Buat saya pribadi, yang berkesan dari satu perjalanan itu salah satunya adalah masalah transportasi. Ga jarang loh kami terpaksa menggunakan moda transportasi yang sedikit ‘nyeleneh’ karena memang ga ada akses angkutan umum ataupun carteran di daerah tersebut. Sebut saja kalau kita ke Gunung Tampomas atau Gunung Guntur. Kaki Gunung Tampomas sudah cukup terkenal dengan tambang batu, pasir, bahkan TPA, jadi ga heran ini adalah tempat yang cocok untuk nyari truk. Aneka macem truk lewat sini, mulai dari yang kayu, yg udah reyot, sampe truk yang super tinggi kaya truk tambang yang masih kinclong bakal kita temuin di sini, khususnya kalau yang naik dari jalur Cibeureum, Kab. Sumedang. Para supir truk udah biasa ko dicegat dan ngangkut para pendaki yang mau naik atau turun Tampomas, tapi, itu pun disesuaikan. Kadang, kalau muatan mereka cukup banyak dan kalau kami menumpang jadi overload, mereka nolak, tapi ada juga sih yang pelit ga mau kasih tumpangan hohoho. Kami yang menumpang pun harus toleransi sama muatan utamanya. Terkadang, kami harus berdiri atau (maksa) duduk di atas pecahan-pecahan batu yang beberapa masih ada yang tajem-tajem dan pastinya jangan bayangin nyamannya kaya naek BMW ya, secara diatas batu dan kondisi jalannya pun banyak berlubang, tanjakan, turunan, dan tikungan. Beda Tampomas, beda juga Guntur. Kalau jarak nebeng truk di Tampomas itu sekitar 20-30 menit, kalau di Guntur mungkin bisa 40 menit – 1 jam untuk pergi dari basecamp. Medan Desa Citiis sampai kaki Gunung Guntur yang hampir semuanya tambang pasir ini kalau buat saya pribadi jauh lebih serem, lebih curam, dan lebih lama. Kalau di Tampomas, masih bisa menebeng truk yang muatannya sedikit, bahkan ada yang kosong juga dari kaki Tampomas ke Desa Cibeureum, kalau di Guntur, rata-rata menumpang dari kaki Gunung Guntur ke Desa Citiis itu truknya full muatan. Muatannya pasir, dan yang numpang duduknya di atas pasir. Kalau udah gini, perjalanan pulang itu lebih horor daripada perjalanan pas mau nanjak. Seengganya dari perjalanan ke Tampomas dan Guntur di tahun 2012 lalu itu dapet sesuatu yang ga bisa didapet kalau di kota. Meskipun bagian naik truknya mungkin bisa aja sih dilakuin di kota. Bedanya, kalau di kota numpang truk, apalagi yang full muatan, banyak ‘tapi’ & was-wasnya. Secara jam masuk truk ke beberapa kota tertentu aja diatur, muatannya pun wajib ditutup, lah ini ngangkut orang + tas segede gaban pula. Beda kalau di Tampomas dan Guntur, ya memang harus numpang truk selain jalan kaki yang bisa nambah 1 jam untuk Tampomas dan 1,5-2 jam untuk Guntur diluar trekking di jalur pendakiannya. Selain itu, kapan pun truk pasti lewat ko.
Sekarang kita tengok Jawa Timur, hari gini siapa sih yang ga tau kalau ke Bromo atau ke Semeru itu pake Jeep? Kalau untuk Bromo, rata-rata Jeepnya ketutup, meskipun ada juga yang udah dimodifikasi kaya Jeep Tumpang-Ranu Pani. Medannya pun kalau Bromo via Tumpang lumayan seru, dibanding yang dari Ngadisari, Probolinggo. Kalau Jeep yang udah dimodifikasi, belakangnya kebuka, jadi mirip pick up & dikasih tambahan kerangka besi buat pegangan. Biasanya Jeep muat maksimal 15 orang dengan posisi penumpang ada yang duduk ada yang berdiri. Ngadepnya pun ke segala arah, ke depan, ke samping, ke belakang, ke atas pun ada. Lama Tumpang – Ranu Pani ini kurang lebih 2 jam dengan medan yang seru abis dan kalau lagi kurang beruntung, bisa aja muka kita kena tampar ranting ama daun yang ada di sepanjang perjalanan Tumpang – Ranu Pani. Kalau hujan, bisa beda lagi ceritanya, lebih rempong. Biasanya kalau pergi sih pegelnya ya standarlah, tapi bagian pulang dari Ranu Pani ke Tumpang, ibaratnya itu penyiksaan terakhir setelah ‘sungkeman’ sama semua medan trek Semeru. Justru ini yang bikin ciri khas satu perjalanan.
