Motoran kali bukan hanya mendatangi tempat-tempat yang ingin saya kunjungi saja, tapi juga penasaran sama beberapa jalur antar kabupaten, bahkan antar provinsi. Setelah diatur rutenya dan segala macemnya, memang, rute motoran kali ini jadi lebih panjang & sedikit berputar-putar. Berhubung kami pun lagi senggang, jadi tidak ada patokan waktu kapan harus ada lagi di Bandung, tapi tetap dalam range budget yang udah dihitung. Makanya ada beberapa rute yang sangat panjang, ada juga yang terbilang pendek. Demi menghemat waktu, budget & jaga-jaga kalau harus ada tambahan hari.
Purwokerto menjadi kota tujuan transit pertama kami. Bukan tanpa alasan saya memilih Purwokerto. Ada setidaknya tiga jalur yang ingin saya lewati dan kota yang paling memungkinkan (dalam kriteria saya) untuk transit kayanya Purwokerto. Kalau ditanya apa yang mau saya kunjungi atau saya eksplore di Purwokerto, jujur saja untuk motoran kali ini, ga ada. Murni hanya transit untuk istirahat, tidur, sudah. Saya masih merasa puas & cukup dengan motoran saya ke Baturaden libur Lebaran 2019 lalu.
Untuk tempat istirahat pun, sengaja saya cari yang ga terlalu di pusat kota ataupun di tempat ramai dan tidak juga di jalan yang arus lalu lintasnya ramai/macet. Alhamdulillah nemu dan sangat puas dengan fasilitas serta pelayanan tempat menginap tersebut. Dua rute pertama yang penasaran ingin saya lewati adalah jalur Rancah – Dayeuhluhur – Majenang. Jalur kedua adalah jalur Salem – Bantarkawung – Bumiayu. Untuk rute kedua ini, sudah saya cari-cari kesempatan untuk bisa tes jalur sedari 2018 lalu. Sementara rute pertama, saya sudah penasaran sejak 2016 lalu. Alhamdulillah kesampean ngelewatin dua rute tersebut sekaligus dalam satu perjalanan.
Rute rumah – Gentong (Tasikmalaya) merupakan jalur yang cukup membosankan bagi saya sekaligus jalur yang paling terasa lama. Untungnya, dalam perjalanan kali ini, kami sangat lancar melewati jalur tersebut. Tidak pakai drama harus bermacet-macet ria dengan mobil pribadi dan bus AKAP, meskipun di hari Minggu. Rasa kantuk mulai kami rasakan ketika memasuki Kec. Panjalu, Kab. Ciamis. Kami sempat rest dulu cukup lama di salah satu mini market. Kondisi badan yang sedikit lemas karena menahan ngantuk sempat membuat saya berfikir, ini masih di Panjalu loh, Purwokerto masih jauh, apalagi Lumajang!
Sekitar pukul 10.00 WIB kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Mengingat tujuan kami di hari ini masih cukup jauh. Kondisi jalan cukup sepi, tidak terlalu banyak kendaraan yang lalu-lalang. Kecepatan motor tetap di kecepatan standar, tidak terlalu ngebut juga tidak terlalu lambat. Jalur yang kami lewati adalah Panjalu – Lumbung – Kawali – Jatinegara – Rajadesa – Rancah. Sepertinya kami akan sampai di Rancah tepat di jam makan siang. Saya sudah berencana untuk mampir di Warkop langganan kami di depan Polsek Rancah.
Memasuki Kec. Rancah, rasa kantuk saya langsung hilang begitu saja. Berhubung rasa kantuk sudah menghilang dan masih sekitar jam 11.00 WIB, maka kami putuskan untuk tidak jadi mampir di warkop langganan.. Sebentar lagi, kami akan melewati jalur yang sudah sangat ingin saya lewati sejak 2016 lalu. Aplikasi perekam jalur pun saya aktifkan, tidak lupa Gmaps untuk memandu kami melintasi rute Rancah – Dayeuhluhur hingga ke Wanaraja nanti. Pasti tidak sedikit yang heran, ngapain sih ambil jalur Rancah kalau ujung-ujungnya keluar di Wanareja? Kenapa dari Gentong ga terus aja ikutin Jalan Provinsi sampai ke Wanaraja yang notabenenya dilewati Jalan Provinsi?
