Tepat pukul 05.30 WIB, kami pergi dari rumah. Tujuan kami kali ini adalah sebuah danau di Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi. Jarak yang lumayan jauh juga rencana rute yang kami ambil menjadi pertimbangan kami untuk pergi sepagi mungkin dari Kota Bandung. Kami memang rencana tidak menginap. Jadi setidaknya biar sampai ke Bandung lagi tidak terlalu malam.
Dari Kota Bandung, kami mengambil rute melalui Cibaduyut, Soreang, Ciwidey, Rancabali, lalu masuk ke Kabupaten Cianjur melalui Kecamatan Naringgul. Berhubung kami berangkat sedikit lebih pagi dibanding waktu kami ke Rawa Picung, jadi kami tidak menghabiskan waktu terlalu lama untuk tiba di Ciwidey.
Kami tiba di Alun-Alun Kecamatan Ciwidey tepat pukul 07.00 WIB. Berhubung mini market belum ada yang buka dan di jalur Rancabali – Naringgul kami belum update info mini market terbaru, jadi kami putuskan untuk non stop saja sampai Cidaun. Belanja logistik pun di mini market di Cidaun saja.
Kami sempat berhenti untuk isi bahan bakar di SPBU terakhir di jalur Ciwidey – Rancabali. Karena setelah ini, hanya akan Pertashop (Pertamini) dan SPBU Mobile. Perjalanan kami sangat lancar, karena masih sangat pagi dan bukan weekend. Mendekati jalur Gunung Sumbul, banyak kendaraan dinas TNI AU. Ternyata sedang akan diadakan latihan Kopaskas AU di Gunung Sumbul.
Memasuki Desa Balegede, kondisi jalan tidak banyak berubah semenjak kami terakhir melintas di jalur ini September 2019 lalu. Selepas Desa Balegede, tepatnya di turunan yang curam, sedang ada perbaikan jembatan ketika kami melintas. Mungkin sekarang sudah 100% rampung. Titik perbaikan jembatan ini cukp rawan kecelakaan, karena tepat berada di turunan dan tikungan curam dengan jalan yang sempit dan banyak pasir bekas pekerjaan jalan menambah licin jalan. Yang paling bikin meresahkan adalah warga yang memberhentikan kendaraan yang lewat hanya untuk dimintasi ‘Sumbangan Sukarela’.
Untuk saya sih, cukup membahayakan, karena tepat di turunan, menyebabkan konstrasi berkendara buyar. Padahal, di beberapa titik pekerjaan jalan berikutnya, pekerja dan penjaga jalan tidak ada yang memberhentikan pengguna jalan untuk dimintai sumbangan.
Perjalanan kami hingga tiba di Cidaun sangat lancar. Cuaca cerah, langit pun bersih dari awan, arus lalu lintas sangat sepi, tidak ada titik longsor. Bahkan, ketika tiba di Cidaun, langit sangat biru, tidak ada awan hujan sama sekali. Kami tiba di Cidaun pada pukul 09.00 WIB. Kami berhenti di mini market di Sindangbarang untuk beli logistik. Kami istirahat sebentar di sini karena kami berencana untuk makan di tempat makan yang biasa kami singgahi di Alun – Alun Sindangbarang.
Sekitar pukul 10.00 WIB kami tiba di Alun-Alun Kecamatan Sindangbarang. Sayangnya, rumah makan yang biasa kami singgahi tutup. Kami pun cari tempat makan lain di sekitar alun-alun, tapi sayangnya tidak ada yang cocok. Kami pun jalan lagi ke arah Barat. Mungkin nanti di depan akan nemu tempat makan yang cocok. Benar saja, tidak sengaja, saya melihat satu tempat makan yang rasanya cocok untuk dijadikan tempat untuk istirahat juga. Tepatnya di Ayam Geprek Ibu Ratih, Desa Talagasari, Kecamatan Sindangbarang, Kabupaten Cianjur. Mungkin di Gmaps masih belum terupdate dan masih ditandai oleh Tanjungjaya Birds & Fishing (-7.453105,107.111429).
Kami memesan dua porsi nasi + ayam geprek + saus + es teh manis. Sembari beristirahat dan menunggu makanan datang, kami pun mengecek ulang posisi kami, posisi lokasi tujuan, dan sisa rute yang akan kami lalui. Di sinilah semuanya aga kacau.
