Secara administratif, Tumpak Sewu berada di perbatasan antara Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang. Tepatnya, berada diantara Desa Sidorenggo, Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Malang dengan Desa Sidomulyo, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Tumpak Sewu berasal dari dua kata, yaitu Tumpak yang berarti ‘kumpulan’ dan Sewu yang berarti ‘Seribu’. Namun, sumber lain pun ada yang menyebutkan Tumpak berarti Sabtu dalam Bahasa Jawa Kuno.
Sungai sumber aliran Tumpak Sewu merupakan pembatas geografis antara Kabupaten Malang dengan Kabupaten Lumajang. Sungai yang menjadi sumber aliran Tumpak Sewu merupakan Sungai Glidih yang berhulu di Gunung Semeru. Aliran Sungai Glidih pun tidak jauh berbeda dengan aliran sungai lainnya di Kabupaten Lumajang. Aliran sungainya membawa sebagian besar material dari badan Gunung Semeru. Pasir, kerikil, bahkan lumpur ketika musim hujan.
Pintu masuk menuju Tumpak Sewu terdapat di masing-masing kabupaten. Di Kabupaten Malang, jalan masuk menuju Tumpak Sewu berada di Jalan Raya Sidorenggo, Desa Sidorenggo, Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Malang. Lebih tepatnya, jalan masuk dari sisi Kabupaten Malang berada pada koordinat -8.225832, 112.914369. Coban Sewu adalah nama yang diberikan bila datang dari arah Kabupaten Malang.
Jalan masuk menuju Tumpak Sewu dari arah Kabupaten Lumajang berada di Jalan Raya Dampit – Lumajang, Desa Sidomulyo, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang. Lebih tepatnya, jalan masuk dari sisi Kabupaten Lumajang berada pada koordinat -8.227444, 112.919908. Tumpak Sewu adalah nama yang diberikan bila datang dari arah Kabupaten Lumajang.
Rute Menuju Tumpak Sewu
Bila datang dari arah Malang, arahkan kendaraan menuju Turen. Setiba di Turen, arahkan kendaraan menuju Dampit melalui jalan raya utama menuju Kabupaten Lumajang. Ikuti jalan raya utama melewati Dampit – Ampelgading – Pronojiwo. Bila ingin mengunjungi Coban Sewu, jalan masuk berada sebelum gapura perbatasan Kabupaten Malang – Kabupaten Lumajang. Bila ingin mengunjungi Tumpak Sewu, maka jalan masuk berada setelah gapura perbatasan Kabupaten Malang – Kabupaten Lumajang.
Kondisi jalan cukup baik. Meskipun sepanjang jalur Dampit – Pronojiwo jalan banyak berlubang dan bergelombang. Lalu lintas didominasi oleh truk pengangkut pasir besi dan batu. Kondisi lalu lintas akan sangat ramai oleh truk, dari pagi hingga malam hari. Truk yang melintas di jalur ini cukup banyak dan bergerak dalam rombongan. Satu rombongan truk bisa terdiri lebih dari lima truk. Berlaku bagi kedua arah.
Tumpak Sewu berjarak kurang lebih 70,2 Km dari Kota Malang dengan waktu tempuh sekitar 2 jam 30 menit. Sedangkan dari arah Kota Lumajang, berjarak kurang lebih 53,8 Km dengan waktu tempuh sekitar 1 jam 37 menit. Namun, bila menggunakan kendaraan umum ataupun sewaan, disarankan memulai perjalanan dari Kota Malang. Penyewaan kendaraan dan kendaraan umum di Kota Malang, jauh lebih mudah didapat dibandingkan dari Kota Lumajang.
Coban Sewu dan Tumpak Sewu
Tumpak Sewu merupakan nama yang diberikan oleh pengelola dari Kabupaten Lumajang, sedangkan Coban Sewu merupakan nama yang diberikan oleh pengelola dari Kabupaten Malang. Hingga saat ini, jalur masuk dari Kabupaten Lumajang lebih banyak dikunjungi.
