akan ditemui persimpangan jalan menuju Desa Singajaya di Kabupaten Garut yang juga melewati areal perkebunan Teh hingga ke Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut.

Melewati pusat Kecamatan Bojonggambir dan Desa Ciawi, akan bertemu lagi dengan persimpangan yang tidak memiliki papan penunjuk arah, hanya ada papan sebuah pondok pesantren yang berada di Kecamatan Pedangkamulyan, ambil jalur yang searah dengan papan Ponpes tersebut. Jalurnya berupa tanjakan dengan kondisi jalan yang rusak yang mengarah ke sisi kiri jalan, sedangkan jalan yang mengarah ke bawah merupakan jalur yang sama-sama menuju Desa Cikuya hanya merupakan jalur yang memotong kompas dan tidak disarankan oleh warga disana. Memasuki Kecamatan Pedangkamulyan yang posisinya lebih tinggi dibanding dengan jalur Taraju-Bojonggambir, masih berupa areal perkebunan teh, tetapi sudah cukup banyak desa yang dilalui, salah satunya Desa Cipicung yang merupakan desa terakhir sebelum memasuki Kecamatan Culamega. Kondisi jalan semakin parah dengan turunan di jalan berbatu yang sebagian batunya pun sudah menghilang digantikan dengan tanah. Diujung jalan Desa Cipicung, lagi-lagi jalan menemui persimpangan, persimpangan ini biasa disebut “Pengkolan Genteng” yang merupakan patokan menuju Kecamatan Culamega, ambil arah kanan dari pertigaan ini. Kondisi jalan sedikit membaik, tidak lagi batuan tetapi aspal yang kondisinya tidak terlalu bagus, jalan pun mulai menanjak dan menurun, sesekali harus menikung cukup tajam menyusuri punggungan bukit terus menuju kearah Selatan. Memasuki Kecamatan Culamega, jalan akan melewati sedikit areal perkebunan karet sampai akhirnya tiba di Desa Cikuya. Dari depan kantor Desa Cikuya, ikuti saja jalan utama sampai menemui persimpangan yang cukup ramai ditandai dengan adanya beberapa warung nasi dan pangkalan ojek, ambil jalan menuju pangkalan ojek, jalan ini merupakan jalan Desa Bojongsari.

Jalan setapak menuju Talaga Denuh berada diseberang SDN Denuh dengan kondisi yang berubah menjadi lumpur apabila musim hujan sampai menemui lapangan sepak bola. Di lapangan sepak bola ini ambil jalan yang berada tepat disebrang jalan setapak tempat kita tiba, karena memang cukup banyak percabangan jalan disekeliling lapangan sepak bola ini. Medan yang ditempuh akan berupa turunan selama kurang lebih 10-15 menit melalui jalan setapak di dalam kebun milik warga yang kemudian akan sedikit menyusur di samping pematang sawah hingga akhirnya turun terus hingga ke pematang sawah tepat di pinggir aliran Sungai Cipatujah. Tidak ada jembatan untuk menyebrang aliran sungai ini, sehingga kami sempat diperingatkan oleh warga untuk tidak nekat menyebrang bila airnya meluap dan ketika hujan. Ketika hujan seluruh trek yang berupa jalan setapak yang sangat sempit itu akan menajdi sangat licin dan dikhawatirkan tergelincir jatuh langsung ke jurang yang tepat berada di sisi jalan setapak ini. Setelah menyebrang sungai, maka perjalanan dilanjutkan dengan medan jalan setapak yang semakin kecil, tertutup semak belukar dan ranting pepohonan yang akan terus menanjak hngga puncak bukit yang dapat kita lihat sebelumnya pada saat berjalan keluar dari jalan setapak di kebun warga sebelum pematang sawah.

Areal di sekitar Situ Denuh kebanyakan sudah berubah menjadi lahan produksi, terutama untuk tanaman Kapulaga, Picung, Kayu, Bambu, dan areal sawah. Ada tiga jalur jalan setapak menuju Situ Denuh, yang pertama yang melalui SDN Denuh, kedua yang melewati rumah Kuncen menuju ‘Jalur Tengah, serta yang ketiga yaitu yang melalui kaki Bukit Tenjolaut. Jalur yang melalui Bukit Tenjolaut merupakan jalur yang terjauh dan jarang dilewati. Tanaman Kapulaga dan Kayu menjadi komoditas hasil kebun yang utama di Kampung Daracana. Di sepanjang jalur jalan setapak, baik dari SDN Denuh dan jalan tengah kondisinya cukup tertutup oleh batang pohon, ranting pohon, dan dedaunan.