Awalnya, lokasi yang akan kami datangi, saya lihat posisinya berada di Kecamatan Surade. Saya pun segera melihat jalan besar untuk patokannya. Dalam bayangan saya, jalan besar tersebut, tidak jauh dari jalan masuk menuju Pantai Muara Cikaso. Salahnya saya waktu cek lokasi di Gmaps, saya tidak ngetrek rute dari awal sampai tujuan. Hanya melihat patokan dan persimpangannya saja.
Akhirnya, saat menunggu makanan datang, kami pun cek lagi dengan me-ngetrek jalur mana yang akan kami lewati nanti. Ternyata, perkiraan saat meleset jauh. Memang, tujuan kami ada di dekat pantai, tapi pantai di Surade dan harus melewati jalur menuju Curug Cikaso, bahkan harus sampai ke Terminal Surade.
Wah, kalau begini sih, jadi nambah jarak dan waktu tempuh. Salah perhitungan judulnya. Dilihat di Gmaps, waktu tempuh sekitar 2 jam dengan jarak 98 Km. Sebenarnya masih keburu. Setidaknya kalau kami jalan sekitar jam 11.00 WIB, kami bisa sampai lokasi pukul 13.00 WIB. Kalaupun molor, jam 15.00 WIB baru sampai lokasi pun masih keburu.
Permasalahan kedua, kalau sudah sampai di lokasi, apakah akan tetap pulang atau nginep. Kalaupun pulang, mau ga mau, jalur yang paling memungkinkan adalah jalur utama Ujunggenteng – Sukabumi – Cianjur – Padalarang. Panjang memang rutenya. Pertimbangan kedua yaitu menginap. Tapi, pilihan kami kebanyakan di area UGG Ciletuh.
Akhirnya kami putuskan untuk liat waktu kami sampai tujuan. Kalau sampai jam 17.00 WIB kami belum sampai, kami akan langsung ambil arah pulang ke Bandung lewat Sukabumi. Kalau sebelum jam 17.00 WIB kami sudah bisa sampai lokasi, maka selanjutnya akan dipikirkan lagi, apakah akan menginap di Ciemas, atau tetap seperti rencana awal yaitu langsung pulang ke Bandung.
Jam 11.00 WIB, kami pun melanjutkan kembali perjalanan. Kali ini, kami kembali akan jalan nonstop sampai Terminal Surade. Perjalanan kami sangat lancar. Lalu lintas sangat sepi. Kondisi jalan di area perkebunan karet dan kelapa di daerah Kecamatan Agrabinta pun sudah baik. Terakhir kami melintas di jalur ini adalah September 2019. Pada saat itu, kondisi jalan sepanjang Kecamatan Agrabinta banyak jalan yang berlubang dan bergelombang.
Saat kami melintas (Desember 2021), kondisi jalan sudah sangat baik. Bahkan sudah ada bangunan jembatan baru yang lebih lebar dan kokoh tepat sebelum memasuki Pasar Agrabinta. Jembatan sebelumnya, lebarnya hanya cukup untuk dua mobil mini bus papasan dan satu truk kayu saja. Selain itu, tepat setelah melewati Pasar Agrabinta, sudah ada satu mini market dan satu SPBU.
Sayangnya, mendekati Kecamatan Tegalbuleud, awan hujan tepat berada di atas kami. Kami beberapa kali terkena gerimis. Awalnya kami memutuskan untuk berteduh sebentar. Tapi, tepat setelah motor berhenti, gerimis pun berhenti. Ternyata jalur yang akan kami lalui menjauhi awan hujan tersebut. Posisi kami saat ini berada di ujung wilayah awan hujan.
Kami pun memutuskan untuk terus jalan saja. Lagipula, kalau dilihat ke arah Barat, langitnya justru cerah. Awan hujan berada di atas Kecamatan Cidolog hingga ke Utaranya. Kami pun bergegas menuju Kecamatan Tegalbuleud. Benar saja, setelah memasuki Kecamatan Tegalbuleud, matahari kembali bersinar terik. Langit pun kembali biru tanpa awan. Kami pun tetap melaju. Kondisi di sekeliling jalan raya utama di Kecamatan Tegalbuleud jauh lebih sepi dibandingkan di Kecamatan Sindangbarang dan Agrabinta sebelumnya. Hanya terlihat warga laki-laki yang bergegas menuju Masjid karena sudah hampir waktunya Adzan Dzuhur.
