Perjalanan ke suatu tempat, apalagi tempat yang masih sangat minim informasi, menjadi suatu tantangan sendiri untuk saya. Banyak kendala yang harus bisa diatasi, dimulai dari kurangnya informasi mengenai objek tersebut, mulai dari rute yang harus ditempuh, kondisi jalan, medan yang harus dilalui, trek menuju lokasi apakah ada atau tidak. Susahnya mencari teman seperjalanan akibat kurangnya informasi yang dibutuhkan.
Jika sudah mendapat teman seperjalanan pun, maka belum tentu teman tersebut nyaman dengan jenis perjalanan tanpa kejelasan apapun ini. Belum lagi ketika berhasil sampai ke tempat tujuan, ternyata kurang menarik (tergantung penilaian masing-masing sih). Nah, lain lagi ceritanya kalau ternyata saking minimnya informasi, terutama mengenai rute dan medan yang harus dilalui, seringkali perjalanan hanya akan sebatas trial and error alias coba-coba dan akhirnya gagal.
Bukan sekali dua kali saya mengalami kegagalan untuk sampai di tempat tujuan. Beberapa lokasi akhirnya berhasil saya datangi kembali dalam jangka waktu yang bervariasi, sebagian lagi bahkan sampai saat ini (Januari 2017) belum sempat saya coba cari lagi. Berikut beberapa tempat yang pernah saya coba datangi kemudian gagal dengan ceritanya.
Curug Cimarinjug dan Curug Cikanteh
Jauh sebelum nama Geopark Ciletuh tenar seperti sekarang, saya dan beberapa teman sangat kesulitan mencari informasi dua air terjun ini, terutama Curug Cikanteh. Sekitar awal 2012, saya dan liam orang teman saya memutuskan untuk mendatangi sendiri Curug Cimarinjung dan Curug Cikanteh. Sebelumnya, dua air terjun ini tidak sengaja saya temukan di internet sekitar akhir 2011. Khusus untuk foto Curug Cikanteh, hanya berhasil saya temukan dua foto saja milik satu akun saja tanpa ada keterangan apapun. Berbekal hasil bertanya pada teman yang di Sukabumi yang memang kenal betul daerahnya dan modal nekat, berangkatlah kami berenam menuju Kecamatan Ciemas.
Rute yang kami tempuh untuk perjalanan kali ini adalah rute yang sama dengan ke Ujunggenteng. Singkat cerita, kami baru berhasil tiba di Kecamatan Ciemas pukul 22.00 WIB. Jalanan macet, salah jalan, mesin mobil bermasalaha, hingga kesulitan mencari warga untuk ditanya karena sudah malam menjadi penyebab lamanya perjalanan kami kali ini. Setiba di Ciemas pun, sudah tidak banyak warga yang bisa kami tanyai jalan karena sudah malam. Warga yang berhasil kami tanya pun ternyata masih asing dengan nama-nama tempat yang saya tanyakan.
Sebut saja Puncak Darma, Curug Cimarinjung, Curug Cikanteh, tidak ada satu warga pun yang pernah mendengar nama-nama tersebut meskipun berada di wilayah tempat tinggalnya. Akhirnya ketika saya menyebutkan Pantai Palangpang, barulah warga tersebut ngeh. Perjalanan kami dari lokasi kami bertanya di Desa Tamanjaya membutuhkan waktu sekitar dua jam. Tepat pukul 00.00 WIB kami tiba di pinggir Pantai Palangpang.
Sekitar jam 03.00 WIB hujan besar, bahkan dengan petir dan angin sangat kencang tiba-tiba turun di Ciemas. Paginya pun, hujan deras kembali turun. Kami baru melanjutkan perjalanan sekitar pukul 09.00 WIB menuju Curug Cimarinjung. Berhubung pagi ini sangat sepi, tidak ada warga yang bisa kami tanya, akhirnya kami hanya bisa foto-foto Curug Cimarinjung dari kejauhan saja. Kami tidak berhasil menemukan jalan masuk menuju Curug Cimarinjung.