Bila memilih untuk masuk dari sisi Lumajang, kondisi akses sudah sangat baik. Kondisi jalan desa menuju area parkir sudah dalam kondisi baik meskipun tidak terlalu lebar. Area parkir yang disediakan pun cukup luas. Terdapat beberapa rumah warga yang dapat disewakan bagi pengunjung yang ingin bermalam.
Dari area parkir menuju Pos Panorama, pengunjung harus berjalan kaki sejauh kurang lebih 500 m. Jalur trekking sudah merupakan jalan beton dengan medan yang terus berupa turunan. Turunan akan semakin curam ketika mendekati Pos Panorama. Bila musim hujan, harus berhati-hati karena cukup licin.
Pos Panorama merupakana area datar dua tingkatan yang cukup luas. Pos Panorama sudah diberi paving block, pagar pembatas, serta bangunan untuk berteduh. Terdapat juga spot selfi di tingkatan kedua. View dari Pos Panorama merupakan area terbuka dan cukup luas. Pengunjung dapat melihat Tumpak Sewu secara utuh mulai dari ujung tebing hingga dasar tebing. Bila cuaca sedang cerah, Gunung Semeru pun dapat terlihat dengan jelas dari Pos Panorama.
Spot berikutnya yang bisa didatangi pengunjung yaitu area di dasar tebing. Untuk bisa sampai ke spot ini, pengunjung harus menuruni tebing dengan ketinggian 120 m (sama dengan tinggi air terjun). Trek menuju dasar tebing cukup sulit dengan medan yang sangat curam.
Pertama, trek merupakan tanah merah. Kemudian, disambung dengan tangga-tangga dari bambu dengan kemiringan yang sangat curam. Sudah disediakan penyangga tangga dari bambu. Pada beberapa titik, jarak antar anak tangga bambu cukup berjauhan, jadi sebaiknya berhati-hati ketika melangkah.
Setelah trek tangga bambu habis, pengunjung harus melewati dua aliran air terjun kecil. Pijakan disini sudah merupakan batuan bagian dari dinding air terjun yang langsung berbatasan dengan jurang. Disediakan penyangga dari bambu hingga ujung air terjun pertama. Berikutnya, pengunjung harus menuruni dinding air terjun kedua untuk mencapai dasar tebing.
Pijakan ketika menuruni air terjun kedua hanya berupa batuan dinidng air terjun yang terkikis aliran air. Sedikit licin. Disediakan tambang di pinggian tebing air terjun. Air terjun kedua ini pun langsung berbatasan dengan jurang.
Setiba di dasar tebing, terdapat warung. Warung ini berada di persimpangan menuju Goa Tetes dan Tumpak Sewu. Bila ingin sekalian mengunjungi Goa Tetes, ambil jalan ke arah hilir sungai. Jaraknya kurang lebih 1-2 Km. Bila langsung menuju Tumpak Sewu, ambil jalan menuju hulu sungai. Di persimpangan ini, pengunjung akan diminta retribusi lagi sebesar Rp 10.000.00/orang.
Medan di dasar tebing ini sudah datar. Pengunjung hanya perlu menaiki batuan untuk tiba di Tumpak Sewu. Area di sekitar Tumpak Sewu di dasar tebing cukup luas. Area terbagi ke dalam beberapa spot. Spot pertama yaitu di atas bebatuan di sisi kanan (bila menghadap air terjun). Spot kedua yaitu di atas bebatuan di sisi kiri (bila menghdap air terjun). Spot ketiga yaitu sejajar aliran sungai dan tepat di bawah aliran jatuhan Tumpak Sewu.
Tumpak Sewu merupakan air terjun permanen dengan ketinggian 120 m. Tumpak Sewu dapat diklasifikasikan ke dalam tipe dominan Paralel Waterfall dan Segmented – Curtain Waterfal. Tipe Paralel muncul karena aliran jatuhan Tumpak Sewu memiliki dua sumber utama yang berbeda.