Sampailah kami di persimpangan antara arah Pantai Muara Cikaso dan ke arah Kecamatan Cibitung. Kami pun mengambil arah menuju Kecamatan Cibitung. Jalur yang kami lewati terus mengikuti jalan utama Tegalbuleud – Cibitung – Surade. Memasuki area PTPN Kebun Cikaso, kondisi jalan menjadi semakin rusak. Lubang yang cukup dalam, serpihan pasir dan kerikil. Hingga jalan yang ambles banyak kami temui di sepanjang jalur di dalam area PTPN Kebun Cikaso ini. Kondisi jalan rusak akan terus ditemui higga mendekati Jembatan Cikaso. Perbaikan jalan baru di area dekat Jembatan Cikaso. Belum sampai ke area Selatan kea rah pesisir.
Kondisi jalan yang rusak, otomatis memperlambat laju motor kami. Kami pun mulai merasakan ngantuk dan lapar. Maklum saja, ketika kami melintas di jalur perkebunan Cikaso ini sudah tepat jam 12.00 WIB. Akhirnya kami putuskan untuk berhenti sejenak di dekat Jembatan Cikaso.
Kami berhenti di sebuah warung tepat di pertigaan gerbang masuk menuju objek wisata Curug Cikaso. Kami berhenti cukup lama, hingga kira-kira jam 13.30 WIB kami kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini, saya sudah mulai menyalakan jalur menuju lokasi tujuan di Google Maps. Sembari berharap sinyal tetap bersahabat sampai di tujuan nanti.
Patokan pertama kami adalah Pasar Surade. Sayangnya, belokan yang seharusnya kami ambil terlewat. Akhirnya saya me-reroute lagi jalurnya. Patokan baru kami adalah Taman Megalodon. Sayangnya lagi, belokannya pun kembali terlewat. Kali ini, patokan terakhir adalah jalan kecil setelah SPBU 34.431.15 (-7.348729, 106.555133). Beloklah kami ke jalan kecil ini.
Kondisi jalan kembali aspal rusak dan melewati sedikit areal persawahan dan areal permukiman. Kami hanya tinggal mengikuti jalan ini sampai mentok di perempatan. Tepat di perempatan, kami akan menemui jalan aspal desa. Di perempatan ini, kami mengambil arah ke patokan berikutnya, yaitu Kantor Desa Cipeundeuy.
Kondisi jalan menuju Kantor Desa Cipeundeuy sangat baik, meskipun sekelas Jalan Desa. Setiba di Kantor Desa Cipeundeuy, kami belok ke arah kiri. Kondisi jalannya berubah kembai menjadi aspal seadanya. Kami hanya tinggal mengikuti jalur ini saja hingga jalannya bercabang di sebuah sekolahan.
Di persimpangan terakhir ini, kami mengambil jalur ke arah kanan. Kondisi jalan hanya mulus selama beberapa meter saja. Selebihnya, jalur akan menjadi makadam dan melewati area kebun bambu. Jalan makadam tentu menghambat laju kami, ditambah lagi tepat di depan kami ada truk pengangkut kayu.
Cukup lama kami berada di belakang truk kayu karena sulit untuk mendahului. Akhirnya, setelah lama mengikuti truk kayu, kami pun berhasil menyusulnya. Kami pun kembali memasuki area permukiman. Tidak jauh dari rumah-rumah pertama, motor kami arahkan ke arah kiri pada sebuah persimpangan. Tepatnya di persimpangan dekat MTS Ratumandala.
Jalur akan kembali memasuki areal perkebunan bambu. Namun, kali ini tidak sepanjang sebelumnya. Kami akan sesekali menemui permukiman warga yang berkelompok, lalu areal kebun lagi. Kondisi jalan masih sama, yaitu jalan makadam. Tepat pukul 15.00 WIB kami pun sampai di tujuan.
Tujuan perjalanan kami kali ini adalah Situ Cikalapa yang berada di Kampung Cimandala, Desa Cipeundeuy, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Lokasi danau berada tepat di pinggir jalan desa. Kami pun segera mencari area yang pas untuk memarkirkan motor.