Perjalanan kami lanjutkan menuju Puncak Darma dari arah Curug Cimarinjung. Siapa sangka medan yang kami lalui benar-benar menyulitkan kami. Satu mobil pun akhirnya harus menyerah dan bermasalah di bagian kaki-kakinya (saya kurang paham juga). Satu mobil lagi yang tetap jalan akhirnya harus menyerah juga karena stuck di lumpur. Melihat medan yang harus dilewati ditambah kurangnya informasi berapa jauh lagi jarak dari lokas kami ke Puncak Darma kami pun memutuskan untuk singgah di satu-satunya rumah penduduk di jalur ini.
Perjalanan kami harus terhenti disini karena kerusakan mobil cukup parah. Akhirnya mobil pun terpaksa ditarik oleh mobil lainnya. Kami pun balik kanan menuju Bandung tepat pukul 15.00 WIB tanpa mampir kemana-mana lagi. Hujan turun dari mulai sore hingga tengah malam. Perjalanan panjang menuju Bandung harus kami lalui dengan sangat lambat karena satu mobil harus ditarik full sampai Bandung. Kami baru tiba di Bandung keesokannya tepat pukul 04.00 WIB.
Satu tahun kemudian, tepatnya awal 2013, saya dan satu teman saya memutuskan untuk mencari lagi jalur lainnya menuju Ciemas. Karena dari pertama kali saya ke Ciemas pada awal 2012 sampai awal 2013, mulai muncul beberapa informasi mengenai jalur ke Ciemas. April 2013 saya dan satu teman saya memutuskan untuk survey jalur lain menuju Ciemas. Survey berhasil, akhirnya pada Mei 2013, saya dan tiga orang lainnya kembali ke Ciemas. Kali ini kami berhasil tiba di Curug Cimarinjung dan Curug Cikanteh berkat bantuan warga setempat yang bersedia mengantar kami.
Curug Tujuh Neglasari/Curug Limbung
Akhir tahun 2012 saya dan beberapa orang lainnya memutuskan untuk mengunjungi Curug Cibadak dan Curug Nyogong di Kecamatan Cihurip serta Curug Tujuh Neglasari di Kecamatan Cisompet, Kabupaten Garut. Kunjungan ke Curug Tujuh Neglasari atau oleh warga biasa disebut Curug Limbung ini sudah yang ke-2 kalinya.
Pada pertengahan November 2012, saya dan beberapa orang lainnya sudah sampai di Desa Neglasari, Kecamatan Cisompet, hanya saja cuaca kurang mendukung dan waktu kami tiba juga sudah terlalu sore. Pada akhir Desember 2012 kali ini, Curug Limbung menjadi kunjungan di hari kedua, setelah hari pertama berhasil sampai di Curug Cibadak. Curug Nyogong kami lewat karena keterbatasan waktu.
Singkat cerita, pagi hari di hari kedua jadwal kami, kami sudah tiba di sebuah warung sekaligus rumah dan tambal ban, tepat ketika akan memasuki perkebunan teh Neglasari jika dari arah Cikajang. Setelah ngobrol dengan bapak pemilik tambal ban yang ternyata adalah Pak RW setempat, kami diijinkan menitipkan mobil. Pak RW juga meminta tolong salah satu temannya untuk mengantar kami. Jalur ke Curug Limbung ini memang masih benar-benar tidak ada informasinya. Bahkan warga setempat pun masih jarang yang ke Curug Limbung.
Bapak Asep Garung nama warga yang mengantar kami. Sepanjang jalan beliau cerita mengenai Curug Limbung dan bagaimana kami bisa sampai tahu tentang jalur treking menuju Curug Limbung. Terdapat dua jalur menuju Curug Limbung. Pertama yang langsung menuju Puncak Gunung Limbung, yang kedua adalah yang melewati hutan dan sampai di salah satu tingkatan Curug Limbung lainnya. Jalur yang menuju Puncak Gunung Limbung pun terdapat percabangan ke salah satu tingkatannya. Kami memilih jalur yang langsung menuju Puncak Gunung Limbung.
Karena kondisi medan yang sangat sulit dan berbahaya, serta cuaca yang mulai kurang mendukung, kami memutuskan untuk turun lagi dan mengambil jalur satunya melalui hutan. Setibanya kami di kebun teh, tiba-tiba Bapak Asep menerima telepon penting dan harus segera pulang. Kami pun mempersilahkan Bpk Asep untuk pulang dan tetap melanjutkan perjalanan menuju jalur hutan.
