Traveling saat ini bukanlah suatu hal yang aneh, bahkan sempat ada yang mengatakan bahwa traveling saat ini sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Semakin menjamurnya sosial media, semakin menjamur pula informasi-informasi seputar tempat wisata, baik di dalam negeri maupun luar negeri, semakin banyak pula orang yang tertarik untuk traveling. Bahkan dunia pendakian yang lima tahun kebelakang masih merupakan hal yang sulit, saat ini sudah menjadi hal yang wajar. Belum kekinian kalau belum mencicipi dunia pendakian, begitulah kiranya.
Individu yang melakukan traveling pun sudah bukan lagi didominasi oleh mahasiswa/i baru atau mahasiswa/i tingkat akhir dan individu yang baru memasuki dunia kerja saya, bahkan anak balita dan lansia pun sudah sering kita temui saat traveling. Yang membedakan adalah cara masing-masing bertraveling. Untuk usia remaja hingga dewasa di bawah 40 tahun, mungkin masih akan sering kita temui yang traveling ala backpacker ataupun yang menggunakan motor, mobil, dan sepeda (sebut saja touring, offroad, donwhiil, dll).
Traveling saat ini bukan hanya milik kaum pria, kaum wanita pun tidak kalah eksisnya. Untuk wanita yang tergolong ke dalam kategori ibu-ibu muda atau yang sudah lansia, mungkin akan lebih sering kita temui dengan traveling ala ‘koper’ atau menggunakan jasa tour & travel. Untuk para wanita yang masih di usia remaja, akan banyak kita temui dalam dunia pendakian, traveling ala backapcker, bahkan hingga yang mau blusukan ke antah berantah (baik dengan ngeteng kendaraan umum, atau dengan mobil/motor). Traveling saat ini bukan hanya milik komunitas/grup atau bahkan organisasi pecinta alam saja, bahkan keluarga kecil pun saat ini bisa saja bertraveling. Gayanya tentu saja berbeda. Semakin berkembangnya dunia traveling, bukan hanya wisata alam yang membutuhkan minat dan keterampilan khusus saja yang banyak menjamur, tempat wisata yang ramah untuk keluarga pun banyak bermunculan.
Traveling sebagai gaya hidup pun sedikitnya memberi pengaruh terhadap apa tujuan traveling itu sendiri. Apakah hanya murni untuk rekreasi atau ada kegiatan lain di dalamnya. Kembali ke dunia traveling sebelum tahun 2008, mungkin masih hanya akan didominasi dengan kegiatan di alam bebas dengan minat khusus oleh organisasi-organisasi atau lembaga pecinta alam dan sejenisnya. Kegiatannya pun tidak terlalu jauh dari orientasi kepada anggota baru dan melatih kemampuan di alam bebas bagi anggota lamanya. Memasuki tahun 2009-2010, mungkin muncul satu atau dua komunitas yang fokus pada traveling dengan gaya yang berbeda dari yang biasa dilakukan oleh organisasi-organisasi penggiat alam bebas.
Memang, masih berfokus dengan kegiatan di alam bebas, tetapi tidak seberat dan se-formal yang dilakukan oleh lembaga-lembaga/organisasi-organisasi penggiat alam bebas. Kegiatan ini jauh lebih fleksibel dan disesuaikan dengan keinginan si pembuat kegiatan (yang lama kelamaan dikenal dengan sebutan Tour Leader/Team Leader). Kegiatannya pun mulai dari hanya mengeksplore suatu kota/daerah saja, menyusuri pantai-pantai atau pulau-pulau cantik di daerah yang cukup terpencil, kunjungan ke situs sejarah, situs keagamaan, hingga kegiatan pendakian yang sedikit berbeda gaya dengan yang biasa dilakukan oleh organisasi penggiat alam bebas sebelumnya.
Pada awalnya, traveling hanya mengeksplore suatu tempat ala backpaker saja masih termasuk hal yang ‘aneh’. Tidak semua orang cocok dengan traveling ala backpacker. Hal inilah yang kemudian memunculkan beberapa jasa penyedia wisata dan komunitas-komunitas yang gaya travelingnya lebih mengedepankan kenyamanan dan efisiensi waktu (salah satunya adalah traveling ala flashpacker). Ada juga sebutan ‘traveling ala koper’ yang kebanyakan destinasinya adalah tempat-tempat yang sudah memiliki fasilitas dan akomodasi yang baik, bahkan identik dengan perjalanan wisata ke luar negeri.