Terdapat area cukup luas di samping danau. Saat kami datang, area tersebut dimanfaatkan oleh pengembala kerbau untuk menggembalakan kerbau-kerbaunya. Setelah memarkirkan motor, saya pun sedikit mengobrol dengan salah satu warga yang sedang menggembalakan kerbau.
Menurut bapak warga, danau ini sering juga disebut dengan nama Situ Haji Habibi. Sayangnya, bapak tersebut kurang paham bagaimana ceritanya bisa sampai dinamakan demikian. Menurut bapak warga pertama, danau ini alami dan sudah ada dari dulu. Areal danau sangat luas. Belum ada jalan desa untuk mengelilingi keseluruhan area danau. Begitupun dengan fasilitas perahu. Tapi, kalau jalan setapak sih ada. Hanya saja, akan didominasi oleh area hutan/kebun.
Ketiga warga tersebut pun berlalu, karena sudah terlalu sore. Waktunya kerbau-kerbaunya kembali ke kandang. Satu warga menggiring kerbau-kerbau, sementara yang dua masuk ke jalan setapak ke arah hutan. Sepeninggal ketiga warga tadi, hanya tinggal kami berdua saja di area danau. Tapi, di sisi Selatan danau, tepatnya arah ke permukiman Kampung Cimandala, masih ada beberapa warga yang sedang memancing.
Lokasi Situ Cikalapa berada di persimpangan. Tepatnya persimpangan dari arah Utara kami datang (pusat Desa Cipeundeuy) dengan arah menuju Kampung Cimandala di sisi Barat dan area pantia dan tambak garam di sisi Timur. Jika kita melanjutkan perjalanan menuju Kampung Cimandala, maka akan ditemui Pantai Cimandala, Jika diteruskan lagi, bisa tembus di Pantai Karang Bolong dan Pantai Cicaladi dengan jarak kurang lebih 20 Km dari Situ Cikalapa.
Jika mengambil arah Timur, maka akan ditemui beberapa perusahaan tambak garam dan beberapa permukiman penduduk. Area ini lebih didominasi oleh kebun kelapa dan area pesisir pantai yang sangat sepi. Di ujung Timur jalur akan ditemui Muara Cipamarangan dan sedikit ke Timur lagi sudah memasuki area wisata Pantai Minajaya. Jarak menuju Pantai Minajaya dengan menyusur pantai atau jalan perkampungan dari Situ Cikalapa kurang lebih sejauh 5 Km.
Setelah mengambil sedikit dokumentasi, saya pun memutuskan untuk istirahat saja, sedangkan suami sudah tertidur lelap di hammock. Karena rasanya sudah sangat lelah, jadi masih ada beberapa spot yang belum sempat dieksplore, terutama yang ke arah Kampung Cimandala dan beberapa rumah penduduk yang ada di dekat area Situ Cikalapa tempat kami isitrahat.
Sekitar pukul 16.30 WIB kami pun mulai packing ulang. Akhirnya kami putuskan untuk langsung pulang saja ke Bandung. Ketika kami sedang packing, datang beberapa warga yang baru saja selesai menggembalakan sapi-sapinya. Sapinya cukup banyak, dan begitu mendekati area Situ Cikalapa, sapi-sapi tersebut kembali merumput.
Kesempatan ini tidak saya sia-siakan untuk kembali berbincang sebentar dengan bapak pemilik sapi-sapi tersebut. Informasi yang diberikan bapak warga kedua ini pun ternyata cocok dengan informasi dari bapak warga pertama. Menurut bapak warga kedua, danau ini bernama Situ Cikalapa dan merupakan danau alami. Dan, memang benar, danau ini pun dikenal juga oleh warga setempat dengan danau Haji Habibi.
Menurut bapak warga kedua ini, Haji Habibi adalah orang Surade, tidak dijelaskan detail siapa dan di Surade mana tinggalnya. Tapi, sudah pasti orang yang cukup dikenal dan berpengaruh. Tambahan informasi dari bapak warga yang kedua mengenai Situ Cikalapa adalah, bahwa sebenarnya Situ Cikalapa pada mulanya adalah aliran sungai.