Sekarang gimana dengan daerah-daerah yang bukan objek tujuan wisata atau bahkan ga banyak orang yang tahu kalau di sana ada objek yang bisa disinggahi? Atau bagaimana kalau memang di daerah itu ga ada transportasi umum? Mungkin solusinya adalah bawa kendaraan pribadi, tapi gimana kalau medannya atau jaraknya ga memungkinkan? Satu-satunya cara adalah minta bantuan warga sekitar. Bisa dengan menumpang mobil pick up yang biasa mereka pake untuk ngangkut berangkal dan hasil kebun, bisa juga menumpang truk tambang, truk pengangkut hasil kebun, atau truk pembawa sembako yang melintas di sekitar sana. Menumpang apapun pada warga, artinya kita yang harus menyesuaikan diri dengan keadaan kendaraan kita, bukan kendaraan yang menyesuaikan dengan keadaan penumpang. Terkadang kita harus siap duduk di atas tumpukan karung yang isinya rumput, teh, sayur mayur, pasir, sembako, bahkan hewan ternak yang sedang diangkut. Pengalaman paling seru ya keliling Lombok pake pick up. Lombok? Sementara yang lain keliling Lombok carter angkutan umum, ngeteng, atau bahkan sewa motor, kami sewa pick up! Kami carter pick up mulai dari tiba di Pelabuhan Lembar sampai kami meninggalkan Pulau Lombok melalui Pelabuhan Lembar juga. Ceritanya, sepulang dari perjalanan kami di Pulau Sumbawa, kami kembali lagi ke Pulau Lombok dan masih ada sisa waktu satu hari sebelum sebagian dari kami pulang ke Pulau Jawa dari Pulau Bali (beberapa ada yang sudah pulang). Kami memutuskan untuk mengunjungi beberapa pantai di Pulau Lombok, tapi karena tujuan ini sifatnya kondisional, jadi kami memang tidak ada persiapan apapun untuk sewa kendaraan atau pun mencari penginapan/tempat menginap. Kami bisa saja ikut menginap lagi di basecamp Lombok Backpacker, tapi ternyata memang kami tidak bisa. Setibanya kami di Pelabuhan Pototano, Sumbawa, kami memutuskan untuk menghubungi pemilik pick up yang menjemput kami di Pelabuhan Lembar, Lombok beberapa hari yang lalu untuk menjemput kami di Pelabuhan Kayangan. Setelah tiba di Pelabuhan Kayangan kami menuju Pantai Selong Blanak dan mampir makan siang hingga akhirnya ditawari untuk menyimpan tas kami di rumah bapak pemilik pick up. Ternyata perjalanannya cukup jauh. Singkat cerita, setelah dari siang hingga sore kami menggunakan pick up dari Lombok Timur sampai ke rumah pemilik pick up di dekat Praya, tidak lupa keujanan di tengah perjalanan dan untungnya kami membawa fly sheet, kami menitip tas di rumah bapa pemilik pick up kemudian ke Pantai Selong Blanak. Tidak sampai di situ, setelah lelah berkunjung ke Pantai Selong Blanak, kami menumpang mandi, packing, istirahat, bahkan dibelikan makan malam makanan khas di sana selain Ayam Taliwang dan kawan-kawannya (sayangnya saya lupa namanya). Disajikannya sederhana, makanan rumahan, makanan sehari-hari, dengan rasa yang pedas dan alasnya menggunakan dedaunan. Selesai makan, saatnya kami bersiap untuk perjalanan terakhir menuju Pulau Bali sebelum kembali ke Pulau Jawa. Sebelumnya, kami sempat diajak mampir ke toko oleh-oleh kemudian mengantar teman kami ke bandara sebelum akhirnya kami menuju Pelabuhan Kayangan lagi menuju Pulau Bali.
Lain cerita Pulau Lombok, lain juga cerita di Kamojang. Setelah selesai melakukan pendakian Gunung Rakutak dengan rute yang melintas dari Majalaya kemudian berakhir di Situ Ciharus, Kamojang, kami tiba di pos Geothermal sekitar pukul 20.00 dan sudah dapat dipastikan tidak ada lagi kendaraan umum yang melintas. Setelah pukul 17.00 memang sudah tidak akan ada lagi kendaraan umum yang melintas, padahal lokasi ini berada di tengah-tengah antara Kecamatan Samarang, Kab. Garut dengan Kecamatan Ibun, Kab. Bandung sekaligus perbatasan antara dua kabupaten ini. Terlambatnya kami tiba di Kamojang ditambah lagi dengan banyaknya jumah kami (ada yang menghitung sekitar lebih dari 30 orang), semakin bertambahlah kesulitan kami untuk mencari kendaraan, bahkan untuk carter sekali pun. Akhirnya ada yang menawarkan tebengan, yaitu sebuah truk yang biasa mengankut pasir. Jadi, tanpa banyak berpikir, kami ber-30 an lebih menumpang truk pasir dengan kondisi sadanya dan melewati jalan menuju Majalaya yang dominannya turunan panjang dan jalan berlubang. Perjalanan selama hampir dua jam menuju Terminal Leuwipanjang dengan posisi berdiri di truk dan sangat berdesak-desakan cukup untuk bikin badan terutama tangan tambah pegel. Pengalaman seperti ini mungkin hanya sesekalai dirasakan ketika travelling.