Dengan modal parang yang dipinjami Bpk. Asep, kami pun masuk hutan. Ternyata jalur di dalam hutan cukup banyak percabangan dan Curug Limbung yang menjadi patokan kami menjadi tertutup pepohonan. Sempat kami bagi-bagi orang untuk cek masing-masing percabangan. Karena ragu, akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke Desa Neglasari. Sampai sekarang (Januari 2017), saya masih belum punya kesempatan untuk mengunjungi kembali Curug Limbung.
Curug Koja
Tujuan kami sebenarnya adalah Curug Koja, Curug Cibakom, dan Curug Ciwatin di Kabupaten Tasikmalaya. Info yang kami dapat mengenai tiga air terjun tersebut sudah cukup jelas, hanya tinggal kami datangi saja. Ketiga air terjun ini letaknya berdekatan dan masih dalam satu aliran sungai di satu desa yang sama, hanya saja rute masuknya yang berbeda.
Setelah tiba di Kampung yang merupakan jalur masuk menuju Curug Koja, kami mendapat informasi jika jalur menuju Curug Cibakom dan Curug Koja hanya berpisah di persimpangan di dalam kebun. Rute menuju Curug Koja merupakan yang paling jauh dan paling sulit, sehingga kami memutuskan untuk mengunjungi Curug Cibakom karena tidak ada warga yang bisa mengantar.
Setelah selesai dari Curug Cibakom, kami kembali ke rumah warga tempat kami menitipkan motor. Sampai kami tiba kembali, masih belum ada warga yang bisa mengantar kami. Hampir sebagian bapak-bapak dan anak muda di kampung tersebut ke kebun karena sedang musim panen buah-buahan. Biasanya, jika sedang musim panen begini bisa sampai siang menjelang sore.
Akhirnya kami memutuskan untuk jalan sendiri ke Curug Koja. Baru masuk kebun, jalur sudah bercabang. Karena ragu dan sudah cukup siang, kami memutuskan untuk menunda kunjungan ke Curug Koja dan melanjutkan ke Curug Ciwatin. Kunjungan kami ini pada 14 Februari 2015. Karena masih penasaran, akhirnya saya dan beberapa teman kembali mengunjungi Curug Koja pada 22 Februari 2015. Kali ini kami berhasil sampai di Curug Koja diantar warga setempat.
Curug Cicalobak
Karena sangat penasaran dengan postingan Grand Canyon Cianjur Selatan yang tidak sengaja saya liat di internet, akhirnya pada 15 Mei 2014 saya dan satu teman lainnya memutuskan untuk mencari sendiri Curug Cicalobak. Postingan di internet hanya merupakan dua foto yang sangat tidak jelas (hanya gambar batu di tepi jurang) serta informasi rute yang sama sekali tidak ada. Perjalanan kali ini adalah mencari jalur menuju Curug Cicalobak.
Koordinat desa tujuan sebenarnya sudah ada, tapi berubung saya belum terbiasa menggunakan Gmaps, jadi begitu tiba di Desa Rawagede kami kebingungan memilih jalur ketika bertemu percabangan. Kam sempat bertanya pada warga yang kami temui, dan kami disarankan melewati jalur bawah (masuk dari persimpangan sebelum Kecamatan Cibinong). Kami pun putar arah.
Jalur yang kami lalui belum apa-apa sudah disuguhi aspal hancur di tengah kebun karet. Tidak lama kami sampai di sebuah desa, hujan sangat deras turun. Karena tujuan kami masih sangat jauh, kami memutuskan untuk meneruskan perjalanan. Tidak jauh dari tempat kami berhenti, kami bertemu kembali dengan pertigaan cukup besar. Setelah mendapat informasi jalur yang menuju tujuan,kami pun berangkat lagi di tengah guyuran hujan deras.