Aliran sungai tersebut dibendung dan alirannya dibelokan melalui solokan buatan yang berada di dekat jembatan Situ Cikalapa. Memang, jika dilihat pada Gmaps, area di sektiar Situ Cikalapa memang cocok sebagai area Muara. Hanya saja, karena aliran sungainya dibendung, jadi ada sedikit pembelokan aliran sungai dan penyempitan area muara. Area muara tersebut sebagian besarnya berubah menjadi Situ Cikalapa dan sebagiannya lagi menjadi lahan pertanian. Namun area lainnya masih berupa lahan hutan/kebun yang sangat mendominasi.
Menurut bapak warga kedua, beliau pun tidak mengetahui apa fungsi awal pembendungan sungai dan pembuatan Situ Cikalapa, hanya saja, sampai saat ini memang lebih banyak dimanfaatkan sebagai area memancing warga dan menggembalakan ternaknya. Bapak warga kedua pun berpamitan karena harus segera memasukan ternak-ternaknya ke kandang. Kami pun bersiap untuk melanjutkan perjalanan pulang. Kali ini kami akan mencoba jalur menuju pantai sesuai informasi dua warga tadi. Memang sih, selama kami di Situ Cikalapa, cukup banyak warga yang datang dan menuju jalur yang mengarah ke pantai.
Menurut bapak warga kedua, jalur tersebut juga bisa tembus ke Pantai Minajaya. Bisa lewat pinggir pantainya atau ikuti jalan desa. Tapi saya pribadi ragu, karena untuk sampai ke Pantai Minajaya, kami terlebih dulu harus menyeberangi satu muara sungai. Setelah menyeberangi muara sungai terseut, kami harus melewati jalan setapak di area kebun.
Saya ragu apakah benar ada jalan setapak atau malah hanya jalan kecil yang tidak bisa dilalui oleh sepeda motor. Rasanya sudah terlalu sore untuk coba-coba offroad menuju Pantai Minajaya. Rute kedua yaitu mengikuti jalan kecil hingga bertemu kembali jalan desa yang menuju ke Surade (area Pasar Surade). Kami pun memulai perjalan pulang tepat pukul 17.30 WIB.
Tidak lama kami berbelok ke jalur yang menuju pantai, jalanan ternyata merupakan jalan kecil berupa perpadatan pasir. Sisi kanan didominasi oleh areal persawahan yang sangat luas. Sisi kiri jalan didominasi oleh semak belukar yang membatasi jalan motor dengan area pantai. Di beberapa titik terdapat areal tambak garam.
Jalan pun semakin mengecil sampai akhirnya jalan mentok di sebuah persimpangan. Tepat di persimpangan terdapat rumah warga/mess untuk pekerja tambak. Jika ke arah kanan akan ditemui jalan setapak pasir yang cukup panjang di samping areal persawahan. Sementara jika ke arah kiri akan ditemui jalan setapak yang jauh lebih sempit lagi mengarah ke area pantai.
Setelah bertanya pada warga di rumah tersebut, kami diarahkan ke arah kanan jalan. Kami bertanya arah menuju Balai Desa Cipeundeuy. Karena jika hanya bertanya menuju Surade, akan diarahkan menuju jalan ke area pantai dan benar-benar menyusuri bibir pantai hingga ke Muara Cipamarangan.
Kami pun mengikuti arahan warga tersebut hingga akhirnya kami bertemu jembatan cukup besar yang disebutkan warga. Jembatan ini merupakan Jembatan Muara Cipamarangan. Yang artinya jika sudah menyeberangi jembatan ini ke arah Barat, perjalanan bisa ditembuskan sampai ke Pantai Minajaya melalui jalan perkampungan dan perkebunan. Tanpa harus kembali terlebih dahulu ke jalan raya utama Surade. Hanya saja, tujuan kami kali ini bukanlah Pantai Minajaya.
Kami pun mengikuti satu-satunya jalan perkampungan hingga tiba di sebuah perempatan. Ternyata, ini adalah jalur utama Desa Buniwangi – Muara Cipamarangan. Karena sudah sampai sini, kami putuskan untuk mampir sebentar di Muara Cipamarangan. Area ini merupakan area wisata, tapi masih didominasi oleh warga setempat saja. Selain itu, di sisi Barat terdapat bangunan perusahaan tambak garam yang cukup besar. Jika tidak jeli, maka jalan setapak di pinggri tambak tidak akan terlihat. Jalan setapak itulah yang akan tembus ke area wisata Pantai Minajaya.