Alasan pertama adalah, karena saya kurang suka jalur yang rame dan riweuh, apalagi riweuh sama bus & truk. Kedua, karna di tengah jalur Rancah – Dayeuhluhur – Wanaraja ada titik yang merupakan perbatasan antara Provinsi Jawa Barat dengan Jawa Tengah
Perbatasan ini ditandai oleh batas geografis bentangalam sungai dan seperti biasa, jembatan menjadi penanda batasnya. Titik perbatasan ini berbeda jauh dengan tiga titik perbatasan utama antara Jawa Barat dengan Jawa Tengah lainnya. Tidak ada gapura megah, tidak ada trotoar, tidak ada lampu dan umbul-umbul yang mencolok menandakan batas wilayah. Setidaknya, di sisi Jawa Tengah ada gapura berwarna orange dengan gunungan dan tulisan identitas wilayah dengan font layaknya aksara Jawa kuno. Sementara di sisi Jawa Barat, hanya ditandai oleh beberapa bendera warna-warni. Satu bendera berwarna ungu di sisi kanan jalan, tepat di mulut jembatan, bertuliskan “Selamat Jalan”.
Setelah berbelok menuju jalur yang akan tembus di titik perbatasan antar provinsi, suasana Kembali sepi dan cuaca pun menjadi sedikit mendung. Kondisi jalan sangat baik. Jalan sudah dilapisi aspal yang cukup mulus. Medan jalan bervariasi, kebanyakan turunan. Pemandangan khas pedesaan kembali kami temui. Sesaat kami melintasi area permukiman, kemudian berganti area persawahan, kemudian berganti area perkebunan, kemudian berganti kembali memasuki area permukiman.
Ketika kami tiba di persimpangan dengan objek wisata Bukit Meralaya, kami mulai bertemu dengan beberapa pengendara motor trail. Seingat saya, memang ada satu sikuit trail untuk balapan dan beberapa jalur trail yang menembus area perkebunan. Di satu titik, kami bertemu dengan beberapa pengendara trail yang baru keluar dari jalur. Jalan yang kami lalui kembali sedikit menyempit. Tidak ada minimarket di area ini. Hanya ada satu Pertashop dan satu ATM di kantor Kecamatan Tambaksari.
Selepas kantor Kecamatan Tambaksari, jalanan kembali sedikit menyempit dan tetap sepi dari lalu-lalang kendaraan. Selepas Balai Desa Kaso, ternyata sedang diadakan Latihan TNI. Terdapat papan jalan dan penanda lainnya, serta beberapa rumah warga yang dijadikan simulasi pos perbatasan. Melewati titik perbatasan yang masih sedikit orang yang mau melewatinya, bahkan mungkin masih sedikit yang tahu, tidak afdol rasanya kalau tidak diabadikan dalam bentuk foto. Rasa kantuk dan badan lemas sudah menghilang total. Digantikan perasaan bersemangat dan rasa puas. Rasa penasaran selama enam tahun dengan mencari kesempatan untuk melewati jalur ini terbayar sudah.
Cuaca cukup cerah, bahkan bisa dibilang cerah tapi adem. Kondisi jalan di titik perbatasan ini sangat baik, jalan lebar, lalu-lintas sangat sepi, jauh dari permukiman juga. Sebuah lokasi ideal bagi saya untuk berhenti sejenak. Tidak seperti di perbatasan antar provinsi di wilayah Banjar dan Cirebon, tidak ada warung penjual makanan, maupun area yang sengaja disediakan untuk beristirahat para pengguna jalan. Kami hanya berhenti di pinggir jalan dan duduk di tembok jembatan.
Akhirnya pada Minggu siang, kamipun memasuki Jawa Tengah via Kec. Dayeuhluhur, Kab. Cilacap, Jawa Tengah. Setelah gapura perbatasan, medan jalan akan menaiki bukit. Kec. Dayeuhluhur berada di area perbukitan. Suasana sepi, arus lalu lintas yang lengang, kondisi jalan yang cukup baik menjadi sambutan pertama kali di Jawa Tengah. Bahkan, di pusat kecamatan pun tidak ada keramaian yang berarti.