Kondisi jalan yang kami lalui mulai berubah menjadi makadam. Patokan kami adalah Kecamatan Leles. Setiba di Kecamatan Leles, ternyata ban motor teman saya kemps dan bannya tubles. Cukup susah juga mencari tambal ban, apalagi yg tubles. Setelah hampir setengahnya kami kembali ke jalur awal, kami menemukan tambal ban. Sayangnya, ketika itu listrik sedang mati, jadi tidak bisa menambal ban. Akhirnya kami menunggu cukup lama.
Setelah listrik menyala sekitar satu jam kemudian dan urusan ban selesai, kami jalan lagi. Ternyata persimpangan menuju desa yang kami cari terlewat. Warga menyarankan kami mengambil jalur Batukasur. Dari persimpangan tersebut, jalur sudah makadam rusak parah. Medan jalan lama kelamaan menjadi lebih sulit. Turunan panjang dan curam, makadam bercampur lumpur dan gerimis yang mulai turun lagi menyulitkan perjalanan kami. Saya bahkan memutuskan berjalan kaki di jalur ini.
Kami sempat papasan dengan beberapa warga. Setiap warga yang kami temui, kami tanyai jalur menuju desa yang kami cari. Dan setiap warga juga memiliki jawaban yang berbeda-beda. Ada yang menyebutkan kami harusnya tidak lewat jalur ini, ada yang menyebutkan lanjutkan saja. Karena sudah kepalang masuk jalur ini, kami lanjutkan saja. Setelah bertemu jalan aspal rusak lagi, saya pun kembali naik motor. Hujan malah semakin deras.
Setelah kami menyeberangi sebuah jembatan gantung, jalan pun bercabang lagi. Kali ini, kami sudah tidak tahu lagi posisi kami dimana dan posisi tujuan kami dimana. Setelah bertanya pada warga, kami melanjutkan perjalanan. Jalan di depan kami malah semakin sulit. Medan tanjakan panjang dengan makadam yang dilapisi lumut dan lumpur sukses membuat saya kembali jalan kaki di tengah guyuran hujan yang malah semakin deras.
Setelah menemukan rumah-rumah penduduk lagi, kami pun bertanya lagi apakah jalur kami sudah benar. Menurut warga, jalur kami sudah benar dan di depan akan kami temui percabangan lagi. Jalur yang kami ambil adalah yang jalur bawah. Karena sudah pukul 15.00 WIB, hujan makin deras, posisi kami masih jauh dari tujuan, dan tenaga kami sudah habis, akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke Tanggeung. Jadi, jalur yang sekarang akan kami cari adalah jalur menuju Tanggeung.
Kami istirahat di sebuah warung. Ternyata pemilik warung tau jalur menuju air terjun yang kami cari dan sebenarnya bersedia mengantar, tapi menyarankan kami pulang saja. Karena kami memang tidak berencana menginap, jadi dipastikan kami akan tiba di desa yang kami cari menjelang Magrib dan sudah tidak bisa ke Curug Cicalobak.
Menurut pemilik warung dan beberapa warga, kami salah ambil jalur. Sebenarnya jalur awal kami dari Desa Rawagede adalah jalur yang termudah dibandingkan jalur Batukasur yang baru saja kami lewati. Bahkan, warga yang sedang mengobrol ini juga dari Desa Rawagede dan akan ke Kecamatan Leles. Kali ini kami diberi informasi jalur menuju Tanggeung yang akan melewati jalur Desa Rawagede, jalur yang harusnya kami lewati.
Kondisi jalan setelah warung tempat kami berhenti semakin sulit. Lumpur dari batuan kapur yang hancur hampir setinggi betis. Saya pun kembali berjalan kaki dan hujan masih belum juga berhenti. Hujan baru berhenti menjelang Magrib dan kami masih terjebak di jalur yang sebenarnya masih tidak terlalu jauh dari warung. Sudah tidak ada permukiman penduduk di sekitar kami. Di kanan kami tebing rawan longsor dan sisi kiri kami jurang dengan aliran sungai besar dan air yang sangat deras. Setelah keluar dari jalur ini dan menemukan permukiman, kami kembali bertemu persimpangan besar.