Kami pun kembali menuju Surade. Jalur kami kali ini terus mengikuti jalur utama Desa Buniwangi hingga melewati Kantor Desa Buniwangi dan Puskesmas Buniwangi sebagai patokannya. Kami pun keluar dari jalur Desa Buniwangi tepat di samping mini market -7.356249, 106.543439. Tepatnya sudah di persimpangan dengan Jalan Raya Pasir Ipis – Ciracap. Jalur yang sedari awal saya tandai untuk masuk menuju Situ Cikalapa dari Surade. Setidaknya kami jadi punya beberapa rute menuju Situ Cikalapa.
Awalnya kami berencana berhenti di Surade mencari tukang Nasi Goreng sembari menunggu Magrib. Agar nanti sehabis Magrib bisa jalan nonstop sampai Kota Sukabumi. Apa daya, ternyata sampai masuk Jampang Kulon ternyata kami tidak menemukan tukang nasi goreng (mungkin kurang teliti atau belum buka). Akhirnya kami putuskan untuk berhenti di Terminal Bojonglopang saja. Setidaknya kami sudah melewati jalur Waluran – Lengkong yang sangat sepi dan didominasi hutan lebat dan areal perkebunan teh.
Sepanjang Surade – Jampang Kulon kondisi jalan sangat bagus dan masih termasuk area yang ramai. Apalagi menjelang Magrib, banyak dijumpai warga yang menuju masjid dan tempat-tempat makan yang baru akan memulai aktivitasnya. Selepas Jampang Kulon, tepatnya ketika jalur memasuki area hutan di Kecamatan Waluran, jarak antar rumah sudah mulai berjauhan, Arus lalu lintas pun sangat sepi.
Perjalanan kami melewati jalur Kecamatan Waluran ditemani oleh lembayung senja yang menambah syahdu perjalanan. Kondisi jalan yang mulus hanya sampai di batas Kecamatan Waluran – Pertigaan Kiara Dua, Kecamatan Simpenan. Memasuki area perkebunan teh selepas Pertigaan Kiara Dua, kondisi jalan semakin rusak. Kami tiba di Pertigaaan Kiara Dua tepat pukul 18.30 WIB. ELF yang sedari tadi beriringan dari Jampang Kulon berpisah di sini.
Sepanjang perkebunan teh setelah Pertigaan Kiara Dua hingga tiba di pusat Kecamatan Lengkong, hanya kami berdua saja yang melintas. Cukup bikin merinding juga. Karena masih di waktu Magrib, melewati perkebunan teh dengan kondisi jalan yang rusak. Banyak terdapat lubang yang cukup dalam dan kerikil di sepanjang jalur. Permukiman warga yang kami temui pun suasananya cukup sepi. Mungkin karena masih di waktu Magrib. Untung juga kami memutuskan untuk mencari makan setelah melewati jalur kebun teh, kalau tidak, bisa kemalaman melintas di jalur ini.
Setelah mungkin hampir tiga puluh menit kami melintas sendiri di jalur perkebunan teh, akhirnya kami kembali bertemu keramaian. Kami sudah tiba di pusat Kecamatan Lengkong. Kondisi jalan semakin rusak ketika memasuki wilayah Kecamatan Jampang Tengah. Padahal, dulu, jalur di Jampang Tengah ini yang termulus. Perjalanan kami pun jadi sedikit terhambat. Selain karena kondisi jalan yang rusak, lalu lintas pun lebih ramai dibandingkan di Kecamatan Lengkong. Bahkan beberapa kali kami berpapasan dengan truk pengangkut BBM dan beriringan dengan beberapa truk kayu.
Sekitar jam 20.00 WIB tibalah kami di tempat tujuan pertama. Terminal Bojonglopang. Pertama-tama kami mampir di mini market lalu mencari tempat untuk makan. Tukang Sate, Pecel Lamongan, aneka jajanan seperti gorengan, batagor, mie ayam berjejer sepanjang jalan di depan terminal. Sayangnya tukang nasi goreng tidak kami temui. Bahkan sampai melewati Koramil pun tidak ketemu. Selepas Koramil Jampang Tengah, jalur akan kembali sepi.