Mungkin di daerah seperti ini, warga lebih memilih untuk bersantai di rumah, ketimbang pelesiran ke tempat wisata hitz, berkebalikan dengan di kota asal saya. Bahkan di beberapa titik, kami malah merasa sedang berada di komplek perumahan di kota asal kami, bukan di jalan lintas antar provinsi. Ada beberapa Km yang kondisi jalannya sedikit buruk. Lapisan aspal teratas menghilang. Tergantikan oleh lapisan batuan paling atas. Tapi tidak mengapa, karna setelahnya, tepat ketika medan jalan kembali menaiki bukit, kondisi jalan pun berangsur berganti aspal khas desa kembali.
Medan menanjak dan menurun berakhir dengan turunan panjang yang membelah area PTPN VIII. Awalnya, saya berencana mengambil jalur yang tembus di alun-alun Wanareja, tapi saya urungkan. Sepertinya ambil jalur provinsi bisa lebih cepat kalau sudah di daerah sini. Akhir jalur Rancah – Dayeuhluhur pun ditutup dengan area PTPN VIII yang berujung di Jalan Nasional, tepatnya Desa Madura, Kec. Wanareja, Kab. Cilacap, Jawa Tengah. Tuntas sudah rasa penasaran saya.
Jalur kedua berikutnya yang saya penasaran adalah jalur Salem – Bumiayu via Bantarkawung. Nama daerah Salem sendiri baru saya dengar sekitaran 2015 atau 2016 kalau ga salah. Itupun membaca tulisan Riding Report salah satu kawan di forum. Kala itu, Salem menjadi rute yang diambil ketika mudik menggunakan motor menuju Yogyakarta.
Enaknya, Salem punya tiga jalur tembusan jika start dari Majenang. Pertama rute Majenang – Salem – Brebes Pantura. Rute kedua, Majenang – Salem – Kuningan. Ketiga Majenang – Salem – Bumiayu. Nah, rute ketiga inilah yang belum kesampaian saya lewati. Sebelum memasuki jalur yang ingin saya lewati, kami memutuskan untuk makan siang yang kesorean terlebih dahulu di Pusat Kecamatan Salem.
Secara umum, karakterisitik medan jalur Salem – Bumiayu hampir sama dengan karakterisitik medan Majenang – Salem. Tapi tidak sesadis jalur Salem – Banjarharjo (arah Brebes Pantura). Kondisi jalan di Bantarkawung hingga Bumiayu pun sangat baik. Jauh lebih baik dibanding di Dayeuhluhur. Jalur ini akan melintasi area perbukitan. Jika cuaca sedang cerah, akan terlihat jelas pemandangan ke arah Majenang, Wanareja, bahkan ke Cilacap kota di Selatan. Ketika kami melintas di jalur ini, tidak ada sama sekali warga yang juga melintas di jalur ini. Area permukiman warga hanya terdapat di beberapa titik. Sisanya adalah perkebunan/hutan.
Memasuki Bumiayu, medan jalan akan didominasi turunan. Kondisi arus lalu-lintas pun akan kembali menjadi ramai dan riweuh setibanya di Bumiayu. Berbanding terbalik dengan arus lalu lintas di jalur Salem – Bantarkawung. Medan jalan akan datar dan cukup monoton kali ini. Arus lalu lintas semakin ramai, menandakan kami sudah dekat dengan ujung rute yang ingin saya cek, yaitu Pasar Induk Bumiayu.
Dari Pasar Induk Bumiayu, kami harus mengambil arah Selatan untuk menuju Kota Purwokerto. Begitu kami tiba di Pasar Induk Bumiayu, jalur yang kami lewati sudah memasuki Jalan Nasional. Artinya, tidak akan lama lagi, kami akan segera bertemu truk dengan aneka ukuran kembali.
Benar saja, selepas Pasar Induk Bumiayu, jalan lurus sangat lebar membentang. Tidak lama, kami menemui gapura perbatasan Kabupaten Brebes dengan Kabupaten Banyumas. Setelah melewati gapura perbatasan tersebut, mulai kami dapati kepadatan lalu-lintas. Setelah setengah hari ini kami tidak bertemu dengan truk, bis, dan mobil barang, akhirnya kami bertemu kembali. Tidak tanggung-tanggung, aneka truk dengan berbagai ukuran mulai berseliweran di jalur yang kami lalui.