Perjalanan dari Kampung Daracana menuju Situ Denuh akan ditempuh dalam waktu kurang lebih satu jam dengan medan yang bervariasi. Pertama-tama, perjalanan akan melalui pematang sawah yang cukup licin, kemudian menyusuri pinggiran bukit menuju aliran Sungai Cipatujah. Tidak ada jembatan untuk menyeberangi Sungai Cipatujah, sehingga untuk menyeberanginya harus berjalan di atas bebatuan. Bila hujan, arusnya akan sangat deras, bahkan jika sungainya meluap, biasanya warga pun tidak berani untuk menyeberang. Jika sungai ini meluap, maka biasanya warga akan menunggu sekitar dua hingga tiga jam atau setidaknya hingga sungainya sedikit surut. Setelah menyeberangi sungai, medan akan kembali menanjak dan bila musim hujan akan menjadi sedikit licin. Medan berupa tanjakan ini tidak terlalu panjang. Di ujung tanjakan, jalan setapak mulai sedikit melebar kemudian memasuki area kebun Kapulaga, Picung, Bambu, dan lain sebagainya. Begitu memasuki area kebun ini, akan ditemui banyak percabangan jalan, jika kesulitan sebaiknya bertanya pada warga. Selain banyaknya percabangan, kondisi jalan setapak di sini cukup tertutup oleh batang pohon yang tumbang, daun, bahkan buah-buah yang jatuh, sehingga akan cukup sulit untuk mencari jalur menuju Situ Denuh yang jaraknya sudah tidak terlalu jauh lagi. Saung kecil tepat di depan area tanam pisang yang dibatasi dengan pagar bambu dapat dijadikan petunjuk, karena jalan setapak yang berada di depan saung tersebut merupakan jalur menuju tepat di samping Situ Denuh.

Secara keseluruhan, area di sekeliling Situ Denuh masih cukup banyak ditumbuhi berbagai pepohonan, meskipun sudah merupakan lahan produksi yang dimanfaatkan sebagai sumber mata pencaharian warga sekitar. Untuk mengelilingi Situ Denuh, kita dapat berjalan kaki menyusuri pinggiran danau. Jalur yang biasa digunakan yaitu yang mengarah ke Petilasan Eyang Mudik Purbakawasa di sebelah Barat Situ Denuh. Petilasan ini berada di puncak bukit yang juga merupakan bagian dari jalur tengah menuju Situ Denuh. Belum ada prasarana dan sarana yang layak untuk mengelilingi Situ Denuh, jalan setapak untuk mengelilinginya pun dapat dikatakan tidak layak, bahkan ada beberapa titik yang harus melewati batang-batang bambu yang tumbang tepat di bibir danau. Untuk mengelilingi keseluruhan tepi Situ Denuh masih belum bisa dilakukan karena memang tidak ada jalur untuk jalan setapak yang layak hingga ke sekeliling situ. Jalan yang bisa dilalui hanya sebatas bagian tengah di sisi Barat danau. Bila menyusuri sisi Barat Situ Denuh, maka perjalanan akan kembali menaiki bukit yang jalurnya hampir semua tertutup daun dan ranting bambu kemudian turun kembali ke arah Situ Denuh. Jalur ini memang hanya satu-satunya jalur unruk menuju bagian tengah Situ Denuh. Selebihnya, jalur untuk mengelilingi Situ Denuh dapat ditempuh dengan menyusuri bagian bibir danau dengan medan yang cukup sulit. Untuk mencapai sisi Utara Situ Denuh, jalur yang ditempuh berberda dari jalur yang biasa digunakan, yaitu jalur sisi Selatan Situ Denuh. Cara lain untuk mengelilingi Situ Denuh adalah dengan menggunakan rakit. Rakit yang dimaksud di sini adalah yang biasa digunakan oleh warga untuk memancing ikan. Kapasitas rakit ini hanya bisa digunakan oleh dua orang saja dan memang bukan diperuntukan sebagai sarana pelengkap objek wisata.