AKhirnya, daripada perut tidak diisi sama sekali, mengingat terakhir kami isi perut di Sindangbarang jam 10 pagi tadi, jadi mau tidak mau sekarang harus diisi. Pilihan kami pun jatuh antara Depot Sunda dan Pecel Lamongan. Keduanya sama-sama menyajikan olahan ayam dan soto. Tidak sengaja, ketika kami akan memutar arah di gerbang Terminal Bojonglopang, mata saya tertuju pada satu-satunya sapnduk di dalam terminal, tidak jauh dari tempat kami berhenti. Karena penasaran, saya pun meminta untuk mendekati spanduk tadi. Ketemu juga yang kami cari. Tukang Nasi Goreng.
Tidak pikir panjang, kami pun memarkirkan motor di dekat gerobak Nasi Goreng. Dua porsi Nasi Goreng segera disiapkan oleh penjual. Ada yang menarik perhatian saya. Ternyata tempat jualan nasi goreng ini bukanlah gerobak nasi goreng pada umumnya. Tukang Nasgor ini berjualan di sebuah mobil bekas yang dimodifikasi menjadi semacam food truck. Menarik juga. Setelah Nasgor tersedia, kami pun segera menyantapnya. Selagi kami makan, ada setidaknya tiga pelanggan yang ketiganya menyertakan juga menu Kwe Tiau.
Setelah selesai makan, iseng saya pun bertanya pada tukang jualan mengenai ‘gerobak’ jualannya. Ternyata, ‘gerobak’ jualannya merupakan mobil sejenis Suzuki Carry yang masih beroperasi normal yang dimodifikasi sedemikian rupa hingga mendekati konsep food truck. Sembari menunggu gerobak nasgor yang seperti kebanyakan gerobak nasgor lainnya diperbaiki, jadilah gerobak – mobil ini difungsikan dulu. Asalnya, gerobak – mobil ini hanya dioperasikan ketika hari-hari libur tertentu dan Lebaran. Gerobak – Mobil ini digunakan untuk berjualan di Ujunggenteng. Selain itu, jika ada event Grasstrack – Motocross, gerobak – mobil ini sudah dipastikan akan hadir meramaikan jualan di sana.
Mamang Nasgor ini hobi nonton event offroad ternyata. Di manapun ada event motor-offroad digelar di Kabupaten Sukabumi, disitulah ada gerobak – mobil Nasgor ini. Bahkan ada satu event yang digelar di Kecamatan Tanggeung, Kabupaten Cianjur pun didatangi. Selain event-event offroad, mamang Nasgor pun tau banyak mengenai beberapa daerah dan jalur di Kabupaten Sukabumi. Dari mulai jalur Desa Ciemas – Desa Girimukti – Puncak Darma, Pantai Palangpang, jauh sebelum ada Geopark, jalur alternatif Jampang Kulon – Lengkong, jalur alternatif Bojonglopang – Sagaranten – Curugkembar – Cijati – Kadupandak pun hafal.
Rasanya bukan seperti ngobrol dengan tukang jualan nasgor random yang kami temui di jalan, tapi seperti ngobrol dengan teman lama yang sama-sama suka mencoba jalur. Obrolan seru kami berempat harus terhenti, karena ada pelanggan lain yang datang. Kami pun sekalian berpamitan karena ternyata sudah pukul 21.00 WIB. Perjalanan kami masih panjang.
Jalur setelah Bojonglopang ini bisa dibilang sangat membosankan. Selain jalurnya yang melewati area pembakaran batu kapur sepanjang Jampang Tengah dan area pabrik sepanjang Cikembar – Gunungguruh, serta area pinggiran kota sepanjang Gunungguruh – Lembursitu, kondisi jalannya pun jauh lebih rusak lagi.
Setiba di Pasar Pangleseran dan masuk ke Jalan Palabuhan II, kondisi jalan kembali membaik. Hanya saja arus lalu lintas di sini lebih ramai. Untungnya, ketika kami tiba sudah cukup malam. Jadi tidak seramai dan semrawut ketika pagi hingga petang hari. Kami mengisi bahan bakar di SPBU di Lembursitu. Ketika kami tiba, ternyata sedang ada pergantian shift, jadi harus menunggu sebentar. Lumayan, bisa lurusin kaki sejenak. Setelah beres urusan bahan bakar, saatnya kami lanjutkan perjalanan lagi. Kali ini nonstop sampai rumah.