Kami diberitahu warga jalur yang sebaiknya kami lewati karena sudah gelap. Sebenarnya di persimpangan ini bisa tembus Agrabinta, Cijati, dan Kadupandak. Perkiraan kami, kali ini kami berada di Ciogong. Setelah mengikuti jalur yang disarankan, kami kembali masuk hutan dan jalur masih sama sulitnya. Setelah bertemu permukiman penduduk kembali, kami bertanya pada supir ELF. Menurut bapak ini, kami tidak disarankan lewat sini karena di depan jalannya sangat sulit dan sudah malam, kami pun putar arah lagi ke persimpangan besar tadi.
Jalur yang selanjutnya kami lalui masih sama sulitnya. Makadam rusak parah, bahkan melintas di tengah pematang sawah yang cukup sempit. Kami selalu berhenti di setiap persimpangan yang kami temui untuk bertanya pada warga. Bahkan ketika kami tiba di sebuah persimpangan yang sangat sepi, saya sampai mengetuk pintu rumah warga untuk menanyakan jalan. Akirnya kami tiba kembali di Tanggeung sekitar pukul 22.00 WIB dan sedang ada pemadaman listrik.
Kami menumpang ganti baju dan menambal ban kembali. Kami berdua basah kuyup dan menggigil, tenaga terkuras habis, kami pun belum makan sedari siang. Setelah makan di Sukanagara, kami pun pulang ke Bandung melalui Cianjur kota dengan sisa tengaa yang ada. Sebenarnya, jalur melalui Cianjur kota lebih jauh karena untuk lewat Pasirkuda sudah sangat tidak memungkinkan. Sampai sekarang (Januari 2017) saya belum berkesempatan kembali lagi ke Curug Cicalobak karena menunggu waktu yang pas.
Curug Caweni
Kegagalan pertama ke Curug Caweni pada Januari 2013 karena keterbatasan waktu dan kesulitan kami mencari jalur. Kami kesulitan mencari jalur karena memang belum ada satupun dari kami yang pernah melewati jalur Nyalindung – Cidolog. Kegagalan kedua pada April 2014 karena kami tidak sengaja menabrak ayam milik warga di Cidolog. Meskipun ayamnya tidak mati, tapi kami cukup trauma untuk kembali ke daerah Cidolog. Barulah pada kesempatan ketiga, November 2014, saya dan beberapa teman berhasil mengunjungi Curug Caweni, hanya saja pada waktu itu airnya masih kering total.
Karena masih penasaran, pertengahan Desember 2014, saya dan satu orang teman kembali lagi ke Curug Caweni. Kali ini bisa dibilang sedikit berhasil. Air di Curug Caweni sudah mulai bertambah, meskipun masih belum mencapai volume maksimalnya. Setidaknya rasa penasaran saya dengan Curug Caweni terbayar.
Puncak Darma
Setelah kunjungan keempat saya ke Ciemas, ternyata Puncak Darma masih gagal dikunjungi. Akhirnya, akhir Maret 2014, saya dan beberapa teman saya memutuskan untuk kembali ke Ciemas. Tujuannya hanya Puncak Darma dan beberapa curug di Ciemas. Kami sampai di pertigaan Desa Girimukti sekitar pukul 12.00 WIB. Ga berapa lama, hujan deras mulai turun.
Informasi jalur menuju Puncak Darma masih sangat minim, jadi kami juga harus sekalian mencari jalur di tengah guyuran hujan yang semakin deras. Kondisi jalan dan medan yang dilalui cukup sulit, apalagi ditambah hujan eras. Pukul 15.00 WIB kami berhenti di sebuah warung, karena jalannya bercabang. Menurut pemilik warung, jalan menuju Puncak Darma adalah yang kecil bukan jalan utama desa.
Nama Puncak Darma sangat asing, bahkan untuk warga Desa Girimukti sendiri. Warga disekitar Girimukti lebih mengenalnya dengan sebutan Puncak Cimarinjung. Setelah dirasa cukup berhenti, kami jalan lagi. Jalan makin licin, karena makadamnya tertutup rumput dan lumpur. Ditambah banyaknya percabangan dan jauh dari permukiman penduduk. Menjelang Magrib kami baru tiba di Puncak Darma. Saya sendiri tidak bisa meneruskan ke Puncak Darma dan sampai sekarang masih belum sempat untuk balik lagi.