Pengalaman beresak-desakan karena terdesak keadaan juga pernah kami alami ketika pendakian Gunung Slamet Maret 2013 lalu. Jumlah rombongan kami memang cukup banyak, dan pada akhirnya ketika pulang, kami terbagi menjadi dua rombongan. Rombongan saya adalah yang pulang duluan, kalau tidak salah Minggu subuh kami meninggalkan basecamp Bambangan, Bobotsari, Jawa Tengah. Jumlah rombongan yang banyak ini tidak didukung oleh kendaraan yang mengangkut kami. Pukul 03.00 kami semua berserta tas kami yang tidak kalah besarnya dengan badan kami harus berdesakan di pick up. Pick up overload, kaki kram, p**ta* sakit bukan main, punggung berasa patah, ditambah dengan sesekali pick up menghantam lubang cukup dalam, setidaknya itulah yang kami (hampir 20 orang) rasakan selama perjalanan 1,5 jam hingga 2 jam menuju Terminal Purwokerto.
Bukan hanya kendaraan umum yang di carter, truk dan angkutan barang yang kami cegat untuk ditumpangi, bahkan mobil patroli pun pernah kami rasakan. Ketika pulang dari Situ Ciharus Maret 2013 lalu, saya dan 5 orang teman lainnya kemaleman tiba di pos Kamojang. Pada saat itu, ada satu teman perempuan saya yang kakinya sakit. Akhirnya kami dibagi menjadi dua rombongan. Rombongan pertama, dua orang teman saya berjalan duluan ke pos penjagaan yang cukup jauh jaraknya dari pintu keluar hutan di tengah kawasan sumur geothermal. Setibanya di pos, dua teman saya meminjam sepeda motor milik penjaga untuk menjemput saya dan teman saya yang perempuan. Ketika meminjam sepeda motor, dua teman saya jelas ditanya-tanya hingga akhirnya mungkin karena kasian melihat kami dan kebetulan tidak ada lagi rombongan lain,ditambah sudah pukul 23.00, penjaga itu pun menawarkan dan mengizinkan kami untuk ikut mobil patroli untuk menuju Desa Kamojang. Desa Kamojang dan pos penjagaan ini juga cukup jauh dan sangat sepi dan gelap pastinya. Singkat cerita sambil menunggu mobil patroli berkeliling kawasan sumur, kami mengganti pakaian dan tepat pukul 23.30 mobil patroli datang, kami pun menumpang. Mobil patroli ini jenis double cabin dan sudah ada tiga orang petugas patroli di dalamnya, sehingga sebagian dari kami menumpang di bagian belakang mobil. Yah, lumayan daripada harus jalan kaki lagi tengah malam. Kami lebih mirip penerobos kawasan yang kena tangkap dibanding sekumpulan anak muda butuh tumpangan.
Pengalaman seru ga hanya di darat, di laut juga, kadang kita harus carter kapal kecil, bukan kapal yang penuh dengan fasilitas dan terlindung dari angin. Pengalaman di laut kami pun tidak kalah seru dengan di darat. Kami pernah harus mengahdapi amukan gelombang yang tingginya melebihi atap kapal kami di tengah-tengah Selat Sunda menuju Krakatau selama 3 jam. Pernah juga kami harus menyeberang selama enam jam dari Pelabuhan Canti ke Teluk Kiluan karena kami memang sengaja mampir di pulau-pulau kecil di sepanjang garis perairan tersebut, salah satunya Pulau Legundi. Kami harus berdamai dengan gelombang yang cukup tinggi dan cukup bikin mual selama enam jam perjalanan. Kami mati gaya, dari mulai becanda, ngobrol, tidur siang yang pules, sampai beres tidur siangnya, kapal kami masih ada di tengah perairan. Pernah juga perjalanan selama empat jam dari Sumbawa menuju Labuan Aji ketika kami akan menuju air terjun Mata jitu. Selama perjalanan kami harus berhadapan dengan teriknya sinar matahari siang hari Sumbawa dan secara tidak sadar kami melihat awan berbentuk cawan yang ternyata adalah letusan Gunung Sangeangapi yang berada di sisi ujung Pulau Sumbawa. Pulangnya, kami harus sabar terkena cipratan ombak dan angin yang cukup besar ketika perjalanan dari Labuan Aji menuju Pulau Satonda. Di Pulau Satonda, kami harus turun dari kapal dan berjalan kaki dengan kondisi gelap gulita di tengah arus yang cukup kencang karena sudah surut, kapal bisa karam kalau memaksakan bersandar di dermaga.
Jadi, jika tidak travelling atau pun tugas lapangan, mungkin tidak akan merasakan pengalaman – pengalaman menumpang angkutan yang tidak biasa. Inilah yang menjadikan salah satu kenapa travelling itu ‘mahal’, karena ga semua orang -bahkan yang sering travelling- akan merasakan pengalaman yang sama.