Maklum saja, karena jalur yang sedang kami lalui ini merupakan Jalan Nasional sekaligus jalan utama penghubung jalur Pantura dan Jalur Lintas Selatan. Terdapat juga gerbang tol Trans Jawa yang aksesnya juga melewati jalur ini.
Berhubung arus lalu-lintas mulai kembali padat, saya pun mencoba mencari – cari jalur alternatif untuk memasuki Kota Purwokerto. Sebenarnya, jika ingin praktis, tinggal ikuti saja jalur ini hingga tiba di Ajibarang. Di Ajibarang akan detemui pertigaan yang cukup besar yang akan memisahkan jalur menuju Kota Purwokerto dengan jalur yang menuju kota – kota di Selatan. Namun, ternyata di arah Ajibarang sore itu, Google Maps menunjukan garis merah tua. Artinya terjadi kemacetan yang lumayan parah. Memang sudah terlihat kepadatan kendaraan dari posisi kami saat ini.
Akhirnya, saya pun menemukan satu rute yang memungkinkan untuk kita ambil. Jalur Pekuncen – Cilongok melalui Desa Candinegara – Desa Kalisari. Setiba di Desa Kalisari jalur yang harus kami ambil adalah arah Selatan hingga bertemu kembali dengan Jalan Nasional lintas Ajibarang – Kota Purwokerto.
Setelah kami berbelok tepat setelah Polsek Pekuncen, kami pun kembali melewati jalan yang lebih kecil. Jalur ini merupakan ruas jalan Kabupaten yang cukup memotong jarak. Arus lalu lintas di jalan raya sore ini cukup ramai dan didominasi oleh sepeda motor. Setelah beberapa saat melintasi jalur ini, rasanya saya tidak asing dengan jalur ini. Ternyata, jalur ini merupakan jalur yang pernah kami lewati 2019 lalu. Hanya saja, pada 2019 lalu, kami melintas di jalur ini dari arah Baturraden menuju Curug Nangga di Desa Petahunan, Kecamatan Pekuncen. Kami pun ingat, 2019 lalu kami singgah makan siang di satu rumah makan Padang yang rasanya sangat enak.
RM Padang Mersi namanya. Berlokasi tepat di sebuah pertigaan, tepat di ujung jalan yang sedang kami lalui. Sayangnya, sore ini, kami masih cukup kenyang dan fokus untuk cepat sampai di tempat kami menginap. Benar saja, di ujung jalan yang sedang kami lalui, tepat di sebuah pertigaan, kami menemukan RM Padang Mersi.
Kami pun mengarahkan motor ke arah Selatan menuju Jalan Nasional Ajibarang – Purwokerto. Kami sudah memasuki wilayah Kecamatan Cilongok. Kami pun tiba di persimpangan dengan Jalan Nasional. Arus lalu-lintas lebih padat lagi. Tidak terlalu jauh kami berkendara, mungkin hanya sekitar 500 m, arus lalu-lintas mulai tersendat.
Kami pun kembali menemui kemacetan. Arus lalu-lintas didominasi oleh truk besar dan sepeda motor. Di jalur ini kemacetan terjadi di dua arah. Teringat, pada 2019 lalu pun kami terhambat macet di jalur ini. Hanya saja waktu itu kami melintas di jalur ini sudah mendekati pukul 19.00 WIB.
Kemacetan terus kami termui hingga tiba tepat di pinggiran area perkotaan Purwokerto. Tepatnya setelah melewati Monumen Panglima Besar Jendral Sudirman. Untungnya, kurang lebih 1 Km dari monumen ini, jalur yang kami harus lewati berpisah dengan jalur utama menuju Kota Purwokerto. Lokasi yang kami pilih untuk menginap kali ini berada di sisi Selatan Purwokerto, dan tidak harus melewati area pusat kota Purwokerto.
Tepat pukul 17.00 WIB kami sudah tiba di tempat kami menginap. Kami akan beristirahat satu malam di sini sebelum besok kami akan melanjutkan perjalanan kembali. Menyusuri jalur-jalur yang sudah lama ingin saya lewati. Tuntas sudah rasa penasaran saya akan rute Salem – Bumiayu.