Sosial Ekonomi

Kedudukan Kecamatan Culamega dalam RTRW Kabupaten Tasikmalaya 2004-2014 versi revisi merupakan bagian dari Satuan Wilayah Pengembangan V Utara-Selatan dengan Pusat Kegiatan Satuan Wilayah Pengembangannya yaitu Kecamatan Bantarkalong. Wilayah Kecamatan Culamega dalam Rencana Pemanfaatan Ruang Wilayah menempati posisi sebagai Kawasan Pengembangan Hutan Rakyat yang berupa kawasan pengembangan pertanian lahan basah yang dikhususkan pada komoditi kelapa dan kawasan pengembangan pertanian lahan kering yang dikhususkan pada komoditi palawija. Selain sebagai peruntukan pemanfaatan kawasan budidaya, Kecamatan Culamega juga termasuk ke dalam salah satu rencana pemanfaatan kawasan lindung mutlak. Penetapan wilayah Kecamatan Culamega sebagai Kawasan Pengembangan Hutan Rakyat berdasarkan ketetapan penggunaan lahan-lahan dengan kemiringan lebih dari 25% atau dengan cara alih fungsi dari kebun rakyat menjadi hutan rakyat. Hal ini dapat dilihat, khususnya di sekeliling areal perbukitan di sekitar Situ Denuh. Hal ini jugalah yang mendasari banyaknya warga di sekitar Kecamatan Culamega umumnya dan Situ Denuh khususnya yang bermatapencaharian sebagai petani.

Kecamatan Culamega yang juga masih berbatasan dengan Kecamatan Bojonggambir yang memiliki kedudukan sebagai kawasan rencana pengembangan hutan rakyat berdampak pada terdapatnya beberapa areal yang masih merupakan kawasan hutan rakyat. Salah satunya yang berada di bukit sebelah Timur Situ Denuh. Ditetapkannya Kecamatan Culamega sebagai salah satu wilayah pengembangan hutan rakyat dapat dilihat dengan banyak ditemukannya beberapa komoditi unggulan, dalam hal ini di sekitar Situ Denuh, yaitu karet, albasiah, kapulaga, picung, bambu, serta beberapa areal sawah. Komoditi yang paling menjadi andalan dari wilayah sekitar Situ Denuh yaitu kayu dan bambu, karena merupakan produksi harian, dibandingkan dengan komoditi lainnya. Pengangkutan kayu dan bambu di daerah ini biasa dilakukan pada sore hari setiap harinya. Pengangkutan kayu dipusatkan di Desa Cikuya. Pengangkutan kayu dari Kampung Daracana dilakukan dengan menggunakan sepeda motor warga yang sudah dimodifikasi. Pengangkutan dari Desa Cikuya dilakukan dengan menggunakan truk pengangkut kayu. Komoditi kayu yang berasal dari sekitar Desa Cikuya ada yang berupa batang kayu (terutama albasia) dan balok-balok kayu.

Komoditi lainnya yang menjadi unggulan dari wilayah ini adalah Kapulaga. Kapulaga biasanya ditanam oleh petani daerah pegunungan rendah (400 – 700 meter atas permukaan laut) sebagai tanaman tumpang sari (tumbuh di antara tanaman lain). Kapulaga hidup subur di ketinggian 200-1.000 meter di atas permukaan laut. Hal ini sesuai dengan banyak ditemukannya Kapulaga di hampir setiap lahan di areal perbukitan sekitar Situ Denuh. Bentuk fisik tumbuhan kapulaga tergolong dalam herba dan membentuk rumpun, sosoknya seperti tumbuhan jahe. Batangnya memang tidak tinggi (rata-rata 3 m kalau kapulaga sabrang, dan 2 m kalau kapol), sehingga cocok ditanam di antara pohon buah-buahan seperti duku, rambutan, petai, atau lainnya yang berbatang tinggi. Kapulaga tumbuh di hutan-hutan yang masih lebat Setiap pekarangan rumah yang teduh, sejuk, dan lembap karena pohon-pohonan tinggi, dapat ditanami kapulaga. Tumbuhan berbatang basah ini memiliki batang berpelepah daun yang membalut batangnya. Letak daunnya berseling-seling. Bunga tumbuhan ini tersusun dalam tandan yang keluar dari rimpangnya. Buahnya berbentuk bula telur, berbulu, dan berwarna kuning kelabu. Buahnya berkumpul dalam tandan kecil dan pendek. Bila masak, buahnya akan pecah dan membelah berdasarkan ruang-ruangnya. Di dalamnya terdapat biji yang berbentuk bulat telur memanjang. Kapulaga (Amomum cardamomum) selama ini dikenal sebagai rempah untuk masakan dan juga lebih banyak digunakan untuk campuran jamu. Di beberapa daerah kapulaga dikenal dengan nama kapol, palago, karkolaka, dan lain-lain. Ada dua macam kapulaga yang banyak digunakan di Indonesia, yakni kapulaga Jawa (Amomum compactum) dan kapulaga sabrang atau kapulaga India (Elettaria cardamomum); kedua-duanya termasuk ke dalam suku jahe-jahean atau Zingiberaceae.

