Tulisan ini sebenernya udah terinspirasi dari sekian lamanya motoran blusukan begajulan yang kebanyakan hanya didaerah Jawa Barat ajah. Kali ini mungkin tulisannya aga-aga sotoy mungkin yaa….. kali ini aga gemes juga untuk bahas yang namanya Hak warga negara. Tenaang, tenaang bahasannya ga akan terlalu berat & luas kaya tim sukses capres ko, hanya ngambil dari beberapa pengalaman motoran.
Pasal 28 C UUD 1945
- Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Pasal 28 H UUD 1945
- Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Apa hubungannya motoran sama isi dari dua pasal diatas?
Dari Pasal 28 C ayat 1 UUD 1945 dijelaskan bawa “setiap orang berhak mendapat manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi…..”
Manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi versi saya di sini saya hubungkan dengan kondisi prasarana dan sarana transportasi. Kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang transportasi di kota-kota megapolitan dan metropolitan sudah banyak mengalami kemajuan, mulai dari desain moda transportasi, jenis-jenis moda transportasi, kecanggihan teknologi sarana transportasi yang menunjang mobilitas, bahkan menciptakan aksesibilitas dengan tingkat hambatan rendah/seminim mungkin.
Kalau pernah memperhatikan prasarana jalan di kota-kota Megapolitan dan Metropolitan, sudah tidak akan asing dengan yang namanya flyover, monorail, busway dll. Semuanya adalah produk dari kemajuan dan kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang transportasi ditunjang dengan ilmu-ilmu pendukung seperti ilmu rekayasa lalu-lintas, ilmu mengenai transportasi, ilmu di bidang sosial, budaya dll akhirnya menciptakan suatu sistem transportasi yang pada akhirnya mempermudah mobilitas dalam kegiatan sehari-hari dan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Lain kota megapolitan dan metropolitan, lain lagi dengan kota-kota kecamatan. Tidak ada flyover, busway, monorail, dll yang ada hanya jalan dengan perkerasan batu koral yang ketika musim hujan berubah menjadi perkerasan lumpur, hutan lebat tanpa penerangan, tanpa rambu penanda, moda transportasi yang sangat terbatas, tidak ada kehidupan ketika mulai gelap dll. Jangankan kondisi jalan yang layak, moda transportasi dan trayek angkutan pun terkadang tidak sampai menjangkau seluruh daerah di sana. Padahal, tempat-tempat tersebut, masih ada kok penduduknya, mereka berhak mendapat kemudahan akses, tingkat mobilitas yang lancar dll.
Sedikit saya jabarkan beberapa pengalaman saya motoran ke beberapa tempat di Jawa Barat. Kebanyakan jalur yang saya lewati harus melintasi perkebunan, entah itu perkebunan teh, karet, kelapa, hutan jati dll dengan kondisi jalan yang sangat hancur. Padahal kebanyakan ruas jalan yang saya lewati merupakan ruas jalan Provinsi, Kabupaten, bahkan ruas Jalan Nasional yang juga merupakan kelas jalan Arteri primer, sekunder, atau kolektor primer. Standar dari kondisi kelas dan wewenang jalan tersebut seharusnya memiliki lebar jalan 2-4 m, memiliki kondisi jalan yang dengan perkerasan yang baik, memiliki rambu-rambu dan sarana kelengkapan jalan, memiliki guna lahan non-pertanian di kanan-kirinya dll, tapi kenyataannya?? Yang ada hanyalah jalan yang memiliki lebar tidak teratur dengan perkerasan batu koral, terkadang kerikil, bahkan lumpur, tidak ada rambu penanda jalan dan sarana kelengkapan jalan, sepanjang kanan-kiri jalan hanya ditemui rumah dan perkampungan sesekali, kebanyakan merupakan hutan, ladang, tegalan, sawah, sungai, areal perkebunan, bahkan jurang.