Semakin bertambahnya jenis dan cara yang ditawarkan, lama kelamaan, semakin banyak orang yang mengenal dunia traveling. Akibatnya, traveling hampir menjadi semacam gaya hidup. Banyaknya sosial media yang bermunculan pun dimanfaatkan oleh beberapa individu untuk mengenalkan dunia traveling lebih luas lagi. Mulai dari mengenalkan objek-objek wiata yang masih tersembunyi dan alami, hingga menawarkan jasa bagi siapa saja yang ingin ber-traveling sesuai keinginan masing-masing (apakah ala backpacker, wisata, atau flashpacker).
Kegiatan traveling yang pada awalnya murni hanya untuk refreshing dan berpetualang saja, lama kelamaan mulai dikombinasikan dengan kegiatan yang bertemakan kegiatan sosial. Sebut saja volunteer untuk tuna netra. Para volunteer ini memiliki kegiatan utama yaitu membantu teman-teman tuna netra untuk mendapatkan haknya dalam hal ilmu pengetahuan yang bisa didapat dari buku. Buku khusus untuk tuna netra yang masih belum terlalu banyak ditemui akhirnya menjadi inspirasi kegiatan ini. Bukan hanya buku-buku pengetahuan, bahkan baru-baru ini akhirnya teman-teman tuna netra yang muslim mendapatkan kemudahan akses untuk mendapatkan Al-Quran dalam huruf Braille. Selain itu, dari sisi kegiatan travelingnya, tidak jarang para volunteer ini mengajak teman-teman tuna netra menjelajah alam terbuka, seperti kegiatan hiking ke Papandayan beberapa tahun lalu. Satu orang tuna netra didampingi minimal satu volunteer.Kekurangan fisik tidak menjadikan hambatan untuk melakukan kegiatan di alam bebas.
Lain halnya dengan komunitas yang berfokus pada pendidikan. Baik prasarana maupun sistem pendidikannya. Ada banyak komunitas yang sudah merangkul anak-anak kurang mampu di kota besar untuk dijadikan adik asuh. Setiap akhir pekan para volunteer memberikan pengetahuan umum dan menggali kreativitas adik-adik asuhnya. Ada juga komunitas yang langsung terjun ke lapangan. Jarak yang jauh, akses yang sulit, serta minimnya fasilitas di lokasi tidak menyurutkan semangat para relawan pengajar ini bertemu adik-adik di daerah terpencil untuk sekedar memberikan ilmu pengetahuan, baik dalam mengajar ilmu pengetahuan formal sesuai tingkatan pendidikan, maupun ilmu pengetahuan umum bagi semua jenjang pendidikan. Tidak hanya bantuan dalam bentuk tenaga, bantuan dalam bentuk fisik pun tidak luput dari perhatian.
Komunitas lainnya lebih memperhatikan masalah yang lebih teknis dan fisik. Dalam hal ini, fokus kegiatannya adalah daerah-daerah setingkat kampung atau desa yang masih kesulitan dalam pemenuhan energi listrik, belum memiliki prasarana dan sarana kebersihan yang layak, sudah memiliki sumber energi listrik namun belum dapat dimanfaatkan secara optimal, perbaikan atau bahkan renovasi total madrasah, sekolah, ataupun musola di tempat-tempat terpencil dengan akses yang sulit. Tidak hanya itu, dalam hal perekonomian dan pendidikan pun mendapat sorotan dari komunitas ini. Kegiatannya pun bersifat teknis. Artinya bukan hanya sekedar pemberian bantuan berupa uang, tetapi lebih kepada barang-barang yang dibutuhkan (untuk perbaikan/pembangunan fisik bangunan, pembuatan sarana pendukung). Sebut saja bantuan berupa beberapa sak semen, material bangunan, rak buku, buku-buku pelajaran dan buku anak, pelengkap ibadah (alat solat dsb), bahkan sembako hingga baju layak pakai. Bahkan seringkali ikut terjun langsung mengerjakan pembuatan atau renovasi bangunan fisik. Dalam hal berkaitan dengan kebutuhan energi listrik, lebih difokuskan pada sumbangan pembelian, pemasangan, dan pemeliharaan berkala solar sell untuk satu rumah dengan lampu LED.