Semula ditemukan tumbuh alamiah di daerah Pegunungan Malabar, pantai Barat India. Kapulaga kemudian ditanam di Sri Lanka, Thailand, dan Guatemala karena laku di pasar dunia. Kapulaga diperkenalkan ke negara Eropa oleh bangsa Arab sebagai bumbu. Tanaman ini juga tumbuh dinegara Thailand, Kamboja, Malaysia Barat, dan Filipina, terutama di wilayah berbukit yang dingin, didaerah lembah dan terlindung. Di Indonesia kapulaga ditemukan tumbuh liar dan ditanam di wilayah perbukitan di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Di Indonesia mulai dibudidayakan sejak 1986.

Untuk pengobatan penyakit dalam, kapulaga dapat digunakan untuk mengatasi kembung, kejang perut, sakit perut, masuk angin, bau mulut, muntah-muntah, radang lambung (maag), batuk, influenza, demam, rematik, asam urat, pegal linu, dan hernia. Biji, yang diambil dari tumbuhan sebelum buah masak benar, dapat dimanfaatkan sebagai obat. Dalam dunia obat-obatan, biji yang telah dikeringkan dinamakan semen cardamomi. Selain bijinya, yang digunakan untuk obat adalah bagian akar, buah, dan batangnya. Kapulaga mengandung minyak atsiri, sineol, terpineol, borneol, protein, gula, lemak, silikat, betakamfer, sebinena, mirkena, mirtenal, karvona, terpinil asetat, dan kersik. Dari kandungan tersebut kapulaga memiliki khasiat sebagai obat batuk. Kapulaga juga memiliki khasiat untuk mencegah keropos tulang. Beberapa pabrik bumbu juga mengekstrakkan minyak atsiri dari biji kapulaga menjadi oil of cardamom yang kemudian dikemas dalam botol. Dalam bentuk minyak ini pula, kapulaga dipakai untuk menyedapkan soft drink dan es krim Amerika di pabriknya.

Selain bercocok tanam, masyarakat di sekitar Kampung Daracana pun memanfaatkan budidaya ikan di Situ Denuh sebagai tambahan untuk kebutuhan makan sehari-hari. Ada juga yang memancing karena hobi. Meskipun tidak ada pemiliknya, dalam menangkap ikan di Situ Denuh, masyarakat telah sepakat untuk tidak memancing ikan dengan menggunakan bahan peledak, alat-alat berbahaya, ataupun racun. Bahkan, secara berkala, masyarakat membiakan bibit ikan di Situ Denuh.

Sejarah

Situ Denuh di Kampung Daracana tidak lepas dari peranan tokoh-tokoh dalam sejarah kebudayaan di tanah Sunda. Kepercayaan dan cerita turun temurun mengenai Situ Denuh masih sering disebarkan secara lisan oleh orang-orang yang dituakan, atau biasa disebut dengan ‘Kuncen’. Kisah mengenai Situ Denuh yang banyak berkaitan dengan sejarah kerajaan-kerajaan di tanah Sunda, khususnya Priangan Timur ini sayangnya tidak didokumentasikan secara baik, sehingga hanya dapat dikisahkan secara lisan kepada keturunan dan warga-warga yang bermukim di sekitar Situ Denuh. Kurang tersebarnya informasi (dalam hal ini hanya mengandalkan lisan) mengenai kaitan Situ Denuh dengan sejarah-sejarah di tanah Sunda pada zaman dahulu salah satunya disebabkan karena keberadaan Situ Denuh sendiri yang belum banyak diketahui oleh masyarakat luas.