Balik lagi ke pembahasan awal yaitu tentang hak warga negara, hak warga negara dalam hal transportasi di sini jelas sudah tidak dipenuhi. Bagaimanapun, setidaknya dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi yang didukung dengan kecerdasan dan kreativitas para pelaku pembangunan seharusnya dapat mengatasi salah satu dari masalah sistem transportasi di daerah. Setidaknya dengan kemajuan IPTEK serta keceradasan dan kreativitas pelaku pembangunan jalan yang kalau hujan berubah menjadi hamparan kubangan, lumpur, bahkan longsor dan terputus karena jalannya amblas bisa diatasi, entah dengan mengganti perkerasan jalan dengan yang lebih sesuai dengan kontur, struktur tanah, beban lalu lintas harian, kondisi cuaca, pelengkapan sarana lalu lintas dan moda transportasi dll.
Memang,satu tahun terakhir ini program perbaikan aksesibilitas di daerah pesisir Selatan Jawa Barat dan ruas jalan utama (Jalan Provinsi) yang menghubungnkanya cukup gencar dilakukan, tapi, ternyata ada beberapa ruas jalan dan beberapa titik yang memang tidak disentuh oleh yang namanya “Pekerjaan peningkatan jalan” . Tetap saja jalur itu penuh lumpur di kanan-kirinya, penuh dengan batu-batu yang cukup besar berserakan di jalan yang merupakan tanjakan berat, turunan curam, tikungan tajam, tetap saja ada jalan yang berupa turunan curam tapi penampang jalannya hanya dari beberapa batang kayu dan besi serta beton seadanya untuk menopang agar jalan tersebut tidak amblas. “Turunan Puspa” namanya. Nama yang diberikan oleh penduduk setempat. Saya sendiri sudah lima kali melewati “Turunan Puspa” baik dalam kondisi menanjak ataupun turun, dan dua dari lima kali itu, dua kali saya turun dari motor, dua kali motornya jatuh dan langsur meluncur bebas, dan satu kali menggunakan mobil mini bus yang sebenarnya untuk keluarga dan digunakan di kota dengan kondisi malam, habis hujan, tidak ada penerangan, tidak ada yang lewat, dan menanjak. Benar-benar keputusan yang penuh risiko.
Di hari yang sama ketika kelima kalinya saya melewati jalur tersebut, ternyata pada pukul 03.00, sekitar 5 Km dari tanjakan tersebut, masih di jalur diantara perbukitan dengan jurang di kanan-kirinya, ada sebuah mobil mini bus yang terjun bebas ke jurang dengan posisi bagian depan mobil menghadap ke atas. Ya, berdasarkan cerita dari warga setempat, mobil tersebut tidak kuat menanjak ditambah dengan pengemudi yang baru bisa mengendarai mobil dan lewat jalur tersebut. Penyebab utama serta informasi lainnya dari warga pun masih simpang siur karena korban kecelakaannya masih dirawat. Begitu saya lihat sendiri posisi mobil yang jatuh tepat di tengah-tengah tebing jurang, saya tidak berani membayangkan apalagi sampai lihat reka ulang kejadiannya. Jalur yang saya ceritakan ini merupakan salah satu jalur alternatif tembusan dari Kecamatan Rancabali Kabupaten Bandung sampai Kecamatan Tanggeung Kabupaten Cianjur yang juga salah satu jalur utama menuju objek wisata Curug Citambur. Sedikit informasi, Curug Citambur merupakan curug nomor tujuh tertinggi di Indonesia versi salah satu blog yang saya baca.
Lain lagi dengan ruas jalan yang satu ini. Statusnya jelas sekali merupakan Jalan Nasional dan termasuk ke dalam salah satu ruas jalan pesisir selatan Jawa Barat. Tetapi berdasarkan keterangan dari narasumber yang dapat dipercaya dan pengalaman pribadi dengan merasakan sendiri sensasinya tujuh kali melewati ruas jalan itu dalam kondisi yang berbeda-beda, ruas jalan Nasional yang katanya sedang gencar dinaikan statusnya itu sama sekali tidak pernah tersentuh oleh kemajuan teknologi di bidang transportasi. Hal ini didukung juga oleh pernyataan warganya yang tidak pernah merasakan jalan yang mulus di lingkungan tempat tinggalnya. Miris!