Ada juga komunitas yang tetap berfokus langsung pada alam bebas. Salah satunya adalah pelestarian dan rehabilitasi kawasan Cagar Alam yang selama ini belum dipahami benar fungsinya. Bukan hanya rehabilitasi dan pelestarian, tetapi juga sosialisasi ke semua lapisan masyarakat. Mulai dari penggiat kegiatan alam bebas, antar komunitas penggiat kegiatan di alam bebas, hingga kepala desa, camat, dan lurah setempat, bahkan pihak swasta yang bersinggungan dengan kawasan tersebut pun ikut dilibatkan.
Adapun komunitas lainnya yang fokus pada upaya untuk melestarikan kebudayaan lokal seperti tarian daerah dan tradisi tahunan yang hampir menghilang, meneliti dan menggali informasi lebih dalam mengenai bangunan-bangunan dan kawasan bersejarah yang esensi sejarahnya semakin menghilang tergerus kemajuan jaman. Bahkan komunitas dengan fokus kegiatan non sosial-lingkungan yang lebih mengutamakan kreativitas, minat, dan bakat masing-masing individu pun mulai bermunculan.
Adapun komunitas yang fokus kegiatannya adalah individu langsung. Komunitas ini memiliki fokus kegiatan membantu meringkankan beban lansia/jompo yang hidup serba terbatas namun masih memiliki semangat bekerja/mencari nafkah. Sebut saja lansia 80 tahun yang masih mencari nafkah dengan berjualan makanan ringan, minuman ringan, buah, kelontong dll dengan ala kadarnya. Tidak hanya keterbatasan karena usia, lansia dengan keterbatasan fisik yg masih berjuang menafkahi hidup pun menjadi fokus kegiatan ini. Tidak jarang bantuan yang diberikan hanya membeli dan menyisihkan sedikit harta, sekedar memberikan informasi untuk ditindaklanjuti oleh anggota lainnya, pemberian bantuan sembako dan barang yang menunjang kegiatan berdagang, hingga renovasi rumah/tempat berjualan dan merelokasi lansia yang terlantar ke tempat yang lebih layak. Meskipun belum menjangkau daerah yang cukup luas, tetapi semangat dari teman-teman di komunitas ini sangat layak diacungi jempol.
Jika dilihat secara seksama, kesamaan dari komunitas-komunitas tersebut selain tujuannya adalah individu-individu di dalamnya, kebanyakan penggerak/pelopornya adalah individu-individu yang memiliki hobi traveling. Entah itu traveling dalam artian pendakian, susur pantai, blusukan dengan sepeda motor, bersepeda lintas gunung dan daerah, ataupun penggemar city tour dan pemburu kuliner khas. Keragaman jenis traveling tersebut sedikitnya memberikan ‘warna’ dan ciri khas bagi masing-masing kegiatan traveling sekaligus kegiatan sosial yang dilakukan.
Keragaman kegiatan traveling dari yang hanya sekedar untuk refreshing, kegiatan formal dan rutin suatu organisasi, ataupun traveling yang dipadukan dengan kegiatan sosial hendaknya memberikan dampak positif, terutama pada lingkungan sekitar, bukannya malah sebaliknya. Kegiatan traveling yang semakin berkembang ragamnya pun diharapkan memiliki re-generasi agar kegiatan-kegiatan yang telah dirintis dan berjalan sebelumnya dapat terus terlaksana.
Kegiatan traveling apapun yang dipilih dan dijalankan hendaknya tidak dijadikan suatu bahan untuk membandingkan kegiatan traveling mana yang jauh lebih baik dari kegiatan traveling lainnya. Semua kembali pada kebutuhan dan kemampuan masing-masing traveler. Semakin beragam kegiatan yang melibatkan traveling, semakin banyak juga yang bisa dilakukan dan dihasilkan untuk membantu sesama dan memajukan pariwisata nasional berangkat dari berkembangnya pariwisata daerah.