Aliran jatuhan pertama berasal dari aliran Sungai Glidih. Aliran jatuhan lainnya berasal dari mata air. Mata air ini berasal dari rekahan batuan di sekeliling dinding air terjun. Terdapat perbedaan warna yang sangat kontras antara aliran jatuhan yang bersumber dari sungai dan yang bersumber dari mata air. Terutama pada musim hujan.
Aliran jatuhan yang bersumber pada aliran sungai akan berwarna sangat keruh, baik musim kemarau maupun musim hujan. Pada musim kemarau, volume jatuhannya akan jauh lebih kecil dibandingkan dengan aliran jatuhan yang berasal dari mata air. Sebaliknya, aliran jatuhan yang bersumber dari mata air memiliki volume yang stabil baik musim hujan maupun musim kemarau. Dengan warna air yang tetap jernih.
Area di sekitar aliran sungai didominasi oleh lumpur. Lumpur tersebut sebagian besar terbawa aliran jatuhan yang berasal dari sungai. Sehingga, di area Tumpak Sewu di dasar tebing, di area sekitar aliran sungai sangat licin dan rawan amblas. Batuan di area sekitar Tumpak Sewu di dasar tebing pun sebagian tertutup lumut dan lumpur.
Pengunjung anak kecil dan yang sudah berusia lanjut hanya disarankan hingga Pos Panorama. Untuk turun ke dasar tebing pun dibatasi hingga pukul 15.00 WIB untuk turun. Bila cuaca sedang tidak baik (mendung ataupun gerimis) sangat tidak disarankan untuk turun menuju dasar tebing. Tersedia juga jasa ojek sebesar Rp 10.000,00/orang dari pos panorama hingga area parkir.
Sejarah Pembukaan Obek Wisata Tumpak Sewu
Berdasarkan sumber berikut, air terjun Tumpak Sewu ditemukan berawal dari keprihatinan warga sekitar Desa Sidomulyo akan pendapatan warga di daerahnya. Salah satu warga yang bernama Abdul Karim (salah satu pengelola objek wisata Tumpak Sewu), berinisiatif untuk membuat dan mengelola objek wisata yang berada di sekitar wilayahnya.
Pilihannya jatuh pada Goa Tetes. Oleh karena itu, Abdul Karim tidak berhasil mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Alasannya, karena Goa Tetes sudah dikelola oleh pemerintah. Abdul Karim terus mencari hingga sepuluh air terjun di wilyahnya. Hingga, ditemukannya lah air terjun dengan sumber aliran jatuhan yang cukup banyak. Setelah didokumentasikan dari berbagai sudut, akhirnya sepakat bahawa air terjun ini mampu dijual baik nasional dan internasional.
Permasalahan kemudian muncul setelah dimusyawarahkan dengan penduduk desa lainnya. Mulai dari alasan karena merupakan tempat warga mencari rumput dan kebun salak, susahnya akses menuju air terjun, tidak adanya dana untuk membuka tempat wisata, hingga pesimis dengan tingkat kunjungan.
Permasalahan pertama selesai dengan kesepakatan pemilik kebun salak yang terkena pembukaan akses akan diberikan kompensasi dari hasil penjualan tiket parkir dan tiket masuk. Hingga saat ini, pengunjung Tumpak Sewu dikenakan retribusi sebesar Rp 10.000,00/orang. Permasalahan kedua pun terselesaikan, yaitu pembukaan akses yang sangat sulit.
Pembukaan akses akhirnya dapat diselesaikan oleh gotong royong pembuatan jalan setapak dari beton, pembukaan pos panorama, hingga pembuatan tangga bambu menuju dasar tebing. Semua pengerjaan ini dilakukan secara bertahap, tidak dalam satu kali pengerjaan.
Permasalahan dana diselesaikan dengan menggunakan dana pribadi Abdul Karim pada awal-awal pembukaan akses dan pembangunan fasilitas dasar. Namun, lama kelamaan, banyak warga juga yang memberikan sumbangan. Akhirnya, pada 13 Maret 2015, Tumpak Sewu pun diresmikan. Dalam jangka waktu tiga tahun, Tumpak Sewu sudah menjadi icon pariwisata andalan di Jawa Timur, dan Kabupaten Lumajang pada khususnya.