Kami tidak mengambil jalur alternatif melewati Makam Cikundul dan tembus Sukaraja seperti biasanya. Selain sedikit lupa jalurnya, jalannya pun dipastikan sudah sangat sepi. Siang hari pun sudah sepi, apalagi semalam ini. Terlebih lagi, di dalam jalur tersebut masih harus melewati areal kebun, kuburan cina dan area permukiman sepi. Jadilah kami mengambil jalur utama Jalan Raya Palabuhan II hingga tiba di Jalur Lingkar Selatan.
Jalur Lingkar Selatan pun sudah sepi. Arus lalu lintas pun didominasi oleh truk kayu, truk pasir, truk logistik lainnya, pick up dan mobil box. Kami pun tiba di Kecamatan Sukaraja tanpa terkena macet. Jalur berikutnya merupakan jalur yang cukup ramai sampai memasuki Kabupaten Cianjur. Jalur Sukaraja – Sukalarang – Gekbrong – Warungkondang kami lewati tanpa hambatan, meskipun arus lalu lintas masih sedikit ramai. Sementara arus lalu lintas yang mengarah ke Kota Sukabumi masih ramai dan didominasi oleh truk besar. Kami pun beberapa kali beriringan dengan truk pasir dan truk kayu. Tapi berhasil kami lewati dengan mudah karena arus lalu lintas yang tidak sepadat pagi hingga sore hari.
Rasanya lega ketika sudah tiba di Terminal Pasir Hayam. Tepat pukul 23.00 WIB kami tiba di persimpangan Terminal Pasir Hayam. Tepat dua jam dari Terminal Bojonglopang. Sesuai dengan perkiraan tukang Nasgor. Kami pun tidak pakai berhenti segera melanjutkan perjalanan menuju jalur Lingkar Selatan dan tembus di Kecamatan Karangtengah. Jalur Karangtengah – Padalarang adalah jalur membosankan berikutnya. Jalur ini tidak pernah sepi di kedua arahnya. Untungnya, kami tiba di jalur ini sudah cukup larut, hampir tengah malam. Jadi, sudah sepi. Bahkan, tidak terasa kami sudah akan memasuki Citatah.
Harapan kami supaya tidak kena macet di jalur Citatah – Padalarang dikabulkan. Hanya ada beberapa saja truk besar yang mengarah ke Padalarang. Itupun hanya 1-2 dalam satu rombongan. Arus lalu lintas dari arah Padalarang cukup sepi. Hingga akhirnya tidak terasa kami pun sampai di Situ Ciburuy tanpa hambatan. Perjalanan dari Situ Ciburuy hingga tiba di rumah kembali sangat lancar. Tepat pukul 01.00 dini hari di hari Jumat, kami tiba kembali di rumah dengan selamat. Tepat dua jam dari Terminal Pasir Hayam dan tepat empat jam dari Terminal Bojonglopang. Persis seperti perkiraan tukang Nasgor di Bojonglopang.
Jika dilihat dari jarak tempuh, memang jarak tempuh jalur pergi kami lebih jauh dibandingkan dengan jarak tempuh jalur pulang. Jalur pergi kami melewati jalur Rancabali – Naringgul – Pansela Jabar – Surade – TKP sejauh 231 Km dalam waktu 9,5 Jam sudah dengan isitrahat. Tidak terasa cape, karean sepanjang jalan merupakan jalur sepi dan kondisi jalannya hampir semuanya baik.
Jarak tempuh jalur pulang melalui Surade – Jampang Tengah – Sukabumi kota – Cianjur – Padalarang sejauh 196 Km dengan waktu 6,5 jam sudah dengan istirahat. Jika melintas di jalur pulang pada pagi sampai sore hari, kemungkinan akan memakan waktu 7 – 7,5 jam sudah dengan istirahat dan macet. Tapi, akan terasa lebih cape, karena sepanjang jalan merupakan jalur ramai ditambah dengan kondisi jalan banyak yang rusak.