Semenjak nama Geopark Ciletuh dikenal banyak orang, akses menuju Puncak Darma menjadi semakin mudah, meskipun kondisi jalannya masih tidak berbeda jauh. Setidaknya tidak harus salah jalur seperti yang kami alami.
Situ Cirompang
Nama Situ Cirompang di Kecamatan Bungbulang mungkin masih kaah tenar dibandingkan Situ Kabuyutan yang mulai banyak dikenal. Perjalanan saya dan tiga teman lainnya ke Situ Cirompang pada akhir Agustus 2013 masih belum berhasil. Jalur yang kami ambil adalah yang melewati Cisewu kemudian menuju Desa Sukarame dan akhirnya masuk Bungbulang.
Sepanjang Talegong – Cisewu kami memang banyak berhenti, ditabah satu motor teman saya bermasalah ketika di Desa Sukarame. Kami baru masuk Bungbulang sekitar pukul 13.00 WIB. Kami semua belum pernah ada yang ke daerah sini dan info mengenai rute ke Situ Cirompang pun masih sangat minim sehingga, keputusan kami untuk banyak berhenti di jalur Talegong – Cisweu ternyata sangat menghambat.
Jalur selepas Desa Cihikeu semakin sulit. Memasuki hutan pinus, makadam dengan tanjakan panjang bertambah sulit. Batu hilang seluruhnya dan digantikan tanah merah yang masih basah. Menurut pendapat saya pribadi, jalur ini malah lebih mirip jalur pendakian hanya sangat lebar dibandingkan jalan antar desa. Baru jam 17.00 WIB kami tiba di Desa Gunungjampang, Kec. Bungbulang. Menurut warga setempat, perjalanan kami ke Situ Cirompang masih harus dilanjutkan dengan berjalan kaki selama kurang lebih dua jam untuk waktu warga setempat. Untuk kami mungkin sekitar tiga jam.
Situ Cirompang yang terletak di lereng Gunung Kancana sudah dipastikan akan memiliki jalur treking yang tidak mudah. Dengan keterbatasan waktu, akhirnya tepat pukul 17.30 WIB kami turun kembali ke Desa Cihikeu dan niat kami ke Situ Cirompang pun kami tunda. Perjalanan pulang memang sedikit lebih cepat. Selepas Desa Cihikeu jalur akan menjadi makadam hingga Desa Gunungjampang. Untuk ukuran jarak, mungkin dibawah 10 Km karena tidak sempat menghitung.
Hingga saat ini (Januari 2017) saya belum berkesempatan untuk kembali ke Situ Cirompang dikarenakan kondisi Situ Cirompang sendiri ditambah masih mengumpulkan beberapa informasi mengenai jalur lainnya melalui Kec. Pangalengan.
Rancadahon, Curug Gorobog, Curug Ciputrawangi, Curug Cikondang, Curug Country
Sebenarnya lima lokasi ini sudah berhasil saya datangi, hanya saja meamng waktunya yang belum pas. Rancadahon merupakan danau atau mungkin tepatnya rawa yang berada persis di Pantai Agrabinta. Ketika saya berkunjung pada November 2014 lalu, sedang puncak musim kemarau. Air Rancadahon pun menyusut drastis. Untuk menuju Rancadahon harus melewati pematang sawah.
Saat itu, saya tiba tepat pukul 11.00 WIB dan sedang terik-teriknya. Melihat kondisi Rancadahon yang sangat surut dan fisik yang lumayan terkuras juga, akhirnya saya hanya sempat mendokumentasikan Rancadahon dari kejauhan dan hanya sedikit foto yang bisa saya ambil. Sampai saat inii saya belum berkesempatan untuk kembali ke Rancadahon dan mungkin akan menunggu musim penghujan sudah stabil meskipun medan yang akan ditempuh menjadi lebih sulit karena jalurnya merupakan makadam, pasir, dan tanah.
Curug Ciputrawangi saya datangi pada Februari 2012. Saat itu sehabis turun dari Gunung Tampomas, kami mampir ke Curug Ciputrawangi. Pada saat itu, volume air Curug Ciputrawangi sedang besar. Sayangnya, pada waktu itu saya masih belum terlalu fokus untuk mendokumetasikan tempat-tempat yang saya datangi. Foto yang saya punya untuk Curug Ciputrawangi merupakan hasil jepretan teman saya, itu pun tidak seberapa banyak. Oleh karena itu, saya tidak banyak mempublikasikan Curug Ciputrawangi di sosial media, karena harus seijin teman yang punya foto.