Menurut penuturan salah satu kuncen di Situ Denuh, Bapak Ta’an,arti kata Denuh dapat diartikan sebagai Denah. Mengenai pembahasan arti Denah yang lebih spesifiknya masih belum dapat dijabarkan karena kurangnya referensi yang ada. Denuh dapat juga diartikan sebagai merenah, sopa santun. Secara umum mungkin Situ Denuh dapat diartikan sebagai suatu daerah yang nyaman dan masyarakatnya menjunjung sopan santun baik terhadap sesama maupun terhadap sejarah serta kepercayaan yang ada. Denuh dalam artiannya sebagai Denah sering dikaitkan dengan bentuk Situ Denuh yang jika dilihat dari atas (pada peta) akan tampak seperti telapak kaki, selain itu juga, denga di sini bisa dikaitkan dengan pembagian-pembagian wilayah kepemilikan tokoh-tokoh yang memiliki peranan dalam sejarah di tanah Sunda.

Berdasarkan penuturan singkat dari kuncen, daerah di sekitar Situ Denuh erat kaitannya dengan Kerajaan Galuh, salah satu kerajaan besar dan tua di tanah Sunda. Salah satu tokoh yang mendiami daerah di sekitar Situ Denuh yaitu Rahiyang Kidul/Eyang Jantaka yang memiliki gelar Batarahiang Karangnunggal (Batara Karang). Eyang Jantaka merupakan salah satu putera dari Raja Galuh yaitu Wretikandayun. Eyang Mudik Batara Karang diyakini sebagai tokoh pertama yang mendiami daerah di sekitar Situ Denuh, yaitu Sembah Lodong. Petilasannya berada di tempat yang disebut Cikudakeling, nama yang sama dengan salah satu Situs Purbakala yang bernama Situs Cikudakeling yang berada di Barat Situ Denuh. Menurut penuturan Bapak Ta’an, selaku kuncen di Situ Denuh, Eyang Mudik Batara Karang mendirikan kerajaan di Sembah Lodong karena menurutnya daerah di skeitar Kerajaan Galuh sudah terlalu Bincarung (ramai, padat, sumpek) dan daerah di sekitar Situ Denuh masih sangat sepi. Selain Situs Cikudakeling, ada juga peninggalan berupa pedang yang digunakan oleh Eyang Batara Karang yang saat ini tersimpan di Museum Alit di Sukaraja, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Tasikmalaya.

Dalam salah satu sumber, nama Eyang Mudik Batara Karang pun dikenal sebagai sososk yang berkaitan erat dengan Kampung Naga dan Sembah Eyang Singaparna. Eyang Singaparna sendiri merupakan salah satu abdi dari Sunan Gunung Jati yang ditugaskan untuk menyebarkan agama Islam hingga tiba di Sukapura (Tasikmalaya). Dalam beberapa sumber sejarah, Eyang Singaparna ini merupakan salah satu pendiri Kampung Naga di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Eyang Mudik Batara Karang sendiri merupakan salah satu dari enam saudara Eyang Singaparna dengan nama asli Ratu Ineng Kudratullah. Eyang Mudik Batara Karang dimakamkan di Karangnunggal dan memiliki kesaktian menguasai ilmu kekuatan fisik “Kabedasan”. Dengan adanya dua sosok Eyang Mudik Batara Karang (putera dari Raja Galuh dan saudara Eyang Singaparna) dan tidak adanya bukti sejarah mengenai Situ Denuh, maka kejelasan sejarah di sekitar Situ Denuh menjadi semakin kabur.

Daerah di sekitar Situ Denuh pun konon dijaga oleh Eyang Purbakawasa, salah satu karuhun yang mendiami Situ Denuh. Petilasan Eyang Purbakawasa ini dapat ditemui di puncak bukit yang berada di sisi Timur Situ Denuh. Tidak diketahui lebih jauh mengenai Eyang Purbakawasa. Masyarakat di sekitar Situ Denuh menganggap Eyang Purbakawasa sebagai karuhun (leluhur) mereka yang menjaga Situ Denuh sementara Eyang Mudik Batara Karang mendirikan kerajaan tidak jauh dari Situ Denuh, di daerah bernama Sembah Lodong. Keterbatasan informasi ini disebabkan oleh tidak adanya dokumentasi sehingga sejarah mengenai asal usul Situ Denuh dan tokoh-tokoh yang berhubungan dengannya pun sangat terbatas. Selain di Sembah Lodong dan Situ Denuh, Kampung Daracana pun konon dijaga oleh Eyang Tugu yang memiliki nama asli H. Muhammad Ibrahim yang berasal dari Jawa. Dilihat dari namanya, pada masa Eyang Tugu sudah memasuki zaman penyebaran agama Islam, sehingga ada rentang waktu antara masa Eyang Mudik Batara Karang, Eyang Purbakawasa dan Eyang Tugu.