Pengalaman pribadi yang saya alami ketika melewati ruas jalan ini mungkin bisa memberi sedikit gambaran tentang ruas Jalan Nasional pesisir Selatan Jawa Barat yang sedang gencar-gencarnya diperbaiki. Pertama kali saya melewati ruas jalan ini ketika musim peralihan dari musim hujan ke musim kemarau, tepatnya awal April 2012 dengan mengendarai mobil offroad. Perjalanan dengan jarak yang cukup jauh, pertama kalinya berkunjung ke sana, masih harus cari-cari jalur yang benar ke tempat tujuan kami, tidak tahu arah, tidak kenal medan, harus siap berhadapan dengan jalan yang penuh lubang kecil tapi dalam di hampir sepanjang perjalanan, debu, kepepet truk besar, nyasar di tengah hutan antah berantah, berkali-kali putar balik karena salah mengambil jalan, harus melewati jalan yang penuh dengan lubang dalam dan tergenang air hujan, gelap gulita, kanan-kirinya jurang dalam. Bahkan kelima dan keenam kalinya saya lewat di jalur ini menggunakan sepeda motor dalam kondisi musim hujan, tidak jarang motor kami harus masuk ke dalam genangan air yang menutupi semua permukaan jalan dengan ketinggian melebihi step kaki, malah ada satu motor teman saya yang mengalami konsleting sampai akhirnya motornya harus berhenti jika konsletnya kambuh. Terakhir kali saya melewati jalur tersebut, masih dengan curah hujan yang cukup tinggi, motor kami harus berhadapan dengan jalan perkerasan batu koral yang super licin, batuan yang dijadikan pijakan merupakan batuan lepas berlumut ditambah dengan lumpur. Jarak tempat tujuan yang cukup jauh dan harus ditempuh dengan cara memutar karena jalan tembusannya sangat tidak layak dan tidak memungkinkan untuk kami lewati saat itu. Sebenarnya sih menurut kelayakan, kondisi jalan yang seperti itu sangat tidak layak dilewati oleh kendaraan bermotor apa pun. Bahkan sepeda pun sebenarnya tidak cocok untuk melewati jalur tersebut. Tapi pada kenyataannya, ruas-ruas jalan tersebut merupakan jalur utama yang digunakan penduduk setempat sehari-hari. Baik untuk berdagang, membawa hasil kebun ke tempat penjualan, ruas jalan utama bagi mobil-mobil pengangkut logistik, jalur yang sama untuk pergi ke sekolah, pergi ke ladang, bahkan jalur yang sama yang harus ditempuh apabila ada keadaan darurat.
Kondisi jalan yang tidak layak tersebut didukung dengan minimnya sarana kelengkapan jalan seperti lampu penerangan jalan, rambu-rambu penanda bahaya, papan petunjuk arah, leger jalan, alat pengaman jalan dll. Untuk kemudahan mobilitas, beberapa tempat sama sekali tidak dilalui oleh trayek angkutan umum apapun. Jadi, warga harus berjalan kaki, menyewa dan menumpang pick up, menggunakan kendaraan pribadi (dalam hal ini sepeda motor), menumpang truk-truk pengangkut hasil perkebunan sampai satu tempat tertentu.
Kecamatan Ciemas. Ya, ruas jalan yang saya maksud ke-2 adalah ruas jalan yang termasuk kedalam ruas Jalan Nasional, Arteri Primer yang berada di Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi dengan ujungnya berada di Kampung Balewer, Desa Girimukti yang berbatasan dengan Desa Loji, Kecamatan Simpenan di sebelah Utara, ruas jalan yang melintas dekat Suakamargasatwa Cikepuh di Desa Cibenda yang juga berbatasan dengan Pantai Citirem yang sudah masuk wilayah administrasi Kecamatan Ciracap di sebelah Selatan, serta Desa Tamanjaya yang merupakan desa yang berbatasan dengan Kecamatan Kiaradua di sebelah Timur.