Curug Cikondang yang saya datangi pada Juni 2011 pun sebenarnya ketika itu sedang dalam kondisi yang cukup baik., Hanya saja, seperti Curug Ciputrawangi, saya belum fokus untuk mendokumentasikan loaksi yang pernah saya datangi. Hingga saat ini, saya belum berkesempatan kembali ke Curug Cikondang. Karena sudah menjadi salah satu lokasi yang banyak dikunjungi, dan informasinya juga cukup banyak, jadi mungkin di lain waktu saja saya kembali ke Curug Cikondang.
Curug Gorobog di Kabupaten Sumedang merupakan salah satu wisata yang sudah cukup ramai didatangi, hanya saja, saya datang di waktu yang tidak tepat. Saya mengunjungi Curug Gorobog pada September 2013 dan pada waktu itu sedang puncak musim kemarau sehingga Curug Gorobog sangat kering. Karena sudah merupakan tempat wisata, jadi kunjungan kembali ke Curug Gorobog masih saya tunda hingga saat ini (Januari 2017).
Curug Country di Jonggol pun berhasil saya kunjungi pada Agustus 2012, sayangnya seperti kejadian Curug Gorobog, pada saat itu, puncak musim kemarau. Air Curug Country sangat kering, bahkan banyak serangga dan nyamuk di sekitar curugnya. Sampai saat ini (Januari 2017) saya belum berkesempatan untuk kembali ke Curug Country.
Curug Kanteh
Curug Kanteh berada di Banten. Kedatangan kami ke Curug Kanteh sebenarnya tanpa rencana. Pada September 2011 lalu, saya dan tiga teman saya bertujuan ke Sawarna. Setelah tiba di Sawarna, pemilik penginapan kami memiliki peta objek wisata yang berada di wilayah Lebak dan sekitarnya. Tidak sengaja saya melihat Curug Kanteh di legenda peta. Segera saya meminta untuk berkunjung ke Curug Kanteh.
Sayangnya, pada saat itu, di Lebak memang sedang puncak musim kemarau, sehingga perjalanan panjang menuju Curug Kanteh terasa kurang memuaskan. Volume air Curug Kanteh sangat kecil. Bahkan lebih mirip saluran pembuangan air dari puncak bukit. Selain itu, pada waktu itu, saya belum fokus dengan hal pendokunetasian tempat yang saya datangi. Foto-foto Curug Kanteh yang sangat surut pun hanya dimiliki teman seperjalanan saya ke Sawarna. Hingga saat ini (Januari 2017) saya belum sempat berkunjung kembali ke Curug Kanteh karena saya lupa jalurnya. Jadi, selain mempersiapkan waktu yang pas, saya juga harus mencari rutenya dari 0 lagi.
Diatas adalah 12 tempat yang belum berhasil saya kunjungi dan yang sudah berhasil saya kunjungi namun sangat perlu diulang. Memang, rencana sematang apapun, jika memang belum waktunya sampai, pasti ada hal-hal tak terduga selama perjalanan yang memaksa kita untuk mengambil keputusan spontan.
Dari beberapa pengalaman di atas, terkadang jika memang dirasa perlu meminta bantuan warga setempat untuk menunjukan jalan, ya akan saya lakukan. Entah itu meminta bantuan untuk diantar menuju desa atau kampung tujuan maupun diantar di jalur treking. Hal ini saya lakukan untuk menghemat waktu dan tenaga. Agar setidaknya kejadian balik kanan tidak banyak terulang.
Memang, untuk beberapa orang meminta bantuan warga adalah hal yang paling akhir dilakukan dan memilih untuk mencari sendiri jalur-jalurnya. Keuntungan lainnya dengan meminta bantuan warga yang mengenal lokasi tersebut untuk saya pribadi adalah bisa menggali informasi seputar daerah dan lokasi tujuan yang mungkin masih belum ada di internet.