Kepercayaan, cerita, serta sejarah mengenai segala sesuatu yang behubungan dengan Situ Denuh masih dipegang oleh masyarakat di sekitar Kampung Daracana. Hal ini ditandai dengan masih dipercayanya penjagaan Situ Denuh kepada seorang Kuncen. Kuncen Situ Denuh saat ini sudah berusia lanjut dan fisiknya sudah tidak sekuat dahulu, sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan Situ Denuh diserahkan kepada menantunya. Kuncen di Kampung Daracana ini diturunkan berdasarkan garis keturunan. Selain itu, ada juga Bapa Ta’an (70 tahun) yang masih merupakan keturunan ke-10 dari masa Eyang Mudik Batara Karang.

Meskipun sejarah mengenai situs-situs purbakala di sekitar Situ Denuh masih dipegang erat dan diceritakan secara lisan oleh kuncen-kuncen di Situ Denuh, tetapi asal mula pembentukan Situ Denuh sendiri masih belum dapat dijelaskan, baik secara keilmuan maupun secara sejarah dan mitos. Tidak dituturkan hubungan datangnya Eyang Mudik Batara Karang dengan terbentuknya Situ Denuh. Hingga saat ini, anggapan yang ada adalah Situ Denuh sudah ada ketika Eyang Mudik Batara Karang pertama kali mendirikan kerajaan di Sembah Lodong hingga wafatnya. Eyang Purbakawasa yang memiliki petilasan di atas bukit pun, semasa hidupnya, Situ Denuh sudah terbentuk, bahkan dijaga oleh Eyang Purbakawasa hingga Tilem. (Tilem adalah kondisi di mana seseorang yang berilmu tinggi menghilang kemudian berubah wujud dan muncul kembali di tempat lain dengan wujud yang berbeda).

Bila kita mencari informasi mengenai Talaga Denuh di internet, pasti akan muncul juga “Situs Klasik Denuh”, Situs Klasik yang berupa peninggalan sejarah dan arkeologi yang berada tersebar di bukit-bukit yang mengelilingi Talaga Denuh. Situs tersebut terdiri dari 3 buah Situs dari batu, 4 buah situs berupa Goa, beberapa benda cagar budaya, 2 sumur kecil, serta makam keramat. Sayangnya pada kesempatan kali ini, kami tidak berhasil mengunjungi lokasi situs-situs tersebut karena keterbatasan waktu. Adapun situs-situs klasik tersebut adalah

  1. Situs Tugu
  2. Situs Balekambang
  3. Situs Lemah Badong
  4. Situs Goa Binuang
  5. Situs Goa Potong Kujang
  6. Situs Cikuda Keling
  7. Situs Goa Pasir Leungit
  8. 2 buah sumur kecil
  9. Makam Prabu Batara Karang
  10. Situs Pasir Karang
  11. Kikis Kampung
  12. Batu Lumpang 1 (Sang Hyang Lulumpang)
  13. Batu Pangcalikan
  14. Batu Lumpang 2 (Sang Hyang Lulumpang)
  15. Batu Bedil
  16. Padepokan
  17. Artefak koleksi penduduk

Dari sekian banyaknya situs purbakala yang ada di sekitar Situ Denuh, hanya sedikit informasi yang dapat diperoleh, bahkan lokasinya pun masih perlu ditinjau ulang untuk memastikan posisi dan kondisi situs purbakal itu sendiri. Sulitnya akses dan minimnya informasi menjadi salah satu penghambat pengumpulan data dan pengecekan ulang situs-situs yang memiliki potensi nilai sejarah dan budaya di Selatan Kabupaten Tasikmalaya ini.


About Dya Iganov

Penyuka traveling, tidak hanya mendaki gunung, tapi juga touring, rafting, explore, city tour, kemping ceria, susur pantai, dll