Lain Sukabumi, lain Garut. Ruas jalan Talegong-Cisewu-Sukarame-Caringin merupakan salah satu akses menuju pantai Rancabuaya di Kecamatan Caringin, Kabupaten Garut yang sudah dibuka menjadi objek wisata dengan pengunjung yang lumayan banyak, pada awalnya merupakan ruas jalan yang tidak lepas dari risiko bencana tanah longsor ketika musim hujan tiba. Apabila sudah longsor, maka hampir setengah permukaan jalan akan meluncur bebas ke arah jurang yang sangat dalam. Ruas jalan ini juga memiliki tikungan tajam dengan lebar jalan yang sangat sempit tetapi juga ramai dengan mobilitas ELF antar kabupaten. Hal ini tentu meningkatkan risiko kecelakaan lalu lintas di ruas jalan ini. Entah karena tidak dapat menghindari longsor yang menutupi hampir setengah permukaan jalan, terserempet bahkan tertabrak kendaraan dari arah berlawanan karena sulitnya medan yang ditempuh, atau karena kesalahan sendiri. Sudah bukan hal yang aneh jika ada kendaraan sedang melintas lalu tiba-tiba tertimbun longsor. Longsor di ruas jalan ini cukup berisiko, karena ada beberapa titik yang material longsorannya berupa tanah merah, pepohonan, hingga bebatuan yang cukup besar, bahkan tebing pun pernah runtuh dan menutup total ruas jalan tersebut.
Tetapi, bila ada yang pernah melintas di ruas jalan ini pada pertengahan tahun 2013, sudah tidak akan lagi menemukan hal-hal seperti longsor sampai menyebabkan akses jalannya terputus, mungkin hanya hambatan alam seperti kabut tebal dan suhu udara yang sangat dingin di sepanjang ruas jalan Kecamatan Talegong-Cisewu-Sukarame. Hal ini karena ruas jalan ini menjadi prioritas peningkatan jalan karena banyaknya kendaraan yang melintas di sini, apalagi ditambah dengan adanya objek wisata di ujung jalur tersebut. Selain ruas jalan ini, ruas jalan yang juga ditingkatkan adalah ruas jalan Rancabali-Balegede-Naringgul-Malati-Cidaun, karena merupakan akses menuju ke Pantai Jayanti di Kecamatan Cidaun yang merupakan Pusat Kegiatan Lokal/Lingkungan yang paling dekat dengan Pusat Kegiatan Wilayah Kecamatan Sindangbarang. Ruas jalan berikutnya yang menjadi perhatian pemerintah provinsi adalah ruas jalan Sukanagara-Pagelaran-Tanggeung-Cibinong-Cikadu-Sindangbarang yang merupakan akses utama penghubung Pusat Kegiatan Wilayah Kota Cianjur dengan Sub Pusat Kegiatan Wilayah di Kecamatan Sindangbarang. Jalur inilah yang merupakan jalur yang paling ramai dilalui oleh trayek angkutan umum (ELF) dan juga truk pengangkut hasil perkebunan dan hasil hutan.
Kabupaten Garut merupakan kabupaten yang cukup cepat mendapat perhatian dalam masalah peningkatan kualitas jalan. Ruas jalur Cikajang-Cisompet-Pameungpeuk merupakan jalur utama yang kondisi jalannya realtif stabil setelah ruas jalur Ciamis-Pangadaran. Jalur Cikajang-Cisompet-Pameungpeuk merupakan jalur utama menuju objek wisata Pantai Santolo dan juga tempat peluncuran roket milik LAPAN, sehingga kondisi jalan serta aksesibilitasnya harus baik dan memiliki hambatan yang seminimal mungkin. Begitu juga dengan jalur Ciamis-Pangandaran yang memang sudah menjadi akses utama bagi objek wisata andalan Jawa Barat ini.
Lalu, bagaimana dengan ruas-ruas jalan yang bukan merupakan akses utama ataupun jalur penghubung ke suatu objek wisata ataupun fungsi wilayah utama? Ternyata hak warga yang tinggal di sepanjang jalur tersebut ataupun yang kesehariannya harus melintasi jalur tersebut tidak pernah merasakan bagaimana rasanya berkendara di atas lapisan aspal yang mulus, tidak perlu mengganti onderdil sepeda motor, dan yang pasti tidak perlu merombak sepeda motor dan memodifikasinya menjadi “motor sakti” yang siap menerjang jalan dengan berbagai kondisi bahkan dalam kondisi terburuknya sekalipun.